Saturday, November 27, 2010

Deus Deo Lupus ?

---Tuhan menjadi serigala bagi Tuhan yang lain?---
(Kritik atas fenomena ketegangan antara heresi dan ortodoksi radikal dalam Islam)


PENGANTAR

Asyhadu alla ilaaha illallah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah...
Setidaknya kata ini kita dengar lima kali dalam sehari, khususnya di pulau Jawa. Kata ini diperdengarkan bersahut-sahutan dari ratusan masjid yang ada di pulau Jawa. Selain itu, banyak juga fenomena keagamaan yang sedang marak terjadi di Indonesia. Pemakaian jilbab bagi kaum hawa menjadi semacam trend mode tersendiri. Toko pakaian muslim mulai menjamur dan menyediakan jilbab dan busana dalam berbagai warna dan corak khas muslim. Banyak pula bermuculan toko-toko yang khusus menyediakan diri untuk melayani pelanggan khusus muslim, contoh: salon muslimah (di depan Seminari Giovanni) , Bank Syariah, dan warung-warung makan muslim. Tren ini melebar kemana-mana mulai dari siaran manajemen qalbu, konsultasi tasawuf, dzikir akbar bahkan sampai ibu-ibu melarang anak-anaknya untuk tidak membeli makanan instan yang tidak ada label “Halal” dalam kemasannya.

Apakah fenomen-fenomen di atas bisa dikatakan sebagai Kebangkitan Islam Indonesia? Menurut hemat penulis, kiranya kesimpulan demikian terlalu dini untuk dilontarkan. Jawaban atas pertanyaan di atas harus juga mempertimbangkan fakta bahwa sejak tahun 70-an ada banyak fatwa dan kelompok dibentuk untuk membela dan menegakkan “Islam sejati” dengan memberangus kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Pengeboman gereja-gereja kristen dan katolik, pembumihangusan rumah ibadah jemaah Ahmadiyah, penggerebekan dan penjarahan diskotik oleh FPI menjadi deretan fakta-fakta yang harus diperhitungkan. Mungkinkah kebangkitan suatu agama berdiri di atas fakta kekerasan yang dilakukannya terhadap agama yang lain?

Di Indonesia, isu yang menyangkut perbedaan agama gampang sekali tersulut menjadi masalah yang besar. Untuk itu, dalam karya tulis ini penulis ingin mengangkat ketegangan yang terjadi antara “kaum yang disebut heretik” dan “kaum yang disebut sebagai pemegang ortodoksi ajaran” untuk melihat motif-motif yang ada di balik tindakan kekerasan yang kerap terjadi dengan mengatasnamakan agama dan kritik atasnya. Kritik dan fakta ini penulis jabarkan bukan untuk memancing konflik yang lebih parah lagi, tetapi justru sebagai sarana pembelajaran agar konflik tersebut dapat dihindari berkat kesadaran yang lebih baik atas keberagaman agama.

KETEGANGAN ANTARA HERESI DAN ORTODOKSI

Sumber dan Bentuk Ketegangan


Salah satu tema penting dalam membaca fenomena hidup keagamaan di Indonesia adalah konflik antar agama yang terjadi di dalamnya. Konflik antar agama muncul ketika agama mayoritas (Islam) berhadapan dengan agama-agama minoritas lainnya. Seringkali agama minoritas diidentikan dengan kelima agama lain yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia (Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Kong Hu Chu), padahal sejatinya tidak. Jika syarat-syarat terbentuknya suatu agama adalah terdapatnya wahyu, kitab suci, nabi, umat, dan tata cara ibadah, maka kelompok-kelompok seperti Salamullah, Al-Qiyadah al-Islamiyah, Brahman Kumar dan Anand Ashramam dapat disebut juga sebagai agama-agama minoritas yang ikut berkonflik dengan agama mayoritas. Namun, seringkali kelompok-kelompok itu digolongkan dalam kategori heresi dan dituntut atas tuduhan penistaan agama Islam. “Pengakuan dari negara” menjadi suatu kriteria baru yang ditambahkan agar sebuah agama tidak dianggap sebagai aliran sesat/heresi.

Syarat terakhir yang “ditambahkan” secara tersirat dalam kehidupan beragama di Indonesia inilah yang menjadi alasan kematian beratus-ratus gerakan agama baru yang muncul di seluruh nusantara, diantaranya: di Jawa: Sumarah dengan kitab suci Sesanggaman, Pangestu dengan Pusaka Sasengko, Jati Kawruh Kasunyatan dengan Kawula Gusti Murid Sejati, ajaran Ngesti Tunggal; di Aceh: Aliran Bantaqiyah (yang mengumbar tata cara ibadah mirip ajaran Syekh Siti Jenar), Gerakan Ma’rifatullah, dll. Banyak dari aliran ini sudah punah karena agama mayoritas serasa memiliki kewenangan untuk memberangus aliran-aliran ini dengan alasan “sesat” karena belum diakui oleh negara. Namun, kenyataan selanjutnya juga menambahkan bahwa ternyata “Pengakuan dari negara” atas suatu agama juga tidak menjamin keamanan dan kebebasan penganut agama “minoritas resmi” untuk beribadat. Kejadian pengeboman, pengerusakan dan pembakaran gereja-gereja di berbagai kota dan pelemparan batu kepada jemaat yang sedang beribadat menjadi bukti ketidakamanan agama minoritas untuk beribadat.

Lebih lanjut lagi, ternyata kaum pemegang ortodoksi agama mayoritas juga “menempelkan predikat” sesat pada setiap usaha untuk mengkontekstualkan ajaran agama Islam. Yusman Roy, seorang mantan petinju dan kemudian mengasuh Ponpes I’tikaf Ngadi Lelaku di Malang, pernah sempat mendekam dalam penjara karena mengajarkan shalat berbahasa Indonesia. Beberapa orang yang lain juga pernah dimasukkan dalam penjara karena mencoba mengajarkan membaca Al-Quran dengan bahasa Indonesia.

Permasalahan menjadi semakin rumit dan meruncing karena para pemegang ortodoksi agama mayoritas menggunakan tangan pemerintah untuk memasukkan dan menegakkan ajarannya. Karena memiliki massa rakyat yang paling besar, agama mayoritas merasa memiliki kuasa untuk menggunakan tangan pemerintah untuk membentuk hukum-hukum yang “menguntungkan” mereka dan memasung kebebasan penganut agama yang lain. SKB (surat Keputusan Bersama), UU APP dan RUU Sisdiknas menjadi rangkaian usaha para pemegang ortodoksi untuk melestarikan ajarannya dengan meminjam tangan pemerintah. Hal ini menjadi mungkin karena sebagian besar yang duduk di pemerintahan memang orang muslim.

Motif dasar tindakan

Dari berbagai fakta dan tindakan di atas penulis berusaha memikirkan motif apa sebenarnya yang mendasari tindakan mereka itu. Dari berbagai pustaka yang dibaca penulis, ternyata yang menjadi alasan utama berbagai tindakan mereka tersebut bersumber dari kalimat shahadat itu sendiri. Asyhadu alla ilaaha illallah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah... Mereka ingin menegakkan monoteisme di Indonesia secara konsisten. Monoteisme dianggap sebagi inti sari ajaran dalam Islam sehingga asli atau tidaknya Ke-Islam-an diukur dari sejauh mana monoteisme telah “berkompromi” dengan masyarakat di sekitarnya. Semakin banyak “kompromi” yang dilakukan, semakin melenceng jauhlah ia dari Islam yang sejati.

Agama-agama non-islam yang lain (baik yang “resmi” maupun tidak) dianggap membahayakan monoteisme yang mereka pegang karena masing-masing agama membawa ajaan tentang Allah yang berbeda-beda. Membiarkan agama-agama itu berkembang sama dengan membiarkan konsep Allah yang benar menjadi kabur karena konsep Allah yang berbeda-beda dari masing-masing agama itu. Maka, satu-satunya cara yang dapat ditempuh ialah memberantas praktek-praktek agama dan menganggapnya sebagai heresi/aliran sesat karena “belum diakui oleh pemerintah”. Namun, bagi agama-agama yang sudah terlanjur “diakui oleh pemerintah” cara “pemberantasan” ini tidak dapat dilakukan dengan terang-terangan karena ada pasal undang-undang dasar yang mengatur secara jelas perlindungan terhadap warga negara untuk beribadah. Oleh karena itu, “pemberantasan” dilakukan dengan menebar teror bagi penganut agama lain ketika hendak beribadah. Hal ini paling jelas dapat kita saksikan ketika penganut agama-agama minoritas sedang merayakan hari besar keagamaannya. Berapa pleton polisi yang dikerahkan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan saat merayakan Natal dan Paskah? Selain itu, perkembangan jumlah penganut agama-agama minoritas biasa dilakukan dengan mempersulit ijin mendirikan tempat ibadah.

Dari kacamata motif dasar tersebut tindakan-tindakan mereka di atas justru tampak memiliki tujuan yang mulia. Monoteisme yang dijunjung tinggi dan ditegakkan adalah monoteisme yang tidak mengakui adanya pluralitas karena memang hanya ada 1 Tuhan. Kebenaran itu hanya 1 dan yang lain pasti bukan kebenaran. Menjunjung tinggi dan menegakkan monoteisme sama dengan membela dan menjunjung tinggi satu-satunya Tuhan yang benar.

PEMIKIRAN PENULIS

Kritik penulis atas monoteisme (sebagai motif dasar tindakan) ortodoksi radikal Islam


Penegakan monoteisme yang demikian membentuk masyarakat yang sulit menerima pluralitas karena memang masing-masing agama dianggap memiliki Allah dan Kebenaran yang berbeda dan saling bersaing untuk menjadi yang “Paling Benar”. Persengketaan posisi “paling benar” ini harus dilakukan karena menurut mereka memang hanya ada satu tempat untuk 1 kebenaran dan yang lain pasti bukan kebenaran.

Menurut hemat penulis, pandangan seperti ini sudah terjebak dalam antropomorfisme tentang Tuhan. Tuhan dianggap seperti seorang raja yang perlu dibela oleh rakyat dan tentara-tentaranya. Kemahakuasaan Tuhan dibandingkan dengan kekuasaan seorang raja yang harus mengalahkan raja lain untuk dapat memperluas wilayah kekuasaannya. Tuhan yang satu harus mengalahkan atau mungkin “membinasakan” Tuhan yang lain agar penganutnya semakin bertambah. Kemahakuasaan Tuhan berbanding lurus dengan jumlah penganutnya, karena semakin banyak penganut semakin besar pula kekuatan yang dapat dihimpun dari himpunan massa itu. Penganut suatu agama dianggap menjadi tentara yang harus siap berperang untuk membela Tuhannya. Oleh karena itu, mau tidak mau, Tuhan yang satu harus menjadi serigala yang siap menerkam Tuhan yang lain. Apakah Tuhan memang perlu dibela dengan cara yang semacam ini? Konsep ketuhanan semacam ini bukan lagi merupakan wujud monoteisme tetapi justru merupakan wujud monolatri modern yang cenderung mengarah pada mono-religion (satu agama).

Ada tiga kritik utama yang dapat penulis lontarkan terhadap konsep monoteisme yang diusung oleh pihak-pihak yang mengaku diri sebagai penjaga ortodoksi ajaran islam, yakni:
- Pertama, monoteisme telah dipahami dengan tidak utuh dan tidak kritis sehingga pada perkembangannya paham justru tersebut melahirkan eksklusivitas agama dan praktik keagamaan nonkompromis yang tidak memberikan ruang dialogis terhadap nilai-nilai kultural yang telah ada jauh sebelum paham tersebut tiba di Indonesia. Maksudnya, konsep monoteisme yang dimengerti oleh pihak-pihak yang mengaku diri sebagai penjaga ortodoksi ajaran islam justru menghancurkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang sudah ada di Indonesia lebih dahulu.
- Kedua, praktik keagamaan cenderung bergeser dari aspek religiusitas murni menjadi aspek politik praktis yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya partai politik maupun kelompok masyarakat mengatasnamakan agama tertentu sebagai dasar ideologinya. Hal ini terbukti dengan tidak henti-hentinya usaha dari beberapa golongan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam yang berazaskan Syariat.
- Ketiga, bentuk ekstrem dari paham monoteisme, yakni fundamentalisme, dewasa ini semakin menggejala dan dalam tahap-tahap tertentu rentan mereduksi nilai-nilai lokal.

Kritik penulis atas labelisasi suatu kelompok sebagai heresi dan ortodoksi

Di Indonesia ada kecenderungan untuk membedakan dengan ketat antara agama mainstream (aliran induk) dan agama sempalan (splinter group). Agama mainstream biasa diidentikkan dengan agama-agama besar di Indonesia yang telah diakui oleh pemerintah. Sebaliknya, agama sempalan/sekterian mengandung konotasi negatif seeperti protes terhadap dan pemisahan diri dari agama mainstream. Penulis melihat pembedaan istilah antara agama mainstream dan agama sempalan bukannya tanpa masalah. Ada dua problem yang sekurang-kurangnya bisa diangkat berkaitan dengan hal ini.

Pertama, dari sosiologi agama, berbicara tentang agama sempalan selalu harus bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi (ajaran yang benar) yang menjadi mainstream (aliran induk) dalam suatu masyarakat, karena agama sempalan merupakan agama yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Kesulitan pertama muncul dari sini, yakni, “Apa tolak ukur dari ortodoksi?”. Tanpa tahu terlebih dahulu tolak ukur ortodoksi, istilah sempalan menjadi kabur dan tidak bermakna karena tidak ada pembandingnya. Dalam kasus umat Islam dewasa ini, ortodoksi seringkali dianggap terwakili oleh badan-badan ulama yang berwijawa seperti MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU dan sebagainya. Sebagai pembanding, agama non islam juga memiliki KWI, Walubi, PGI, PHDI, dsb. Namun, persoalan tidak hilang dengan rujukan ortodoksi ini karena seringkali badan-badan ulama yang berwibawa ini saling menolak putusan-putusan yang dibuat oleh badan ulama yang lain, contoh: Syuriah NU jelas-jelas menolak Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme. Lalu kepada siapa sebenarnya ortodoksi ini dapat disandangkan?

Kedua, seringkali yang terjadi ialah suatu agama baru dianggap sempalan/sesat setelah ada fatwa yang melarangnya, contohnya: kasus Ahmadiyah Qadian (Islam Jama’ah). Padahalnya, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ulama di negara-negara bagiannya. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita bisa memastikan apakah suatu aliran termasuk semapalan atau bukan? Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa konsep ortodoksi kelihatannya adalah sesuatu yang bsa berubah menurut zaman dan tempatnya. Apa yang dianggap “salah” di sini dan sekarang, bisa saja dianggap “benar” di kemudian hari atau di tempat yang lain. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah konsep sempalan pun sangat bersifat kontekstual. Satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa yang sempalan dan yang ortodoks merupakan sesuatu yang sangat kontekstual adalah Gerakan Islam Liberal. Awalnya Gerakan Islam Liberal begitu dihujat dan dianggap sesat oleh beberapa kalangan pemegang arus ortodoksi. Bahkan, mereka mencap para penganut Islam Liberal sebagai penganut sesat dan tergolong kafir. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tampaknya Gerakan Islam Liberal justru mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan, terutama kaum muda yang memperoleh akses pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Dan justru, kekuatan Islam Liberal sekarang ini mampu menandingi gejala fundamentalisme di Indonesia.

