Kesimpulan dan kesan saya setelah membaca artikel ini adalah bahwa Artikel From Revelation to Revelations yang ditulis oleh Paulo Suess memberi penegasan dan penjabaran tentang apa yang diuraikan oleh Fr. Frans Hardjosetiko dalam matakuliah Pluralisme Religius dan Dialog Intra Religius (selanjutnya disingkat DIR), khususnya tentang tema kelompok orang-orang miskin (the poor) dan orang-orang lain (the other). Baik mata kuliah DIR maupun artikel ini sama-sama berangkat dari kenyataan adanya pluralisme religius. Tulisan Paulo Suess memberi tambahan informasi bahwa sejak jaman dahulu terdapat usaha-usaha untuk “menunggalkan” (membuat menjadi tunggal) pluralisme tersebut. Usaha-usaha itu dapat dilihat dengan jelas pada kitab suci orang Yahudi yang mendaku (to claim) memiliki Allah yang paling benar dan Allah itu Esa. Usaha ini terus ada sepanjang sejarah dan pada jaman ini menurut Fr. Frans muncul masalah juga karena pluralisme religius ini harus berhadapan dengan unisitas Kristus.
Menurut Fr. Frans, dalam membahas masalah pluralisme religius mau tidak mau kita akan dihadapkan pada kelompok orang-orang miskin (the poor) dan orang-orang lain (the other). Paulo Suess memberi penjabaran tentang siapa dan mengapa the poor dan the other selalu dikaitkan dengan pluralisme religius. Dalam artikelnya the poor adalah orang-orang yang sungguh hidup miskin di dunia ini. The poor mendapat tempat istimewa karena Paulo Suess mengutip preferensi Yesus sendiri kepada orang miskin. The poor adalah para penerima dan subyek wahyu itu sendiri. Allah seringkali menyembunyikan wahyunya bagi para bijak dan pandai tetapi justru menyatakannya pada orang kecil (Luk 10:21, Mat 11:25). Orang-orang kecil/kaum minoritas/kaum marginal yang seringkali tidak diuntungkan menjadi pemegang janji keselamatan Allah.
Kesadaran ini membawa perubahan besar pada model misi Gereja. Sebagai sebuah institusi yang besar, Gereja sudah seharusnya juga memihak pada bangsa-bangsa bangsa kecil sesederhana apapun budaya mereka. Pada masa yang lampau terang-terangan Gereja mempraktekkan misi dengan corak eksklusivisme. Corak demikian dibawa oleh Fransiskus Xaverius dan Yosep dari Anchieta sewaktu bermisi di Asia dan Brazil. Corak demikian juga terlihat jelas pada ensiklik-ensiklik dan surat-surat apostolis tentang misi pada jaman itu, seperti : Dominus Iesus, yang tidak mendapat sambutan hangat di Asia tetapi justru semakin meresahkan umat karena di Asia banyak agama-agama tua yang lebih dahulu hadir daripada kekristenan.
Menurut Paulo Suess, satu-satunya hal yang dapat dilakukan untuk agar orang kristen dan orang non kristen dapat berbicara mengenai Tuhan adalah melalui analogi-analogi. Analogi tetap mempertahankan konsep-konsep wahyu tiap agama dengan segala kebenaran aktualnya tanpa memasuki ranah religius masing-masing agama. Proses ini baik, tetapi menurut matakuliah DIR belum cukup. Proses ini bisa dijadikan sebagai awal dalam pendekatan Teologi fundamental untuk membuat suatu Teologi Universal, kebenaran iman yang dapat diterima semua agama (pendekatan Teologi Sistematis) dan praksis umum yang dapat dilakukan oleh semua agama (pendekatan Teologi Praksis).
Menurut Fr. Frans, dalam membahas masalah pluralisme religius mau tidak mau kita akan dihadapkan pada kelompok orang-orang miskin (the poor) dan orang-orang lain (the other). Paulo Suess memberi penjabaran tentang siapa dan mengapa the poor dan the other selalu dikaitkan dengan pluralisme religius. Dalam artikelnya the poor adalah orang-orang yang sungguh hidup miskin di dunia ini. The poor mendapat tempat istimewa karena Paulo Suess mengutip preferensi Yesus sendiri kepada orang miskin. The poor adalah para penerima dan subyek wahyu itu sendiri. Allah seringkali menyembunyikan wahyunya bagi para bijak dan pandai tetapi justru menyatakannya pada orang kecil (Luk 10:21, Mat 11:25). Orang-orang kecil/kaum minoritas/kaum marginal yang seringkali tidak diuntungkan menjadi pemegang janji keselamatan Allah.
Kesadaran ini membawa perubahan besar pada model misi Gereja. Sebagai sebuah institusi yang besar, Gereja sudah seharusnya juga memihak pada bangsa-bangsa bangsa kecil sesederhana apapun budaya mereka. Pada masa yang lampau terang-terangan Gereja mempraktekkan misi dengan corak eksklusivisme. Corak demikian dibawa oleh Fransiskus Xaverius dan Yosep dari Anchieta sewaktu bermisi di Asia dan Brazil. Corak demikian juga terlihat jelas pada ensiklik-ensiklik dan surat-surat apostolis tentang misi pada jaman itu, seperti : Dominus Iesus, yang tidak mendapat sambutan hangat di Asia tetapi justru semakin meresahkan umat karena di Asia banyak agama-agama tua yang lebih dahulu hadir daripada kekristenan.
Menurut Paulo Suess, satu-satunya hal yang dapat dilakukan untuk agar orang kristen dan orang non kristen dapat berbicara mengenai Tuhan adalah melalui analogi-analogi. Analogi tetap mempertahankan konsep-konsep wahyu tiap agama dengan segala kebenaran aktualnya tanpa memasuki ranah religius masing-masing agama. Proses ini baik, tetapi menurut matakuliah DIR belum cukup. Proses ini bisa dijadikan sebagai awal dalam pendekatan Teologi fundamental untuk membuat suatu Teologi Universal, kebenaran iman yang dapat diterima semua agama (pendekatan Teologi Sistematis) dan praksis umum yang dapat dilakukan oleh semua agama (pendekatan Teologi Praksis).
No comments:
Post a Comment