PENGANTAR
Santo Yohanes Maria
Vianney adalah seorang imam bersahaja yang menginspirasi banyak orang melalui
hidupnya yang sederhana dan saleh. Oleh karena kekudusannya ini, ia dijadikan
pelindung para pastor paroki yang notabene adalah gembala-gembala jiwa dengan
harapan bahwa para gembala jiwa dapat diresapi oleh semangat Santo Yohanes
Maria Vianney dalam menjalankan reksa pastoralnya. Dalam ensiklik ini Beato
Yohanes XXIII yang tercinta mengungkapkan kecintaannya kepada Santo Yohanes
Maria Vianney dan menguraikan kisah-kisah hidupnya serta kutipan-kutipan
pembicaraannya dan merangkaikannya sebagai nasihat-nasihat bagi para imam untuk
menjalani imamatnya seturut dengan teladan Santo Yohanes Maria Vianney yang
cemerlang. Paus Yohanes XXIII berharap bahwa dengan mengikuti jejak-jejak
kesucian Pastor dari Ars selangkah demi selangkah para imam dapat semakin
banyak
Penulis sengaja
memilih ensiklik ini karena ensiklik inilah yang pertama kali diuraikan oleh
RD. Edi Laksito (Rektor STPD sekarang) sewaktu kami baru pindah dari malang.
Beliau ingin mengombinasikan dan mencari relevansi antara pelindung seminari
kami yang lama Beato Giovanni XXIII dengan pelindung seminari baru di Surabaya
Santo Yohanes Maria Vianney. Usaha ini cukup menyentuh bagi penulis dan
ternyata memang kisah hidup dan ujaran-ujaran St. Yohanes Maria Vianney sungguh
menggetarkan hati penulis. Penulis pun sempat beberapa kali menarik nafas
panjang karena tersentuh dengan kata-kata dari Santo Yohanes Maria Vianney yang
terkasih.
KISAH
HIDUP SANTO YOHANES MARIA VIANNEY[1]
Masa Kecil
Yohanes
Baptis Maria Vianney kecil dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly,
sebuah dusun dekat Lyons, Perancis, dalam sebuah keluarga petani sederhana.
Rumah keluarga Vianney ada di antara perkebunan anggur yang indah. Rumahnya
telah dikenal sebagai rumah orang-orang miskin dan wisma para pengemis yang
berkelana.
Orangtua
Yohanes Maria adalah Matius dan Maria Vianney. Bapak Matius adalah seorang yang
takut akan Tuhan dan amat jujur walaupun saat itu adalah abad di mana korupsi
merajalela di Perancis. Sedangkan ibunya, Maria Vianney menonjol dalam
keutamaan-keutamaan kelemah-lembutan dan kasih sayang yang memancar dari lubuk
hatinya yang terdalam, sungguh pantas menjadi ibu seorang kudus.
Sebelum
kelahiran St Yohanes Maria, anak pertama dari enam bersaudara, sang ibu sudah mempersembahkan
calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria. Ia bernazar secara rahasia
untuk mempersembahkan Yohanes Maria di altar Tuhan. Bidan yang melayani
persalinannya berseru, “Sungguh, entah anak ini akan menjadi seorang kudus
besar atau seorang penjahat besar.”
Di
usianya yang baru delapanbelas bulan Yohanes Maria telah belajar mengatupkan
kedua tangan mungilnya dalam doa dan mengucapkan nama Yesus dan Maria. Maria
Vianney dengan teratur membangunkan anak-anaknya setiap pagi, agar ia dapat
memastikan mereka mempersembahkan hati mereka kepada Tuhan. Kesalehan ibunya
tertanam dalam hatinya.
Pada
masa kanak-kanak Yohanes Maria, karena anti-klerus Revolusi Perancis yang pecah
pada tahun 1789, para imam yang tidak menandatangani sumpah setia kepada
negara, dibuang dalam pengasingan. Sebagian imam terpaksa hidup dalam
persembunyian. Jika tertangkap hukuman pancung telah menanti. Segera saja
pintu-pintu gereja di Dardilly disegel dan paraktek iman Katolik dilarang oleh
pemerintah.