Monoteisme yang sehat

Monoteisme bernaung di bawah sila Ketuhanan yang Maha Esa. Ke-Esa-an Tuhan dalam sila ini hendaknya dimengerti bahwa semua agama sebenarnya menyembah “Allah yang satu”. Pengertian ini penting untuk membendung kecenderungan tiap agama untuk mengkalim bahwa “Satu-satunya Allah” yang benar ada dalam agama kami. Perbedaan ajaran dan tata hidup dalam masing-masing agama hendaknya dimengerti sebagai keterbatasan manusia untuk mengenal Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang secara persis mengetahui bagaimana Tuhan sebenar-benarnya dan bagaimana tata hidup manusia yang paling berkenan di hadapan Tuhan. Agama-agama samawi seharusnya bekerja sama untuk memancarkan kebaikan dan kehendak Tuhan demi mengangkat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, agama yang justru mengajarkan untuk memusnahkan manusia lain demi kemuliaan Allah yang lebih besar, adalah agama yang patut kita waspadai bersama.

Daftar Pustaka

Fadl, Khaled Abou El. Cita dan Fakta Toleransi Islam. Bandung: Arasy Mizan, 2003.
Jamil, M. Mukhsin. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Manji, Irshad. Beriman Tanta Rasa Takut. Jakarta: Nun Publisher, 2008.

Friday, November 19, 2010

Keadilan dan Kedamaian Pain di mata Para Filsuf Modern

PENGANTAR

Latar belakang

Dalam tiga-empat tahun belakangan ini ada beberapa fenomena menarik yang dapat diamati ketika berjalan-jalan ke sebuah toko buku umum, mis: Gramedia, Gunung Agung, dsb. Pertama, jika mau mengamati secara teliti, kita akan menjumpai bahwa jumlah rak buku-buku bertema kekeristenan semakin hari semakin berkurang dan sebaliknya rak yang men-display buku-buku komik bertambah demikian banyak. Kedua, dulu komik selalu ditaruh bersama dengan buku-buku anak-anak yang lain dan diberi kategori “child book”, tetapi sekarang di beberapa toko buku komik dipisahkan dari buku-buku anak yang lain dan diberi kategori baru “komik”. Fenomena kecil ini mau menunjukkan adanya perkembangan minat pembaca komik. Sekarang, komik tidak hanya menyasar pembaca segmen anak-anak saja, tetapi bahkan untuk pembaca di semua segmen usia. Fenomena ini akan diperkuat jika kita melihat media informasi yang banyak beredar. Jawa Post, sebagai contoh koran populer, pada hari-hari tertentu ikut menambah rubrik Anime dan Manga bagi para pembacanya. Di internet, ada jutaan situs yang dibuat untuk para penggemar komik dan hit rate situs-situs ini cukup tinggi bahkan bila dibandingkan dengan situs-situs pendidikan.

Karya tulis ini muncul dari keinginan penulis untuk memaparkan pergeseran isi yang terjadi dalam komik. Komik bukan lagi hanya berisi fantasi atau imajinasi yang muluk-muluk/fiktif, tetapi berisi juga soal kehidupan, misalnya: pertemanan, harapan, dan bahkan soal kebenaran dan keadilan. Komik dapat menjadi sarana komunikasi ideologi pengarangnya. Akan muncul bahaya besar jika hal ini tidak disadari. Komik yang sedang mem-booming ini dibaca oleh jutaan orang di segala umur dan di seluruh dunia. Padahalnya, buku-buku yang dibaca oleh seseorang dapat secara konkret mempengaruhi cara pikir dan bertindak seseorang. Komik yang terjual berjuta-juta eksemplar di seluruh dunia ini pasti mempengaruhi jutaan pembaca pula.

Untuk tujuan itu, dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk mengeksplorasi dan mensistematisasi kajian-kajian filosofis dalam komik naruto. Mengapa penulis memilih Naruto? Dalam situs-situs penyedia komik online, komik Naruto selalu berada dalam peringkat tiga besar tertinggi untuk kategori komik yang diminati.

Sistematika penulisan

Meniru metodologi eksegese kitab suci, pertama-tama penulis ingin mengajak pembaca untuk “mencicipi” komik. Masalah yang timbul adalah bahwa tulisan ini harus ilmiah, karena dikerjakan sebagai pengganti Ujian Tengah Semester Mata kuliah Filsafat Modern. Untuk itu, penulis berusaha sebisa mungkin mentransfer komik menjadi sebuah tulisan yang sistematis. Tidak dapat ditolak bahwa usaha ini sedikit banyak mengurangi sentuhan khas komik. Setelah itu penulis baru mengkonfrontasikan pemikiran filosofis dalam komik dengan pemikiran para filsuf modern. Adapun filsuf modern yang digunakan penulis untuk menganalisis terbatas pada pemikiran Thomas Hobbes, John Locke dan Jean-Jacques Rousseau. Penulis memilih ketiga filsuf ini karena memiliki pemikiran tentang state of nature, negara dan masyarakat yang berbeda-beda.

KISAH PAIN DALAM KOMIK NARUTO

Latar belakang cerita ini adalah suatu negara ninja yang bernama Konoha. Suatu hari, Negara Konoha yang makmur, aman dan tenteram disusupi oleh seorang ninja berkekuatan besar bernama Pain. Pain sendiri berasal dari Negara Amegakure, sebuah negara ninja miskin yang berbatasan dengan Konoha. Kedatangan Pain ke Konoha rupanya mempunyai tujuan untuk membalas dendam kepada Konoha. Untuk itu, dia menggunakan kekuatannya yang luar biasa untuk mengobrak-abrik Konoha. Dengan tindakannya itu, Pain telah membunuh banyak sekali penduduk Konoha.

Naruto, yang baru kembali dari masa latihannya, segera bertarung dengan Pain untuk membela negaranya. Dalam pertarungan itulah dialog ini muncul dari kedua tokoh utama:

Pain : … Tujuanku ialah membawa kedamaian lewat keadilan…

Naruto : (sambil berteriak)… JANGAN BERCANDA! Kedamaian? Keadilan? Guruku… teman-temanku… negaraku… KAU YANG SUDAH MENGHANCURKAN SEMUANYA, JANGAN SESUMBAR DENGAN OMONG KOSONG KONYOL BEGITU!!!

Pain : (memandang dengan mata menantang pada naruto) Lalu, apa yang akan kau lakukan?

Naruto : (sambil berteriak)… AKU AKAN MENGALAHKANMU DEMI MEMBAWA KEADILAN DALAM DUNIA NINJA!!!”

Pain : (menghembuskan napas dalam-dalam…dan mencibir) “Hm… Luar biasa! Jadi inilah keadilan. Lalu bagimana dengan desa, guru dan teman-temanku? Mereka juga telah dihancurkan oleh negara Konoha. Apakah kau pikir hanya ninja konoha saja yang berhak berkata tentang keadilan dan kebenaran?”

Naruto : (bertanya-tanya)… Apa maksudmu?

Pain : Negara Konoha sudah terlalu besar. Dari situlah konoha mulai berperang demi mendapatkan keuntungan dan melindungi kepentingan negara. Kalau tidak, rakyatnya akan kelaparan… Tetapi, yang tidak disadari adalah bahwa negara kecil, seperti negarakulah, yang selalu menjadi medan peperangan. Justru negara kecil seperti negaraku inilah yang mengalami dampak paling merugikan dari peperangan negara-negara besar di sekitar kami. Setelah perang berakhir negara besar kembali stabil, namun dengan meninggalkan luka yang dalam pada negara kami. Kami juga menginginkan hal yang sama. Kami juga menginginkan kedamaian.

Naruto : (berpikir dalam)….

Pain : (melihat pada Naruto yang terpaku terdiam)… Kau dan Aku berbeda. Kita berdua sama-sama bekerja demi keadilan kita masing-masing. Konsep keadilan yang kuhadapkan pada Konoha…. sama dengan yang ingin kauhadapkan padaku. Penderitaan karena kehilangan apa yang berharga itu sama bagi semua orang. Kita sama-sama merasakan penderitaan. Kau mengejar keadilanmu….dan aku mengejar keadilanku. Kita seperti orang pada umumnya yang sama-sama digerakkan oleh keinginan untuk balas dendam atas nama keadilan. Tetapi, jika balas dendam disebut sebagai keadilan, maka keadilan yang demikian hanya akan menghasilkan balas dendam-balas dendam yang lain…. Lalu akhirnya menjadi rantai kebencian (chain of hatred) yang tak terputuskan. Dengan mengalami berbagai kejadian, mengenang masa lalu, dan memprediksi masa depan… Hanya ada satu hal yang pasti dalam sejarah… Bahwa manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah saling memahami.

Naruto : (dengan mata yang sedih)…

Pain : Satu-satunya hal yang dapat memutuskan rantai kebencian tersebut adalah membuat dunia merasakan penderitaan yang sesungguhnya. Aku akan membuat senjata hebat yang mampu menghancurkan sebuah negara besar dalam sekejab. Lantas, aku akan membagikan senjata tersebut kepada negara-negara yang sedang berseteru. Karena mempunyai kekuatan dan kekuatiran yang sama, negara-negara itu pasti akan menghentikan peperangannya. Rasa takut akan penderitaan itu akan menghentikan peperangan dan menstabilkan dunia menuju kedamaian. Rasa takut itu akan mampu melahirkan pengendalian diri. Ketika semua negara sudah bisa mengendalikan dirinya, kedamaian yang singkat akan terwujud... Walaupun singkat, kedamaian yang tercipta di tengah arus kebencian tanpa akhir akan membahagiakan semua orang... Manusia itu bodoh. Kalau tidak berbuat sejauh itu, kedamaian tidak akan tercipta. Penderitaan harus diajarkan demi perkembangan dunia….


KEADILAN DAN KEDAMAIAN MENURUT PAIN

Dalam bagian ini penulis berusaha untuk mensistematisasi pemikiran Pain dengan bahasa penulis sendiri. Sebagian besar pemikiran Pain penulis ambil dari kisah Pain dalam komik Naruto bab 436, tetapi ada beberapa detail kecil lain yang penulis ambil dari bab yang lain.

State of nature menurut Pain

Pain berangkat dari pandangan state of nature-nya bahwa manusia adalah makhluk yang bodoh dan tidak akan pernah saling memahami. Karena keadaannya yang demikian manusia selalu egois dan lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya meluas dan bersatu menjadi kebutuhan Negara. Negara, yang terdiri dari individu-individu, juga berjuang demi terciptanya masyarakat ideal (semacam bonum commune atau societas perfecta) bagi dirinya sendiri. Dalam kenyataannya, bonum commune itu bisa berwujud kemakmuran, stabilitas ekonomi, stabilitas keamanan, pembangunan nasional, perkembangan teknologi, dan kesejahteraan umum. Terpenuhinya kebutuhan diri dan terwujudnya bonum commune itulah yang dinamakan Kedamaian.

Problem Kedamaian menurut Pain

Terwujudnya kedamaian yang seperti ini menjadi masalah ketika bangsa yang satu harus berhadapan dengan bangsa yang lain dan individu yang satu harus berhadapan dengan individu yang lain ketika sama-sama memperjuangkan kedamaian. Problem ini terjadi karena kedamaian sungguh-sungguh baru bisa terwujud melalui terpenuhinya kebutuhan diri dan terwujudnya bonum commune. Terpenuhinya kebutuhan hidup satu individu berarti hilangnya satu kesempatan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi individu yang lain. Kedamaian satu individu menimbulkan penderitaan bagi individu yang lain. Sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup yang terbatas menjadikan individu-individu harus berlomba-lomba untuk sesegera mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karena menjadi arus dan kecenderungan bersama, perlombaan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini mendapatkan legalisasinya. Sayangnya, usaha untuk memenangkan perlombaan ini menjadi tak terkendali. Banyak individu dan negara ingin ambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan berperang dan menaklukkan negara yang lain. Dari peperangan ini muncul pembedaan negara besar dan kecil. Negara-negara besar adalah negara-negara yang kerapkali memenangkan peperangan dan dengan demikian menguasai semakin banyak sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Sebaliknya, negara-negara kecil adalah negara yang kerapkali kalah dalam peperangan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya dirampas oleh negara-negara besar.

Membawa Kedamaian lewat Keadilan

Dari alur pemikiran di atas, pantaslah jika pada suatu waktu timbul perlawanan dari negara-negara kecil yang tidak mau terus menerus berada di bawah negara-negara besar. Desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mendorong negara-negara kecil berani untuk melawan negara-negara besar. Salah satu cara perlawanan yang bisa dilakukan adalah dengan menghancurkan negara-negara besar dan ganti merampas sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Apakah tindakan negara kecil ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang mengacaukan perdamaian? Jika yang dimaksud adalah kedamaian negara besar, maka jawabannya adalah “Ya”. Tindakan negara-negara kecil ini mau tidak mau akan melukai stabilitas bonum commune negara besar tersebut. Tindakan negara kecil ini sungguh melukai kedamaian negara besar. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata negara-negara kecil tersebut, tindakan ini merupakan perjuangan untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan mereka yang sebelumnya telah terampas oleh negara-negara besar.

Konsekuensi Logis dari Pemikiran Pain (hasil pikiran penulis lebih lanjut)

Lantas, apakah masih ada lakon yang dapat disebut sebagai lakon protagonis (tokoh baik) dan lakon antagonis (tokoh jahat)? Tampaknya, pelabelan seorang lakon sebagai lakon protagonis atau antagonis menjadi begitu relatif dan naif. Sebagian besar sinetron, film, cerita, dan pertunjukkan-pertunjukkan menampilkan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Kerapkali dalam cerita itu Sang Penegak Kebaikan berjuang untuk menumpas Kejahatan. Berhenti pada kata “menumpas”, kita lalu dapat bertanya, “Apa bedanya antara tokoh baik dan tokoh jahat jika kedua-duanya sama-sama melakukan kegiatan ‘menumpas’?” Lakon protagonis biasanya menegakkan keadilan dan perdamaian dengan menggulingkan dan bahkan membunuh habis rezim/tokoh antagonis yang menindas kaum lemah. Anehnya, kematian dan pembunuhan tokoh antagonis tidak pernah dihubung-hubungkan dengan dosa/kejahatan, tetapi justru sebagai momentum tumbuh dan tegaknya keadilan dan kedamaian. Bagaimana mungkin kedamaian dapat diidentikkan dengan kematian seorang manusia/ kekalahan satu pihak? Namun, selama ini kita juga termasuk dalam golongan orang-orang yang bersorak gembira ketika Batman, Superman, dan superhero lainnya berhasil menumpas “tokoh jahat” di akhir cerita.

Kedamaian sejati yang singkat

Kedamaian dan kesengsaraan bagai dua sisi pada sekeping mata uang. Kedamaian satu pihak senantiasa terwujud dengan membawa kesengsaraan bagi pihak yang lain. Oleh karena itu, banyak negara kecil digerakkan untuk melawan pihak yang mengalami damai (negara besar) dengan mengatasnamakan keadilan. Keadilan bagi negara kecil adalah balas dendam karena kedamaian negara besar senantiasa didirikan di atas penderitaan mereka. Tetapi, jika balas dendam disebut sebagai keadilan, maka keadilan yang demikian hanya akan menghasilkan balas dendam-balas dendam yang lain. Lalu, pada akhirnya menjadi rantai kebencian (chain of hatred) yang tak terputuskan karena negara besar juga pasti akan ganti membalas tindakan negara kecil yang menciderai kedamaiannya. Menurut Pain, satu-satunya hal yang dapat memutuskan rantai kebencian tersebut adalah membuat dunia merasakan penderitaan yang sesungguhnya. Dengan membuat senjata penghancur dan membagi-bagikannya pada negara yang sedang berseteru Pain ingin menghancurkan kategori negara besar dan negara kecil. Karena mempunyai kekuatan dan kekuatiran yang sama, negara-negara itu pasti akan menghentikan peperangannya. Rasa takut akan penderitaan itu akan menghentikan peperangan dan menstabilkan dunia menuju kedamaian. Rasa takut itu akan mampu melahirkan pengendalian diri. Ketika semua negara sudah bisa mengendalikan dirinya, kedamaian yang singkat akan terwujud. Walaupun singkat, kedamaian yang tercipta di tengah arus kebencian tanpa akhir akan membahagiakan semua orang.

