Sunday, June 2, 2013

KETELADANAN IMAMAT SANTO YOHANES MARIA VIANNEY DALAM ENSIKLIK SACERDOTII NOSTRI PRIMORDIA KARYA BEATO YOHANES XXIII

PENGANTAR
Santo Yohanes Maria Vianney adalah seorang imam bersahaja yang menginspirasi banyak orang melalui hidupnya yang sederhana dan saleh. Oleh karena kekudusannya ini, ia dijadikan pelindung para pastor paroki yang notabene adalah gembala-gembala jiwa dengan harapan bahwa para gembala jiwa dapat diresapi oleh semangat Santo Yohanes Maria Vianney dalam menjalankan reksa pastoralnya. Dalam ensiklik ini Beato Yohanes XXIII yang tercinta mengungkapkan kecintaannya kepada Santo Yohanes Maria Vianney dan menguraikan kisah-kisah hidupnya serta kutipan-kutipan pembicaraannya dan merangkaikannya sebagai nasihat-nasihat bagi para imam untuk menjalani imamatnya seturut dengan teladan Santo Yohanes Maria Vianney yang cemerlang. Paus Yohanes XXIII berharap bahwa dengan mengikuti jejak-jejak kesucian Pastor dari Ars selangkah demi selangkah para imam dapat semakin banyak
Penulis sengaja memilih ensiklik ini karena ensiklik inilah yang pertama kali diuraikan oleh RD. Edi Laksito (Rektor STPD sekarang) sewaktu kami baru pindah dari malang. Beliau ingin mengombinasikan dan mencari relevansi antara pelindung seminari kami yang lama Beato Giovanni XXIII dengan pelindung seminari baru di Surabaya Santo Yohanes Maria Vianney. Usaha ini cukup menyentuh bagi penulis dan ternyata memang kisah hidup dan ujaran-ujaran St. Yohanes Maria Vianney sungguh menggetarkan hati penulis. Penulis pun sempat beberapa kali menarik nafas panjang karena tersentuh dengan kata-kata dari Santo Yohanes Maria Vianney yang terkasih.
KISAH HIDUP SANTO YOHANES MARIA VIANNEY[1]
Masa Kecil
Yohanes Baptis Maria Vianney kecil dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly, sebuah dusun dekat Lyons, Perancis, dalam sebuah keluarga petani sederhana. Rumah keluarga Vianney ada di antara perkebunan anggur yang indah. Rumahnya telah dikenal sebagai rumah orang-orang miskin dan wisma para pengemis yang berkelana.  
Orangtua Yohanes Maria adalah Matius dan Maria Vianney. Bapak Matius adalah seorang yang takut akan Tuhan dan amat jujur walaupun saat itu adalah abad di mana korupsi merajalela di Perancis. Sedangkan ibunya, Maria Vianney menonjol dalam keutamaan-keutamaan kelemah-lembutan dan kasih sayang yang memancar dari lubuk hatinya yang terdalam, sungguh pantas menjadi ibu seorang kudus.
Sebelum kelahiran St Yohanes Maria, anak pertama dari enam bersaudara, sang ibu sudah mempersembahkan calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria. Ia bernazar secara rahasia untuk mempersembahkan Yohanes Maria di altar Tuhan. Bidan yang melayani persalinannya berseru, “Sungguh, entah anak ini akan menjadi seorang kudus besar atau seorang penjahat besar.”
Di usianya yang baru delapanbelas bulan Yohanes Maria telah belajar mengatupkan kedua tangan mungilnya dalam doa dan mengucapkan nama Yesus dan Maria. Maria Vianney dengan teratur membangunkan anak-anaknya setiap pagi, agar ia dapat memastikan mereka mempersembahkan hati mereka kepada Tuhan. Kesalehan ibunya tertanam dalam hatinya.