Namun,
di Lyons masih ada sekitar 30 orang imam yang setia kepada Roma. Imam-imam itu
terus melayani sakramen-sakramen secara sembunyi-sembunyi, dengan taruhan nyawa
mereka. Keluarga Vianney, tidak saja memegang teguh iman mereka selama masa
penganiayaan ini, melainkan justru semakin diperteguhlah iman mereka karenanya.
Keluarga Vianney tidak pernah mau berhubungan dengan imam-imam yang bersumpah
setia kepada konstitusi Perancis yang anti-Gereja. Orangtua Yohanes Vianney
terus mendaraskan doa-doa harian dan mengajarkan katekese di rumah. Sekali
waktu, seorang imam yang setia kepada Roma akan datang untuk mempersembahkan
Misa secara sembunyi-sembunyi. Dalam situasi seperti itu, Yohanes Maria harus
menerima Komuni Pertamanya secara sembunyi-sembunyi kala usianya 13 tahun.
Revolusi
Perancis menyebabkan begitu banyak imam menyeleweng. Hal ini membuat rasa ngeri
akan dosa muncul dalam diri Yohanes Maria. Namun, rasa ini sekaligus mengobarkan
semangatnya untuk menjadi seorang yang saleh. Ia pernah berkata, “Oh, andai aku
seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa
bagi Tuhan.”
Perjuangan Menjadi Imam
Pada
tahun 1799 Napoleon Bonaparte menjadi penguasa absolut Perancis. Ia
memerdekakan Gereja, sehingga Misa Kudus kembali dapat dirayakan secara umum
dan Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus dapat ditahtakan di altar. Yohanes
Maria segera saja setia mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen
Mahakudus. Penggembala domba yang telah menjadi seorang pemuda berusia 18 tahun
itu merasa mantap untuk menjawab panggilan hatinya menjadi seorang imam.
Sungguh sayang, Matius tidak mengijinkan putranya masuk seminari. Ia merasa
tidak akan mampu membiayai sekolah putranya. Ditambah lagi, ia sudah semakin
tua dan membutuhkan tenaga Yohanes Maria untuk bekerja di pertanian. Sia-sia
saja Maria memohon kepada suaminya. Sepanjang waktu itu, St Yohanes menyimpan
semuanya dalam hati, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang
kudus.
Pada
tahun 1806, Abbè Balley, salah seorang dari dua imam yang paling berpengaruh
dalam keluarga Vianney, membuka sebuah sekolah kecil di pastoran di Ecully,
guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk panggilan imam. Matius setuju dan
memperbolehkan Yohanes belajar di sana. Tetapi, pada awalnya Abbè Balley enggan
menerima Yohanes Maria, sebab pendidikannya tidak memadai, ia hanya tahu
membaca dan menulis. Namun, Yohanes yakin akan panggilannya, jadi ia mendesak.
Abbè Balley akhirnya berubah pendirian setelah ia mengetahui betapa banyak
Yohanes mengenal kisah para kudus. Pada tahun 1807, Yohanes Maria menerima
Sakramen Penguatan dan menambahkan Baptis dalam namanya.
Belum
lama belajar di seminari, setahun kemudian muncul halangan berikutnya. Napoleon
Bonaparte sangat membutuhkan tenaga prajurit. Jadi, meski sebenarnya bebas dari
wajib militer, Yohanes Maria bersama para seminaris lainnya dipanggil untuk
masuk dinas militer. Mereka diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas di
Loyons. Tetapi, dua hari setelah menerima instruksi, ia sakit dan harus dirawat
di rumah sakit sehingga teman-temannya meninggalkannya. Pada tanggal 5 Januari
1809, sementara masih dalam taraf penyembuhan, ia telah diperintahkan untuk
melapor di Roanne untuk suatu wajib militer keesokan harinya. Teman-teman
seperjalanan meninggalkan Yohanes Maria, karena ia bersikeras singgah terlebih
dahulu di gereja untuk berdoa. Ia berusaha menyusul mereka di Renaison, walau
peralatan militer yang ada padanya hanyalah sebuah ransel.
