Sunday, June 2, 2013

ESKATOLOGI ILMIAH DI HADAPAN SEORANG TEOLOG

Kajian tentang hal-hal terakhir (eschatos+logos) merupakan kajian yang menarik bagi berbagai macam disiplin ilmu. Pertama-tama yang harus disebutkan pertama kali memang adalah Teologi yang mau tidak mau harus berurusan secara langsung dengan makna hidup manusia dan kehendak Pencipta di dalamnya. Namun demikian, cabang-cabang ilmu alam yang lain pun ternyata ikut memikirkan kajian ilmu ini dalam perspektif mereka masing-masing. Para fisikawan, kosmolog, dan matematikawan terlibat secara aktif dalam pembicaraan dan perbincangan tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dengan berbekal dari aksioma-aksioma yang telah mereka miliki dari cabang keilmuan masing-masing.
Dalam karya tulis ini, Penulis merasa tertarik melihat keterlibatan ilmu-ilmu lain dalam kajian eskatologi. Penulis ingin melihat secara sekilas bagaimana para ilmuwan berbicara tentang hal-hal terakhir serta melihat kekhasan cara pandang mereka. Untuk maksud itu, penulis akan membandingkannya secara langsung dengan kekhasan eskatologi yang ada dalam teologi kristen secara umum. Dengan cara dibandingkan, penulis bermaksud untuk merefleksikan kekhasan gaya bereskatologi masing-masing cabang keilmuan dan dengan demikian dapat semakin arif menyikapi perbedaan antara keduanya.

Mengapa eskatologi
          Mengapa manusia tergerak untuk berdiskusi tentang hal-hal terakhir? Mengapa manusia ingin tahu apa yang akan terjadi pada akhir jaman dan apa yang akan terjadi “setelah” akhir jaman? Mengapa hal-hal ini menarik perhatian manusia?
Secara antropologis, rasa ingin tahu dan ketertarikan akan hal-hal akhir ini muncul secara alami pada manusia karena manusia cenderung ingin keluar dari kekacauan/ketidakteraturan (χάος). Manusia selalu ingin keluar dari keadaan kacau dan tidak teratur karena keadaan yang demikian selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Naluri alamiah ini dalam bahasa fisika disebut sebagai kelembaman yang niscahya dimiliki oleh seluruh makhluk. Untuk membentuk dan menjamin keteraturan itu manusia membuat struktur-strutur.
Manusia adalah “binatang” yang terstruktur (structuring animal[1]). Ia membuat struktur karena sebenarnya manusia sangat membutuhkan struktur. Manusia menstrukturisasi ruang melalui segala macam skala mulai dari nanometer hingga kilometer. Selain itu, Ia juga menstrukturisasi waktu melalui dengan segala macam skala mulai dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan struktur-struktur lain yang menghindarkannya dari kekacauan/ketidakteraturan (χάος), inilah yang disebut Hescel, seorang filsuf Yahudi, sebagai “Arsitektur Waktu”.[2] Struktur-struktur inilah yang bisa menghindarkan kehidupan manusia dari kekacauan. Dengan kata lain, kehidupan tanpa struktur waktu bisa menimbulkan kekacauan dan kebingungan yang luar biasa.
Mau tidak mau harus diakui bahwa manusia menstrukturisasi waktu. Manusia butuh untuk mengetahui “Jam berapa sekarang” agar ia tidak “tersesat” ke dalam kekacauan (state of chaos). Dan melangkah lebih besar lagi, ternyata manusia tidak hanya menstrukturisasi waktu di sekitarnya. Manusia membuat lompatan besar dengan berusaha juga untuk menstrukturisasi awal waktu dunia dan akhir waktu dunia.
Definisi tentang awal dan akhir waktu dunia sangat diperlukan manusia  bagi dirinya. Jika tidak ada definisi tentang awal dan akhir waktu, maka tidak akan ada juga definisi tentang waktu pertengahan di antaranya. Dan jika tidak ada waktu pertengahan maka manusia tidak bisa mengetahui dimana mereka berada; manusia tidak bisa menentukan lokasi keberadaannya dalam waktu. Jika demikian artinya manusia jatuh dalam kekacauan. Manusia tidak suka akan keadaan ini. Untuk tujuan inilah kajian eskatologi menjadi begitu relevan untuk semua manusia, bukan hanya yang religus saja.
          Selain itu, berkaitan dengan waktu, salah satu realitas yang paling absurd bagi manusia ialah realitas kematian. Kematian merupakan ledakan kekacauan yang paling besar dalam hidup manusia. Walaupun kematian selalu merupakan cara yang digunakan oleh alam untuk menyegarkan dirinya dan mengiinkan kelahiran sesuatu yang baru, kematian tetap saja mengandung sebuah teka-teki kekacauan yang menggelisahkan. Kematian bisa mengancam struktur yang telah dibangun oleh manusia dengan susah payah. Oleh sebab itu, kajian khusus tentang hal-hal sesudah kematian juga sangat menarik bagi manusia karena di dalamnya orang berusaha berpikir bagaimana struktur yang telah dibangun tidak dirusak begitu saja oleh kematian. 
Eskatologi Ilmiah
          Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan untuk dapat menggali tentang eskatologi ilmiah adalah “Bagaimana semua yang ada ini akan berakhir?”. Menjawab pertanyaan tersebut ada ribuan versi jawaban yang bisa diberikan oleh para ilmuwan lengkap dengan dasar-dasarnya masing-masing yang semuanya masuk akal. Namun demikian, dalam tulisan ini penulis hanya akan menyinggung satu versi secara mendalam dan yang teori-teori lain yang sangat populer, ilmiah hanya akan dijelaskan secara sekilas.
Akhir dunia versi pertama dimunculkan oleh seorang fisikawan dan kosmolog terkemuka yang sedang naik daun saat ini, Steven William Hawking[3]. Berikut uraian sederhana tentang akhir alam semesta versi Hawking: Hawking percaya bahwa Alam semesta ini dimulai dengan adanya sebuah ledakan besar. Ledakan apa? Ledakan sebuah singularitas energi yang sangat masif/raksasa. Peristiwa ledakan ini lebih dikenal dengan sebutan Big Bang yang terjadi kurang lebih 15 trilyun tahun yang lalu. Dari Big bang ini terbentuk segala sesuatu. Planet-planet terbentuk dari partikel-partikel atom hidrogen yang bereaksi dengan kecepatan yang luar biasa dengan atom-atom lain sehingga membentuk partikel dan protein. Dari protein-protein sederhana inilah tercipta makhluk-makhluk ber sel satu dari proses abiogenesis[4] yang terjadi ketika protein mendapat sengatan listrik yang luar biasa. Singkatnya, terbentuklah gugusan-gugusan galaksi yang tersusun atas tata surya-tata surya di dalamnya. Hawking percaya bahwa alam semesta ini sampai hari ini terus meluas karena pengaruh dari ledakan yang besar tersebut. Bintang-bintang merupakan pecahan-pecahan energi yang masih cukup besar sehingga bintang-bintang bisa memancarkan energi dari dirinya sendiri. Namun, suatu saat energi pada bintang tersebut akan habis. Ketika energi dalam bintang habis, ia akan berubah menjadi sebuah titik yang menyerap segala sesuatu ke dalamnya, bahkan cahaya pun tidak akan bisa melewatinya. Inilah yang disebut dengan black hole[5]. Mengapa bintang berubah menjadi black hole? Karena bintang yang kehabisan energi sebenarnya hanya kehabisan energi positif dan di dalam dirinya sekarang penuh dengan energi negatif. Hukum kekekalan energi Black menyatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan dan energi tidak dapat dimusnahkan”, untuk itu bintang yang selama hidupnya memancarkan energi kini ganti menyedot semua energi ketika kematiannya. Hawkin percaya bahwa suatu saat semua bintang akan kehabisan energinya dan menjadi kumpulan black hole yang siap menyedot semuanya ini ke dalam satu singularitas kembali. Tesis inilah kemudian yang disebut secara populer dengan sebutan Big Crunch.[6] Big Bang adalah saat semuanya tercipta dan Big Crunch adalah akhir dari segala sesuatu.
          Versi-versi lain yang berkembang selain teori Hawking adalah Teori Big Freeze[7]. The Big Freeze adalah sebuah skenario di mana ekspansi alam semesta yang asimtotik dan terus menerus mendekati suhu nol mutlak. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya energi gelap. Kondisi ini hanya terjadi di bawah geometri datar atau hiperbolik. Dengan konstanta kosmologi yang positif, bisa juga terjadi di alam semesta tertutup. Skenario ini terkait dengan kematian akibat panas, yang menyatakan bahwa alam semesta pergi ke keadaan entropi maksimum di mana semuanya merata, dan tidak ada gradien - yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Skenario ini mensyaratkan bahwa pada akhirnya alam semesta akan mencapai suhu minimumnya.
Teori ketiga yang juga sangat digandrungi adalah Teori Big Rip[8]. Teori ini berpandangan bahwa energi negatif yang terkumpul di alam semesta semakin besar dan memiliki akselerasi yang tinggi dan akhirnya melebihi konstanta Hubble. Akibatnya, semua benda-benda di alam semesta, dimulai dengan galaksi dan akhirnya (dalam waktu terbatas) semua bentuk, tidak peduli seberapa kecil, akan hancur menjadi partikel elementer dan radiasi, terkoyak oleh kekuatan energi negatif dan berpencar terpisah satu sama lain.
Berbicara tentang apa yang ada sesudah kematian, kebanyakan para ilmuwan hanya mengatakan bahwa tidak ada apapun yang terjadi setelah kematian, kecuali tubuh manusia yang akan dimakan oleh bakteri pengurai sama seperti tumbuhan dan hewan yang lain. Sejauh penulis pelajari, tidak ada saintis yang menyepekulasikan adanya “kehidupan” sesudah kematian dari kajian ilmunya. Kebanyakan ilmuwan mengatakan bahwa pikiran (mind), jiwa (soul), dan pribadi (self) akan mati bersamaan dengan ketika otak (brain) benar-benar mati.[9]
Refleksi atas Eskatologi Ilmiah
Usaha untuk menyelamatkan dunia dari kekacuan merupakan salah satu definisi klasik tentang agama ( a- berarti tidak, dan -gama berarti kacau). Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berusaha untuk menyusun suatu suasana harmonis yang kuat, persuasif dan tahan lama pada manusia dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi tingkatan-tingkatan eksistensi secara umum, yakni: bahwa ada Tuhan yang menduduki posisi teratas sebagai pencipta, dan manusia serta ciptaan lain ada di bawahnya. Dengan definisi ini semua definisi eskatologi menjadi bernuansa religius karena definisi-definisi ini juga memuat tentang stuktur eksistensi yang ada di dunia. Semua definisi eskatologi ini membantu kita untuk menstrukturisasi pengalaman manusiawi kita. Definisi tersebut menyediakan bagi kita kerangka kemungkinan yang paling luas tentang kedudukan kita dalam sejarah dunia. Jika manusia tertarik pada ciptaan, maka manusia harus berbicara tentang eskatologi, sama seperti jika manusia berbicara tentang permulaan waktu maka manusia harus juga berbicara tentang akhir waktu. Jika tidak maka manusia tidak akan tahu dimana mereka berada.
Dalam pikiran penulis, sebenarnya kajian eskatologi teologis dan ilmiah tidak perlu dipertentangkan. Memang ada begitu banyak pertentangan yang bertolak belakang antara  kedua kajian eskatologi tersebut dan secara logis kita tidak bisa memilh kedua-duanya karena adanya pertentangan-pertentangan tersebut. Banyak pihak secara naif dan tidak seimbang memihak pada salah satu versi visi eskatologi dan pada saat yang sama menolak dan membenci visi eskatologi yang lain.
Setelah membaca banyak referensi tentang Eskatologi Ilmiah, kesadaran baru yang paling menarik menurut penulis ialah bahwa kebanyakan dan hampir semua eskatologi ilmiah berbicara soal hal-hal akhir atas benda-benda yang tak berjiwa, misalnya: bintang-bintang, planet, dan matahari. Menurut hemat penulis hal ini memang sungguh cocok bagi para fisikawan dan kosmolog karena subyek kajian ilmu mereka memang itu. Lalu dengan demikian manusia dan kemanusiaan memang menjadi tidak relevan bagi eskatologi ilmiah karena keberadaan manusia dari sudut pandang kosmik menjadi sangat sepele.
Ada dua kontras yang sempat penulis tangkap ketika membaca kajian eskatologi ilmiah dan kajian teologi pada umumnya, yakni: pertama, Unsur manusia seringkali diabaikan dalam eskatologi ilmiah, dan sebaliknya dalam teologi pada umumnya unsur/dimensi kemanusiaan menduduki tempat yang cukup sentral. Kajian eskatologi Teologis selalu mengarah pada dunia yang damai, bebas dari penderitaan dan penaklukan maut atas maut. Pada saat yang sama eskatologi teologis tidak tertarik pada apa yang terjadi pada bulan, bintang, proton, neutron, dan semacamnya. Dan jika pun ada kajian soal apa yang akan terjadi dengan alam pada “hari terakhir”, seperti dalam Amos 5 dan Zakaria 14, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa kajian seperti ini sangat sedikit ditemukan dalam sumber-sumber teologi.
Perbedaan utama kedua adalah bahwa dalam eskatologi ilmiah, di tingkat kosmik, kisah kehancuran alam semesta tampaknya benar-benar sudah ditentukan dan pasti terjadi demikian. Hal ini diatur dalam gerak oleh Big Bang dan akan berjalan demikian apapun yang terjadi. Hal ini lain sama sekali dengan eskatologi dalam teologi. Dalam eskatologi teologi akhir zaman ditentukan oleh kehendak Allah. Apakah nanti dunia akan tenggelam ke dalam keadaan kejahatan keji, atau, seperti dalam tradisi yang berbeda, dunia akan diangkat dalam kesucian, itu semua tergantung pada kehendak bebas Allah. Hal ini sesuai dengan penjelasan tentang Prinsip-prinsip penafsiran ajaran gereja tentang eskatologi yang diberikan di ruang perkuliahan, yakni bahwa eskatologi bukanlah laporan apa yang akan terjadi ataupun ramalan masa depan. Eskatologi teologis adalah harapan yang mencari pemahaman dengan terus mengeksplorasi, menganalisis, dan menafsirkan pengalaman manusia dengan latar belakang keselamatan Kristus (Teologi Kristen).
Dengan demikian penulis ingin menyimpulkan bahwa sebenarnya konflik kuno antara Ilmu pengetahuan dan agama/teologi seharusnya sudah harus ditinggalkan. Kedua disiplin ilmu sekarang sudah menyadari bahwa mereka menghadapi realitas yang melampaui segala kemungkinan dari setiap bentuk pengalaman manusia. Dan, keduanya kini melakukan hal yang sama yakni mencoba untuk menjelaskan dunia yang kita lihat dengan mengacu pada dunia yang tidak bisa kita lihat. Keduanya menemukan penjelasan masing-masing  untuk menjelaskan tentang hal-hal yang kelihatan dengan mengacu pada dunia yang tidak terlihat dan memaknai keberadaan setiap ada sebagaimana adanya. Inilah yang sebenarnya dilakukan baik oleh ilmuwan dan teolog, mereka berurusan dengan hal-hal yang tak terlihat untuk menjelaskan hal-hal yang terlihat.