Pada masa kanak-kanak Yohanes Maria, karena anti-klerus Revolusi Perancis yang pecah pada tahun 1789, para imam yang tidak menandatangani sumpah setia kepada negara, dibuang dalam pengasingan. Sebagian imam terpaksa hidup dalam persembunyian. Jika tertangkap hukuman pancung telah menanti. Segera saja pintu-pintu gereja di Dardilly disegel dan paraktek iman Katolik dilarang oleh pemerintah.
Namun, di Lyons masih ada sekitar 30 orang imam yang setia kepada Roma. Imam-imam itu terus melayani sakramen-sakramen secara sembunyi-sembunyi, dengan taruhan nyawa mereka. Keluarga Vianney, tidak saja memegang teguh iman mereka selama masa penganiayaan ini, melainkan justru semakin diperteguhlah iman mereka karenanya. Keluarga Vianney tidak pernah mau berhubungan dengan imam-imam yang bersumpah setia kepada konstitusi Perancis yang anti-Gereja. Orangtua Yohanes Vianney terus mendaraskan doa-doa harian dan mengajarkan katekese di rumah. Sekali waktu, seorang imam yang setia kepada Roma akan datang untuk mempersembahkan Misa secara sembunyi-sembunyi. Dalam situasi seperti itu, Yohanes Maria harus menerima Komuni Pertamanya secara sembunyi-sembunyi kala usianya 13 tahun.
Revolusi Perancis menyebabkan begitu banyak imam menyeleweng. Hal ini membuat rasa ngeri akan dosa muncul dalam diri Yohanes Maria. Namun, rasa ini sekaligus mengobarkan semangatnya untuk menjadi seorang yang saleh. Ia pernah berkata, “Oh, andai aku seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi Tuhan.”

Perjuangan Menjadi Imam
Pada tahun 1799 Napoleon Bonaparte menjadi penguasa absolut Perancis. Ia memerdekakan Gereja, sehingga Misa Kudus kembali dapat dirayakan secara umum dan Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus dapat ditahtakan di altar. Yohanes Maria segera saja setia mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Penggembala domba yang telah menjadi seorang pemuda berusia 18 tahun itu merasa mantap untuk menjawab panggilan hatinya menjadi seorang imam. Sungguh sayang, Matius tidak mengijinkan putranya masuk seminari. Ia merasa tidak akan mampu membiayai sekolah putranya. Ditambah lagi, ia sudah semakin tua dan membutuhkan tenaga Yohanes Maria untuk bekerja di pertanian. Sia-sia saja Maria memohon kepada suaminya. Sepanjang waktu itu, St Yohanes menyimpan semuanya dalam hati, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang kudus.
Pada tahun 1806, Abbè Balley, salah seorang dari dua imam yang paling berpengaruh dalam keluarga Vianney, membuka sebuah sekolah kecil di pastoran di Ecully, guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk panggilan imam. Matius setuju dan memperbolehkan Yohanes belajar di sana. Tetapi, pada awalnya Abbè Balley enggan menerima Yohanes Maria, sebab pendidikannya tidak memadai, ia hanya tahu membaca dan menulis. Namun, Yohanes yakin akan panggilannya, jadi ia mendesak. Abbè Balley akhirnya berubah pendirian setelah ia mengetahui betapa banyak Yohanes mengenal kisah para kudus. Pada tahun 1807, Yohanes Maria menerima Sakramen Penguatan dan menambahkan Baptis dalam namanya.
Belum lama belajar di seminari, setahun kemudian muncul halangan berikutnya. Napoleon Bonaparte sangat membutuhkan tenaga prajurit. Jadi, meski sebenarnya bebas dari wajib militer, Yohanes Maria bersama para seminaris lainnya dipanggil untuk masuk dinas militer. Mereka diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas di Loyons. Tetapi, dua hari setelah menerima instruksi, ia sakit dan harus dirawat di rumah sakit sehingga teman-temannya meninggalkannya. Pada tanggal 5 Januari 1809, sementara masih dalam taraf penyembuhan, ia telah diperintahkan untuk melapor di Roanne untuk suatu wajib militer keesokan harinya. Teman-teman seperjalanan meninggalkan Yohanes Maria, karena ia bersikeras singgah terlebih dahulu di gereja untuk berdoa. Ia berusaha menyusul mereka di Renaison, walau peralatan militer yang ada padanya hanyalah sebuah ransel.