Sepanjang
perjalanan, Yohanes berdoa rosario. Ketika mendekati pegunungan Le Forez, ia
berhenti untuk beristirahat. Yohanes bertanya-tanya dalam hati di manakah ia
akan dapat menemukan tempat berteduh dalam musim dingin seperti ini.
Sekonyong-konyong, muncul seorang yang menyebut diri sebagai Guy. Guy memungut
ransel Yohanes dan menghantarnya lewat naik ke suatu jalan pegunungan ke sebuah
gubug dekat dusun Les Noës yang terpencil. Sungguh beruntung, pada tahun 1810,
sehubungan dengan pernikahannya dengan puteri bangsawan Marie-Louise, Bonaparte
memberikan amnesti umum kepada semua pelarian; dengan demikian, Yohanes Maria
bebas pulang ke rumah.
Tahun
berikutnya Yohanes Maria menerima Tonsura (= upacra pemangkasan rambut calon
imam sebelum menerima tahbisan rendah; upacara ini dihapuskan sejak 1972),
kemudian belajar filsafat setahun lamanya di seminari menengah di Verrières.
Ketika kembali di seminari, Yohanes Maria mempersembahkan diri kepada Bunda
Maria, mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan-tangan kudusnya. Ia
mempersembahkan segala perbuatan-perbuatan baiknya di masa lampau, masa
sekarang, dan masa mendatang, ke dalam perlindungan keibuannya, dengan cara
seperti yang diajarkan oleh St. Louis de Montfort, seorang santo besar Perancis
yang amat berpengaruh dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa
penganiayaan.
Pada
tahun 1813, Yohanes Maria melanjutkan studinya di seminari tinggi di Lyons.
Sejak itu ia dikenal sebagai Abbè Vianney, sebab ia telah menerima Tonsura
tahun sebelumnya. Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney
terkenal karena laku tapa, silih, kerendahan hati dan permenungannya yang
mendalam. Tetapi, dalam bidang akademis ia amat lemah; ia sulit sekali belajar
dan menghafal. Walau telah berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil
menguasai bahasa Latin; sebab itu Abbè Vianney dijuluki sebagai “seminaris
paling bodoh, namun paling saleh di Lyons”. Enam bulan kemudian, yang berwenang
terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari sebab pengetahuan akademisnya sungguh
buruk.
Nyaris
putus asa, Abbè Vianney mendengar suatu suara yang menghiburnya untuk tidak
bersedih hati, sebab suatu hari kelak ia akan sungguh menjadi seorang imam.
Abbè Balley juga tak hendak menyerah, ia secara privat membimbing Abbè Vianney
dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah dan
diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Perancis dan ia berhasil lulus.
Bahkan, para penguji mencatat bahwa ia “memberikan jawaban-jawaban yang sungguh
bagus serta memuaskan....”
Kesalehan
Yohanes Maria Vianney terdengar juga oleh Bapa Uskup. Beliau bertanya, “Apakah
ia berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia
sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya
untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam yang
terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh;” demikian Uskup,
“rahmat Tuhan akan melakukan selanjutnya.”
Akhirnya,
pada tanggal 2 Juli 1814, pada pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet, Abbè
Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon dan pada tanggal 12 Agustus 1815, ia
ditahbiskan menjadi imam untuk selamanya. Pada mulanya, karena pengetahuannya
dianggap tidak mencukupi, yang berwenang tidak memperkenankan Romo Vianney melayani
Sakramen Pengakuan Dosa. Namun, ternyata Tuhan suka bergurau juga, sebab tak
lama lagi ia akan harus melayani pengakuan dosa hingga 18 jam dalam sehari!
Romo
Vianney ditugaskan sebagai imam pembantu Romo Balley di Ecully hingga
pembimbingnya itu wafat pada tahun 1817. Awal tahun 1818, Romo Vianney
ditugaskan sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang
berpenduduk 230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya, dan buahnya
sungguh luar biasa!