[1] Neil Gillman, How Will it all end?, http://www.cross-currents.com/ , diakses tanggal 1 Maret 2013
[2] Abraham Joshua Heschel, Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite,  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010
[3] “Into a black hole”, http://www.hawking.org.uk/into-a-black-hole.html,  diakses 1 Maret 2013
[5] Into a Black Hole, loc. cit.
[8] Ibid.

[9] http://www.huffingtonpost.com/2011/06/23/what-happen-when-we die_n_882738.html#s296717&title=There_ Is_An; http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=what-happens-to-consciousness-when-we-die; Can Science Discover What Happens When We Die?, http:// www.horizonresearch.org/main_page.php?cat_id=58, diakses tanggal 1 Maret 2013

KETELADANAN IMAMAT SANTO YOHANES MARIA VIANNEY DALAM ENSIKLIK SACERDOTII NOSTRI PRIMORDIA KARYA BEATO YOHANES XXIII

PENGANTAR
Santo Yohanes Maria Vianney adalah seorang imam bersahaja yang menginspirasi banyak orang melalui hidupnya yang sederhana dan saleh. Oleh karena kekudusannya ini, ia dijadikan pelindung para pastor paroki yang notabene adalah gembala-gembala jiwa dengan harapan bahwa para gembala jiwa dapat diresapi oleh semangat Santo Yohanes Maria Vianney dalam menjalankan reksa pastoralnya. Dalam ensiklik ini Beato Yohanes XXIII yang tercinta mengungkapkan kecintaannya kepada Santo Yohanes Maria Vianney dan menguraikan kisah-kisah hidupnya serta kutipan-kutipan pembicaraannya dan merangkaikannya sebagai nasihat-nasihat bagi para imam untuk menjalani imamatnya seturut dengan teladan Santo Yohanes Maria Vianney yang cemerlang. Paus Yohanes XXIII berharap bahwa dengan mengikuti jejak-jejak kesucian Pastor dari Ars selangkah demi selangkah para imam dapat semakin banyak
Penulis sengaja memilih ensiklik ini karena ensiklik inilah yang pertama kali diuraikan oleh RD. Edi Laksito (Rektor STPD sekarang) sewaktu kami baru pindah dari malang. Beliau ingin mengombinasikan dan mencari relevansi antara pelindung seminari kami yang lama Beato Giovanni XXIII dengan pelindung seminari baru di Surabaya Santo Yohanes Maria Vianney. Usaha ini cukup menyentuh bagi penulis dan ternyata memang kisah hidup dan ujaran-ujaran St. Yohanes Maria Vianney sungguh menggetarkan hati penulis. Penulis pun sempat beberapa kali menarik nafas panjang karena tersentuh dengan kata-kata dari Santo Yohanes Maria Vianney yang terkasih.
KISAH HIDUP SANTO YOHANES MARIA VIANNEY[1]
Masa Kecil
Yohanes Baptis Maria Vianney kecil dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly, sebuah dusun dekat Lyons, Perancis, dalam sebuah keluarga petani sederhana. Rumah keluarga Vianney ada di antara perkebunan anggur yang indah. Rumahnya telah dikenal sebagai rumah orang-orang miskin dan wisma para pengemis yang berkelana.  
Orangtua Yohanes Maria adalah Matius dan Maria Vianney. Bapak Matius adalah seorang yang takut akan Tuhan dan amat jujur walaupun saat itu adalah abad di mana korupsi merajalela di Perancis. Sedangkan ibunya, Maria Vianney menonjol dalam keutamaan-keutamaan kelemah-lembutan dan kasih sayang yang memancar dari lubuk hatinya yang terdalam, sungguh pantas menjadi ibu seorang kudus.
Sebelum kelahiran St Yohanes Maria, anak pertama dari enam bersaudara, sang ibu sudah mempersembahkan calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria. Ia bernazar secara rahasia untuk mempersembahkan Yohanes Maria di altar Tuhan. Bidan yang melayani persalinannya berseru, “Sungguh, entah anak ini akan menjadi seorang kudus besar atau seorang penjahat besar.”
Di usianya yang baru delapanbelas bulan Yohanes Maria telah belajar mengatupkan kedua tangan mungilnya dalam doa dan mengucapkan nama Yesus dan Maria. Maria Vianney dengan teratur membangunkan anak-anaknya setiap pagi, agar ia dapat memastikan mereka mempersembahkan hati mereka kepada Tuhan. Kesalehan ibunya tertanam dalam hatinya.
Pada masa kanak-kanak Yohanes Maria, karena anti-klerus Revolusi Perancis yang pecah pada tahun 1789, para imam yang tidak menandatangani sumpah setia kepada negara, dibuang dalam pengasingan. Sebagian imam terpaksa hidup dalam persembunyian. Jika tertangkap hukuman pancung telah menanti. Segera saja pintu-pintu gereja di Dardilly disegel dan paraktek iman Katolik dilarang oleh pemerintah.
Namun, di Lyons masih ada sekitar 30 orang imam yang setia kepada Roma. Imam-imam itu terus melayani sakramen-sakramen secara sembunyi-sembunyi, dengan taruhan nyawa mereka. Keluarga Vianney, tidak saja memegang teguh iman mereka selama masa penganiayaan ini, melainkan justru semakin diperteguhlah iman mereka karenanya. Keluarga Vianney tidak pernah mau berhubungan dengan imam-imam yang bersumpah setia kepada konstitusi Perancis yang anti-Gereja. Orangtua Yohanes Vianney terus mendaraskan doa-doa harian dan mengajarkan katekese di rumah. Sekali waktu, seorang imam yang setia kepada Roma akan datang untuk mempersembahkan Misa secara sembunyi-sembunyi. Dalam situasi seperti itu, Yohanes Maria harus menerima Komuni Pertamanya secara sembunyi-sembunyi kala usianya 13 tahun.
Revolusi Perancis menyebabkan begitu banyak imam menyeleweng. Hal ini membuat rasa ngeri akan dosa muncul dalam diri Yohanes Maria. Namun, rasa ini sekaligus mengobarkan semangatnya untuk menjadi seorang yang saleh. Ia pernah berkata, “Oh, andai aku seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi Tuhan.”