Sepanjang perjalanan, Yohanes berdoa rosario. Ketika mendekati pegunungan Le Forez, ia berhenti untuk beristirahat. Yohanes bertanya-tanya dalam hati di manakah ia akan dapat menemukan tempat berteduh dalam musim dingin seperti ini. Sekonyong-konyong, muncul seorang yang menyebut diri sebagai Guy. Guy memungut ransel Yohanes dan menghantarnya lewat naik ke suatu jalan pegunungan ke sebuah gubug dekat dusun Les Noës yang terpencil. Sungguh beruntung, pada tahun 1810, sehubungan dengan pernikahannya dengan puteri bangsawan Marie-Louise, Bonaparte memberikan amnesti umum kepada semua pelarian; dengan demikian, Yohanes Maria bebas pulang ke rumah.
Tahun berikutnya Yohanes Maria menerima Tonsura (= upacra pemangkasan rambut calon imam sebelum menerima tahbisan rendah; upacara ini dihapuskan sejak 1972), kemudian belajar filsafat setahun lamanya di seminari menengah di Verrières. Ketika kembali di seminari, Yohanes Maria mempersembahkan diri kepada Bunda Maria, mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan-tangan kudusnya. Ia mempersembahkan segala perbuatan-perbuatan baiknya di masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang, ke dalam perlindungan keibuannya, dengan cara seperti yang diajarkan oleh St. Louis de Montfort, seorang santo besar Perancis yang amat berpengaruh dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa penganiayaan.
Pada tahun 1813, Yohanes Maria melanjutkan studinya di seminari tinggi di Lyons. Sejak itu ia dikenal sebagai Abbè Vianney, sebab ia telah menerima Tonsura tahun sebelumnya. Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney terkenal karena laku tapa, silih, kerendahan hati dan permenungannya yang mendalam. Tetapi, dalam bidang akademis ia amat lemah; ia sulit sekali belajar dan menghafal. Walau telah berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil menguasai bahasa Latin; sebab itu Abbè Vianney dijuluki sebagai “seminaris paling bodoh, namun paling saleh di Lyons”. Enam bulan kemudian, yang berwenang terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari sebab pengetahuan akademisnya sungguh buruk.
Nyaris putus asa, Abbè Vianney mendengar suatu suara yang menghiburnya untuk tidak bersedih hati, sebab suatu hari kelak ia akan sungguh menjadi seorang imam. Abbè Balley juga tak hendak menyerah, ia secara privat membimbing Abbè Vianney dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah dan diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Perancis dan ia berhasil lulus. Bahkan, para penguji mencatat bahwa ia “memberikan jawaban-jawaban yang sungguh bagus serta memuaskan....”
Kesalehan Yohanes Maria Vianney terdengar juga oleh Bapa Uskup. Beliau bertanya, “Apakah ia berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam yang terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh;” demikian Uskup, “rahmat Tuhan akan melakukan selanjutnya.”
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1814, pada pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet, Abbè Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon dan pada tanggal 12 Agustus 1815, ia ditahbiskan menjadi imam untuk selamanya. Pada mulanya, karena pengetahuannya dianggap tidak mencukupi, yang berwenang tidak memperkenankan Romo Vianney melayani Sakramen Pengakuan Dosa. Namun, ternyata Tuhan suka bergurau juga, sebab tak lama lagi ia akan harus melayani pengakuan dosa hingga 18 jam dalam sehari!
Romo Vianney ditugaskan sebagai imam pembantu Romo Balley di Ecully hingga pembimbingnya itu wafat pada tahun 1817. Awal tahun 1818, Romo Vianney ditugaskan sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang berpenduduk 230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya, dan buahnya sungguh luar biasa!