Karya Sebagai Imam di Ars
Tugasnya
sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit. Dibutuhkan beberapa tahun untuk
menutup kedai-kedai minum, delapan tahun untuk menghentikan aktivitas
perdagangan di hari Minggu, dan duapuluh lima tahun untuk membuat masyarakat di
sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa-dansi dengan tidak sopan. Tak
henti-hentinya ia berdoa bagi para pendosa, juga menanggung banyak penderitaan
bagi mereka. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita,”
katanya.
Pada
mulanya, sekedar karena rutinitas belaka, penduduk desa akan datang untuk
merayakan Misa pada hari Minggu, dan selesai sudah. Bahkan alasan-alasan yang
paling remeh sekalipun sudahlah cukup bagi mereka untuk absen dari Misa. Hanya
pada hari-hari Minggu saja Romo Vianney mendapatkan kesempatan untuk
memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada hari-hari lain dalam
pekan, Romo Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian dan pondok-pondok
ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan siang. Ia akan berdiri,
bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada mereka mengenai pertanian.
Tetapi, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil mengalihkan pembicaraan ke
surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan melintasi padang seraya
mendaraskan Rosario.
Orang
kudus kita ini belum menganggap desanya bertobat hingga keduaratus penduduk
desa seluruhnya mengamalkan Sepuluh Perintah Allah, Kelima Perintah Gereja dan
menunaikan praktek-praktek kesalehan setiap hari. Ia berbicara mengenai
kesopanan dalam berbusana, sebab ia tahu bahwa kesopanan adalah perwujudan
lahiriah dari kemurnian, dan ia menuntut kesopanan sepanjang waktu, tidak saja
di gereja. Tetapi, dosa yang membuatnya paling banyak menangis sedih adalah
dosa hujat, pencemaran Nama Allah yang kudus. Ia biasa mengatakan bahwa adalah
suatu mukjizat para penghujat tidak mati disambar petir seketika. Ia
memperingatkan penduduk desa bahwa “jika dosa hujat biasa dilakukan dalam
rumahmu, maka, ia - rumahmu - akan binasa.” Dari sini tampak jelas bahwa Romo
Vianney tidak mau menolerir dan tidak mau berkompromi dalam segala hal yang
menyangkut dosa, sungguh, amat mirip benar dengan St Yohanes Pembaptis, santo
pelindungnya.
Sakramen Tobat
Perhatian
pertama Imam dari Ars adalah menanamkan dalam diri umat beriman kerinduan untuk
bertobat. Ia menekankan indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh
kehidupan imamat dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan
orang-orang berdosa? Di atas segalanya, dalam pengampunanlah belas kasih Allah
tampak nyata. Jadi, ia tak hendak menghindarkan diri dari para peniten yang
datang dari segala penjuru negeri. Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan
matiraganya yang paling besar, suatu bentuk kemartiran. Pertama, kemartiran
dalam arti jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar
pengakuan. Kedua, kemartiran dalam arti moral, sebab ia sendiri menderita
akibat dosa-dosa yang diakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena
kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis, sebab engkau tidak menangis.”
Di hadapan orang-orang yang suam-suam kuku ini, yang disambutnya dengan segenap
kasih dan berusaha dibangkitkan kasihnya akan Allah, Tuhan memampukan St YM
Vianney untuk mendamaikan kembali pendosa-pendosa berat yang bertobat dan juga
membimbing jiwa-jiwa yang haus untuk mencapai kesempurnaan. Di sinilah, di atas
segalanya, Tuhan meminta imamnya yang kudus itu untuk ikut ambil bagian dalam
karya Penebusan-Nya.
Suatu
hari, setelah meninggalkan kamar pengakuan untuk mempersembahkan Misa, St YM
Vianney melewati seorang gadis yang bersiap pergi karena telah putus asa untuk
dapat bertemu dengan sang imam. Dengan ramah Romo Vianney menyapanya, “Engkau
tidak cukup sabar, anakku. Engkau baru tiga hari di sini dan engkau sudah
hendak pulang? Engkau harus tinggal limabelas hari lamanya dan berdoa mohon
bantuan Santa Philomena untuk mengatakan apa panggilan hidupmu, dan sesudah
itu, barulah engkau datang menemuiku.” Gadis itu melakukannya dan di kemudian
hari menjadi seorang biarawati. Di lain waktu, Romo Vianney keluar dari kamar
pengakuan guna mempersilakan seorang ibu yang masih dalam antrian untuk segera
masuk, sebab ia tahu bahwa ibu itu tak dapat menunggu lebih lama; 16 orang
anaknya menanti.