KEADILAN DAN KEDAMAIAN PAIN DI MATA PARA FILSUF MODERN

Konfrontasi Pemikiran Pain dan Para Filsuf Modern

Mengikuti konsep Keadilan dan Kedamaian menurut Pain di atas, pertama-tama dapat disimpulkan bahwa Pain memiliki state of nature yang hampir mirip dengan Hobbes. Hobbes juga setuju bila dikatakan bahwa penentu perilaku manusia adalah kebutuhannya untuk mempertahankan diri. Manusia bergerak dan beraktivitas karena didorong oleh kebutuhannya untuk mempertahankan diri (natural necessity of Self-preservation) dan menghindari kematian akibat dari tidak dipenuhinya kebutuhan hidup. Oleh karena itu, manusia pada dasarnya mau mengusai yang lain untuk memperebutkan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Mau tidak mau manusia satu berperang dengan manusia yang lain karena siapa yang menang itulah yang akan hidup. Dalam perang itu, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). State of nature yang demikian sungguh bertolak belakang dengan state of nature Locke dan Rousseau yang secara umum mau mengatakan bahwa manusia pada dasarnya itu baik. Namun, Locke juga melihat fenomena yang sama pada perkembangan masyarakat yang selanjutnya dalam pemikirannya tentang state of war. Dalam state of war-nya Locke juga melihat bahwa manusia mulai bersikap serakah dan hendak menimbun uang yang dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Demi mempertahankan dan mengakumulasikan harta miliknya, manusia yang satu berhadapan dengan yang lain dengan sikap penuh curiga, iri, saling bersaing dan bermusuhan. Dalam pemikirannya tentang Commonwealth, Locke juga menjelaskan mengapa individu-individu yang saling bersaing tadi akhirnya mau bersatu dalam satu negara. Hanya demi tujuan agar hak atas harta pribadinya terjamin dan semakin mudah memenuhi kebutuhan hiduplah individu mau meninggalkan kebebasan mereka dan bersatu membentuk negara. Karena negara dibentuk atas motivasi yang demikian dari tiap anggotanya, maka mau tidak mau negara pun berjuang agar masing-masing individu tercukupi kebutuhannya, sehingga tetap patuh pada pemerintah negara tersebut. Semakin banyak rakyat yang harus dipenuhi kebutuhannya, maka semakin banyak pula usaha yang harus dilakukan oleh negara. Rousseau menambahkan bahwa rakyat mau mengesampingkan kehendak individunya demi kehendak umum (volunté generalé) karena tahu bahwa kehendak umum yang diusahakan oleh negara juga membawa kebaikan bagi mereka. Dengan jalan pikir seperti ini, anggapan bahwa ajaran Rousseau mendukung asas totalitarianisme dapat ditolak. Individu tidak akan menyerah begitu saja kepada kehendak umum jika kehendak/kepentingannya tidak terakomodasi. Baik Hobbes, Locke, maupun Rousseau setuju dengan Pain bahwa negara mencapai tujuannya ketika berhasil mewujudkan suatu bonum commune dan dengan demikian berhasil memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.

Namun, pemikiran Pain tentang Problem Kedamaian menjadi kritik bagi persetujuan ketiga filsuf di atas tentang terwujudnya bonum commune sebagai perwujudan kedamaian di sebuah negara. Jika berpikir hanya untuk satu negara tampaknya pandangan Rousseau tentang kehendak umum mungkin terjadi. Akan tetapi, bagaimana jika teori ini hendak diterapkan dalam multi negara? Kehendak siapa yang harus menjadi kehendak umum? Kehendak negara manakah yang bisa menjadi kehendak umum? Mungkinkah ada suatu Kehendak universal? Pada tataran konsep hal ini dimungkinkan. Namun, selama di dunia nyata ini masih ada kesenjangan alamiah, sosial dan budaya tampaknya adanya kehendak universal yang dapat menyatukan kehendak tiap negara hanya utopis belaka.

Senada dengan state of nature-nya, solusi pemecahan Pain yang mengedepankan rasa takut sebagai unsur terpenting dalam pengendalian diri juga mirip dengan strategi rule by fear Hobbes yang merupakan konsekuensi dari absolutisme kekuasaan Sang Monster Leviathan (Negara). Hobbes menggagas konsep Leviathan untuk menghentikan kecenderungan manusia untuk perang semua melawan semua (bellum omnes contra omnia). Karena hanya negaralah yang memonopoli penggunaan kekerasan maka individu dalam negara tersebut dapat dikendalikan dengan mudah dan tidak saling menyerang satu sama lain. Walaupun mirip, sekali lagi konsep Pain memberikan kritik pemikira Hobbes. Bagaimana jika teori Hobbes ini diterapkan dalam multi negara? Bukankah negara yang satu akan mencoba mengembangkan keabsolutan kekuatannya hingga ke negara-negara lain, dan negara yang lain itu akan melawan karena juga ingin mempertahankan keabsolutan dirinya dan sedapat mungkin juga mengembangkan keabsolutan kekuatannya pula. Bukankah hal semacam ini kembali pada kecenderungan bellum omnes contra omnia? Dengan demikian, strategi absolutisme kekuasaan Hobbes tidak lagi mencukupi untuk membendung kecenderungan bellum omnes contra omnia manusia. Konsep absolutisme kekuasaan semacam inilah juga ditolak oleh Locke dan Rousseau. Locke mengkritik konsep absolutisme dengan mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, sedangkan Rousseau justru menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan mengenyahkan semua lembaga penengah (seperti: DPR, MPR, dsb) yang justru akan mengurangi kedaulatan rakyat.

Kritik terhadap Keadilan dan Perdamaian Pain

Karena kemiripannya dengan Hobbes, kritik terhadap filsafat Hobbes juga dapat dikenakan pada filsafat Pain. Ada dua poin besar yang dapat menjadi kritik terhadap konsep keadilan dan kedamaian menurut Pain, yakni: pertama, soal kontradiksi dalam state of nature Pain dan kedua, soal solusi kedamaian sejati yang singkat.

Kritik pertama soal kontradiksi dalam state of nature Pain. Dalam konsep state of nature-nya Pain menilai bahwa manusia adalah makhluk yang bodoh dan tidak akan pernah saling memahami. Kritiknya terletak dalam dua hal. Pertama, Pain mereduksi segala tindakan dan tingkah laku manusia pada (salah) satu dorongan yang dianggapnya terkuat dalam jiwa manusia, yakni dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Reduksi ini tentu saja tidak dapat dibenarkan melihat di dalam realitas banyak individu bekerja keras bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja melainkan juga untuk orang lain, misalnya: banyak orang tua yang rela bekerja keras demi kebutuhan anaknya. Kedua, soal kebodohan manusia dan ketidakmampuannya untuk saling memahami. Pernyataan ini cukup kontradiktif dengan pernyataannya tentang negara. Jika manusia itu bodoh dan tidak akan mampu saling memahami niscahya negara tidak akan terbentuk. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara senantiasa mengandaikan ratio yang cukup serta kesepahaman antar indvidu untuk bersatu dalam sebuah negara. Negara tanpa kesepahaman individu-individu di dalamnya tidak dapat disebut sebagai negara.

Kritik kedua soal solusi kedamaian sejati yang singkat. Pada kenyataannya konsep perdamaian pain juga akan sangat sulit diwujudkan. Setelah senjata pemusnah itu dibagikan, desakan untuk mempertahankan diri, ketakutan, ketegangan, dan kecemasan bahwa dirinya akan dihabisi oleh partner perjanjiannya yang sama-sama mempunyai nafsu serigala seperti dirinya akan membuat tiap negara cepat atau lambat menghabisi negara yang lain dengan asumsi, “Agar negaraku selamat, aku tentu lebih memilih untuk membunuh sainganku ketika lengah.” Pembagian kekuatan hanya akan mempercepat kehancuran semua negara. Bahkan, kedamaian dalam waktu yang singkat tidak akan sempat terwujud dengan strategi ini.

Kesimpulan dan Penutup

Pertama, konsep Keadilan dan Kedamaian tampaknya akan menjadi topik abadi dalam filsafat. Banyak filsuf dari jaman ke jaman berusaha menyusun suatu konsep keadilan dan kedamaian yang rapi dan indah. Namun, kendala utamanya ialah membawa konsep tersebut dalam dunia nyata jauh lebih sulit dari membawa konsep tersebut ke atas kertas. Sikap pesimis yang lahir setelah menyadari hal ini sama dengan kematian perlahan-lahan. Sebaliknya, sikap optimis dan kerja keras untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian, walaupun harus dengan jatuh bangun, menunjukkan keluhuran manusia sebagai makhluk berakal budi yang pembelajar.

Kedua, meremehkan media informasi, seperti komik, secara a priori dapat menjadi bumerang bagi kita sendiri karena komik ternyata dapat digunakan sebagai media promosi ideologi tertentu. Bahkan, komik mampu menghidangkan kajian-kajian filosofis kepada pembaca secara lebih menarik dan halus bila dibandingkan dengan diktat-diktat filsafat. Sebagai calon imam, penulis berpikir bahwa wacana untuk mengkomunikasikan Injil semenarik komik mengkomunikasikan ide Sang Pengarang seharusnya bukan menjadi wacana terus menerus. Ketakutan yang berlebihan akan sarana-sarana modern, seperti: internet, multimedia, dsb hanya akan membuat para petugas pastoral semakin terasing dari dunia. Penggunaan yang ugahari dan bersahaja sangat dibutuhkan demi kemuliaan Tuhan yang semakin besar.

Sumber Buku

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2004.
Kishimoto, Masashi. Naruto, Vol. 41. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 42. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 46. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 47. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kishimoto, Masashi. Naruto, Ch. 436: Peace, (www.onemanga.com, diakses tanggal 30 maret
2010).

Saturday, April 24, 2010

ECCLESIA SEMPER REFORMANDA

(Analisis Film “John of Arc” karya Luc Besson)

Ecclesia est igitur sancta, licet in sinu suo peccatores complectatur (Cathecismus 827).Gereja itu kudus, meskipun di tengah-tengahnya terdapat orang berdosa. Walaupun di dalam Gereja ada wahyu Allah yang tidak dapat salah, harus diakui juga bahwa Gereja sebagai sebuah organisasi/lembaga kerap melakukan kesalahan pada masa yang lampau. Kisah Joan of Arc merupakan contoh dari kesalahan Gereja dimasa yang lampau. Ada beberapa kesalahan Gereja yang coba penulis uraikan dalam tulisan ini.

Pertama, Gereja dan Negara adalah satu. Pada jaman itu sulit untuk membedakan hal-hal mana yang menjadi urusan Gereja dan mana yang menjadi urusan Negara. Keduanya campur aduk. Sebenarnya hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Gereja. Perkembangan Gereja terjamin berkat keikutsertaan dan lindungan hukum negara di dalamnya. Pembiayaan hidup dan karya Gereja pun mendapat jaminan dari Pemerintah setempat. Namun, karena keuntungan-keuntungan inilah Gereja menjadi terikat oleh hal-hal duniawi. Bahkan, musuh negara menjadi musuh Gereja dan musuh Gereja menjadi musuh negara pula. Luc Besson menampilkan hal ini dengan tidak berlebihan. Hal ini paling nampak dalam pengadilan agama yang dialami oleh Joan of Arc. Dalam pengadilan itu Joan dihukum bukan karena kesesatannya. Alasan mendasar penghukuman Joan ialah alasan politik. Raja Inggris saat itu menginginkan agar Joan dibakar hidup-hidup karena telah menyebabkan Inggris kehilangan Orleans. Pengadilan agama saat itu (Inkuisisi) sarat bermuatan kepentingan politik. Untunglah, Ecclesia semper reformanda. Saat ini Gereja sudah menyadari kekeliruannya dan mulai membuat pembatasan yang jelas dan tegas antara urusan Gereja dan Sipil/pemerintahan. Bahkan, Gereja kini melarang para klerusnya untuk terjun dalam politik praktis. Gereja belajar dari pengalamannya sendiri.

Kedua, dari dulu bahkan hingga sekarang Gereja masih saja bersikap dan bersifat patriarkal. Wanita sejak jaman bapa-bapa gereja terkesan kurang dihargai. Bahkan, Origenes pun pernah menyebut wanita sebagai “laki-laki yang tidak sempurna”. Harkat dan martabat seorang wanita ada di bawah laki-laki. Dalam film tampak dengan jelas bagaimana Joan harus menjalani berbagai tes yang menguji kelayakannya sebagai “pembawa pesan dari Tuhan” (termasuk di dalamnya tes keperawanan). Bahkan, pada waktu Joan sudah “lulus tes” para panglima perang Charles VII pun masih enggan untuk menganggapnya sebagai “pembawa restu Raja” dalam peperangan. Namun demikian, Film Joan of Arc bukanlah bertujuan untuk mendukung gerakan Feminisme yang marak belakangan ini karena dari teks pembanding (www. wikipedia.org.id)ditemukan bahwa ia malahan pernah mengusir seorang wanita dari tentara Perancis dan mungkin saja telah memukul seorang pengikut yang keras kepala dengan pedang. Untunglah, Ecclesia semper reformanda. Perlakuan yang kurang pantas ini sedikit demi sedikit sudah disadari oleh Gereja. Jumlah wanita yang semakin besar dan bahkan lebih besar dari jumlah laki-laki mengharuskan Gereja berpikir ulang tentang fungsi dan peran wanita di dalam kehidupan menggereja. Sedikit demi sedikit kini wanita mulai mendapat peran dalam kehidupan menggereja, bahkan yang terjadi justru ekstrim kebalikannya. Kini peran mereka malah mendominasi dalam kehidupan menggereja karena kaum laki-laki justru banyak yang malas dan tidak mau meluangkan waktunya.

Tanggapan atas cara Luc Besson menyampaikan Film Joan of Arc

Menurut penulis, tampaknya Luc Besson menggambarkan saat seseorang menerima wahyu (vision) sebagai saat yang luar biasa. Banyak cahaya surga dan fenomena aneh lainnya. Padahal, jika kita melihat pengalaman hidup St. Theresia dari kanak-kanak Yesus, pewahyuan dapat hadir dalam kegiatan sehari-hari yang biasa. Selain itu, Luc Besson menggambarkan proses inkuisisi yang terjadi saat itu dengan tidak berlebihan. Memang saat itu urusan Gereja masih tercampur aduk dengan urusan pemerintahan sehingga unsur politis pun masuk dalam pengadilan agama. Pada akhir filmya, Luc Besson belum terlalu menunjukkan kekudusan Joan of Arc sehingga Gereja menggelarinya sebagai santa. Film Luc Besson berhenti pada kesalahan Joan of Arc saja.

Relevansi dengan kehidupan keagamaan di Indonesia

Saat ini dapat kita amati di sekeliling kita, banyak sekali orang yang menggunakan atribut-atribut agama mayoritas di muka umum. Bahkan, dari makanan sampai obat-obatan pun orang harus selalu memastikan ada tidaknya tulisan Halal yang dikeluarkan oleh MUI. Pada ranah politik kita juga menyaksikan menguatnya kekuatan politik keagamaan yang ditandai dengan tampilnya partai-partai yang berbasis agama secara meyakinkan di depan umum. Apakah ini merupakan fenomena kebangkitan kesadaran beragama? Atau hanya usaha suatu agama untuk mencari legitimasi dan kekuatan dalam berbagai sektor kehidupan bernegara? Menurut penulis, proses kedualah yang sedang terjadi. Buktinya, begitu MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk melarangnya, maka kekerasan terhadap komunitas ini terjadi dimana-mana. Apakah hal ini berarti Islam juga ingin membentuk Inkuisisi dan mengulangi kesalahan Gereja pada masa yang lampau? Mengapa kita tidak bisa belajar dari pengalaman orang lain? Apakah kita harus merasakannya sendiri dahulu baru kemudian percaya?