Perjuangan Menjadi Imam
Pada tahun 1799 Napoleon Bonaparte menjadi penguasa absolut Perancis. Ia memerdekakan Gereja, sehingga Misa Kudus kembali dapat dirayakan secara umum dan Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus dapat ditahtakan di altar. Yohanes Maria segera saja setia mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Penggembala domba yang telah menjadi seorang pemuda berusia 18 tahun itu merasa mantap untuk menjawab panggilan hatinya menjadi seorang imam. Sungguh sayang, Matius tidak mengijinkan putranya masuk seminari. Ia merasa tidak akan mampu membiayai sekolah putranya. Ditambah lagi, ia sudah semakin tua dan membutuhkan tenaga Yohanes Maria untuk bekerja di pertanian. Sia-sia saja Maria memohon kepada suaminya. Sepanjang waktu itu, St Yohanes menyimpan semuanya dalam hati, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang kudus.
Pada tahun 1806, Abbè Balley, salah seorang dari dua imam yang paling berpengaruh dalam keluarga Vianney, membuka sebuah sekolah kecil di pastoran di Ecully, guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk panggilan imam. Matius setuju dan memperbolehkan Yohanes belajar di sana. Tetapi, pada awalnya Abbè Balley enggan menerima Yohanes Maria, sebab pendidikannya tidak memadai, ia hanya tahu membaca dan menulis. Namun, Yohanes yakin akan panggilannya, jadi ia mendesak. Abbè Balley akhirnya berubah pendirian setelah ia mengetahui betapa banyak Yohanes mengenal kisah para kudus. Pada tahun 1807, Yohanes Maria menerima Sakramen Penguatan dan menambahkan Baptis dalam namanya.
Belum lama belajar di seminari, setahun kemudian muncul halangan berikutnya. Napoleon Bonaparte sangat membutuhkan tenaga prajurit. Jadi, meski sebenarnya bebas dari wajib militer, Yohanes Maria bersama para seminaris lainnya dipanggil untuk masuk dinas militer. Mereka diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas di Loyons. Tetapi, dua hari setelah menerima instruksi, ia sakit dan harus dirawat di rumah sakit sehingga teman-temannya meninggalkannya. Pada tanggal 5 Januari 1809, sementara masih dalam taraf penyembuhan, ia telah diperintahkan untuk melapor di Roanne untuk suatu wajib militer keesokan harinya. Teman-teman seperjalanan meninggalkan Yohanes Maria, karena ia bersikeras singgah terlebih dahulu di gereja untuk berdoa. Ia berusaha menyusul mereka di Renaison, walau peralatan militer yang ada padanya hanyalah sebuah ransel.
Sepanjang perjalanan, Yohanes berdoa rosario. Ketika mendekati pegunungan Le Forez, ia berhenti untuk beristirahat. Yohanes bertanya-tanya dalam hati di manakah ia akan dapat menemukan tempat berteduh dalam musim dingin seperti ini. Sekonyong-konyong, muncul seorang yang menyebut diri sebagai Guy. Guy memungut ransel Yohanes dan menghantarnya lewat naik ke suatu jalan pegunungan ke sebuah gubug dekat dusun Les Noës yang terpencil. Sungguh beruntung, pada tahun 1810, sehubungan dengan pernikahannya dengan puteri bangsawan Marie-Louise, Bonaparte memberikan amnesti umum kepada semua pelarian; dengan demikian, Yohanes Maria bebas pulang ke rumah.
Tahun berikutnya Yohanes Maria menerima Tonsura (= upacra pemangkasan rambut calon imam sebelum menerima tahbisan rendah; upacara ini dihapuskan sejak 1972), kemudian belajar filsafat setahun lamanya di seminari menengah di Verrières. Ketika kembali di seminari, Yohanes Maria mempersembahkan diri kepada Bunda Maria, mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan-tangan kudusnya. Ia mempersembahkan segala perbuatan-perbuatan baiknya di masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang, ke dalam perlindungan keibuannya, dengan cara seperti yang diajarkan oleh St. Louis de Montfort, seorang santo besar Perancis yang amat berpengaruh dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa penganiayaan.
Pada tahun 1813, Yohanes Maria melanjutkan studinya di seminari tinggi di Lyons. Sejak itu ia dikenal sebagai Abbè Vianney, sebab ia telah menerima Tonsura tahun sebelumnya. Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney terkenal karena laku tapa, silih, kerendahan hati dan permenungannya yang mendalam. Tetapi, dalam bidang akademis ia amat lemah; ia sulit sekali belajar dan menghafal. Walau telah berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil menguasai bahasa Latin; sebab itu Abbè Vianney dijuluki sebagai “seminaris paling bodoh, namun paling saleh di Lyons”. Enam bulan kemudian, yang berwenang terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari sebab pengetahuan akademisnya sungguh buruk.
Nyaris putus asa, Abbè Vianney mendengar suatu suara yang menghiburnya untuk tidak bersedih hati, sebab suatu hari kelak ia akan sungguh menjadi seorang imam. Abbè Balley juga tak hendak menyerah, ia secara privat membimbing Abbè Vianney dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah dan diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Perancis dan ia berhasil lulus. Bahkan, para penguji mencatat bahwa ia “memberikan jawaban-jawaban yang sungguh bagus serta memuaskan....”
Kesalehan Yohanes Maria Vianney terdengar juga oleh Bapa Uskup. Beliau bertanya, “Apakah ia berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam yang terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh;” demikian Uskup, “rahmat Tuhan akan melakukan selanjutnya.”
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1814, pada pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet, Abbè Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon dan pada tanggal 12 Agustus 1815, ia ditahbiskan menjadi imam untuk selamanya. Pada mulanya, karena pengetahuannya dianggap tidak mencukupi, yang berwenang tidak memperkenankan Romo Vianney melayani Sakramen Pengakuan Dosa. Namun, ternyata Tuhan suka bergurau juga, sebab tak lama lagi ia akan harus melayani pengakuan dosa hingga 18 jam dalam sehari!
Romo Vianney ditugaskan sebagai imam pembantu Romo Balley di Ecully hingga pembimbingnya itu wafat pada tahun 1817. Awal tahun 1818, Romo Vianney ditugaskan sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang berpenduduk 230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya, dan buahnya sungguh luar biasa!