Dengan
discernment (= pembedaan roh) yang tak ada bandingannya Romo Vianney akan
menemukan akar dari segala masalah dan tanpa ragu mendesak agar akar masalah
itu segera disembuhkan. Lalu, ia akan menganjurkan cara-cara agar orang dapat
tinggal dalam keadaan rahmat, dan bagaimana menolak kesempatan dosa. Waktu yang
diberikan kepada masing-masing peniten cukup singkat sebab antrian amat panjang
dan waktu amat berharga. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam
sehari.
Jumlah
peniten yang membanjiri Ars juga berarti kerja keras yang akan segera
meremukkan mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual sedemikian. Pada
bulan-bulan musim dingin, Romo Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam
kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga 16 jam sehari.
Dibutuhkan waktu setengah jam baginya untuk pindah dari gereja ke pastoran oleh
sebab banyaknya orang yang berdesak-desakan meminta berkat dan doanya. Ia tidur
hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah bersiap kembali untuk
mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah menantinya di gereja.
Pada
awal pelayanannya sebagai bapa pengakuan, salah seorang rekan imam yang iri
kepadanya memperingatkan St YM Vianney melalui sebuah surat bahwa seorang imam
yang hanya tahu sedikit theologi seperti dia, sepatutnya tidak berani masuk ke
dalam kamar pengakuan. Sebagian rekan imam lain yang juga iri mendakwanya
sebagai bodoh, dukun klenik, kacau mental, gila dan mulai menyebarkan fitnah
keji tentangnya. Menanggapi pengaduan mereka, Monsignor Devie, mengatakan,
“Saya harap, saudara-saudara, seluruh imam saya memiliki kegilaan yang sama
dengannya.”
Ekaristi: Mempersembahkan Misa,
Komuni Kudus Dan Adorasi
“Kala
ibunda St Alexis akhirnya mengenali puteranya dalam tubuh tak bernyawa seorang
pengemis yang telah tigapuluh tahun tinggal di bawah tangga istananya, ia
berseru pilu, `Oh, puteraku, puteraku, mengapakah aku begitu terlambat
mengenalimu?' … Jiwa, saat lepas dari kehidupan ini, akan melihat Dia yang
hadir nyata dalam Ekaristi Kudus; dan melihat penghiburan, keagungan dan
kemuliaan yang gagal dikenalinya, jiwa juga akan berseru pilu, `Oh, Yesus! Oh,
Yesus! Mengapakah aku begitu terlambat mengenali Engkau?'”
Kedua
sakramen ini, Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi berhubungan sangat erat.
Tanpa pertobatan yang senantiasa diperbaharui terus-menerus dan penerimaan
rahmat sakramental pengampunan dosa, keikutsertaan dalam Ekaristi tidak akan
mencapai kepenuhan daya penebusannya. Seperti Kristus yang memulai
pelayanan-Nya dengan kata-kata, “Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil!” demikian pula Imam dari Ars biasa memulai setiap harinya dengan
pelayanan pengampunan dosa. Kemudian, dengan suka hati ia akan menghantarkan
para peniten yang telah diperdamaikan itu ke perjamuan Ekaristi.
Ekaristi
adalah sumber dan pusat kehidupan rohani dan karya pastoralnya. Katanya,
“Segala perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu masih tidak sebanding
dengan Kurban Misa, sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya manusia,
sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah.” Dalam Misa, Kurban Kalvari dihadirkan
kembali demi Penebusan dunia. Jelas, imam haruslah mempersatukan persembahan
dirinya setiap hari dengan persembahan Misa Kudus. St YM Vianney mengatakan,
“Karenanya, betapa baiknya yang dilakukan imam dalam mempersembahkan dirinya
sendiri kepada Tuhan dalam kurban setiap pagi!” Lagi, “Komuni Kudus dan Kurban
Kudus Misa adalah dua tindakan yang paling berdaya guna dalam mendatangkan
pertobatan hati.”