DIES DOMINI - HARI TUHAN

Dies Domini-Tentang Menguduskan Hari Tuhan

Hari Minggu sebagai Hari Tuhan erat kaitannya dengan intipati misteri Kristiani, sebab hari tersebut merupakan hari untuk mengenangkan Kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus yang dirayakan setiap Paskahlah yang melandasi iman Kristiani (1 Kor 15:14). Namun, perayaan mengenangkan kebangkian Kristus itu bukan hanya setahun sekali, melainkan setiap minggu, sebab hari Minggu merupakan Paskah yang terulang setiap mingguan. Pada homili abad ke IV dikatakan bahwa Hari Tuhan (Minggu) merupakan tuan atas hari-hari lain dan bagi mereka yang menerima rahmat iman akan dapat menagkap relevansi hari itu setiap minggu.

Relevansi mendasar Hari Minggu telah diakui selama dua ribu tahun dan ditegaskan ulang dalam Konsili Vatikan II. Paus Paulus VI juga menekankan relevansi itu ketika menyetujui Penanggalan Liturgi Romwi Umum yang baru. Dalam milenium ketiga ini, umat Kristiani diajak untuk merefleksikan kembali , kita diaajak untuk menemukan ulang makna hari Minggu: misteri, perayaan dan relevansinya bagi hidup sehari-hari. Realitas yang terjadi jaman ini adalah hari Minggu dianggap sebagai hari istirahat dari beban pekerjaan selama seminggu. Hari Minggu dipakai sebagai kegiatan weekend dengan rekreasi atau kegiatan refreshing lainnya. Jika hari Minggu dipandang sebatas hari istirahat, maka hari tersebut akan kehilangan maknanya yang mendasar. Perayaan Ekarsiti hanya menjadi sebagian dalam kegiatan akhir pekan. Hal ini membuat umat Kristiani bersedia merayakannya, tapi sebenarnya tidak mampu menjalankannya. Namun kita sebagai murid Kristus diminta untuk menghindari kebingungan antara merayakan Hari Minggu yang seharusnya sungguh merupakan cara menguduskan Hari Tuhan dengan acara akhir pekan sebagai hari rekerasi. Untuk dapat mengambil sikap yang benar dibutuhkan kematangan rohani yang memampukan umat Kristiani “menjadi seperti adanya” sepenuhnya sesuai dengan kurnia iman. Dengan begitu mereka akan diantar pada pengertian yang mendalam tentang Hari Minggu, bahkan dalam situasi sulitpun orag mampu enghayatinya dalam bimbingan Roh Kudus.

Kenyataan sekarang terdapat perbedaan antar Gereja yang terlalu mencolok. Ada Gereja yang bersemangat dalam merayakan Hari Minggu, namun ada pula yang sepi. Untuk itulah perlu digali ulang dasar-dasar ajaran yang mendalam yang melandasi ajaran Gereja ini untuk menguduskan Hari Tuhan. Perayaan Ekaristi hari Minggu dihahayti sebagai beristirahat dalam semangat kegembiraan dan persaudaraan Kristiani. Paus Yohanes Paulus II selalu menyerukan untuk “jangan takut!”. Beliau mengajak kita untuk tidak takut meluangkan waktu kita untuk Kristus agar Ia memancarkan cahayanya dan memberi arah dalam jalan hidup kita. Waktu yang dipersembahkan kepada Kristus bukanlah waktu yang hilang, tetapi justru waktu yang didapat agar hubungan kita semakin akarab dan mendalam dengan Tuhan.

Bab I Hari Tuhan : Merayakan Karya Sang Pencipta

Hari Minggu juga merupakan perayaan Paskah, yaitu hari mengenang kebangkitan Kristus. Paskah itu merupakan tahap penciptaan baru, sebab kehadiran Yesus dalam penciptaan Allah diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Paskah (sengsara, wafat dan bangkit). Kebangkitan Kristus membentuk suatu ciptaan baru yang dibawa kepada pemenuhannya, yaitu ketika Ia kembali dalam kemuliaan-Nya. Untuk mengerti makna sepenuhnya Hari Minggu perlu membaca ulang kisah agung penciptaan dan mendalami pengertian tentang teologi hari Shabbat, yaitu sebagai hari istirahat.

Dalam Kitab Kejadian diceritakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu itu baik adanya. Dalam kosmos (dunia) yang ada itu terdapat kebaikan-kebaikan. Manusia hanya sebagian dari kosmos tersebut, namun ia diciptakan sebagai yang lebih baik dari segala ciptaan. Manusia dicptakan secitra dengan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak hanya menjadi penghuni kosmos, melainkan juga membangunnya. Manusia menjadi rekan kerja Allah dalam memelihara kosmos.

Hari Shabbat diartikan sebagai hari istirahat Sang Pencipta yang menggembirakan. Dalam kisah penciptaan Allah beristirahat pada hari ketujuh. Allah beristirahat bukan berarti Allah tidak aktif. Allah tetap aktif dengan memandang karya ciptaan, terutama manusia sebagai mahkota ciptaan. Tindakan Allah yang memandang tersebut menunjukkan suatu hubungan erat Allah dengan manusia layaknya hubungan suami-isteri. Hubungan itu adalah hubungan yang penuh dengan cinta kasih. Dalam hubungan tersebut tersirat rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Maka dari itu terdapat hubungan yang erat pula antara tat penciptaan dengan penyelamatan.

Allah memberkati hari ketujuh tersebut dan menguduskannya. Hari ketujuh dikuduskan sebagai Hari Tuhan. Perintah menguduskan hari ketujuh ini masuk dalam dekalog/sepuluh perintah, untuk itu wajib untuk dilaksanakan oleh umat beriman. Namun pelaksanaannya tidak boleh hanya sekadar kewajiban, melainkan pengudusan hari ketujuh harus dilihat sebagai bentuk hubungan antara Allah dengan manusia. Hari ketujuh merupakan Hari Tuhan yang merupakan hari istimewa dibanding hari lain. Hari Tuhan ini merupakan hari dimana manusia diberi kesempatan untuk membina hubungan yang istimewa dengan Tuhan. Hari istimewa ini juga dikenang sebagai hari dimana Allah menyelamatkan Israel dari perbudakan Mesir (konsep Paskah Yahudi). Untuk itu hari istimewa ini juga sebagai hari selingan di tengah irama kerja yang menindas. Allah juga ingin menyelamatkan manusia dari penindasan irama kerja. Hal ini menandakan suatu ketergantunga manusia dengan Allah.

Perintah menguduskan hari ketujuh dilaksanakan dengan mengenangnya (bdk. Ul 20:8). Allah menguduskan hari tersebut untuk dikenang oleh umat beriman. Konsep mengenang hari tersebut dengan membawa hari ketujuh sebagai hari istirahat itu sebagai hari untuk beristirahat bersama Allah. Hari tersebut bukan hanya selingan dari irama kerja, melainkan hari mengenangkan mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan oleh Allah. Visi teologis hari Tuhan adalah memadukan penciptaan dan penyelamatan. Bila kenangan itu hidup dalam hati umat beriman, maka ia akan memasuki kedalaman istirahat Allah.
Konsep Sabat yang diwarisi oleh tradisi Yahudi beralih ke hari Minggu oleh karena misteri penyelamatan oleh Kristus. Hari pertama sesudah Sabat (Minggu) ditetapkan sebagai hari raya, sebab hari tersebut adalah hari di mana Tuhan telah bangkit dari antara orang mati. Misteri Paskah yang dirayakan setelah Sabat itu merupakan puncak keselamatan manusia. Hari Sabat telah disempurnakan oleh Kristus yang bangkit menjadi hari Minggu (Dies Domini  Dies Christi).

Bab II Hari Tuhan : Hari Tuhan Yang Bangkit Dan Kurnia Roh Kudus

Perayaan hari Minggu merupakan Paskah mingguan. Ada hubungan yang erat antara Minggu dengan misteri kebangkitan Kristus. Paus Innosensius I pada awal abad V mengatakan, ‘Kita merayakan hari Minggu karena kebangkitan mulia Tuhan kita Yesus Kristus dan demikian kita rayakan tidak hanya pada hari Raya Paskah tetapi juga pada setiap kali mulai minggu’. Santo Agustinus sendiri menyebut hari Minggu sebagai “sakramen Paskah”. Hubungan antara hari Minggu dengan Kebangkitan Tuhan sangat kuat ditekankan. Hari Kebangkitan Tuhal-lah yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari Tuhan. Banyak peristiwa yang terjadi pada hari-hari tersebut, misalnya Yesus menampakkan diri kepada dua murid dari Emaus dan kepada sebelas murid yang berkumpul, seminggu kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada para rasul untuk menyakinkan Thomas, pada hari minggu kedelapan sesuah paskah Yahudi, Yesus mencurahkan Roh Kudus kepada para rasul (Pentakosta), dll.

Irama hidup jemaat perdana menjalankan praktek selalu berkumpul pada hari Minggu, yaitu hari pertama sesudah Sabat, untuk memecah-mecahkan roti. Mereka berkumpul bersama pada hari yang ditetapkan menjelang matahari terbit dan menyanyikan kidung kepada Kristus. Namun pada waktu itu penanggalan umat Kristiani berbeda dengan Romawi atau Yunani, sehingga mereka sulit melaksanakan Hari Tuhan yang tetap dalam setiap minggu. Meskipun begitu kegitan tersebut tetap menjadi irama mingguan dan menjadi norma.

Seiring berjalannya kehidupan jemaat perdana, terdapat pembedaan yang semakin besar antara hari Minggu dengan Sabat. Pada hari Sabat Paulus dan para rasul lainnya tetap ke sinagoga untuk mewarkan Kristus, sebab pada hari itu orang Yahudi berkumpul di situ dan beristirahat menurut hukum yang ditetapkan. Namun lama-kelamaan terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu ada orang yang merayakan Sabat, terutama orang Yahudi yang cenderung mempertahankan hukum lama, tapi ada pula yang merayakan hari Minggu. Dalam sejarahnya gagasan pembedaan antara hari Minggu dengan Sabat Yahudi berkembang semakin kuat dalam Gereja. Ada pula yang berpendapat bahwa dua hari tersebut sebagai “dua hari bersaudara”.

Pembandingan antara Hari Minggu dengan Sabat Yahudi mendorong munculnya pengertian-pengertian teologis yang menarik. Secara khusus muncul hubungan yang unik antara Kebangkitan dengan penciptaan. Gagasan Kristiani dengan mengaitkan kebangkitan dengan penciptaan menghasilkan pengertian tentang kebangkitan sebagai awal penciptaan baru. Hari Minggu adalah Paskah mingguan untuk mengenang kebangkitan Tuhan merupakan hari pertama yang adalah hari awal penciptaan. Dengan demikian hari Minggu mengungguli semua hari lain. Dalam liturgi kita sangat jelas ditekankan tentang keistimewaan hari Minggu, terutama dalam dimensi baptisan. Sangat disarankan adanya perayaan baptisan pada hari Minggu, termasuk Sabtu Paskah. Selain itu juga sangat baik untuk mengenang peristiwa bapisan dengan adanya upacara penintensi dan perecikan air suci.

Dengan melihat sejarah hubungan hari Minggu denga Sabat, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah hari Minggu itu sebagai hari pertama atau kedelapan, sebab posisi hari Sabat sebagai hari ketujuh? Hari Minggu bukan hanya hari pertama tapi juga hari kedelapan, maksudnya dalah bahwa hari Minggu secara transenden merupakan awal dan akhir. Pengertian ini membawa kita pada pengertian hidup tanpa akhir (selalu berputar) atau abadi. Hari Minggu merupakan lambang keabadian. Dengan merayakan Hari Minggu umat Kristiani diantar kepada tujuan hidup kekal.

Hari Minggu juga disebut sebagai hari Kristus Sang Terang. Kristus sebagai terang menjadi pusat perayaan hari Minggu. Konsep tetang Kristus Sang Terang ini dalam sejarahnya diambil dari tradisi Romawi. Pada jaman itu banyak orang yang menyembah kepada Dewa Matahari, sebab matahari memberi penghidupan. Gereja lalu mengadopsi konsep tersebut dan menjadikan Kristus sebagai Sang Terang Dunia. Hari Minggu selalu diterangi dan disinari oleh kejayaan Kristus yang bangkit.

Selain hari Minggu dianggap sebagai hari cahaya (terang), dapat juga disebut sebagai hari “api” yang mengacu kepada Roh Kudus. Paskah merayakan Tuhan yang bangkit dan Tuhan yang bangkit tersebut menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Roh Kudus ini merupakan suatu anugerah yang agung. Selain itu, pada hari Pentakosta Allah juga menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan juga menjadi sarana bagi Allah untuk menghembuskan Roh Kudus-Nya kepada kita.

Dengan melihat berbagai dimensi yang begitu mengistimewakan hari Minggu, maka hari Minggu juga dapat disebut sebagai hari iman. Diceritakan bahwa Yesus menampakkan diri kepada para rasul, terutama Thomas pada hari Minggu dan seketika itu juga Thomas percaya dan imannya diteguhkan. Dalam perayaan hari Minggu kita juga diajak untuk memperbaharui iman dan kepercayaan kita dengan mendoakan syahadat. Dari situ kita juga diajak untuk memperbaharui janji baptis kita. Kita juga diajak untuk mendengar Sabda dan menyambut Tubuh Kristus dengan penuh iman. Kita memandang Yesus yang bangkit sambil berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku” .

Dalam milenium ketiga ini, kita memasuki masa yang sulit. Dalam perkembangan jaman, hari Minggu seolah-olah kehilangan makna yang sesungguhnya bagi umat Kristiani. Banyak kegiatan yang harus menyita hari Minggu, misl rekreasi, pekerjaan-pekerjaan, dll. Untuk itu jati diri hari Minggu perlu dilindungi dan terutama perlu dihayati dalm segala kedalamannya. Hari Minggu tetap menjadi unsur yang sungguh diperlukan bagi jati diri Kristiani kita.

Bab III Hari Gereja Ekaristi : Jantung Hari Minggu

Hari Minggu merupakan hari di mana umat Kristiani berkumpul seperti yang telah dilakukan oleh para Rasul. Saat dimana orang berkumpul itulah saat dimana Tuhan yang bangkit hadir di dalamnya. Tuhan telah memberikan janji-Nya untuk menyertai manusia sampai akhir jaman (bdk Mat 28:20), maka dari itu Ia akan selalu menyertai umat-Nya dengan selalu hadir ketika umat-Nya berkumpul.

Jemaat yang berkumpul tersebut merayakan ekaristi. Ekaristi yang dirayakan pada hari Minggu ini tidak hanya sebagai ciri khas Gereja, melainkan sebagai sumber hidup Gereja. Ekaristi menjadi “jantung hidup Gereja”. Namun perlu diketahui bahwa perayaan ekaristi hari Minggu tidak berbeda dengan hari lain, sebab pada hakekatnya ekaristi tersebut adalah penampakan Gereja yang bersatu untuk berdoa bersama. Yang membedakan adalah perayaan ekaristi hari Minggu dibuat lebih meriah dan umat Kristiani diwajibkan untuk menghadirinya, sebab hari tersebut merupakan hari di mana Kristus mengalahkan maut dan membagikan hidup-Nya kepada kita. Dalam perayaan ekaristi hari Minggu kita diajak untuk membuka diri bagi persekutuan dengan Gereja semesta seraya memohon agar Bapa mengenang Gereja di seluruh dunia dan menjadikannya semakin berkembang dalam kesatuan seluruh umat beriman dengan Paus dan dengan para gembala Gereja.