Karya Sebagai Imam di Ars
Tugasnya sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit. Dibutuhkan beberapa tahun untuk menutup kedai-kedai minum, delapan tahun untuk menghentikan aktivitas perdagangan di hari Minggu, dan duapuluh lima tahun untuk membuat masyarakat di sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa-dansi dengan tidak sopan. Tak henti-hentinya ia berdoa bagi para pendosa, juga menanggung banyak penderitaan bagi mereka. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita,” katanya.
Pada mulanya, sekedar karena rutinitas belaka, penduduk desa akan datang untuk merayakan Misa pada hari Minggu, dan selesai sudah. Bahkan alasan-alasan yang paling remeh sekalipun sudahlah cukup bagi mereka untuk absen dari Misa. Hanya pada hari-hari Minggu saja Romo Vianney mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada hari-hari lain dalam pekan, Romo Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian dan pondok-pondok ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan siang. Ia akan berdiri, bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada mereka mengenai pertanian. Tetapi, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil mengalihkan pembicaraan ke surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan melintasi padang seraya mendaraskan Rosario.
Orang kudus kita ini belum menganggap desanya bertobat hingga keduaratus penduduk desa seluruhnya mengamalkan Sepuluh Perintah Allah, Kelima Perintah Gereja dan menunaikan praktek-praktek kesalehan setiap hari. Ia berbicara mengenai kesopanan dalam berbusana, sebab ia tahu bahwa kesopanan adalah perwujudan lahiriah dari kemurnian, dan ia menuntut kesopanan sepanjang waktu, tidak saja di gereja. Tetapi, dosa yang membuatnya paling banyak menangis sedih adalah dosa hujat, pencemaran Nama Allah yang kudus. Ia biasa mengatakan bahwa adalah suatu mukjizat para penghujat tidak mati disambar petir seketika. Ia memperingatkan penduduk desa bahwa “jika dosa hujat biasa dilakukan dalam rumahmu, maka, ia - rumahmu - akan binasa.” Dari sini tampak jelas bahwa Romo Vianney tidak mau menolerir dan tidak mau berkompromi dalam segala hal yang menyangkut dosa, sungguh, amat mirip benar dengan St Yohanes Pembaptis, santo pelindungnya.

Sakramen Tobat
Perhatian pertama Imam dari Ars adalah menanamkan dalam diri umat beriman kerinduan untuk bertobat. Ia menekankan indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh kehidupan imamat dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan orang-orang berdosa? Di atas segalanya, dalam pengampunanlah belas kasih Allah tampak nyata. Jadi, ia tak hendak menghindarkan diri dari para peniten yang datang dari segala penjuru negeri. Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan matiraganya yang paling besar, suatu bentuk kemartiran. Pertama, kemartiran dalam arti jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar pengakuan. Kedua, kemartiran dalam arti moral, sebab ia sendiri menderita akibat dosa-dosa yang diakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis, sebab engkau tidak menangis.” Di hadapan orang-orang yang suam-suam kuku ini, yang disambutnya dengan segenap kasih dan berusaha dibangkitkan kasihnya akan Allah, Tuhan memampukan St YM Vianney untuk mendamaikan kembali pendosa-pendosa berat yang bertobat dan juga membimbing jiwa-jiwa yang haus untuk mencapai kesempurnaan. Di sinilah, di atas segalanya, Tuhan meminta imamnya yang kudus itu untuk ikut ambil bagian dalam karya Penebusan-Nya.
Suatu hari, setelah meninggalkan kamar pengakuan untuk mempersembahkan Misa, St YM Vianney melewati seorang gadis yang bersiap pergi karena telah putus asa untuk dapat bertemu dengan sang imam. Dengan ramah Romo Vianney menyapanya, “Engkau tidak cukup sabar, anakku. Engkau baru tiga hari di sini dan engkau sudah hendak pulang? Engkau harus tinggal limabelas hari lamanya dan berdoa mohon bantuan Santa Philomena untuk mengatakan apa panggilan hidupmu, dan sesudah itu, barulah engkau datang menemuiku.” Gadis itu melakukannya dan di kemudian hari menjadi seorang biarawati. Di lain waktu, Romo Vianney keluar dari kamar pengakuan guna mempersilakan seorang ibu yang masih dalam antrian untuk segera masuk, sebab ia tahu bahwa ibu itu tak dapat menunggu lebih lama; 16 orang anaknya menanti.
Dengan discernment (= pembedaan roh) yang tak ada bandingannya Romo Vianney akan menemukan akar dari segala masalah dan tanpa ragu mendesak agar akar masalah itu segera disembuhkan. Lalu, ia akan menganjurkan cara-cara agar orang dapat tinggal dalam keadaan rahmat, dan bagaimana menolak kesempatan dosa. Waktu yang diberikan kepada masing-masing peniten cukup singkat sebab antrian amat panjang dan waktu amat berharga. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam sehari.
Jumlah peniten yang membanjiri Ars juga berarti kerja keras yang akan segera meremukkan mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual sedemikian. Pada bulan-bulan musim dingin, Romo Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga 16 jam sehari. Dibutuhkan waktu setengah jam baginya untuk pindah dari gereja ke pastoran oleh sebab banyaknya orang yang berdesak-desakan meminta berkat dan doanya. Ia tidur hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah bersiap kembali untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah menantinya di gereja.
Pada awal pelayanannya sebagai bapa pengakuan, salah seorang rekan imam yang iri kepadanya memperingatkan St YM Vianney melalui sebuah surat bahwa seorang imam yang hanya tahu sedikit theologi seperti dia, sepatutnya tidak berani masuk ke dalam kamar pengakuan. Sebagian rekan imam lain yang juga iri mendakwanya sebagai bodoh, dukun klenik, kacau mental, gila dan mulai menyebarkan fitnah keji tentangnya. Menanggapi pengaduan mereka, Monsignor Devie, mengatakan, “Saya harap, saudara-saudara, seluruh imam saya memiliki kegilaan yang sama dengannya.”

Ekaristi: Mempersembahkan Misa, Komuni Kudus Dan Adorasi
“Kala ibunda St Alexis akhirnya mengenali puteranya dalam tubuh tak bernyawa seorang pengemis yang telah tigapuluh tahun tinggal di bawah tangga istananya, ia berseru pilu, `Oh, puteraku, puteraku, mengapakah aku begitu terlambat mengenalimu?' … Jiwa, saat lepas dari kehidupan ini, akan melihat Dia yang hadir nyata dalam Ekaristi Kudus; dan melihat penghiburan, keagungan dan kemuliaan yang gagal dikenalinya, jiwa juga akan berseru pilu, `Oh, Yesus! Oh, Yesus! Mengapakah aku begitu terlambat mengenali Engkau?'”
Kedua sakramen ini, Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi berhubungan sangat erat. Tanpa pertobatan yang senantiasa diperbaharui terus-menerus dan penerimaan rahmat sakramental pengampunan dosa, keikutsertaan dalam Ekaristi tidak akan mencapai kepenuhan daya penebusannya. Seperti Kristus yang memulai pelayanan-Nya dengan kata-kata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” demikian pula Imam dari Ars biasa memulai setiap harinya dengan pelayanan pengampunan dosa. Kemudian, dengan suka hati ia akan menghantarkan para peniten yang telah diperdamaikan itu ke perjamuan Ekaristi.
Ekaristi adalah sumber dan pusat kehidupan rohani dan karya pastoralnya. Katanya, “Segala perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu masih tidak sebanding dengan Kurban Misa, sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya manusia, sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah.” Dalam Misa, Kurban Kalvari dihadirkan kembali demi Penebusan dunia. Jelas, imam haruslah mempersatukan persembahan dirinya setiap hari dengan persembahan Misa Kudus. St YM Vianney mengatakan, “Karenanya, betapa baiknya yang dilakukan imam dalam mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan dalam kurban setiap pagi!” Lagi, “Komuni Kudus dan Kurban Kudus Misa adalah dua tindakan yang paling berdaya guna dalam mendatangkan pertobatan hati.”    
Dengan demikian, Misa bagi St YM Vianney adalah sukacita dan penghiburan besar dalam kehidupan imamatnya. Kendati banyaknya peniten yang menanti, ia biasa menghabiskan lebih dari seperempat jam dalam hening persiapan Misa. Ia merayakan Ekaristi dengan khusuk, dengan jelas mengungkapkan sembah sujudnya saat konsekrasi dan komuni. Dengan tepat ia mengatakan, “Penyebab dari kecerobohan imam adalah tidak memberikan perhatian pada Misa!”  
Imam dari Ars teristimewa sekali mencurahkan perhatian pada kehadiran nyata Kristus yang abadi dalam Ekaristi. Di hadapan tabernakel, ia biasa melewatkan berjam-jam lamanya dalam sembah sujud, entah dini hari atau sore hari. Dalam menyampaikan homili, kerap kali ia berpaling kepada tabernakel seraya berseru penuh emosi, “Ia ada di sana!” Karena alasan ini juga ia, walau miskinlah parokinya, tidak sayang-sayang membelanjakan banyak uang untuk menghiasi gereja-Nya. Gereja direnovasi dan didekorasi dengan patung-patung dan gambar-gambar kudus, sebab St YM Vianney percaya bahwa sekedar tatapan pada gambar atau patung kudus dapat mempertobatkan jiwa. Hasil nyatanya yang luar biasa adalah umat dalam parokinya segera saja ikut pula datang berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus, guna menemukan, lewat teladan imam mereka yang kudus, keagungan misteri iman. Gereja tidak pernah kosong, selalu saja ada orang di sana, di hadapan Sakramen Mahakudus.