Dengan
demikian, Misa bagi St YM Vianney adalah sukacita dan penghiburan besar dalam
kehidupan imamatnya. Kendati banyaknya peniten yang menanti, ia biasa
menghabiskan lebih dari seperempat jam dalam hening persiapan Misa. Ia
merayakan Ekaristi dengan khusuk, dengan jelas mengungkapkan sembah sujudnya saat
konsekrasi dan komuni. Dengan tepat ia mengatakan, “Penyebab dari kecerobohan
imam adalah tidak memberikan perhatian pada Misa!”
Imam
dari Ars teristimewa sekali mencurahkan perhatian pada kehadiran nyata Kristus
yang abadi dalam Ekaristi. Di hadapan tabernakel, ia biasa melewatkan
berjam-jam lamanya dalam sembah sujud, entah dini hari atau sore hari. Dalam
menyampaikan homili, kerap kali ia berpaling kepada tabernakel seraya berseru
penuh emosi, “Ia ada di sana!” Karena alasan ini juga ia, walau miskinlah
parokinya, tidak sayang-sayang membelanjakan banyak uang untuk menghiasi
gereja-Nya. Gereja direnovasi dan didekorasi dengan patung-patung dan
gambar-gambar kudus, sebab St YM Vianney percaya bahwa sekedar tatapan pada
gambar atau patung kudus dapat mempertobatkan jiwa. Hasil nyatanya yang luar
biasa adalah umat dalam parokinya segera saja ikut pula datang berdoa di
hadapan Sakramen Mahakudus, guna menemukan, lewat teladan imam mereka yang
kudus, keagungan misteri iman. Gereja tidak pernah kosong, selalu saja ada
orang di sana, di hadapan Sakramen Mahakudus.
MUTIARA-MUTIARA IMAMAT SANTO
YOHANES MARIA VIANNEY[2]
Dari
kisah hidup imamat Santo Yohanes Maria Vianney di atas, Beato Paus Yohanes
XXIII mengangkat beberapa poin penting yang sangat berguna bagi kehidupan
imamat di jaman sekarang, yakni:
Pertama, Perihal Askese Keimanan. Santo Yohanes Maria Vianney merupakan
gambaran seorang imam yang bermatiraga dengan sangat luar biasa. Ia berpantang
makan dan tidur dan dengan sukarela menyiksa tubuhnya sendiri dengan kejam
semata-mata demi pertobatan orang-orang berdosa. Ia kejam terhjadap diri
sendiri, namun lemah lembut terhadap orang lain.
Berkaitan
dengan hal ini, Beato Giovanni XXIII menandaskan kekeliruan yang sering terjadi
yakni pandangan bahwa imam sekular tidak harus menjalakan nasihat-nasihat
injili seperti para biarawan. Melihat teladan hidup Santo Yohanes Maria
Vianney, Beato Giovanni berpesan bahwa sebenarnya para imam sekular justru
harus memiliki kesucian batin yang lebih besar daripada yang sewajarnya harus
dimiliki oleh seorang biarawan karena pelaksaan tugas-tugas kewajiban imam
sekular memiliki tantangan yang lebih besar.
Santo
Yohanes Maria Vianney memberikan teladan indah misalnya dalam kemiskinan dimana
ia sungguh-sungguh layak menjadi saingan Santo Fransiskus Asisi dan memang ia
pun menjadi anggota ordonya yang ketiga. Santo Yohanes Maria Vianney dengan
mudah dapat mengatakan kepada orang miskin, “Aku inipun melarat seperti kamu,
aku sekarang menjadi satu dengan kamu.” Dengan pesannya ini Santo Yohanes Maria
Vianney berpesan kepada para imam, “Jika diantara para imam ada yang secara
halal memiliki sedikit hartabenda perseorangan, janganlah sekali-kali mereka
melekat padanya.”