Karya Sebagai Imam di Ars
Tugasnya sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit. Dibutuhkan beberapa tahun untuk menutup kedai-kedai minum, delapan tahun untuk menghentikan aktivitas perdagangan di hari Minggu, dan duapuluh lima tahun untuk membuat masyarakat di sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa-dansi dengan tidak sopan. Tak henti-hentinya ia berdoa bagi para pendosa, juga menanggung banyak penderitaan bagi mereka. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita,” katanya.
Pada mulanya, sekedar karena rutinitas belaka, penduduk desa akan datang untuk merayakan Misa pada hari Minggu, dan selesai sudah. Bahkan alasan-alasan yang paling remeh sekalipun sudahlah cukup bagi mereka untuk absen dari Misa. Hanya pada hari-hari Minggu saja Romo Vianney mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada hari-hari lain dalam pekan, Romo Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian dan pondok-pondok ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan siang. Ia akan berdiri, bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada mereka mengenai pertanian. Tetapi, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil mengalihkan pembicaraan ke surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan melintasi padang seraya mendaraskan Rosario.
Orang kudus kita ini belum menganggap desanya bertobat hingga keduaratus penduduk desa seluruhnya mengamalkan Sepuluh Perintah Allah, Kelima Perintah Gereja dan menunaikan praktek-praktek kesalehan setiap hari. Ia berbicara mengenai kesopanan dalam berbusana, sebab ia tahu bahwa kesopanan adalah perwujudan lahiriah dari kemurnian, dan ia menuntut kesopanan sepanjang waktu, tidak saja di gereja. Tetapi, dosa yang membuatnya paling banyak menangis sedih adalah dosa hujat, pencemaran Nama Allah yang kudus. Ia biasa mengatakan bahwa adalah suatu mukjizat para penghujat tidak mati disambar petir seketika. Ia memperingatkan penduduk desa bahwa “jika dosa hujat biasa dilakukan dalam rumahmu, maka, ia - rumahmu - akan binasa.” Dari sini tampak jelas bahwa Romo Vianney tidak mau menolerir dan tidak mau berkompromi dalam segala hal yang menyangkut dosa, sungguh, amat mirip benar dengan St Yohanes Pembaptis, santo pelindungnya.

Sakramen Tobat
Perhatian pertama Imam dari Ars adalah menanamkan dalam diri umat beriman kerinduan untuk bertobat. Ia menekankan indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh kehidupan imamat dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan orang-orang berdosa? Di atas segalanya, dalam pengampunanlah belas kasih Allah tampak nyata. Jadi, ia tak hendak menghindarkan diri dari para peniten yang datang dari segala penjuru negeri. Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan matiraganya yang paling besar, suatu bentuk kemartiran. Pertama, kemartiran dalam arti jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar pengakuan. Kedua, kemartiran dalam arti moral, sebab ia sendiri menderita akibat dosa-dosa yang diakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis, sebab engkau tidak menangis.” Di hadapan orang-orang yang suam-suam kuku ini, yang disambutnya dengan segenap kasih dan berusaha dibangkitkan kasihnya akan Allah, Tuhan memampukan St YM Vianney untuk mendamaikan kembali pendosa-pendosa berat yang bertobat dan juga membimbing jiwa-jiwa yang haus untuk mencapai kesempurnaan. Di sinilah, di atas segalanya, Tuhan meminta imamnya yang kudus itu untuk ikut ambil bagian dalam karya Penebusan-Nya.