Hari Minggu sebagai hari Tuhan juga disebut sebagai hari Gereja, sebab pada hari tersebut umat beriman diajak untuk berkumpul dalam persekutuan dalam Kristus. Perayaan Ekaristi menjadi titik vital untuk membentuk jemaat, sebab banyak umat berkumpul. Jemaat hari Minggu merupakan tempat kesatuan yang teristimewa sebab itulah pentas bagi perayaan “sacramentum unitatis” yang menandai secara mendalam Gereja sebagai umat yang dihimpun oleh dan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Untuk itu maka pada hari Minggu, jemaat diwajibkan untuk berkumpul di Gereja paroki untuk merayakan ekaristi bersama-sama.
Gereja yang hadir di dunia ini menempuh perjalanan yang panjang menuju suatu jaman baru. Inilah visi eskatologis Gereja. Perayaan hari Minggu membantu jemaat menjadi peziarah dalam perjalanan tersebut. Gereja juga diumpamakan sebagai mempelai wanita yang selalu rindu bersatu dengan mempelainya, yakni Kristus sendiri. Hal ini akan terwujud pada akhir jaman kelak. Hari Minggu juga disebut sebagai hari harapan. Harapan Kristiani adalah ikut serta dalam perjamuan Tuhan dalam pesta jaman terakhir, yaitu dalam pernikahan Anak Domba. Dalam perayaan hari Minggu kita diajak untuk mengenangkan kebangkita Kristus dengan juga memiliki harapan penuh kegembiraan akan kedatangan penyelamat, yakni Kristus.

Dalam perayaan Ekaristi kita diberi dua santapan, yakni santapan sabda dan santapan Tubuh Kristus. Santapan sabda diberikan begitu melimpah dengan harapan kita dapat memlihara sabda itu dalam hati kita dan kita menjadi lapar untuk mendengar sabda itu dalam bimbingan Roh Kudus. Ada dua aspek dalam tahap penerimaan sabda, yakni menerima sabda dalam perayaan dan pendalaman pribadi. Sabda yang diberikan dalam perayaan terhitung minimn sehingga diperlukan pendalaman pribadi. Pendalaman pribadi itu lebih pada refleksi membawa sabda itu dalam kehidupan sehari-hari. Allah telah menyampaikan sabda-Nya dan sekarang Ia menunggu jawaban dari kita.

Santapan sabda itu menghantar kita kepada santapan Roti Ekaristi dan menyiapkan jemaat untuk mengenangkan banyak aspek dalam Ekaristi hari Minggu dengan merayakannya secara meriah. Perayaan ekaristi sungguh menghadirkan korban salib, di mana Kristus mau mengorbankan diri-Nya wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kristuslah yang dikorbankan dalam misa yang hadir dalam rupa roti dan anggur yang dicurahi Roh Kudus. Kita juga diajak untuk mengorbankan segala hidup, pujian, duka, derita, doa dan karya kita untuk dipersembahkan dan disatukan dalam korban Kristus.

Ciri kejemaatan ekaristi tampak secara khas bila dipandang sebagai perjamuan Paskah, tempat Kristus sendiri sebagai santapan. Umat berkumpul dan bersekutu untuk merayakan perjamuan Paskah. Persekutuan itu adalah persekutuan dengan Kristus sebagai kurban dan santapannya. Persekutuan dengan Kristus juga dapat nampak dalam persekutuan dengan menjalin persaudaraan. Ketika berkumpul merayakan perjamuan itu, kita diajak untuk juga menjalin persaudaraan dengan jemaat yang lain. Hubungan yang dijalin adalah hubungan cinta kasih.

Setelah kita menerima Tubuh Kristus, kita diajak untuk siap melaksanakan tugas yang sudah menunggu kita. Perayaan Ekaristi tidak hanya berhenti pada pintu Gereja, melainkan harus ada kelanjutannya dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat perdana sudah memberi contoh. Setelah mereka menerima santapan Tubuh Kristus, mereka mulai bekerja menyiarkan Injil. Kita pun juga diajak untuk bekerja setelah menerima santapan itu. Tuga]s kita adalah membawa komitmen untuk menjadikan seluruh hidup sebagai suatu pemberian (anugerah) dan berbagi kegembiraan kita menjumpai Tuhan kepada saudara-saudari di sekitar kita.

Ekaristi merupakan jantung dari hari Minggu, oleh sebab itu sejak abad-abad pertama para Gembala Gereja tidak berhenti mengingatkan umat beriman akan perlunya ikut serta dalam perayaan tersebut. Ada banyak cerita yang mengharukan pada jaman itu dan setelahnya dalam mempertahankan identitas hari Minggu, terlebih kisah kemartiran. Mereka rela mati demi bida merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Pada jaman sekarang Gereja tetap mempertahankan kewajiban itu dan memasukkannya dalam Kitab Hukum Kanonik, “Pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya lainnya yang diwajibkan, umat beriman diwajibkan menghadiri misa”. Dalam menjamin hal ini, uskup diberi tanggung jawab penuh pada pelaksanaan hukum ini dengan dibantu para imam. Sehingga muncullah beberapa kebijakan mengenai hal ini, misalnya imam boleh merayakan lebih dari satu kali Misa hari Minggu, diadakan perayaan pada sore atau petang.

Melihat begitu istimewanya perayaan hari Minggu, maka sangat perlu perayaan tersebut disiapkan dengan usaha yang keras, berdasarkan pengalaman pastoral dan adat setempat dengan memperhatikan norma liturgi. Untuk itulah maka Gereja memberi pehatian pada lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat, sebab bernyanyi sebagai suatu cara yang tepat untuk mengungkapkan kegembiraan hati. Nyanyian dapat memberi corak kemeriahan perayaan itu dan dapat memantapkan citarasa keimanan.

Perayaan Ekaristi tersebut haruslah melibatkan semua umat yang hadir. Memang benar bahwa imamlah yang mengadakan korban Ekaristi dan mempersembahkan kepada Allah dalam nama seluruh umat. Namun kita juga harus ingat bahwa kita telah menerima imamt umum yang kita terima ketika dibaptis dan imamat umum inilah yang memampukan kita untuk ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Sambil mempersembahkan korban dan menerima Komuni Kudus, kita umat diajak untuk ikut serta dalam liturgi seraya mendapat terang dan kekuatan dari situ.

Kewajiban menguduskan hari Minggu tidak hanya dibatasi dengan merayakan Ekaristi. Hari Tuhan dapat dihayati dengan baik jika ditandai sejak awal hingga akhir dengan kenangan penuh syukur dan aktif akan karya penyelamatan Allah. Hal ini membuat umat Kristiani membentuk saat-saat lain hari itu di luar konteks liturgi, misalnya dalam hidup keluarga, hubungan-hubungan sosial, saat-saat rekreasi, sehingga kegembiraan akan Tuhan yang bangkit juga dirasakan dalam kejadian-kejadian biasa. Ada banyak bentuk kegiatan untuk mengisi hari Minggu, misalnya dengan berdoa bersama dalam keluarga, pengajaran katekese atau juga dengan ziarah ke tempat suci.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada masalah paroki-paroki yang tidak memiliki imam yang cukup untuk melayani jemaat, sehingga tidak dapat mengorbankan Ekaristi bagi seluruh umat setiap minggu. Dalam keadaan ini Gereja tetap menganjurkan jemaat hari Minggu untuk berkumpul untuk merayakan ibadat sabda tanpa imam sesuai aturan yang berlaku. Meskipun begitu titik fokus tetap pada Korban Misa, sebab dengan cara tersebutlah Paskah Tuhan hadir dengan diketuai imam sebagai “in persona Christi”. Untuk itu tetap diperlukan usaha untuk menghadirkan imam untuk mengorbankan ekaristi meski dalam jangka waktu yang berkala.

Akhirnya bagi orang yang cacat, sakit atau dengan alasan serius lainnya tidak dapat ikut serta dalam perayaan Hari Minggu, dapat menyatukan diri dengan perayaan Misa hari Minggu dari jauh. Media yang dapat dipakai adalah radio atau televisi yang menyiarkan perayaan Misa hari Minggu tersebut. Syukur bila ada pelayan jemaat yang mengatar komuni bagi si sakit. Namun sangat jelas bahwa corak tayangan ini tidak sendirinya memenuhi kewajiban hari Minggu yang mengayartkan adanya pastisipasi jemaat yang sedang berhimpun.


Bab IV Hari Manusia: Hari Minggu: Hari Kegembiraan, Istirahat dan Solidaritas

Umat Kristiani merayakan hari mingguan Tuhan yang bangkit terutama sebagai hari kegembiraan. Hari Minggu sebagai gema mingguan perjumpaan pertama dengan Tuhan yang bangkit selalu ditandai dengan kegembiraan. Oleh karena itu, bila ingin menemukan ulang makna hari Minggu yang sepenuhnya, kita harus hidup iman, yaitu kegembiraan Kristiani. Kegembiraan Kristiani harus menandai seluruh hidup. Hari Minggu dilihat sebagai hari kegembiraan yang istimewa, hari itu merupakan hari yang cocok untuk belajar bagaimana bergembira dan menemukan ulang sifat sejati dan akar-akar mendalam kegembiraan itu. Kegembiraan jangan disalahartikan dengan perasaan puas dan kenikmatan yang dangkal, sebab kegembiraan itu jauh lebih bertahan dan memberi penghiburan. Paus Paulus VI menulis tentang kegembiraan Kristiani sebagai berikut, “ Pada hakekatnya kegembiraan Kristiani adalah saling berbagi dalam kegembiraan yang tidak terduga, sekaligus ilahi dan insani, yang terdapat dalam hati Kristus yang dimuliakan”. Oleh karena pentingnya makna kegembiraan ini, maka para imam didesak untuk menekankan keperluan bagi mereka yang dibaptis untuk merayakan Ekaristi hari Minggu dalam kegembiraan.

Aspek hari Minggu Kristiani itu menampakkan secara khas bagaiamana memenuhi Sabat Perjanjian Baru. Sabat pada Perjanjian Lama dikaitkan dengan kisah penciptaan dan kisah exodus dari perbudakan Mesir, tapi dalam Perjanjian Baru orang Kristiani dipanggil untuk mewartakan penciptaan baru dan pejanjian baru yang dilaksanakan dalam Misteri Paskah Kristus. Dengan adanya misteri Paskah Kristus ini bukan berarti menghapus kenangan akan penciptaan dan kisah pembebasan, tapi konsep Sabat pada kisah tersebut telah dipenuhi oleh Misteri Paskah Kristus pada hari Minggu. Oleh karena itu umat Kristiani wajib ingat, bahwa meskipun praktek-praktek Sabat Yahudi sudah menghilang karena dilamapui oleh pemenuhan yang didatangkan oleh Hari Minggu, alasan-alasan yang mendasari kewajiban menguduskan Hari Tuhan yang tertera dalam Sepuluh Perintah tetap berlaku sah meski perlu ditafsir ulang dalam terang dan spiritualitas hari Minggu. Pada intinya bahwa Kristus datang untuk melaksanakan exodus baru, yaitu untuk memulihkan kebebasan kepada rakyat yang tertindas. Ia melakukan penyembuhan pada hari Sabat bukan berarti Ia melanggar Hari Tuhan, tapi Ia memenuhi arti Hari Tuhan itu, bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat. Yesus ingin melawan penafsiran atas hukum Yahudi yang terlalu legalistis sambil mengembangkan makna yang sejati atas hukum tersebut. Umat Kristiani sebagai murid Yesus diundang untuk juga mewartakan pembebasan yang dicapai oleh darah Kristus dan merasa bahwa mereka berwenang untuk mengalihkan makan Sabat kepada hari Kebangkitan. Paskah Kristus telah membebasankan manusia dari perbudakan dosa.

Selama beberapa abad umat Kristiani mematuhi hari Minggu semata-mata sebagai hari ibadat tanpa mampu memberi makan istirahat hari Sabat. Pada abad IV umat Kristiani baru dapat merayakan hari Minggu tanpa rintangan, sebab pada waktu itu hukum sipil menetapkan pelbagai perusahaan dagang untuk tidak bekerja pada hari Minggu. Dalam sejarah konsili-konsili Gereja juga tidak henti-hentinya mendesak peraturan mengenai istirahat hari Minggu. Ada di beberapa negara dimana umat Kristiani sebagai kaum minor yang penanggalannya tidak bertepatan dengan hari Minggu, sehingga mereka sukar menguduskan hari Tuhan sebab tidak memiliki waktu luang pada hari itu. Sebenarnya Allah sendiri menghendaki adanya gilir-berganti antara kerja dan istirahat. Dalam kenyataan jaman sekarang kerja dilihat sangat menindas bagi banyak orang, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Gereja wajib menjamin agar setiap orang dapat menikmati kebebasan istirahatnya demi martabat manusiawi. Dalam situasi jaman sekarang umat Kristiani harus berusaha menjamin supaya perundangan sipil menghargai kewajiban mereka menguduskan hari Minggu.

Agar istirahat tidak merosot menjadi kekosongan atau rasa bosan, maka perlu memberi kesempatan diri untuk memperkaya diri secara rohani, dengan berkomtempasi dan berkmpul dalam persaudaraan. Maka dari itu umat beriman diharapkan bijak dalam memilih berbagai hiburan yang ditawarkan masyarakat dihari istirahat ini. Bijak berarti umat beriman harus memilih kegiatan yang tidak bertantanga dengan nilai-nilai Injil. Dengan demikian hari Minggu tidak hanya menjadi hari Tuhan tapi juga menjadi hari manusia.

Hari Minggu juga harus membuka bagi umat beriman peluang untuk membaktikan diri kepada amal-amal kerahiman, cinta kasih dan kerasulan. Hari Minggu menjadi hari solidaritas. Untuk itu Ekaristi hari Minggu tidak bermaksud membebaskan manusia dari berbagai tugas, melainkan di hari tersebut menjadi hari yang tepat bagi umat beriman untuk melakukan karya amal dan solidaritas. Dengan melakukan hal tersebut, umat beriman akan menjadi “terang dunia”. Kegiatan karya amal ini sudah dilakukan sejak jaman para Rasul dan sekarang kita mewarisi budaya tersebut dengan meneladan kehidupan jemaat perdana.

Ekaristi itu peritiwa dan pogram pesaudaraan sejati. Dari Misa hari Minggu mengalirlah gelombang cinta kasih yang dimaksudkan untuk menyebarluas dalam seluruh hidup umat beriman. Bila hari Minggu sebagai hari kegembiraan, maka umat beriman harus membagikan kegembiraan itu kepada dunia di sekitarnya. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengunjungi orang sakit atau orang yang miskin, memberi bantuan kepada mereka yang miskin dan menderita. Seluruh hari dalam hari Minggu menjadi sekolah agung cinta kasih, keadilan dan damai. Hari Minggu merupakan Paskah mingguan untuk mengenangkan Kristus yang bangkit dan membebaskan manusia, maka dari itu kita diajak untuk meneladan Kristus dengan berusaha peduli pada sesama dan kita menjadi pembebas bagi mereka yang tertawan oleh pemderitaan, kemiskinan dll.

Bab V Hari Di Antara Hari-hari: Hari Minggu: Pesta Primordial: Mewahyukan Makna Waktu

Dalam Kristianitas waktu mempunyai relevansi yang mendasar. Di dalam waktu terdapat perkembangan mulai dari awal mula penciptaan dunia, sejarah keselamatan dan puncaknya kepenuhan dari waktu itu yaitu penjelmaan Sabda yang menjadi manusia. Dalam terang Perjanjian Baru, tahun-tahun hidup Kristus menjadi pusat waktu dan pusat itu mencapai puncaknya dalam kebangkitan. Untuk itu, Gereja menyerukan bahwa Kristus yang Bangkit adalah yang awal dan akhir, Alfa dan Omega. Kristus adalah Tuhan waktu, Ia awalnya dan juga akhirnya. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan yang merayakan Kristus yang bangkit sekaligus hari yang mewahyukan makna waktu. Hari Minggu Kristiani yang bersumber pada kebangkitan ini menjelajahi kurun waktu manusia, bulan-bulan, tahun-tahun, abad-abad seperti anak panah yang terarah pada sasarannya, yaitu kedatangan Kristus yang kedua. Dengan menguduskan hari Minggu memberi kesaksian penting tentang kepastian akan keselamatan sehingga umat Kristiani dalam setiap jaman hidupnya selalu ditopang oleh pengharapan.