MUTIARA-MUTIARA IMAMAT SANTO YOHANES MARIA VIANNEY[2]

Dari kisah hidup imamat Santo Yohanes Maria Vianney di atas, Beato Paus Yohanes XXIII mengangkat beberapa poin penting yang sangat berguna bagi kehidupan imamat di jaman sekarang, yakni:
Pertama, Perihal Askese Keimanan. Santo Yohanes Maria Vianney merupakan gambaran seorang imam yang bermatiraga dengan sangat luar biasa. Ia berpantang makan dan tidur dan dengan sukarela menyiksa tubuhnya sendiri dengan kejam semata-mata demi pertobatan orang-orang berdosa. Ia kejam terhjadap diri sendiri, namun lemah lembut terhadap orang lain.
Berkaitan dengan hal ini, Beato Giovanni XXIII menandaskan kekeliruan yang sering terjadi yakni pandangan bahwa imam sekular tidak harus menjalakan nasihat-nasihat injili seperti para biarawan. Melihat teladan hidup Santo Yohanes Maria Vianney, Beato Giovanni berpesan bahwa sebenarnya para imam sekular justru harus memiliki kesucian batin yang lebih besar daripada yang sewajarnya harus dimiliki oleh seorang biarawan karena pelaksaan tugas-tugas kewajiban imam sekular memiliki tantangan yang lebih besar.
Santo Yohanes Maria Vianney memberikan teladan indah misalnya dalam kemiskinan dimana ia sungguh-sungguh layak menjadi saingan Santo Fransiskus Asisi dan memang ia pun menjadi anggota ordonya yang ketiga. Santo Yohanes Maria Vianney dengan mudah dapat mengatakan kepada orang miskin, “Aku inipun melarat seperti kamu, aku sekarang menjadi satu dengan kamu.” Dengan pesannya ini Santo Yohanes Maria Vianney berpesan kepada para imam, “Jika diantara para imam ada yang secara halal memiliki sedikit hartabenda perseorangan, janganlah sekali-kali mereka melekat padanya.”
Tentang kemurnian dikatakan bahwa Santo Yohanes Maria Vianney selalu bermatiraga terhadap dagingnya sendiri. “Cuma ada satu cara untuk menyerahkan diri kepada Allah ialah melalui pengingkaran diri dan berkurban.”, kata Santo YMV. Baginya, kemurnian hidup selibat merupakan hiasan terindah bagi jabatan imamat. Banyak orang bisa merasakan bahwa kemurnian Santo YMV terpancar dalam sinar matanya.
Dalam hal ketaatan Santo YMV memiliki semboyan ketaatan sabda Tuhan sendiri, “Barangsiapa mendengarkan kamu, Ia pun mendengarkan Aku”. Santo YMV benar-benar meyakini bahwa perintah dari Uskup benar-benar datang dari Allah sendiri. Maka, ia melakukannya dengan sepenuh hati dan kerendahan hati. Beato Giovanni XXIII menyinggung hal ini secara khusus karena beliau prihatin dengan bahaya besar yang mengancam Gereja berupa sikap tak mau diperintah yang terdapat di kalangan rohaniwan, baik di bidang pengajaran doktrin agama, maupun cara-cara kerasulan, serta dalam tata tertib kegerejaan.
Kedua, Perihal Doa dan Kebaktian Ekaristi. Santo YMV merupakan seorang imam yang sadar bahwa seorang imam haruslah pertama-tama menjadi seorang pendoa. Setiap orang mengetahui bahwa Santo YMV melewatkan waktu malamnya hingga berlarut-larut di hadapan Sakramen Maha Kudus. Tabernakel menjadi tungku hidup pribadinya serta kegiatan kerasulannya. St. Pius XII mengungkapkan dengan indah kesalehan Santo YMV dengan kata-kata, “Pusat hidupnya ialah gerejanya, dan di dalam gereja itu, tabernakelnya dan tempat pengakuan yang berada di sampingnya, merupakan tempat jiwa-jiwa yang mati memperoleh hidupnya kembali, sedang yang sakit memperoleh kesembuhannya. Santo YMV mengatakan, “Apa yang merintangi kita para imam untuk menjadi suci ialah bahwa kuranglah kita melakukan renungan batin.” Tidak ada jemu-jemunya Santo YMV berbicara soal sukacita batin dan manfaat-manfaat doa.
Ketekunan doa menurut Santo YMV merupakan kewajiban bagi seorang imam demi kesalehan pribadinya. Di tempat utama Ofisi ilahi merupakan keharusan yang tak dapat ditawar-tawar karena hal itu merupakan sesuatu yang sudah dijanjikannya kepada Gereja. Boleh jadi justru karena melalaikan beberapa peraturan inilah, maka setengah rohaniwan sedikit demi sedikit menjadi korban kegoncangan di luar dirinya, menjadi miskin kehidupan batinnya dan akhirnya tidak berdaya sama sekali melawan godaan-godaan hidup.
Pastor Ars mengatakan kepada para imam, “Jika Anda menginginkan supaya kaum beriman berdoa dengan relahati dan saleh, dahuluilah mereka di dalam Gereja dengan teladanmu, berdoalah untuk mereka. Seorang imam yang berlutut d hadapan tabernakel dengan sikap yang khidmat, dalam perenungan yang hangat mempesona, merupakan model pembentukan bagi umat, sekaligus merupakan pernyataan dan ajakan untuk berlomba-lomba dalam doa.” Inilah senjata kerasulan tertinggi bagi Pastor Ars. Tambahnya lagi, “Apakah sesungguhnya karya kerasulan imam, mengingat kegiatan pokoknya, kalau bukan menghimpun umat mengelilingi Altar dimana Gereja sudah mulai hidup, yaitu umat yang bersatu dalam iman.”
Santo YMV juga mengingatkan bahwa kekendoran imam adalah karena imam tak punya perhatian terhadap Misa. Misa Kudus adalah sumber utama pengudusan pribadi imam. Namun, sayangnya banyak imam yang tidak lagi peduli dengan misa yang mereka rayakan. Santo YMV senantiasa mencucurkan airmatanya berlimpah kalau ia mengingat nasib malang imam-imam yang hidupnya tidak sesuai dengan kekudusan panggilan mereka. Seharusnya para imam secara berkala menyelidiki dirinya sendiri perihal caranya mempersembahkan misteri-misteri kudus itu dan tentang keadaan rohani batin mereka di saat naik altar, serta tentang hasil-hasil yang hendak mereka ambil dari situ.
Ketiga, Perihal Semangat Kegembalaan. Sabda Tuhan yang menjadi pedoman Pastor Ars dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan Yesus kepadanya ialah, “Tanpa Aku, tak dapatlah kamu berbuat apa-apa” (Yoh 25:15). Bagi Santo YMV, seorang gembala yang baik ialah gembala yang menuruti idam-idaman hati Allah. Dan itulah kekayaan paling besar yang dapat dianugerahkan Allah kepada suatu paroki.
Selama tahun-tahun permulaan ketika berada d Ars Santo YMV pernah berdoa kepada Tuhan, Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku pertdobatan untuk parokiku ini, Aku pun rela menderita apa saja yang kau kehendaki selama hidupku!”. Dan dikabulkanlah pertobatan itu dari surga. Namun kemudian ia sendiri mengakui, “Tatkala aku datang ke Ars, dan kubayangkan sengsara yang bakal menimpa diriku itu, maka rasa-rasanya aku akan mati ketakutan seketika itu juga.”
Santo YMV pernah meratap, “Sungguh besarlah malapetaka bagi kita para imam apabila jiwa kita membeku.” Adapun yang dimaksudkannya dengan perkataan itu ialah apabila si gembala menganggap keadaan dosa yang merajalela di tengah kawanan domba dianggap sebagai barang biasa!” Untuk itu ia selalu siap sedia memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa-jiwa karena inilah tugas seorang gembala yang pertama dan terbesar, primum et maximum. Dalam mendampingi pengakuan dosa, Santo YMV hanya memberikan kepada para peniten sebagian kecil dari penitensinya, sisanya ia sendiri yang akan menjalankannya sebagai ganti mereka.

Refleksi Singkat Sebagai Penutup
Ketika saya merefleksikan segala kehidupan dan ajaran Santo YMV, saya berpikir dalam hati, Mengapa dan apa yang membuat Santo YMV mempunyai cinta kegembalaan yang begitu besar kepada umatnya? Banyak sekali jawaban yang muncul dalam pikiran saya. Namun, ketika saya mencari jawabannya pada Sabda Tuhan sendiri, saya menemukan bahwa pada hari pentahbisannya menjadi imam, Santo YMV termasuk orang yang mendengarkan bisikan Tuhan yang lembut dan manis, “Iam non dicam vos servos, sed amicos!” – Kamu tidak akan kusebut hamba lagi, melainkan sahabatku (Yoh 15:15). Menjadi seorang imam ialah menjadi sahabat Tuhan yang dengan kepenuhan hati turut serta dalam karya penggembalaan. Cinta kepada Tuhan seharusnya menjadi dasar motivasi penggembalaan, sama seperti Paus pertama kita Petrus yang ditanya tiga kali oleh Tuhan Yesus, ‘Apakah Engkau mencintai Aku?’ dan ketika jawaban diberikan, Tuhan Yesus menyambungnya kembali dengan perintah untuk ‘Gembalakanlah domba-dombaku!”.


Yoseph Indra Kusuma



[1] Sumber Inspirasi dan skema dikutip dan diambil dengan berbagai perubahan dari http://www.indocell.net/ yesaya/id1056.htm, diakses tanggal 1 Maret 2013
[2] Yohanes XXIII, Sacerdotii Nostri Primordia (Awal mula imamat kami), Ende: Penerbit Nusa Indah, 1964.