Suatu hari, setelah meninggalkan kamar pengakuan untuk mempersembahkan Misa, St YM Vianney melewati seorang gadis yang bersiap pergi karena telah putus asa untuk dapat bertemu dengan sang imam. Dengan ramah Romo Vianney menyapanya, “Engkau tidak cukup sabar, anakku. Engkau baru tiga hari di sini dan engkau sudah hendak pulang? Engkau harus tinggal limabelas hari lamanya dan berdoa mohon bantuan Santa Philomena untuk mengatakan apa panggilan hidupmu, dan sesudah itu, barulah engkau datang menemuiku.” Gadis itu melakukannya dan di kemudian hari menjadi seorang biarawati. Di lain waktu, Romo Vianney keluar dari kamar pengakuan guna mempersilakan seorang ibu yang masih dalam antrian untuk segera masuk, sebab ia tahu bahwa ibu itu tak dapat menunggu lebih lama; 16 orang anaknya menanti.
Dengan discernment (= pembedaan roh) yang tak ada bandingannya Romo Vianney akan menemukan akar dari segala masalah dan tanpa ragu mendesak agar akar masalah itu segera disembuhkan. Lalu, ia akan menganjurkan cara-cara agar orang dapat tinggal dalam keadaan rahmat, dan bagaimana menolak kesempatan dosa. Waktu yang diberikan kepada masing-masing peniten cukup singkat sebab antrian amat panjang dan waktu amat berharga. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam sehari.
Jumlah peniten yang membanjiri Ars juga berarti kerja keras yang akan segera meremukkan mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual sedemikian. Pada bulan-bulan musim dingin, Romo Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga 16 jam sehari. Dibutuhkan waktu setengah jam baginya untuk pindah dari gereja ke pastoran oleh sebab banyaknya orang yang berdesak-desakan meminta berkat dan doanya. Ia tidur hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah bersiap kembali untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah menantinya di gereja.
Pada awal pelayanannya sebagai bapa pengakuan, salah seorang rekan imam yang iri kepadanya memperingatkan St YM Vianney melalui sebuah surat bahwa seorang imam yang hanya tahu sedikit theologi seperti dia, sepatutnya tidak berani masuk ke dalam kamar pengakuan. Sebagian rekan imam lain yang juga iri mendakwanya sebagai bodoh, dukun klenik, kacau mental, gila dan mulai menyebarkan fitnah keji tentangnya. Menanggapi pengaduan mereka, Monsignor Devie, mengatakan, “Saya harap, saudara-saudara, seluruh imam saya memiliki kegilaan yang sama dengannya.”

Ekaristi: Mempersembahkan Misa, Komuni Kudus Dan Adorasi
“Kala ibunda St Alexis akhirnya mengenali puteranya dalam tubuh tak bernyawa seorang pengemis yang telah tigapuluh tahun tinggal di bawah tangga istananya, ia berseru pilu, `Oh, puteraku, puteraku, mengapakah aku begitu terlambat mengenalimu?' … Jiwa, saat lepas dari kehidupan ini, akan melihat Dia yang hadir nyata dalam Ekaristi Kudus; dan melihat penghiburan, keagungan dan kemuliaan yang gagal dikenalinya, jiwa juga akan berseru pilu, `Oh, Yesus! Oh, Yesus! Mengapakah aku begitu terlambat mengenali Engkau?'”
Kedua sakramen ini, Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi berhubungan sangat erat. Tanpa pertobatan yang senantiasa diperbaharui terus-menerus dan penerimaan rahmat sakramental pengampunan dosa, keikutsertaan dalam Ekaristi tidak akan mencapai kepenuhan daya penebusannya. Seperti Kristus yang memulai pelayanan-Nya dengan kata-kata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” demikian pula Imam dari Ars biasa memulai setiap harinya dengan pelayanan pengampunan dosa. Kemudian, dengan suka hati ia akan menghantarkan para peniten yang telah diperdamaikan itu ke perjamuan Ekaristi.
Ekaristi adalah sumber dan pusat kehidupan rohani dan karya pastoralnya. Katanya, “Segala perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu masih tidak sebanding dengan Kurban Misa, sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya manusia, sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah.” Dalam Misa, Kurban Kalvari dihadirkan kembali demi Penebusan dunia. Jelas, imam haruslah mempersatukan persembahan dirinya setiap hari dengan persembahan Misa Kudus. St YM Vianney mengatakan, “Karenanya, betapa baiknya yang dilakukan imam dalam mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan dalam kurban setiap pagi!” Lagi, “Komuni Kudus dan Kurban Kudus Misa adalah dua tindakan yang paling berdaya guna dalam mendatangkan pertobatan hati.”    