Hari Minggu sebagai hari Tuhan yang terulang setiap mingguan berakar dalam tradisi Gereja yang paling kuno dan seiring berjalannya waktu membentuk lingkaran liturgi tahunan. Dalam lingkaran tahun liturgi ini, Gereja hendak memaparkan selama kurun waktu setahun seluruh misteri Kristus, mulai dari penjelmaan serta kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan. Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu, Gereja ingin membuka rahasia kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan agar manusia dipenuhi rahmat keselamatan.

Dalam tahun liturgi, Gereja juga menghormati Santa Maria sebagai Bunda Gereja dan para kudus. Hubungan intrinsik antara kemuliaan para kudus dan Kristus dibangun kedalam penataan tahun liturgi dan diungkapkan secara indah dalam hari perayaan Minggu sebagai hari Tuhan. Hari Minggu juga sebagai pola alami untuk memahami dan merayakan hari-hari raya tahun litugi yang begitu bernilai bagi hidup Kristiani. Oleh karena itulah Gereja menekankan relevansinya dan mewajibkan bagi umat beriman untuk menghadiri Misa dan mematuhinya sebagai waktu istirahat. Namun dalam pelaksanaan tahun liturgi ini juga diperlukan adanya kebijakan pastoral dengan mempertimbangkan tradisi dan budaya setempat. Intinya jangan sampai keagungan hari Minggu itu terkikis oleh tradisi atau budaya setempat. Dalam hal ini peran gembala umat sangat diperlukan dan harus bijaksana dalam menentukan keputusan.

Penutup

Kekayaan rohani hari Minggu sangatlah melimpah dan itu disalurkan kepada kita lewat tradisi. Bila kekayaan rohani tersebut dapat dimengerti dengan baik maka hari Minggu menjadi sintesis hidup Kristiani. Ekaristi hari Minggu menjadi tempat penghayatan iman secara penuh, untuk itu umat beriman harus menyadari keistimewaan hari itu dengan tidak merayakan hari Minggu dengan kegiatan-kegiatan yang masih dipertanyakan dari sudut moral. Dalam hari Minggu umat beriman diundang untuk merayakan keselamatan dan mejadiakannya sebagai hari kegembiraan dan hari istirahat. Untuk itulah maka hari Minggu menjadi jiwa hari-hari lain.

Hari Minggu pada akhirnya menjadi sarana untuk melestarikan hidup Kristiani. Di samping itu hari tersebut juga memiliki nilai tambahan menjadi kesaksian dan pewartaan, sebagai hari doa, persekutuan dan kegembiraan. Hari Minggu menjadi undangan untuk memandang ke depan. Pada hari itu umat Kristiani dapat berseru kepada Kristus, “maranatha” : datanglah ya Tuhan! Dalam hal ini Gereja berperan mendampingi umat untuk tujuan tersebut. Dalam mengejar tuan itu, Gereja ditopang oleh Roh Kudus. Roh itulah yang selalu hadir dan menyetai Gereja melalui berbagai peristiwa. Bunda Maria seagai Bunda Gereja juga berperan mendampingi Gereja. Dari minggu ke minggu, umat beriman diajak untuk mengikuti jejak Bunda Maria dan pengantaraan keibuannya memberi kekuatan dan semangat yang istimewa kepada doa yang naik dari Gereja ke hadirat Tritunggal yang Mahakudus.

Surat Apostolik ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ketika dunia akan memasuki tahun Yubelium, yaitu berakhirnya mileniun kedua dan memasuki milenium ketiga. Dalam perpindahan milenum tersebut sudah tentu duna akan mengalami perubahan dan Paus ingin mengajak umat beriman untuk tetap menghayati kekudusan hari Minggu secara mendalam meski dunia akan berubah.

HIDUP ROHANI IMAM

HIDUP ROHANI IMAM

“O manusia kecil, berpalinglah dari urusan sehari-hari, biarkanlah pergumulan pikiranmu dan tinggalkanlah kesibukan beratmu! Bebaskanlah dirimu supaya dapat bersama-sama dengan Allah selama beberapa saat dan istirahatlah dalam Dia! Masuklah dalam bilik paling dalam di jiwamu dan keluarkanlah siapapun selain Allah dan apapun yang dapat menghantarmu mendekati-Nya. Lalu tutup pintu dan nantikanlah Dia! Dengan sepenuh hati katakan kepada Allah: “Ku cari wajah-Mu, Ya Tuhan. Wajah-Mu yang kucari.” (St. Anselmus)

Seorang imam, suster atau biarawan/wati seringkali dianggap sebagai manusia rohani (rohaniwan). Julukan tersebut seharusnya bukan menjadi semacam stiker yang otomatis ditempelkan kepada seseorang sesudah ia mengucapkan kaul/menerima sakramen tahbisan, melainkan menjadi sebuah pemicu dan pemacu usaha para rohaniwan untuk semakin ahli dalam bidang rohani. Keahlian dalam bidang rohani tidak akan pernah bisa diambil sebagai sebuah mata kuliah bahkan dengan bobot studi 5 sks sekalipun. Untuk dapat ahli dalam bidang rohani seseorang mutlak perlu memiliki hidup rohani yang baik pula. Hidup rohani lebih merupakan sebuah relasi pribadi dengan Pencipta daripada sekadar pengetahuan. Usaha untuk menggeluti kerohanian yang sungguh-sungguh mendalam (dan bukan sekadar teori) merupakan usaha seumur hidup. Sakramen tahbisan sama sekali tidak bisa menjadikan seseorang tiba-tiba ahli dalam hal rohani.

Dalam makalah ini pertama-tama penulis berusaha menyajikan beberapa pandangan dari dokumen-dokumen Gereja tentang kemendesakan seorang Imam untuk senantiasa mengembangkan hidup rohaninya. Selanjutnya, pada bagian yang kedua penulis hendak menguraikan fenomena kekeringan rohani yang sering melanda para gembala umat secara lebih praktis.

HIDUP ROHANI

Semua orang Kristen dipanggil menuju pada kekudusan atau kesempurnaan yang mesra dengan Allah. Allah-lah yang pertama-tama menghendaki agar kita bersatu dengan diri-Nya, melalui perantaraan Anak-Nya dan Roh Kudus. Untuk itu perlulah kita hidup di dalam Roh. St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menandaskan bahwa apabila kita hidup oleh Roh, maka hendaklah kita dipimpin oleh Roh itu juga (Gal 5:25). Dengan ini, St. Paulus mengingatkan kita bahwa hidup orang Kristen adalah hidup rohani. Hidup Rohani itu sendiri berarti hidup yang dijiwai dan dibimbing oleh Roh menuju kekudusan atau kesempurnaan cinta kasih.

HIDUP ROHANI SEORANG IMAM

Allah telah memilih dari antara umat yang dikasihinya itu orang-orang yang bersama dengan Roh Kudus membimbing umatnya kepada kesempurnaan. Orang-orang itu adalah para imam.. Adalah misi para imam untuk menghantar seluruh umat Allah menuju kesempurnaan. Dengan demikian imam mempunyai peran yang amat penting. Tuntutan hidup rohani para imam tidaklah berbeda dengan umat Allah pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada misi para imam itu sendiri dan tuntutan untuk menjadi sempurna terlebih dahulu.

Pentingnya Hidup Rohani bagi seorang Imam

Hidup rohani amatlah penting bagi imam terutama dalam kaitan dengan hidup dan misinya. Ada beberapa alasan yang menunjukan betapa pentingnya hidup rohani bagi seorang imam, yakni:
  • Tuntutan Kesempurnaan
Semua orang Kristen dipanggil menuju kesempurnaan. Kesempurnaan terlebih dahulu dituntut dari pihak imam. Hal ini dikarenakan posisi mereka sebagai orang yang secara khusus dipanggil untuk membantu umat Allah menuju kesempurnaan. Imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan khas, yakni: karena dengan menerima Tahbisan, para imam secara baru ditakdiskan kepada Allah, mereka menjadi sarana yang hidup bagi Kristus, Sang Imam Abadi.
  • Tritugas Imam
Seorang imam mempunyai tiga tugas, yakni pelayan sabda (nabi), pelayan liturgi (imam), dan gembala umat Allah (raja). Sebagai pelayan sabda Allah, para imam haruslah membaca dan mendengarkan Sabda Allah yang wajib disampaikan kepada umat Allah. Seorang imam pertama-tama haruslah merenungkannya, sehingga Sabda Allah itu berakar di dalam dirinya. Sebagai pelayan liturgi, para imam secara khas membawakan pribadi Kristus. Untuk itu, para imam dituntut menghayati apa yang mereka laksanakan dalam tindakan liturgi, terutama pada Ekaristi. Sedangkan sebagai gembala umat Allah, para imam hendaknya mengusahakan apa yang berguna bagi umat yang mereka gembalakan, sehingga sampai pada kesatuan dengan Allah.
  • Manusia Rohani
Para imam adalah manusia rohani, sebagai manusia rohani hidup mereka haruslah bersumber pada hal-hal yang bersifat rohani sehingga misi mereka untuk membantu umat Allah sampai pada kesempurnaan dapat tercapai. Untuk itu mereka perlu utuh dan selaras dengan citra hidup mereka sendiri.

Sumber-sumber hidup rohani imam

Hidup rohani imam bukanlah suatu yang otomatis jadi, tetapi melalui usaha terus-menerus. Karena itu, para imam harus membakar hidup rohani mereka dari sumber-sumber hidup rohani yang ada. Ada beberapa sumber api hidup rohani para imam, yakni:
  • Pertama, api rohani. Api rohani maksudnya adalah segala bentuk kegiatan yang langsung mengenai “hidup batin, hidup dalam persatuan mesra dengan Allah, hidup doa, dan kontemplasi” (PDV, art 49) dari seorang imam. Persatuan dengan Allah menjadi suatu hal yang penting dan mendasar bagi seorang imam. Beberapa kegiatan rohani itu ialah perayaaan Ekaristi, sakramen tobat, ibadat harian, meditasi, devosi, visitasi, dll.
  • Kedua, api pastoral juga merupakan sumber hidup rohani bagi imam, sebab seluruh kegiatan pastoral memang dilakukan untuk membangun hidup rohani baik umat maupun dirinya sendiri.
  • Ketiga, api pastoral juga penting bagi seorang imam dalam kaitannya dengan hidup rohani imam, sebab tuntutan karya imam juga merupakan tuntutan mendasar akal budi, yang berpartisipasi dalam cahaya Budi Allah. Dalam kenyataan, imam juga dapat kurang memiliki pengetahuan yang tepat tentang imannya. Untuk itulah dibutuhkan “peningkat api intelektual” sehingga umat yang dibimbing olehnya ada pada jalan yang tepat. Ada tiga bentuk peningkat api intelektual yakni: studi berlanjut, rekoleksi/retret, serta bimbingan rohani. Keempat, api jasmani mengacu pada kegiatan-kegiatan para imam secara fisik melibatkan kaidah tata tertib kehidupan. Kegiatan-kegiatan itu adalah disiplin hidup, olah raga, dan rekerasi serta pengembangan bakat. Semua kegiatan ini memiliki relasi dengan hidup rohani.
KEKERINGAN ROHANI PARA GEMBALA KRISTUS

Fenomena kekeringan rohani Para Gembala Kristus merupakan tema yang seringkali kurang mendapat perhatian yang cukup bila dibandingkan dengan fenomena kekeringan rohani umat. Kurangnya perhatian akan tema ini bukan disebabkan oleh para gembala yang “rela berkorban” bagi domba-dombanya tetapi justru karena para gembala kerapkali bersikap acuh tak acuh terhadap kehidupan rohaninya sendiri. Padahal, Yesus sendiri justru memberikan contoh perhatian-Nya kepada para gembala umat dalam peristiwa-peristiwa penampakan sesudah kebangkitan-Nya.(Yoh 21:1-14). Berikut ini penulis akan menuliskan secara singkat sebab-sebab, indikator dan dampak yang timbul akibat dari kekeringan rohani.

Sebab-Sebab Kekeringan Rohani
  • Ranting memisahkan diri dari pokok anggur dan mencoba menjadi pohon anggur yang baru (Yoh 15:1-8)
  • Kecenderungan untuk menjadikan kehidupan spiritual sama dengan pekerjaan profesional kita (Contoh: terlalu berhati-hati dengan nilai teologis dalam setiap doa, merayakan ekaristi dianggap menggantikan kebutuhan doa pribadi)
  • Melakukan pekerjaan Roh Kudus tanpa kekuatan penuh dari Roh Kudus (contoh: penyembuhan, pengampunan dosa, penggembalaan domba)
  • Doa pribadi bergeser menjadi sekadar tugas dan sejajar dengan tugas-tugas pelayanan lainnya sehingga doa pribadi dapat ditunda karena tak seorang pun mengetahuinya kecuali saya dan Tuhan dan sejauh ini tampaknya Tuhan tidak keberatan
Tanda Indikator Kekeringan Rohani
  • Antusiasme, sukacita dan energi untuk mewartakan sabda lenyap digantikan dengan kekosongan dan kehampaan
  • Ekaristi dan pelayanan sakramental menjadi ritual rutin yang nyaris tanpa makna
  • Tanpa adanya alasan kesehatan muncul tanda-tanda: kelelahan, kelesuan, kedinginan, kemarahan yang tidak terkontrol, kecemasan yang muncul dan tenggelam dengan tiba-tiba, ingin tidur panjang, makan dan minum yang manis secara berlebihan, dsb.

Dampak Kekeringan Rohani
  • Ranting yang memisahkan diri akan layu, kering dan mati (Yoh 15:1-8)
  • Gembala kelaparan dan kemudian justru melahap habis domba-domba-Nya
  • Gembala membiarkan dirinya habis dimakan oleh domba-domba-Nya secara mengerikan

RELEVANSI

Ekaristi, ibadat harian bersama dan acara-acara rohani yang dijadwalkan oleh seminari memang kerapkali membantu kita untuk tetap setia dengan acara rohani tersebut. Namun, tentunya tetap perlu dikembangkan spiritualitas pribadi yang sangat berguna bila nanti dalam pelayanan kita sudah tidak ada lagi jadwal ataupun komunitas yang mengingatkan kita. Selain itu, Santo Bernardus dari Clairvaux Perancis (1090-1153) juga mengajarkan kepada kita agar tidak menjadi penyalur rahmat Allah seperti saluran pipa air, melainkan seperti waduk yang akan menunggu sampai permukaannya penuh baru kemudian mengalirkannya kepada yang lain. Nasihat ini bukanlah sebuah nasihat yang egois, tetapi justru merupakan kebijaksanaan yang mendalam dan realistis. Nemo dat quod non habet.

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja
Yohanes Paulus II. Anjuran Apostolik: Pastores Dabo Vobis, terj. R. Hardawiryana SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1997.
Konsili Vatikan II. “Dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para imam” (PO) dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor. 2002.
Buku Lain
Heuken, A, SJ. Spiritualitas Kristiani. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 2002.
Leteng, Hubertus, Dr. Spiritualitas Imamat Motor Kehidupan Imam. Maumere: Ledalero. 2003.
Wuellner, Flora Slosson. Gembalakanlah gembala-gembalaku. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998.

Perbandingan Matakuliah Pluralisme Religus – Dialog intra Religus Dengan Artikel From Revelation to Revelations

Kesimpulan dan kesan saya setelah membaca artikel ini adalah bahwa Artikel From Revelation to Revelations yang ditulis oleh Paulo Suess memberi penegasan dan penjabaran tentang apa yang diuraikan oleh Fr. Frans Hardjosetiko dalam matakuliah Pluralisme Religius dan Dialog Intra Religius (selanjutnya disingkat DIR), khususnya tentang tema kelompok orang-orang miskin (the poor) dan orang-orang lain (the other). Baik mata kuliah DIR maupun artikel ini sama-sama berangkat dari kenyataan adanya pluralisme religius. Tulisan Paulo Suess memberi tambahan informasi bahwa sejak jaman dahulu terdapat usaha-usaha untuk “menunggalkan” (membuat menjadi tunggal) pluralisme tersebut. Usaha-usaha itu dapat dilihat dengan jelas pada kitab suci orang Yahudi yang mendaku (to claim) memiliki Allah yang paling benar dan Allah itu Esa. Usaha ini terus ada sepanjang sejarah dan pada jaman ini menurut Fr. Frans muncul masalah juga karena pluralisme religius ini harus berhadapan dengan unisitas Kristus.