Tentang
kemurnian dikatakan bahwa Santo Yohanes Maria Vianney selalu bermatiraga
terhadap dagingnya sendiri. “Cuma ada satu cara untuk menyerahkan diri kepada
Allah ialah melalui pengingkaran diri dan berkurban.”, kata Santo YMV. Baginya,
kemurnian hidup selibat merupakan hiasan terindah bagi jabatan imamat. Banyak orang
bisa merasakan bahwa kemurnian Santo YMV terpancar dalam sinar matanya.
Dalam
hal ketaatan Santo YMV memiliki semboyan ketaatan sabda Tuhan sendiri, “Barangsiapa
mendengarkan kamu, Ia pun mendengarkan Aku”. Santo YMV benar-benar meyakini
bahwa perintah dari Uskup benar-benar datang dari Allah sendiri. Maka, ia
melakukannya dengan sepenuh hati dan kerendahan hati. Beato Giovanni XXIII
menyinggung hal ini secara khusus karena beliau prihatin dengan bahaya besar
yang mengancam Gereja berupa sikap tak mau diperintah yang terdapat di kalangan
rohaniwan, baik di bidang pengajaran doktrin agama, maupun cara-cara kerasulan,
serta dalam tata tertib kegerejaan.
Kedua, Perihal Doa dan Kebaktian Ekaristi. Santo YMV merupakan seorang
imam yang sadar bahwa seorang imam haruslah pertama-tama menjadi seorang
pendoa. Setiap orang mengetahui bahwa Santo YMV melewatkan waktu malamnya
hingga berlarut-larut di hadapan Sakramen Maha Kudus. Tabernakel menjadi tungku
hidup pribadinya serta kegiatan kerasulannya. St. Pius XII mengungkapkan dengan
indah kesalehan Santo YMV dengan kata-kata, “Pusat hidupnya ialah gerejanya,
dan di dalam gereja itu, tabernakelnya dan tempat pengakuan yang berada di
sampingnya, merupakan tempat jiwa-jiwa yang mati memperoleh hidupnya kembali,
sedang yang sakit memperoleh kesembuhannya. Santo YMV mengatakan, “Apa yang
merintangi kita para imam untuk menjadi suci ialah bahwa kuranglah kita
melakukan renungan batin.” Tidak ada jemu-jemunya Santo YMV berbicara soal
sukacita batin dan manfaat-manfaat doa.
Ketekunan
doa menurut Santo YMV merupakan kewajiban bagi seorang imam demi kesalehan
pribadinya. Di tempat utama Ofisi ilahi merupakan keharusan yang tak dapat
ditawar-tawar karena hal itu merupakan sesuatu yang sudah dijanjikannya kepada
Gereja. Boleh jadi justru karena melalaikan beberapa peraturan inilah, maka
setengah rohaniwan sedikit demi sedikit menjadi korban kegoncangan di luar
dirinya, menjadi miskin kehidupan batinnya dan akhirnya tidak berdaya sama
sekali melawan godaan-godaan hidup.
Pastor
Ars mengatakan kepada para imam, “Jika Anda menginginkan supaya kaum beriman
berdoa dengan relahati dan saleh, dahuluilah mereka di dalam Gereja dengan
teladanmu, berdoalah untuk mereka. Seorang imam yang berlutut d hadapan
tabernakel dengan sikap yang khidmat, dalam perenungan yang hangat mempesona,
merupakan model pembentukan bagi umat, sekaligus merupakan pernyataan dan
ajakan untuk berlomba-lomba dalam doa.” Inilah senjata kerasulan tertinggi bagi
Pastor Ars. Tambahnya lagi, “Apakah sesungguhnya karya kerasulan imam,
mengingat kegiatan pokoknya, kalau bukan menghimpun umat mengelilingi Altar
dimana Gereja sudah mulai hidup, yaitu umat yang bersatu dalam iman.”