SANTA GEMMA GALGANI

Pengantar
Membaca kisah hidup santo-santa serta mencoba menemukan spritualitas mereka di balik otobiografi yang mereka tulis sendiri merupakan suatu usaha yang tidak mudah. Penulis sendiri mengalami kesulitan bahwa terkadang bahasa yang digunakan oleh para santo-santa ialah ungkapan hati yang bermakna konotatif dan untuk memahaminya perlu sedikit menerka-nerka maknanya. Selain itu, sulit sekali membayangkan kisah-kisah yang dituliskan oleh para santo-santa dari pengalaman mereka, apalagi St. Gemma Galgani ialah seorang mistikus, yang pengalaman rohaninya sangat jauh dengan yang penulis alami.
            Untuk itu, dalam tulisan ini penulis akan menguraikan satu-persatu 4 aspek hidup spiritual yang telah penulis pilih untuk menjadi segi yang ingin dilihat dari otobiografi St. Gemma Galgani, walaupun hal ini juga tidak mudah karena seringkali satu pengalaman menagndung banyak sekali aspek yang bisa digali. Lalu, penulis akan menyertakan penjelasan serta kutipan-kutipan dalam otobiografi yang sesuai dengan penjelasan tersebut. Untuk pengutipan, penulis sengaja membiarkan beberapa kutipan dalam bahasa Inggris sesuai dengan teks yang penulis baca karena penulis memang merasa kesulitan untuk menerjemahkannya karena terkadang bahasa yang digunakan ialah ungkapan perasaan yang amat dalam.
Tentang Otobiografi
Gemma menulis sendiri autobiografinya atas desakan dari Rm. Germanus, C.P. yang menjadi pembimbing rohaninya sejak Januari 1990, kira-kira tiga tahun sebelum ia wafat. Mula-mula Rm. Germanus memberikan bimbingannya dengan surat menyurat, namun kemudian mulai bertatap muka dengan Gemma pada bulan September 1900. Romo Germanus tahu bahwa Gemma mempunyai kebiasaan untuk menulis diari yang berisi tentang rahmat-rahmat Allah yang diterimanya hari demi hari. Gemma menulis buku harian ini pun karena taat pada perintah Bapa pengakuannya, Msgr. Volpi, Uskup auksilier Lucca. Romo Germanus tahu bahwa kebiasaan ini bisa berbahaya bagi Gemma karena takut anak bimbingannya nanti menjadi terlalu scruple, terlalu berkonsentrasi dan hanya memperhatikan gejolak-gejolak di dalam batin saja. Untuk itu, Romo Germanus meminta Gemma untuk menghentikan kebiasaan menulis buku hariannya lalu meminta Gemma menyerahkan buku harian itu kepadanya. Setelah membaca buku harian itu, Romo Germanus sadar bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan orang biasa.
Untuk menebus kesalahannya, Romo Germanus meminta Gemma untuk menulis sebuah riwayat pengakuan dosa yang telah dilakukannya seumur hidup agar Romo Germanus bisa mengarahkan hidup spiritual Gemma dengan lebih baik. Romo Germanus tahu bahwa Gemma tidak akan bisa menuliskan dosa-dosanya tanpa memberitahu rahmat yang membuat mereka tampak begitu besar padanya. Gemma memenuhi keinginan Bapa Rohaninya, meskipun dengan rasa enggan yang cukup besar seperti yang ditunjukkan dalam autobiografi itu sendiri. Gemma memenuhi keinginan Bapa Pengakuannya karena ia melihat bahwa Malaikat pelindung Rm. Germanus juga menginginkan hal yang sama.
Akhirnya, autobiografi yang ditulis atas permintaan Rm. Germanus ini ditulis sepanjang 93 halaman dalam sebuah buku, semua ditulis oleh tangan St. Gemma Galgani sendiri. Tulsan ini menceritakan tahun-tahun kehidupannya mulai dari masa kecil hingga September 1900, ketika ia berusia 22 tahun. St. Gemma mulai menulis autobiografinya pada 17 Februari 1901 dan menyelesaikannya pada bulan Mei di tahun yang sama. Karena ia wafat dua tahun sesudahnya, 11 April 1903, maka autobiografinya ini tidak menceritakan dua tahun terakhir kehidupannya. Namun demikian, tetap saja Iblis akan merasa sangat jengkel dengan adanya catatan yang demikian berharga bagi umat beriman.
Dari kisah terbentuknya autobiografi ini saja sebenarnya sudah tampak benih-benih kekudusan dalam diri St. Gemma. Autobiografi yang ditulis oleh St. Gemma menjadi sebuah dokumen tentang hidup spiritualnya, karena di dalamnya ia mencatat bagaimana jatuh bangun usahanya membangun relasi dengan Allah, menjalani perjalanan pengudusan jiwanya dan proses perjumpaannya secara personal, intim, unik dan tak ada kembarannya dengan Tuhan.
Sekilas Kisah Hidup St. Gemma Galgani
Gemma Galgani dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1878 di Camigliano, sebuah desa dekat kota Lucca, Italia. Nama Gemma berasal dari sebuah kata Italia yang berarti 'Mutiara'. Ayahnya seorang ahli kimia yang berhasil. Salah seorang leluhurnya adalah Beato Yohanes Leonardi. Ibu Gemma juga berasal dari keluarga bangsawan. Keluarga Galgani adalah keluarga Katolik yang saleh yang dikaruniai delapan putera-puteri.
Gemma adalah anak keempat, puteri pertama dalam keluarga. Ia seorang gadis kecil yang pandai, ramah, periang serta menyenangkan. Sejak masa kecilnya, Gemma amat suka sekali berdoa. Ia memiliki kebijaksanaan dan semangat doa yang tidak biasa dijumpai pada anak kecil seusianya. Hal itu dikarenakan ibunya yang saleh mengajarkan kepada Gemma kebenaran-kebenaran Iman Katolik. Signora (=Nyonya) Galgani secara istimewa menanamkan dalam jiwa puteri kecilnya itu, cinta kepada Kristus Tersalib.
Dari autobiografi yang ditinggalkannya, dapat disimpulkan bahwa selama hidupnya Gemma hidup sebaga seorang mistikus. Ia mengalami banyak pengalaman rohani yang luar biasa. Dari sumber yang sama dapat dibaca bahwa Gemma mengalami begitu banyak rahmat penyelenggaraan Allah secara nyata dalam hidupnya, misalnya: ketika ia mengalami kesembuhan total dari penyakitnya, menerima karunia stigmata, dan berkali-kali mengalami ekstase. Ia juga mengalami banyak penampakan, misalnya: penampakan malaikat pelindung yang selalu bisa ia lihat kapan saja, penampakan St. Gabriel, St. Maria, dll.
Gemma Galgani wafat pada Hari Sabtu Suci, tanggal 11 April 1903 dalam usia 25 tahun. Pada tahun 1917 Gereja mulai mempelajari keteladanan hidup Gemma. Pada tahun 1923 jenasah Gemma dipindahkan ke Biara Passionis di Lucca hingga sekarang. Pada tanggal 14 Mei 1933 Gemma dibeatifikasi oleh Paus Pius XI dan pada tanggal 2 Mei 1940, hanya tiga puluh tujuh tahun setelah kematiannya, ia dikanonisasi oleh Paus yang sama. Pesta St. Gemma Galgani dirayakan setiap tanggal 16 Mei.
Aspek-Aspek Hidup Spiritual Dalam Hidup St. Gemma Galgani
Aspek Cinta
Cinta adalah itu yang menjadi penghubung antara Allah dan manusia. Cinta menjadi kunci utama pada relasi dan persatuan hidup manusia dan hidup ilahi. Hal ini dimungkinkan karena Allah sendiri adalah Sang Cinta dan Ia sangat mencintai manusia. Oleh karena itu, cinta merupakan unsur konfiguran hidup spiritual.
Hidup Santa Gemma adalah sebuah autobiografi pengalaman cinta manusia dengan Allah yang berinisiatif dan berkarya secara dominan di dalam hidupnya. Dalam pengalaman cinta bersama Allah, Allah sendirilah yang pertama kali berinisiatif. Allah yang terlebih dahulu mencintai manusia dan mengundang manusia untuk bercinta dengan-Nya.
Dalam kehidupan St. Gemma, pengalaman sukacita karena cinta kasih Allah ia rasakan dan ungkapkan dengan berbagai macam cara bahkan sejak permulaan kelahirannya. Ibu Gemma sudah memiliki 3 orang putera dan ia sangat menginginkan seorang putri. Akhirnya, berkat doa itu, Yesus mewujudkan cintanya kepada keluarga Gemma dan menganugerahkan sebuah kesukaan besar pada Ibu Gemma dengan lahirnya Gemma kecil. Ibu Gemma sangat bersukacita atas kelahiran Gemma dan menjadi lebih dalam lagi dalam mencintai Yesus. Kecintaan inilah yang juga beliau wariskan kepada Gemma dan saudara-saudaranya.
Cinta Allah dan manusia menjadi tampak begitu indah ketika cinta tersebut tidak bertepuk sebelah tangan, melainkan saling sambut menyambut, yakni Allah memberikan diri kepada manusia dan manusia menjawabnya. Dalam diri St. Gemma rasa cinta kepada Allah ini tumbuh perlahan tapi pasti. Ia pernah mengatakan dalam autobiografnya, “I began to feel an ever greater yearning to love Jesus Crucified very much, and at the same time a desire to suffer with him and to help him in his sufferings.”. Dengan kata-katanya ini St. Gemma memberi kesaksian bahwa rasa cinta kepada Allah tidak tumbuh begitu saja dengan tidak jelas. Rasa cinta kepada Allah tumbuh seiring dengan kerelaan untuk semakin mau bersengsara dengan-Nya.
Keinginannya untuk semakin ikut bersengsara dengan Yesus ia tampakkan dalam hidup kesehariannya. Pernah suatu hari ia diberi hadiah sebuah arloji dan gelang emas oleh ayahnya. Gemma kecil sangat bersukacita dan segera memakainya ketika berjalan-jalan agar semua orang bisa melihat jam dan gelang yang indah itu. Namun, ketika ia pulang dan akan melepas arloji dan gelangnya, ia melihat seorang malaikat (yang nanti dikenalinya sebagai malaikat pelindungnya) berkata dengan sangat serius kepadanya, “Ingatlah, bahwa perhiasan berharga yang pantas menghiasi mempelai Sang Raja yang disalibkan hanyalah duri dan salib.” Gemma sangat takut dengan perkataan malaikat itu. Oleh karena itu, sejak saat itu, Gemma berjanji, demi cintanya kepada Yesus dan untuk menyenangkan-Nya, bahwa ia tidak akan memakai jam itu lagi dan tidak akan berbicara tentang hal-hal yang dapat menimbulkan kesombongan. Gemma pun sangat menyadari bahwa Cinta dunia sangat
Dari hal-hal ini tampak bahwa St. Gemma menghayati cintanya kepada Yesus sebagai seorang mempelai (Cinta Kemempelaian). Tentunya kesadaran ini merupakan kesadaran yang dicurahkan, karena dalam usianya yang masih sangat muda, ia sudah sampai pada kesadaran yang begitu tinggi. Pada suatu hari Jumat Agung, Gemma semakin diyakinkan untuk menjadi Mempelai Allah ketika ia sendiri mendengar bahwa Yesus sendiri juga menghendaki ia agar menjadi mempelainya yang terkasih, St. Gemma menuliskan demikian dalam autobiografinya,
This was the first time and also the first Friday on which Jesus made himself felt so strongly in my soul. And although I did not receive communion from the hands of a priest because it was impossible, Jesus nevertheless came himself and communicated himself to me. And this union with him was so overwhelming that I remained as if stupefied.
Jesus spoke very strongly to me. "What are you doing?" he said to me. "What have you to say? Aren't you ever moved at all?" Then it was that, not being able to resist any longer, I blurted out: "Oh Jesus, how is it that you who are most perfect and all holy choose one so full of coldness and imperfection to love?" He answered: "I am burning with desire to unite myself with you. Hasten to receive me every morning. But remember that I am a father and a zealous spouse. Will you be my daughter and my faithful spouse?"