Dengan demikian, Misa bagi St YM Vianney adalah sukacita dan penghiburan besar dalam kehidupan imamatnya. Kendati banyaknya peniten yang menanti, ia biasa menghabiskan lebih dari seperempat jam dalam hening persiapan Misa. Ia merayakan Ekaristi dengan khusuk, dengan jelas mengungkapkan sembah sujudnya saat konsekrasi dan komuni. Dengan tepat ia mengatakan, “Penyebab dari kecerobohan imam adalah tidak memberikan perhatian pada Misa!”  
Imam dari Ars teristimewa sekali mencurahkan perhatian pada kehadiran nyata Kristus yang abadi dalam Ekaristi. Di hadapan tabernakel, ia biasa melewatkan berjam-jam lamanya dalam sembah sujud, entah dini hari atau sore hari. Dalam menyampaikan homili, kerap kali ia berpaling kepada tabernakel seraya berseru penuh emosi, “Ia ada di sana!” Karena alasan ini juga ia, walau miskinlah parokinya, tidak sayang-sayang membelanjakan banyak uang untuk menghiasi gereja-Nya. Gereja direnovasi dan didekorasi dengan patung-patung dan gambar-gambar kudus, sebab St YM Vianney percaya bahwa sekedar tatapan pada gambar atau patung kudus dapat mempertobatkan jiwa. Hasil nyatanya yang luar biasa adalah umat dalam parokinya segera saja ikut pula datang berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus, guna menemukan, lewat teladan imam mereka yang kudus, keagungan misteri iman. Gereja tidak pernah kosong, selalu saja ada orang di sana, di hadapan Sakramen Mahakudus.

MUTIARA-MUTIARA IMAMAT SANTO YOHANES MARIA VIANNEY[2]

Dari kisah hidup imamat Santo Yohanes Maria Vianney di atas, Beato Paus Yohanes XXIII mengangkat beberapa poin penting yang sangat berguna bagi kehidupan imamat di jaman sekarang, yakni:
Pertama, Perihal Askese Keimanan. Santo Yohanes Maria Vianney merupakan gambaran seorang imam yang bermatiraga dengan sangat luar biasa. Ia berpantang makan dan tidur dan dengan sukarela menyiksa tubuhnya sendiri dengan kejam semata-mata demi pertobatan orang-orang berdosa. Ia kejam terhjadap diri sendiri, namun lemah lembut terhadap orang lain.
Berkaitan dengan hal ini, Beato Giovanni XXIII menandaskan kekeliruan yang sering terjadi yakni pandangan bahwa imam sekular tidak harus menjalakan nasihat-nasihat injili seperti para biarawan. Melihat teladan hidup Santo Yohanes Maria Vianney, Beato Giovanni berpesan bahwa sebenarnya para imam sekular justru harus memiliki kesucian batin yang lebih besar daripada yang sewajarnya harus dimiliki oleh seorang biarawan karena pelaksaan tugas-tugas kewajiban imam sekular memiliki tantangan yang lebih besar.
Santo Yohanes Maria Vianney memberikan teladan indah misalnya dalam kemiskinan dimana ia sungguh-sungguh layak menjadi saingan Santo Fransiskus Asisi dan memang ia pun menjadi anggota ordonya yang ketiga. Santo Yohanes Maria Vianney dengan mudah dapat mengatakan kepada orang miskin, “Aku inipun melarat seperti kamu, aku sekarang menjadi satu dengan kamu.” Dengan pesannya ini Santo Yohanes Maria Vianney berpesan kepada para imam, “Jika diantara para imam ada yang secara halal memiliki sedikit hartabenda perseorangan, janganlah sekali-kali mereka melekat padanya.”