Santo
YMV juga mengingatkan bahwa kekendoran imam adalah karena imam tak punya
perhatian terhadap Misa. Misa Kudus adalah sumber utama pengudusan pribadi
imam. Namun, sayangnya banyak imam yang tidak lagi peduli dengan misa yang
mereka rayakan. Santo YMV senantiasa mencucurkan airmatanya berlimpah kalau ia
mengingat nasib malang imam-imam yang hidupnya tidak sesuai dengan kekudusan
panggilan mereka. Seharusnya para imam secara berkala menyelidiki dirinya
sendiri perihal caranya mempersembahkan misteri-misteri kudus itu dan tentang
keadaan rohani batin mereka di saat naik altar, serta tentang hasil-hasil yang
hendak mereka ambil dari situ.
Ketiga, Perihal Semangat Kegembalaan. Sabda Tuhan yang menjadi pedoman
Pastor Ars dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan Yesus kepadanya
ialah, “Tanpa Aku, tak dapatlah kamu berbuat apa-apa” (Yoh 25:15). Bagi Santo
YMV, seorang gembala yang baik ialah gembala yang menuruti idam-idaman hati
Allah. Dan itulah kekayaan paling besar yang dapat dianugerahkan Allah kepada
suatu paroki.
Selama
tahun-tahun permulaan ketika berada d Ars Santo YMV pernah berdoa kepada Tuhan,
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku pertdobatan untuk parokiku ini, Aku pun
rela menderita apa saja yang kau kehendaki selama hidupku!”. Dan dikabulkanlah
pertobatan itu dari surga. Namun kemudian ia sendiri mengakui, “Tatkala aku
datang ke Ars, dan kubayangkan sengsara yang bakal menimpa diriku itu, maka
rasa-rasanya aku akan mati ketakutan seketika itu juga.”
Santo
YMV pernah meratap, “Sungguh besarlah malapetaka bagi kita para imam apabila
jiwa kita membeku.” Adapun yang dimaksudkannya dengan perkataan itu ialah
apabila si gembala menganggap keadaan dosa yang merajalela di tengah kawanan
domba dianggap sebagai barang biasa!” Untuk itu ia selalu siap sedia memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jiwa-jiwa karena inilah tugas seorang gembala yang pertama
dan terbesar, primum et maximum.
Dalam mendampingi pengakuan dosa, Santo YMV hanya memberikan kepada para
peniten sebagian kecil dari penitensinya, sisanya ia sendiri yang akan
menjalankannya sebagai ganti mereka.
Refleksi Singkat Sebagai Penutup
Ketika
saya merefleksikan segala kehidupan dan ajaran Santo YMV, saya berpikir dalam
hati, Mengapa dan apa yang membuat Santo YMV mempunyai cinta kegembalaan yang
begitu besar kepada umatnya? Banyak sekali jawaban yang muncul dalam pikiran
saya. Namun, ketika saya mencari jawabannya pada Sabda Tuhan sendiri, saya
menemukan bahwa pada hari pentahbisannya menjadi imam, Santo YMV termasuk orang
yang mendengarkan bisikan Tuhan yang lembut dan manis, “Iam non dicam vos servos, sed amicos!” – Kamu tidak akan kusebut
hamba lagi, melainkan sahabatku (Yoh 15:15). Menjadi seorang imam ialah menjadi
sahabat Tuhan yang dengan kepenuhan hati turut serta dalam karya penggembalaan.
Cinta kepada Tuhan seharusnya menjadi dasar motivasi penggembalaan, sama
seperti Paus pertama kita Petrus yang ditanya tiga kali oleh Tuhan Yesus,
‘Apakah Engkau mencintai Aku?’ dan ketika jawaban diberikan, Tuhan Yesus
menyambungnya kembali dengan perintah untuk ‘Gembalakanlah domba-dombaku!”.
Yoseph Indra Kusuma
[1] Sumber Inspirasi dan skema
dikutip dan diambil dengan berbagai perubahan dari http://www.indocell.net/ yesaya/id1056.htm, diakses tanggal 1 Maret
2013
[2] Yohanes XXIII, Sacerdotii
Nostri Primordia (Awal mula imamat kami), Ende: Penerbit Nusa Indah, 1964.
No comments:
Post a Comment