Aspek Doa
Doa merupakan sebuah pengangkatan hati dan pikiran pada Allah. Saat inilah hati dan pikiran bisa berjumpa dengan Allah sendiri. Para santo-santa ialah orang yang terkenal unggul dalam kehidupan doanya.
Hidup doa merupakan sebuah habitus untuk tinggal di hadirat Allah dan bersatu dengan Dia dalam dan melalui Kristus. Membaca autobiografi Santa Gemma membuat saya sungguh yakin bahwa habitus untuk berdoa bukanlah bawaan dari lahir. Habitus ini harus dilatih terus menerus. Dalam hidup St. Gemma, Ibu Gemma mempunyai peran yang amat penting dalam pembentukan hidup doa St. Gemma.
Ibu Gemma ialah seorang yang sangat bersemangat dalam doa. Semangat ini begitu menyala-nyala apalagi ketika ia menyadari bahwa Allah mendengarkan doanya. Ibu Gemma sudah memiliki 3 orang putera dan ia sangat menginginkan seorang putri. Akhirnya, berkat doa itu, Yesus menganugerahkan sebuah kesukaan besar pada Ibu Gemma dengan lahirnya Gemma kecil. Karena pengalaman iman yang demikian besar ini akhirnya Ibu Gemma pun mendidik anak-anaknya untuk memiliki hubungan yang erat dengan Yesus. Ibu Gemma terkenal disiplin dalam mendidik anaknya untuk berdoa dan menerima sakramen-sakramen, khususnya Sakramen Rekonsiliasi. Ibu Gemma percaya bahwa kebiasaan berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat akan meningkatkan kualitas kedekatan relasi dengan Yesus. Berikut ini beberapa kesaksian St. Gemma tentang pendidikan iman, doa dan sakramen yang diberikan oleh Ibunya yang sangat mencintai Yesus:
...When I was a little girl my mother used to show me the crucifix and tell me that Christ died on the cross for men. From the moment when my mother inspired me with the desire for heaven I have always (even in the midst of so many sins) wanted it ardently....
...One evening she had me add to the usual prayers a De Profundis to the souls in Purgatory and five Gloria’s to the Wounds of Jesus....
...Every evening before going to bed I would go to her and, kneeling beside her bed, I would say my prayers....
...But while I was committing all these sins I never forgot to recite every day three Hail Mary’s with my hands under my knees (a practice my mother had taught me that Jesus might protect me every day from sins against holy purity)....
...When I lived with my aunt, I had been to confession only seven times ... I wanted to go every day after the death of my mother (my mother had made me go every week after my confirmation)....
Sangat tampak dari kutipan-kutipan di atas bahwa peran orangtua dalam pendidikan iman anaknya sungguh nyata. Habitus doa begitu mengakar dalam diri St. Gemma sehingga ketika ia hidup bersama dengan paman dan bibinya, yang tidak terlalu memperhatikan soal doa, habitus ini masih bisa bertahan, bahkan dalam situasi berdosa. Habitus ini pulalah yang membuat Ia merasa tersiksa manakala ada larangan untuk berdoa atau menyambut sakramen-sakramen. Maka benarlah jika Doa disebut sebagai ungkapan dan makanan hidup spiritual. Santa Gemma mempunyai hidup rohani yang sangat mendalam karena memang roh-nya mendapat “asupan gizi” yang sehat, cukup dan teratur.
Namun demikian, mendidik anak untuk berdoa itu pun bukan sesuatu yang mudah. Bahkan St. Gemma kecil pun pernah protes kepada ibunya karena doa yang harus diucapkan terlalu panjang.
I made a great show over it, complaining to my mother that these were too many prayers to say and I didn't want to say them. And she, indulgent as she was, shortened the prayers after that.
Di dalam doa jiwa menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Allah. Dalam doa ada penundukkan jiwa kepada Tuhan. Doa membawa jiwa dalam kerendahhatian di hadapan Allah untuk memuji Dia dan memohonkan rahmat yang memampukan bertumbuh dlm kekudusan. Dalam hidup St. Gemma kerap sekali dalam doa ia tampak sedang bercakap-cakap dengan Tuhan. Dalam percakapan itu pun tampak bahwa pada akhirnya St. Gemma selalu berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Salah satu percakapan dalam doa yang paling menyentuh saya ialah ketika Tuhan akan memanggil ibunya untuk bersatu dengan Tuhan di surga.
I assisted at the Mass as best I could, all the while praying for her. All of a sudden I heard a voice in my heart saying to me: "Are you willing to give your mother to me?" "Yes," I answered, "if you will take me, too." "No," replied the voice, "give me your mother willingly. But you must remain with your father for the present. I will take your mother to heaven, understand? Do you give her to me willingly?" I was forced to give my consent. When the Mass was over I ran home. Oh, my God! I looked at Mother and wept. I simply could not contain myself.
Two more months passed. I never left her side. But finally my father, who feared that I would die before Mother, forced me to leave one day and took me to the home of my mother's brother who lived near Lucca.
Father, dear Father, such was my lot. What a torture it was! I did not see anyone, neither my father nor my brothers. I learned that my mother died on September 17 of that year.
...so I spent the day praying in resignation to the will of God who at that moment took the role of both my heavenly and earthly father...

Habitus doa yang sangat baik inilah yang menjadikan cinta St. Gemma kepada Allah semakin hari semakin besar. Hal ini tampak dengan semakin bersatunya Dia dengan kehendak Allah, semakin ingin memuliakan Allah, dan bahkan selalu ingin komuni karena sungguh merasa bahwa komuni kudus menjadi sumber kekuatannya. Komuni suci selalu ingin disantapnya karena ia ingin selalu tinggal diam bersama dengan Yesus. Bahkan ketika ia pernah tidak diperkenankan menyambut komuni ia merasa kehilangan segala kekuatannya,
From that time on I could hardly bear not to receive Jesus every morning. But I was not able to do so. I had the permission of my confessor to do so but I was so weak that I could hardly stand on my feet. On the second Friday of March 1899, I went to church for the first time to receive Holy Communion. And from then until now I have continued to go every day. I missed only now and then because my great sins made me unworthy, or as a chastisement imposed on me by my confessor.

Namun, sebagaimana layaknya manusia biasa, Santa Gemma pun pernah mengalami kemalasan dalam berdoa. Kelupaan dan kemalasan manusiawi menjadi salah satu sebab berhentinya doa St. Gemma untuk beberapa saat.
...I ceased to say my usual prayers morning and evening...
...It was February 18. I did begin it. That very evening I said the prayers for the first time. The next day I forgot them. On the 20th I began all over again, but once more I forgot to say the prayers. This was very poor attention to prayer, was it not, dear Father?....

Aspek Asketis
Jalan menuju kekudusan bukanlah jalan yang mudah. Ada banyak penghalang yang datang baik dari diri sendiri, orang lain, ataupun iblis. Halangan itu tidak selalu datang sebaga sesuatu yang negatif, tetapi kerapkali juga menyamar dalam bentuk-bentuk positif. Untuk itu, asketis merupakan usaha dari pihak manusia untuk bertahan di jalan kekudusan sambil sedapat mungkin menghindari dan menyingkirkan halangan-halangan tersebut agar bisa sampai pada tujuan yang diimpikan yakni kekudusan.
Santo-santa pun tidak lepas dari halangan-halangan ini sama seperti penulis juga. Namun, bedanya dengan penulis, mereka sangat bersemangat untuk sampa pada jalan kekudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan di jalan kekudusan. St. Gemma juga menceritakan beberapa kali ia sendiri “menyiksa” dirinya agar semakin lepas dari keterikatan duniawi dan kenikmatannya, walaupun  terkadang ia tidak mendapat ijin dari pembimbing rohaninya, bahkan juga malaikatnya.
...It was during these four years that this good teacher taught me also to perform some little penance for Jesus. The first was the wearing of a little rope around my body, and there were many others. But no matter how hard I tried, I never obtained the permission of my confessor for these things. Therefore she taught me rather to mortify my eyes and my tongue. She succeeded in making me better but with much difficulty....
...I got myself a thick rope which I took secretly from the well, made several knots in it and put it around my body. But I didn't have it on a quarter of an hour before my Guardian Angel reproved me and made me take it off because I had not asked my confessor's permission and obtained it...