Tentang kemurnian dikatakan bahwa Santo Yohanes Maria Vianney selalu bermatiraga terhadap dagingnya sendiri. “Cuma ada satu cara untuk menyerahkan diri kepada Allah ialah melalui pengingkaran diri dan berkurban.”, kata Santo YMV. Baginya, kemurnian hidup selibat merupakan hiasan terindah bagi jabatan imamat. Banyak orang bisa merasakan bahwa kemurnian Santo YMV terpancar dalam sinar matanya.
Dalam hal ketaatan Santo YMV memiliki semboyan ketaatan sabda Tuhan sendiri, “Barangsiapa mendengarkan kamu, Ia pun mendengarkan Aku”. Santo YMV benar-benar meyakini bahwa perintah dari Uskup benar-benar datang dari Allah sendiri. Maka, ia melakukannya dengan sepenuh hati dan kerendahan hati. Beato Giovanni XXIII menyinggung hal ini secara khusus karena beliau prihatin dengan bahaya besar yang mengancam Gereja berupa sikap tak mau diperintah yang terdapat di kalangan rohaniwan, baik di bidang pengajaran doktrin agama, maupun cara-cara kerasulan, serta dalam tata tertib kegerejaan.
Kedua, Perihal Doa dan Kebaktian Ekaristi. Santo YMV merupakan seorang imam yang sadar bahwa seorang imam haruslah pertama-tama menjadi seorang pendoa. Setiap orang mengetahui bahwa Santo YMV melewatkan waktu malamnya hingga berlarut-larut di hadapan Sakramen Maha Kudus. Tabernakel menjadi tungku hidup pribadinya serta kegiatan kerasulannya. St. Pius XII mengungkapkan dengan indah kesalehan Santo YMV dengan kata-kata, “Pusat hidupnya ialah gerejanya, dan di dalam gereja itu, tabernakelnya dan tempat pengakuan yang berada di sampingnya, merupakan tempat jiwa-jiwa yang mati memperoleh hidupnya kembali, sedang yang sakit memperoleh kesembuhannya. Santo YMV mengatakan, “Apa yang merintangi kita para imam untuk menjadi suci ialah bahwa kuranglah kita melakukan renungan batin.” Tidak ada jemu-jemunya Santo YMV berbicara soal sukacita batin dan manfaat-manfaat doa.
Ketekunan doa menurut Santo YMV merupakan kewajiban bagi seorang imam demi kesalehan pribadinya. Di tempat utama Ofisi ilahi merupakan keharusan yang tak dapat ditawar-tawar karena hal itu merupakan sesuatu yang sudah dijanjikannya kepada Gereja. Boleh jadi justru karena melalaikan beberapa peraturan inilah, maka setengah rohaniwan sedikit demi sedikit menjadi korban kegoncangan di luar dirinya, menjadi miskin kehidupan batinnya dan akhirnya tidak berdaya sama sekali melawan godaan-godaan hidup.
Pastor Ars mengatakan kepada para imam, “Jika Anda menginginkan supaya kaum beriman berdoa dengan relahati dan saleh, dahuluilah mereka di dalam Gereja dengan teladanmu, berdoalah untuk mereka. Seorang imam yang berlutut d hadapan tabernakel dengan sikap yang khidmat, dalam perenungan yang hangat mempesona, merupakan model pembentukan bagi umat, sekaligus merupakan pernyataan dan ajakan untuk berlomba-lomba dalam doa.” Inilah senjata kerasulan tertinggi bagi Pastor Ars. Tambahnya lagi, “Apakah sesungguhnya karya kerasulan imam, mengingat kegiatan pokoknya, kalau bukan menghimpun umat mengelilingi Altar dimana Gereja sudah mulai hidup, yaitu umat yang bersatu dalam iman.”