Menurut Fr. Frans, dalam membahas masalah pluralisme religius mau tidak mau kita akan dihadapkan pada kelompok orang-orang miskin (the poor) dan orang-orang lain (the other). Paulo Suess memberi penjabaran tentang siapa dan mengapa the poor dan the other selalu dikaitkan dengan pluralisme religius. Dalam artikelnya the poor adalah orang-orang yang sungguh hidup miskin di dunia ini. The poor mendapat tempat istimewa karena Paulo Suess mengutip preferensi Yesus sendiri kepada orang miskin. The poor adalah para penerima dan subyek wahyu itu sendiri. Allah seringkali menyembunyikan wahyunya bagi para bijak dan pandai tetapi justru menyatakannya pada orang kecil (Luk 10:21, Mat 11:25). Orang-orang kecil/kaum minoritas/kaum marginal yang seringkali tidak diuntungkan menjadi pemegang janji keselamatan Allah.

Kesadaran ini membawa perubahan besar pada model misi Gereja. Sebagai sebuah institusi yang besar, Gereja sudah seharusnya juga memihak pada bangsa-bangsa bangsa kecil sesederhana apapun budaya mereka. Pada masa yang lampau terang-terangan Gereja mempraktekkan misi dengan corak eksklusivisme. Corak demikian dibawa oleh Fransiskus Xaverius dan Yosep dari Anchieta sewaktu bermisi di Asia dan Brazil. Corak demikian juga terlihat jelas pada ensiklik-ensiklik dan surat-surat apostolis tentang misi pada jaman itu, seperti : Dominus Iesus, yang tidak mendapat sambutan hangat di Asia tetapi justru semakin meresahkan umat karena di Asia banyak agama-agama tua yang lebih dahulu hadir daripada kekristenan.

Menurut Paulo Suess, satu-satunya hal yang dapat dilakukan untuk agar orang kristen dan orang non kristen dapat berbicara mengenai Tuhan adalah melalui analogi-analogi. Analogi tetap mempertahankan konsep-konsep wahyu tiap agama dengan segala kebenaran aktualnya tanpa memasuki ranah religius masing-masing agama. Proses ini baik, tetapi menurut matakuliah DIR belum cukup. Proses ini bisa dijadikan sebagai awal dalam pendekatan Teologi fundamental untuk membuat suatu Teologi Universal, kebenaran iman yang dapat diterima semua agama (pendekatan Teologi Sistematis) dan praksis umum yang dapat dilakukan oleh semua agama (pendekatan Teologi Praksis).

PENDAMPINGAN DIALOG ANTARAGAMA BAGI REMAJA

  1. PENDAHULUAN
Pengantar Tema

Tidak perlu ada perdebatan yang panjang untuk menyetujui bahwa tema Dialog Antaragama merupakan salah satu tema yang cukup penting dan mendesak saat ini. Dialog Antaragama merupakan tema yang bahkan mutlak perlu diberi perhatian yang cukup di tengah situasi jaman yang plural ini. Situasi ini cukup aktual di Indonesia mengingat Indonesia terdiri dari begitu banyak agama-agama dan aliran kepercayaan, suku-suku bangsa, adat dan bahasa. Dialog Antaragama merupakan usaha Gereja Indonesia untuk hidup dan bukan saja untuk bertahan hidup dalam suasana plural sekarang ini. Leonard Swidler, seorang teolog Dialog Antaragama, juga menegaskan bahwa masa depan Gereja menawarkan hanya dua alternatif: kematian atau dialog . Dengan kata lain, senada dengan kata-kata para pejuang kemerdekaan Indonesia, “Merdeka atau Mati” dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Swidler hendak meneriakkan “Dialog atau Mati !

Keprihatinan Gereja ini tampaknya memang bukan hanya dirasakan oleh para pemimpin Gereja. Kerinduan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan ada dalam hati setiap orang. Mengingat pluralisme yang ada saat ini maka mau tidak mau jalan yang paling cocok untuk mewujudkan hal ini bukan dengan mempertebal/menggarisbawahi perbedaan melainkan justru bersikap terbuka terhadap ‘yang lain’ agar sikap saling memahami dan mengerti dapat tumbuh dengan baik. Inilah tujuan sederhana dari Dialog Antaragama.

Banyak sekali orang pada zaman ini yang terdorong untuk bersama-sama mengusahakan terciptanya situasi yang kondusif bagi dialog antaragama. Usaha Umat katolik, khususnya, juga tampak dalam berbagai bentuk forum tanya-jawab dan pelayanan-pelayanan sosial karitatif yang seringkali digelar sebagai wujud nyata dari keinginan untuk menciptakan masyarakat yang “Bhinekka Tunggal Ika”. Hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja Allah yang kelihatan dan yang sungguh-sungguh bersifat universal .

Latar Belakang Pemilihan Tema dan Batasannya

Dalam refleksi dan pengamatan penulis, ada kekurangan yang cukup besar dalam usaha Gereja selama ini. Usaha-usaha untuk mengadakan dialog antaragama, pertemuan-pertemuan ekumene seringkali hanya dipenuhi oleh orang-orang tua . Bahkan tidak hanya dalam urusan Dialog Antargama, penentu kebijakan-kebijakan dan bentuk-bentuk kegiatan seringkali diambil oleh orang-orang tua. Kaum muda hanya ambil bagian secara terbatas an diberi porsi keterlibatan pada saat-saat khusus saja dan bukan menjadi kebiasaan. Bentuk keterlibatan kaum muda selama ini pun seringkali hanya terbatas keterlibatan yang membutuhkan kemampuan fisik saja (menata kursi, mengangkat karung beras yang hendak disalurkan dalam baksos, mengatur parkir, dekorasi kandang natal, dsb). Seringkali malahan, motivasi pemberian keterlibatan itu hanyalah karena generasi tua mengganggap diri sudah tidak mampu bekerja fisik.

Beberapa alasan yang mendasari penulis mengangkat judul “Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” ini adalah karena dalam refleksi penulis Kaum Muda itu adalah sungguh-sungguh anggota Gereja. Kaum muda adalah realitas jaman ini. Memang mereka adalah pemilik Gereja masa depan, tetapi mereka bukan hanya milik Gereja masa depan saja. Mereka juga adalah anggota Gereja masa kini. Seringkali karena dianggap milik Gereja masa depan kaum muda seringkali diabaikan karena dianggap belum waktunya.

Adalah sangat sulit untuk menentukan rentang usia kaum muda. Ada berbagai macam pendapat tentang hal ini. UNESCO berpendapat bahwa kaum muda adalah kelompok manusia yang berusia antara 15 – 24 tahun . Lain halnya dengan KWI. Disebutkan dalam PKPKM bahwa kaum muda adalah mereka yang berusia antara 13-35 tahun . Dari situ tampak bahwa rentang usia yang dimaksud sebagai kaum muda itu cukup panjang dan bervariasi. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis membatasi cakupan kata kaum muda dalam artian remaja. Remaja yang dimaksud penulis adalah anak pada usia 12-16 tahun (Adolesensi Dini). Dalam Buku Pintar Seri Senior secara psikologis dikatakan bahwa,

“Masa ini ditandai dengan praokupasi seksual yang meninggi dan tidak jarang karena itu remaja secara relatif merosot daya kreatifnya, ketekunan dan lain-lain keberhasilannya. Ia mulai lebih merenggang dari orang tuanya dan membentuk kelompok-kelompok kawan/sahabat karib. Dalam tendensinya ke arah penarikan diri ia dapat mengembangkan tingkah laku yang kurang dapat dipertanggungjawabkannya: acting out behaviour, deliquent acts, maniakal atau depresif, malahan ada kalanya mempertimbangkan bunuh diri. Pendekatan dengan simpati dan usaha meringankan stress yang dirasakannya akan dapat membantu. ”

Dapat disimpulkan dari kutipan di atas bahwa masa remaja adalah masa yang sangat membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih dewasa. Mungkin akan ada akibat yang cukup fatal jika dalam masa-masa ini seorang remaja tidak mendapat pendampingan yang cukup. Dalam masa ini Gereja sebenarnya bisa menunjukkan cura animarumnya secara lebih tampak sebagai bentuk nyata tanggung jawabnya terhadap kehidupan anggotanya. Mengingat begitu kompleks dan krusialnya masa remaja ini akhirnya penulis memfokuskan perhatian soal “Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” dengan harapan bahwa tulisan ini akan berguna bagi khazanah pendampingan iman remaja yang masih jarang dibahas.
Sistematika Penulisan

Dalam tulisan ini pertama-tama penulis akan membahas kembali secara lebih mendalam tentang “Apa itu dialog” dan “Kemendesakan dialog antaragama”. Selanjutnya pembahasan diarahkan kepada obyek utama pendampingan yang dimaksud, yakni “Remaja” menyangkut identitas, situasi dan potensinya. Pokok bahasan selanjutnya mengalir pada bahasan mengenai “Remaja dan Dialog Antaragama” menyangkut di dalamnya sub bab “Mengapa remaja perlu dilibatkan dalam dialog antaragama”. Setelah itu, Pembicaraan tentang remaja dan dialog bergerak menuju ke praksis pelaksanaan dalam bahasan “Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” yang dapat dilakukan secara nyata.

2. DIALOG ANTARAGAMA

Apa itu dialog?

Secara sederhana, Swidler mendefinisikan dialog sebagai suatu percakapan antara dua atau lebih orang yang berbeda pandangan, dengan tujuan utama: saling belajar untuk berubah dan bertumbuh. Dalam definisi tersebut dapat disimpulkan tiga hal yang terkandung dalam suatu proses dialog, yakni: tidak bersifat memaksa orang lain untuk berubah, bukan merupakan suatu ajang perdebatan untuk mencari menang-kalah atau pun benar-salah melainkan justru sharing secara terbuka, membuka diri secara jujur dan mendengarkan orang lain dengan tujuan memahami orang lain dengan lebih baik, dan terakhir adalah bahwa proses dialog selalu mengandung resiko perubahan pandangan terhadap posisi dan tradisi yang lama.

Ada tiga macam tahapan yang dialami seseorang dalam berdialog, yakni:

  • Pertama, dalam perjumpaannya dengan orang lain itu seseorang bisa melihat dan mengenal dirinya dengan kacamata yang lebih luas. Kacamata baru itu muncul dalam relasi pertemuannya dengan orang lain. Dengan kacamata itu dia bisa melihat dirinya sendiri dengan lebih dalam.
  • Kedua, dalam dialog orang akan berusaha mengerti dan memahami orang lain. Pengertian dan pemahaman yang mendalam dan sungguh hanya dapat terjadi jika seseorang menganggap orang lain bukan sebagai obyek, tetapi sebagai subyek/pribadi yang lain dan sejajar dengannya . Persamaan dan perbedaan mulai ditemukan dalam tahap ini. Dengan kesadaran akan kerinduan membentuk persatuan, perbedaan yang paling kontradiktif pun dapat dilihat sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi.
  • Ketiga, pengenalan akan diri sendiri dan orang lain akan membuat seseorang mengetahui kebenaran dengan lebih utuh. Orang yang mengetahui kebenaran dengan lebih utuh akan mengalami transformasi dalam hidupnya dan membagikan buah-buahnya kepada komunitas tempatnya tinggal.

Kemendesakan Dialog Antaragama

Dunia kita saat ini sudah menjadi “semakin sempit”. Kemajuan teknologi terutama sarana transportasi, informasi dan komunikasi telah membuat manusia sedikit demi sedikit mengalahkan keterbatasan manusia dalam ruang dan waktu. Dalam waktu yang relatif singkat seseorang bisa berpindah dari benua satu ke benua yang lain. Hal-hal yang dulu tampaknya mustahil dilakukan kini tampak di hadapan mata sebagai kemungkinan-kemungkinan. Media-media massa yang menyajikan informasi berita pun mulai menggeser metode kerjanya yakni dari menyajikan peristiwa-peristiwa yang “telah terjadi di suatu tempat” berubah menjadi menyajikan peristiwa-peristiwa yang “sedang terjadi di berbagai tempat”. Situasi “kampung dunia” semacam ini dalam arti tertentu membuat “setiap orang” pasti bertemu dengan “yang lain” baik secara fisik maupun virtual. Perjumpaan dengan “yang lain” inilah yang membawa dampak besar bagi kondisi dunia saat ini. Salah satunya adalah munculnya fenomena Masyarakat Postmodern.

Masyarakat postmodern adalah mereka yang dengan segala kesadaran diri menggunakan segala macam kecanggihan sarana transportasi, informasi dan komunikasi untuk bertemu dengan “yang lain” baik yang lokal maupun internasional. Perjumpaan dengan yang lain ini membawa perubahan pola pikir yang begitu kentara. Misalnya berbicara tentang kebenaran, mereka bersikap pesimis terhadap model kebenaran generasi sebelum mereka (yakni masyarakat modern) yang selalu mengagung-agungkan pencarian suatu kebenaran yang bersifat universal. Mereka berpikir bahwa setiap manusia selalu berangkat dan ada dalam konteks dan komunitas tertentu (Identitas multi level ). Maka keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran selalu berakar pada komunitas tempat kita berada. Dengan kata lain masyarakat postmodern menolak pencerahan yang universal, supra-kultur dan permanen . Sebaliknya, mereka lebih memilih kepada pencerahan yang multiversal, intra-kultur dan dinamis. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi tiap komunitas tertentu. Mereka pun yakin dan percaya bahwa kebenaran-kebenaran yang beraneka ragam itu bisa hidup berdampingan bersama. Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa di sekitar kita sedang terjadi proses deabsolutisasi kebenaran . Ada gelombang pluralisme dan relativisme yang dihembuskan oleh masyarakat postmodern . Dengan cara pandang ini maka pantaslah jika di jaman ini muncul banyak sekali agama-agama abru di Indonesia sebagai protes atas agama-agama besar yang menjadi mainstream di Indonesia .

Melihat kondisi yang demikian Gereja mutlak harus bersiap-siap membarui/mengubah metode pewartaannya. Katekese dan pewartaan yang bersifat otoritatif akan mendapat penolakan yang keras dari masyarakat postmodern. Salah satu model katekse dan pewartaan yang cocok untuk jaman ini adalah katese dan pewartaan yang dialogis. Umat tidak lagi didikte tentang mana yang salah dan mana yang benar, tetapi sebaliknya para pewarta harus berdialog dengan umat untuk melihat mana yang benar dan yang salah. Tentu saja untuk melakukan hal ini seorang pewarta harus memiliki integritas dan pondasi iman dan ajaran Gereja yang kokoh.

3. REMAJA

Identitas Remaja

Seperti sudah sedikit tertuang dalam kutipan pada bagian latar belakang pemilihan tema dan batasannya, Remaja ialah sekelompok manusia yang mulai beralih dari tahap pra-adolesensi ke jenjang yang lebih tinggi adolesensi dini. Kebanyakan dari mereka akan sangat tersinggung jika masih dianggap anak-anak. Mereka merasa dirinya bukan lagi anak-anak, tetapi juga bukan orang dewasa karena biasanya mereka menganggap orang dewasa sebagai musuh mereka karena orang dewasa lebih suka menekan daripada memahami mereka . Masa remaja merupakan masa mulainya pencarian jati diri. Dalam fase ini seseorang akan menjadi sangat impulsif dan reaktif. Hal ini mungkin juga disebabkan karena pertumbuhan organ-organ seksual mereka. “Kebanjiran” berbagai macam hormon dalam tubuh mereka merupakan salah satu alasan biologis penyebab kelabilan mereka .