Selain agar tidak terikat dengan dunia dan kenikmatannya, Keinginan St. Gemma untuk “menyiksa diri” ini juga muncul karena ia ingin meniru Kristus dengan segala penderitaannya. Ia sendiri mengatakan, “I began to feel an ever greater yearning to love Jesus Crucified very much, and at the same time a desire to suffer with him and to help him in his sufferings.”
Aspek Mistik
Aspek mistik dalam hidup spiritual merupakan bentuk kesatuan (via unitiva)  habitual dan intim dengan Allah. Mistik merupakan tahapan tertinggi dan tak tergambarkan. Di dalam pengalaman mistik terkadang seseorang bisa saja mengalami pengalaman dan rasa yang tak tergambarkan. Aspek ini sering muncul ketika seseorang sudah punya kualitas-kualitas rohani tertentu yang cukup. Beberapa santo-santa dikenal sebagai mistikus dalam Gereja. Namun, seseorang tetap bisa disebut sebagai seorang kudus/mistikus tanpa harus mengalami visi atau penampakan yang luar biasa, tetapi ketika ia sudah mempunyai kesatuan habitual dan mengalami kontemplasi yang mendalam dan menetap tentang Allah.
Membaca autobiografi St. Gemma sebenarnya sama dengan membaca kisah pengalaman mistiknya. Jika diminta menuliskan aspek mistik dalam kehidupannya, maka sebenarnya penulis harus mengetik ulang semua autobiografinya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya beberapa hal saja yang akan penulis kutip.
St. Gemma ialah seorang mistikus Gereja dalam usia yang sangat belia. Ia mengalami banyak visi dan penampakan yang luar biasa selama hidupnya. Beberapa diantaranya adalah sbb:
·                         Secara ajaib sembuh berkat bantuan doa St. Gabriel
St. Gemma pernah jatuh sakit dan menderita TBC tulang dan sekaligus meningitis. Penyakit itu begitu hebat sehingga Gemma sempat tuli sementara. Bisul besar bernanah muncul di kepalanya, rambutnya rontok, dan akhirnya tangan serta kakinya menjadi lumpuh. Banyak dokter dipanggil dan banyak cara pengobatan dilalui tanpa membuahkan hasil.   
Suatu hari seorang perempuan mengunjunginya dan membawakan sebuah buku untuk bahan bacaan. Buku itu adalah Kisah Hidup Beato Gabriel Possenti dari Bunda berdukacita (sekarang St. Gabriel). Gemma hanya mengambilnya begitu saja dan menaruhnya di bawah bantal. Perempuan itu menyarankan dan merekomendasikan agar aku menyerahkan diriku ke bawah perantaraan St. Gabriel, tetapi Gemma hanya sedikit menghiraukannya.
Pada suatu tengah malam, tanggal 23 Februari 1899, Gemma sayup-sayup mendengar seseorang mendaraskan rosario dan ia sadar bahwa Venerabilis Gabriel menampakkan diri kepadanya. Ia berkata kepada Gemma: “Apakah kamu ingin sembuh? Berdoalah kepada Hati Kudus Yesus dengan penuh iman setiap sore. Aku akan datang kepadamu hingga Novena selesai, kita akan berdoa bersama kepada Hati-Nya yang Terkudus.” Gemma pun akhirnya berdoa sungguh-sungguh didampingi oleh St. Gabriel. Pada saat itulah St. Gabriel menjadi pendamping barunya.
Pada hari Jumat pertama bulan Maret, Novena selesai didaraskan. Permohonan mereka dikabulkan; Gemma sembuh sama sekali dari sakitnya! Ketika Gemma bangkit dari pembaringannya, mereka yang ada di sekelilingnya bersorak gembira.
·                         Gemma berkali-kali mengalami Ekstase
One day as I was looking at the crucifix so great a sorrow came over me that I fell to the floor. My father was in the house at the time and he began to reprove me, saying that it was not good for me to stay at home and that I should go out early the next morning (he had not let me go to Mass the last two mornings). I answered in a disturbed tone of voice: "It is not good for me to remain away from Jesus in the Blessed Sacrament."

Setelah ia mendapat kurnia stigmata, ia pun mengalami ekstase selama beberapa jam.
I prostrated myself on the floor and remained there for several hours. "My daughter," He said, "Behold these wounds. They have all been opened for your sins. But now, be consoled, for they have all been closed by your sorrow. Do not offend me any more. Love me as I have always loved you. Love me." This he repeated several times.

Ia juga mengalami ekstase setelah mendapat penampakan luka-luka Yesus
He said to me: "Look daughter, and learn how to love," and he showed me his five open wounds. "Do you see this cross, these thorns, these nails, these bruises, these tears, these wounds, this blood? They are all works of love and of infinite love. Do you see how much I have loved you? Do you really want to love me? Then first learn to suffer. It is by suffering that one learns to love."
On seeing this I experienced a new sorrow and thinking of the infinite love of Jesus for us and the sufferings he had undergone for our salvation, I fell fainting to the floor and I remained thus for several hours. All that had happened to me during these times of prayer brought me such great consolation that although they were prolonged for several hours I was not tired out.
... At that moment Jesus appeared with all his wounds open. But blood no longer came out of those wounds. Rather, flames as of fire issued forth from them and in a moment those flames came to touch my hands, feet and heart. I felt as if I would die. I fell to the floor. But my Mother supported me keeping me covered with her mantle. I had to remain for several hours in that position. Then the Blessed Mother kissed me on the forehead, and it all disappeared and I found myself kneeling on the floor. But I still felt an intense pain in my hands, feet and heart....
·                         Gemma mendapatkan karunia stigmata
I arose to lie down on the bed and I noticed that blood was flowing from those places where I felt pain. I covered these parts as best I could and then, with the help of my angel, I was able to get in bed. These sufferings and pains, although they afflicted me, filled me with perfect peace. The next morning I was able to go to communion only with great difficulty and I put on a pair of gloves in order to hide my hands. I could hardly stand on my feet and I thought I would die any minute. The sufferings continued until three o'clock Friday afternoon, the solemn feast of the Sacred Heart of Jesus.
·                         Penampakan Malaikat pelindung
Malaikat Pelindung St. Gemma seringkali menampakkan diri kepada Gemma. Mereka berbicara seperti layaknya seseorang bercakap-cakap dengan sahabatnya. Kemurnian serta kekudusan Gemma tentu telah mengundang Malaikat Kudus dari Surga itu berada di sampingnya. Namun, banyak kali juga malaikat pelindungnya bersedih dan “mengancam” untuk tidak lagi menampakkan diri kepda Gemma ketika ia berbuat dosa ataupun menutupi dosa ketika pengakuan dosa.
...From the moment when I got up from my sick bed, my Guardian Angel began to be my master and guide. He corrected me every time I did something wrong and he taught me to speak but little and that only when I was spoken to. One day when those in the house were speaking of some person and were not speaking very well of her, I wanted to speak up but the angel gave me a severe rebuke. He taught me to keep my eyes cast down, and one time in church he reproved me strongly saying to me: "Is this the way to conduct yourself in the presence of God?" And another time he chided me in this way: "If you are not good I will not let you see me any more." He taught me many times how to act in the presence of God; that is, to adore him in his infinite goodness, his infinite majesty, his mercy and in all his attributes....

...I went to confession but I did not have the courage. I left the confessional without saying anything about it.32 I returned home and on entering my room I noticed that my angel was weeping. I didn't have the courage to ask him what he was crying about but he himself told me. "Do you want to be deprived of seeing me anymore? You are a bad girl. You are hiding things from your confessor. Remember this, and I am telling you for the last time, if you ever hide anything else from your confessor I will never let you see me anymore. Never, never." I fell to my knees and he told me to make an act of contrition and made me promise to reveal everything to my confessor. With this he pardoned me in the name of Jesus...

Refleksi Penutup
Mengerjakan tugas paper spiritual seperti ini sungguh tidak mudah bagi saya. Entah bagaimana tetapi saya merasa bahwa jauh lebih mudah mengerjakan dua buah paper ilmiah daripada satu paper dengan “jenis” seperti ini. Saya sendiri merasa bahwa pekerjaan membuat paper ini menjadi perjalanan rohani pula bagi saya. Sambil membaca kisah hidup St. Gemma Galgani kerap saya tersenyum kecut ketika menyadari keberdosaan saya disindir dengan kemurnian hidup St. Gemma. Saya juga sempat menghela napas panjang ketika membaca satu dua paragraf di dalamnya karena saya sungguh merasa diteguhkan dan diberi pencerahan bagaimana saya harus melangkah ke depan. Dari tugas membaca ini saya jadi punya keinginan untuk memperbanyak membaca autobiografi santo-santa yang lain. Terima kasih atas tugas ini.

“Every saint has a past,
every sinner has a future.”
Surabaya, 24 Mei 2013

Yoseph Indra Kusuma