Santo YMV juga mengingatkan bahwa kekendoran imam adalah karena imam tak punya perhatian terhadap Misa. Misa Kudus adalah sumber utama pengudusan pribadi imam. Namun, sayangnya banyak imam yang tidak lagi peduli dengan misa yang mereka rayakan. Santo YMV senantiasa mencucurkan airmatanya berlimpah kalau ia mengingat nasib malang imam-imam yang hidupnya tidak sesuai dengan kekudusan panggilan mereka. Seharusnya para imam secara berkala menyelidiki dirinya sendiri perihal caranya mempersembahkan misteri-misteri kudus itu dan tentang keadaan rohani batin mereka di saat naik altar, serta tentang hasil-hasil yang hendak mereka ambil dari situ.
Ketiga, Perihal Semangat Kegembalaan. Sabda Tuhan yang menjadi pedoman Pastor Ars dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan Yesus kepadanya ialah, “Tanpa Aku, tak dapatlah kamu berbuat apa-apa” (Yoh 25:15). Bagi Santo YMV, seorang gembala yang baik ialah gembala yang menuruti idam-idaman hati Allah. Dan itulah kekayaan paling besar yang dapat dianugerahkan Allah kepada suatu paroki.
Selama tahun-tahun permulaan ketika berada d Ars Santo YMV pernah berdoa kepada Tuhan, Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku pertdobatan untuk parokiku ini, Aku pun rela menderita apa saja yang kau kehendaki selama hidupku!”. Dan dikabulkanlah pertobatan itu dari surga. Namun kemudian ia sendiri mengakui, “Tatkala aku datang ke Ars, dan kubayangkan sengsara yang bakal menimpa diriku itu, maka rasa-rasanya aku akan mati ketakutan seketika itu juga.”
Santo YMV pernah meratap, “Sungguh besarlah malapetaka bagi kita para imam apabila jiwa kita membeku.” Adapun yang dimaksudkannya dengan perkataan itu ialah apabila si gembala menganggap keadaan dosa yang merajalela di tengah kawanan domba dianggap sebagai barang biasa!” Untuk itu ia selalu siap sedia memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa-jiwa karena inilah tugas seorang gembala yang pertama dan terbesar, primum et maximum. Dalam mendampingi pengakuan dosa, Santo YMV hanya memberikan kepada para peniten sebagian kecil dari penitensinya, sisanya ia sendiri yang akan menjalankannya sebagai ganti mereka.

Refleksi Singkat Sebagai Penutup
Ketika saya merefleksikan segala kehidupan dan ajaran Santo YMV, saya berpikir dalam hati, Mengapa dan apa yang membuat Santo YMV mempunyai cinta kegembalaan yang begitu besar kepada umatnya? Banyak sekali jawaban yang muncul dalam pikiran saya. Namun, ketika saya mencari jawabannya pada Sabda Tuhan sendiri, saya menemukan bahwa pada hari pentahbisannya menjadi imam, Santo YMV termasuk orang yang mendengarkan bisikan Tuhan yang lembut dan manis, “Iam non dicam vos servos, sed amicos!” – Kamu tidak akan kusebut hamba lagi, melainkan sahabatku (Yoh 15:15). Menjadi seorang imam ialah menjadi sahabat Tuhan yang dengan kepenuhan hati turut serta dalam karya penggembalaan. Cinta kepada Tuhan seharusnya menjadi dasar motivasi penggembalaan, sama seperti Paus pertama kita Petrus yang ditanya tiga kali oleh Tuhan Yesus, ‘Apakah Engkau mencintai Aku?’ dan ketika jawaban diberikan, Tuhan Yesus menyambungnya kembali dengan perintah untuk ‘Gembalakanlah domba-dombaku!”.


Yoseph Indra Kusuma



[1] Sumber Inspirasi dan skema dikutip dan diambil dengan berbagai perubahan dari http://www.indocell.net/ yesaya/id1056.htm, diakses tanggal 1 Maret 2013
[2] Yohanes XXIII, Sacerdotii Nostri Primordia (Awal mula imamat kami), Ende: Penerbit Nusa Indah, 1964.

No comments:

Post a Comment