Situasi Remaja

Perjumpaan dengan orang-orang muda acapkali memunculkan pengalaman-pengalaman orisinal. Pengalaman yang hanya dapat dipahami jikalau terjadi proses dialog antara yang melakukan dengan pihak yang mengamati. Sebelum terjadi dialog, sebuah tindakan sangat mungkin disalahmengerti dan disalahpahami sehingga memunculkan cap-cap sepihak. Tindakan-tindakan mereka untuk memasang tato, bertindik, dan berjimat seringkali langsung dikecam habis-habisan tanpa pendekatan terlebih dahulu. Efeknya, bukan pertobatan yang terjadi malahan justru pemberontakan yang lebih ugal-ugalan.

Terkait dengan keadaan dunia aktual, secara khusus di Asia, Para uskup Asia melihat bahwa kaum muda (termasuk remaja) merupakan Cermin Gereja Asia. Ada dua segi yang sempat terekam oleh para usukp Asia yang segi negatif dan positif dari kehidupan kaum muda di Asia. Secara umum, kaum muda di Asia hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini merenggut banyak kesempatan yang mungkin bagi mereka (mis: kesempatan memperoleh pendidikan, dsb). Kemiskinan ini membuat kaum muda mudah terpengaruh oleh berbagai macam ideologi, apalagi ideologi yang seakan dapat membawa mereka terlepas dari kemiskinan. Ideologi yang menawarkan pembebasan semacam itu adalah materialisme dan konsumerisme. Berbagai media massa (televisi, radio, koran, internet) menjadi sarana yang ampuh untuk penyebaran berbagai ideologi tersebut. Ini adalah segi negatif kehidupan kaum muda di Asia. Sebaliknya, di sisi yang lain tampak kaum muda yang justru aktif dalam usaha transformasi kehidupan sosial kemasyarakatan. Banyak dari mereka yang terjun secara aktif dalam kegiatan pewartaan dan pelayanan sosial dalam Gereja. Tak sedikit pula dari mereka yang ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi yang bertujuan sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Bahkan para uskup juga sempat merekam kelaparan mereka akan doa dan kontemplasi. Ini adalah segi negatif kehidupan kaum muda di Asia .


Potensi Remaja

Ada berbagai macam potensi yang sebenarnya bisa digali dan dimanfaatkan dalam diri para remaja. Beberapa yang dapat penulis reflesikan dalam tulisan ini antara lain:
  • Remaja hidup dalam kelompok: Kecenderungan ini cukup menguntungkan karena karya pastoral yang kita lakukan bisa langsung dikenakan pada banyak orang dalam kelompok.
  • Remaja memiliki dan menyukai ide-ide gila (baru), semangat dan energi yang melimpah: Kebanyakan generasi tua bersikap apriori terhadap ide-ide gila dan baru yang lahir dari pemikiran remaja. Padahal jika dicermati dengan lebih baik maka banyak hal dapat digali dari pemikiran mereka ini.
  • Dalam tahap yang demikian remaja sangat terbuka untuk mengalami penanaman dan penjernihan nilai: Dalam masa pencarian ini mereka mulai mencoba mencari nilai-nilai yang dapat mereka jadikan pegangan hidup. Maka cocok sekali jika dalam masa ini mereka mendapatkan penanaman nilai yang memadai dan benar. Penanaman nilai yang salah pun terkadang bisa terjadi dalam masa ini dan dibawa sampai mati (contoh: perekrutan anggota teroris dengan melakukan “brainwashing” sejak dini).
  • Mereka mulai meninggalkan cara pikir anak yang materialistik dan mulai mampu untuk berpikir secara abstrak: Potensi ini memudahkan bagi kita untuk mulai berbicara dalam bahasa mereka tanpa menghilangkan nilai-nilai yang ingin disampaikan

4. REMAJA DAN DIALOG ANTARAGAMA

Mengapa remaja perlu dilibatkan dalam dialog antaragama

Setiap hari remaja harus bertemu dengan “yang lain”dalam kehidupan sehari-hari
Walaupun remaja mungkin tidak memahami fenomena kampung dunia, mereka sendiri setiap hari harus mengalami perjumpaan dengan yang lain. Mereka berjumpa dengan yang lain di sekolah, rumah, kantin, pasar, terminal, jalan, dan bahkan juga di Facebook, Twitter, Friendster, dll. Hal ini sebenarnya membuat mereka menjadi para pelaku dialog antaragama tanpa mereka sadari. Namun, berapa orang remaja saja yang mendapat pembekalan dan pendampingan manakala mereka berdialog dengan sesamanya yang berbeda agama? Berapa orang yang akhirnya harus mengakhiri persahabatan dengan temannya yang berbeda agama ketika sudah mulai saling ejek-mengejek? Betapa menyenangkan jika melihat bahwa sejak dari kecil mereka sudah bisa saling menghormati sesamanya tanpa memandang SARA.

Remaja adalah anggota Gereja
Remaja adalah sungguh-sungguh anggota Gereja. Mereka bukanlah anggota kelas dua atau dapat dinomor-duakan. Gereja harus bertanggung jawab atas kehidupan semua anggota Gerejanya. Gereja harus mendampingi setiap anggotanya (termasuk remaja) agar dapat menjadi ‘garam dan terang’/misionaris bagi semua orang karena rahmat baptisan yang telah diterimanya . Walaupun pandangan tentan remaja selalu mengarah pada Gereja masa depan, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa remaja juga adalah anggota Gereja masa kini yang perlu untuk didampingi secara serius.

Remaja adalah pemilik Gereja Masa Depan
Baik para pemimpin Gereja maupun kita sendiri sebenarnya sudah sangat memahami bahwa remaja merupakan pemilik Gereja masa depan. Kita semua menginginkan agar nantinya Gereja tetap senantiasa utuh dan dapat diwariskan kembali turun temurun. Melihat tantangan jaman ini maka Gereja masa depan sangat membutuhkan okoh-tokoh Gereja yang memiliki semangat dialog. Masa remaja memegang peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Dalam masa ini mereka mulai membentuk nilai-nilai hidup yang akan mereka bawa sampai mati. Kaburnya/salahnya makna suatu nilai akan semakin sulit dikoreksi seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Namun, penanaman nilai-nilai ini juga tidak dapat dilakukan dengan perintah-perintah otoritatif dan imperatif yang justru akan membuat mereka depresi dan akhirnya bersikap represi. Pendekatan yang simpatik dan bersahabat akan membantu mereka melewati masa ini dengan menyenangkan dan sehat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja
Mendampingi orang muda memang tidak mudah, tidak populer, membutuhkan pengorbanan yang besar dan harus bisa ngemong . Mereka yang mempunyai wawasan iman yang cukup bagi pendampingan kaum muda seringkali cukup sulit untuk diajak bergabung dan terlibat dalam pendampingan orang-orang muda. Alasan yang sering kali diutarakan adalah adanya generation gap yang cukup jauh, sibuk dan tidak punya cukup waktu. Seringkali orang-orang yang demikian hanya suka mengkritik tanpa menunjukkan sumbangsihnya sendiri bagi pendampingan kaum muda.

Ada beberapa hal yang harus diberi perhatian secara istimewa dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja. Penulis merasa perlu untuk menuliskan secara ringkas hal-hal yang harus dipenuhi/dilakukan tersebut terlebih dahulu agar proses pendampingan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa hal tersebut antara lain:

Merumuskan Tujuan Pendampingan secara jelas
Berikut ini adalah contoh gambaran kaum muda yang diharapkan muncul sesudah menjalani proses pendampingan. Para muda-mudi yang sudah ikut dalam program pendampingan diharapkan:
  • Mampu memiliki pandangan yang sehat dan benar tentang orang lain, sesama manusia, dan manusia pada umumnya tanpa memandang suku, agama, ras, budaya, tingakt ekonomi, dsb.
  • Mampu berkenalan, bertemu, menerima dan bergaul dengan orang lain tanpa pandang bulu.
  • Mampu memiliki kepekaan terhadap orang lain dalam kata-kata dan tindak tanduk serta mampu menanggapinya dengan wajar
  • Mampu berkomunikasi dengan jelas dan baik dengan siapapun
  • Mampu menciptakan dan membina kebersamaan dan kerjasama demi perkembangan diri dan menyelesaikan tugas bersama dalam semangat setia kawan dan Bhinekka Tunggal Ika
Rumusan Tujuan Pendampingan ini dibuat bukan hanya untuk kebutuhan pendamping. Sosialisasi tujuan pendampingan ini kepada para remaja harus dilakukan terus menerus agar semangat ini terinternalisasi dalam hidup mereka.

Harus ada Pendamping yang kompeten dan rela
Dalam proses pendampingan pendamping memegang peranan sentral. Dialah berperan mulai dari proses persiapan evaluasi akhir kegiatan. Dialah yang memimpin untuk menentukan isi acara, metode, arah acara dan juga suasana kegiatan tersebut. Ada segudang ideal yang diperlukan untuk menjadi seorang Pendamping yang profesional. Namun, jika hal itu disebutkan secara terperinci justru akan membuat orang enggan menjadi pendamping karena dibayang-bayangi oleh ketentuan yang segudang itu. Oleh karena itu, proses pendampingan dialog antaragama bagi remaja minimal pertama-tama membutuhkan seorang pendamping yang bisa memimpin, memiliki wawasan dan relasi yang sehat dengan orang-orang di luar agamanya, berwibawa sekaligus bersahabat dan dengan sukarela mau terlibat dalam pendampingan dialog antaragama bagi remaja.

Harus ada Pembaharuan sikap dan pandangan terhadap Remaja
Dalam Gereja sendiri tampaknya harus ada pertobatan (transformasi) berkaitan dengan siakp dan pandangannya terhadap Remaja.
  • Di dalam Gereja, Remaja harus diterima sebagai partner : Generasi yang lebih tua hendaknya tidak menempatkan generasi muda secra sub-ordinat, melainkan sejajar. Hanya posisi yang demikianlah yang memungkinkan terjadinya relasi timbal balik antar generasi. Selain itu, untuk dapat menerima remaja sebagai partner, generasi tua harus sekuat tenaga menghapuskan keraguan dan pandangan stereotip terhadap remaja. Generasi tua harus memberi kepercayaan bahwa generasi muda adalah pribadi yang otonom dan independen. Dalam relasi sebagai partner, generasi tua tidak seallu bertindak sebagai guru yang mengajarkan segala sesuatu kepada generasi muda. Kadangkala harus disadari pula bahwa generasi tua harus belajar kepada Generasi yang lebih muda. Misalnya: dalam proses dialog antaragama generasi tua umumnya menunjukkan sikap skeptis atau juga menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Dalam hal ini generasi tua perlu belajar dari generasi muda tentang bagaimana berkomunikasi tanpa tembok-tembok curiga dan waspada
  • Gereja harus mampu menjadi basis pendidikan dialog antaragama: Gereja memang harus menjadi tempat remaja beribadat dan berdoa kepada Allah. Namun, sebenarnya Gereja perlu mengembangkan fungisnya sebagai tempat bagi remaja untuk belajar hidup sebagai komunitas beriman. Gereja merupakan tempat di mana remaja belajar bersikap menerima dan menghargai ‘yang lain’ sebagai sesama yang bermartabat dan tanpa diskriminasi. Dengan mengembangkan fungsinya seara demikian Gereja menjadi basis pendidikan dialog antaragama. Sebagai suatu basis pendidikan, sebenarnya Gereja bisa menjadikan pengalaman hidup sehari-hari sebagai latihan agar dapat melakukan dialog antaragama dengan baik. Pengalaman yang dimaksud adalah peluang untuk berlatih mengusahakan dialog antargenerasi. Perlu diadakan latihan terus menerus bagi para anggota Gereja agar dapat memahami “yang lain”. Sebagai latihan, agar tidak jauh-jauh, bagaimana relasi antargenerasi dalam Gereja. Apakah sudah tercipta suatu kebiasaan dialog pada kedua belah pihak? Jika belum, maka sudah selayaknya kita “berlatih untuk berdialog di dalam” terlebih dahulu baru kemudian “ke luar” .
Prinsip masuk “lewat pintu mereka dan keluar lewat pintu kita” merupakan prinsip yang paling cocok dalam pendampingan remaja.
Prinsip ini disebut-sebut dalam beberapa buku pendampingan kaum muda sebagai prinsip pendampingan yang cukup efektif bagi remaja. Remaja memiliki kebutuhan yang besar untuk didengarkan dan dihargai. Walaupun terkadang dengan kekuatan intelektual dan pengetahuan yang masih sangat terbatas mereka bertingkah layaknya para ilmuwan, pendamping harus tetap menghargai remaja. Penerapan prinip ini harus juga diperhatikan oleh para pendamping dalam menentukan materi pendampingan, program pendampingan, bentuk pendampingan, pendekatan pendampingan, proses pendampingan serta termasuk gaya pendampingannya. Hal terpenting yang mau dibangun dari prinsip ini adalah menghindari kesan otoritatif dan satu arah yang seringkali ada dalam proses pendampingan remaja. Ketika kesan ini terbangun dengan baik para remaja akan lebih merasa aman untuk mengekspresikan dirinya dan berdialog dengan sepenuh hati tanpa takut-takut lagi.

Penting untuk diingat bahwa prinsip ini dianjurkan penggunaannya hanya dalam pendampingan remaja dan bukan saat dialog antaragama. Proses dialog antaragama harus bebas dari tendensi yang demikian. Proses dialog tidak boleh diwarnai oleh sikap “ini pintuku” dan “itu pintumu”. Kesalahan yang sama seperti ini pernah dilakukan oleh Gereja di jaman yang lampau dan ternyata berdampak buruk.

5. PENUTUP
Dalam fenomena kampung dunia saat ini, kebutuhan untuk berdialog merupakan kebutuhan Gereja untuk hidup dan bukan hanya untuk bertahan hidup. Remaja sebagai pemilik Gereja masa depan perlu didampingi sedini mungkin agar dapat memiliki sikap dialogis yang kelak akan berguna dalam menghadapi tantangan jaman di masa yang akan datang. Perjuangan dan pengorbanan para pendamping dalam mendampingi kaum muda (khususnya remaja) hendaknya dipandang sebagai investasi jangka panjang yang kelak akan berbuah lebat.






DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja
KONSILI EKUMENIS VATIKAN KEDUA, Dekrit Tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 1.
Sri Paus Yohanes Paulus II. Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), terj. Frans Borgias, OFM. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
Sumber Lain
Gayo, H.M. Iwan. 2008. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: PT Grasindo.
Jamil, M. Mukshin. 2008. Agama-agama baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jelantik J.P.H. 2007. Diktat Pastoral Kaum Muda (pro manuscripto). Malang: STFT Widya Sasana.
Komisi Kepemudaan Konperensi Waligereja Indonesia. 1998. Pedoman Karya Pastoral Kaum. Jakarta:KWI.
L, Silvester Kanisius. 2006. Allah dan Pluralisme Religius. Jakarta: Penerbit OBOR.
Mangunhardjana, A.M. 1986. Pendampingan Kaum Muda. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Oen, Yulia. Etos Postmodern. http://www.ylsa.org/. diakses 14 Maret 2010.
Titisari, Detty. 2004. “Tato Mahkota Duri”, dalam Dr. Hartono Budi dan M. Purwatma (ed.). Di Jalan Terjal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudhiarsa, Raymundus. 2006.”Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja”, dalam Mgr. John Liku Ada, Pr (ed.). Dialog Antara Iman Dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi KWI.
Sunarko, A. 2006. “Terombang-ambing antara Budaya Modern dan Postmodern” , dalam Mgr. John Liku Ada, Pr (ed.). Dialog Antara Iman Dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi KWI.
Yap Fu Lan. 2005. Mendampingi Remaja Gaul Lintas Batas. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.