Dies Domini-Tentang Menguduskan Hari Tuhan
Hari Minggu sebagai Hari Tuhan erat kaitannya dengan intipati misteri Kristiani, sebab hari tersebut merupakan hari untuk mengenangkan Kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus yang dirayakan setiap Paskahlah yang melandasi iman Kristiani (1 Kor 15:14). Namun, perayaan mengenangkan kebangkian Kristus itu bukan hanya setahun sekali, melainkan setiap minggu, sebab hari Minggu merupakan Paskah yang terulang setiap mingguan. Pada homili abad ke IV dikatakan bahwa Hari Tuhan (Minggu) merupakan tuan atas hari-hari lain dan bagi mereka yang menerima rahmat iman akan dapat menagkap relevansi hari itu setiap minggu.
Relevansi mendasar Hari Minggu telah diakui selama dua ribu tahun dan ditegaskan ulang dalam Konsili Vatikan II. Paus Paulus VI juga menekankan relevansi itu ketika menyetujui Penanggalan Liturgi Romwi Umum yang baru. Dalam milenium ketiga ini, umat Kristiani diajak untuk merefleksikan kembali , kita diaajak untuk menemukan ulang makna hari Minggu: misteri, perayaan dan relevansinya bagi hidup sehari-hari. Realitas yang terjadi jaman ini adalah hari Minggu dianggap sebagai hari istirahat dari beban pekerjaan selama seminggu. Hari Minggu dipakai sebagai kegiatan weekend dengan rekreasi atau kegiatan refreshing lainnya. Jika hari Minggu dipandang sebatas hari istirahat, maka hari tersebut akan kehilangan maknanya yang mendasar. Perayaan Ekarsiti hanya menjadi sebagian dalam kegiatan akhir pekan. Hal ini membuat umat Kristiani bersedia merayakannya, tapi sebenarnya tidak mampu menjalankannya. Namun kita sebagai murid Kristus diminta untuk menghindari kebingungan antara merayakan Hari Minggu yang seharusnya sungguh merupakan cara menguduskan Hari Tuhan dengan acara akhir pekan sebagai hari rekerasi. Untuk dapat mengambil sikap yang benar dibutuhkan kematangan rohani yang memampukan umat Kristiani “menjadi seperti adanya” sepenuhnya sesuai dengan kurnia iman. Dengan begitu mereka akan diantar pada pengertian yang mendalam tentang Hari Minggu, bahkan dalam situasi sulitpun orag mampu enghayatinya dalam bimbingan Roh Kudus.
Kenyataan sekarang terdapat perbedaan antar Gereja yang terlalu mencolok. Ada Gereja yang bersemangat dalam merayakan Hari Minggu, namun ada pula yang sepi. Untuk itulah perlu digali ulang dasar-dasar ajaran yang mendalam yang melandasi ajaran Gereja ini untuk menguduskan Hari Tuhan. Perayaan Ekaristi hari Minggu dihahayti sebagai beristirahat dalam semangat kegembiraan dan persaudaraan Kristiani. Paus Yohanes Paulus II selalu menyerukan untuk “jangan takut!”. Beliau mengajak kita untuk tidak takut meluangkan waktu kita untuk Kristus agar Ia memancarkan cahayanya dan memberi arah dalam jalan hidup kita. Waktu yang dipersembahkan kepada Kristus bukanlah waktu yang hilang, tetapi justru waktu yang didapat agar hubungan kita semakin akarab dan mendalam dengan Tuhan.
Bab I Hari Tuhan : Merayakan Karya Sang Pencipta
Hari Minggu juga merupakan perayaan Paskah, yaitu hari mengenang kebangkitan Kristus. Paskah itu merupakan tahap penciptaan baru, sebab kehadiran Yesus dalam penciptaan Allah diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Paskah (sengsara, wafat dan bangkit). Kebangkitan Kristus membentuk suatu ciptaan baru yang dibawa kepada pemenuhannya, yaitu ketika Ia kembali dalam kemuliaan-Nya. Untuk mengerti makna sepenuhnya Hari Minggu perlu membaca ulang kisah agung penciptaan dan mendalami pengertian tentang teologi hari Shabbat, yaitu sebagai hari istirahat.
Dalam Kitab Kejadian diceritakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu itu baik adanya. Dalam kosmos (dunia) yang ada itu terdapat kebaikan-kebaikan. Manusia hanya sebagian dari kosmos tersebut, namun ia diciptakan sebagai yang lebih baik dari segala ciptaan. Manusia dicptakan secitra dengan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak hanya menjadi penghuni kosmos, melainkan juga membangunnya. Manusia menjadi rekan kerja Allah dalam memelihara kosmos.
Hari Shabbat diartikan sebagai hari istirahat Sang Pencipta yang menggembirakan. Dalam kisah penciptaan Allah beristirahat pada hari ketujuh. Allah beristirahat bukan berarti Allah tidak aktif. Allah tetap aktif dengan memandang karya ciptaan, terutama manusia sebagai mahkota ciptaan. Tindakan Allah yang memandang tersebut menunjukkan suatu hubungan erat Allah dengan manusia layaknya hubungan suami-isteri. Hubungan itu adalah hubungan yang penuh dengan cinta kasih. Dalam hubungan tersebut tersirat rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Maka dari itu terdapat hubungan yang erat pula antara tat penciptaan dengan penyelamatan.
Allah memberkati hari ketujuh tersebut dan menguduskannya. Hari ketujuh dikuduskan sebagai Hari Tuhan. Perintah menguduskan hari ketujuh ini masuk dalam dekalog/sepuluh perintah, untuk itu wajib untuk dilaksanakan oleh umat beriman. Namun pelaksanaannya tidak boleh hanya sekadar kewajiban, melainkan pengudusan hari ketujuh harus dilihat sebagai bentuk hubungan antara Allah dengan manusia. Hari ketujuh merupakan Hari Tuhan yang merupakan hari istimewa dibanding hari lain. Hari Tuhan ini merupakan hari dimana manusia diberi kesempatan untuk membina hubungan yang istimewa dengan Tuhan. Hari istimewa ini juga dikenang sebagai hari dimana Allah menyelamatkan Israel dari perbudakan Mesir (konsep Paskah Yahudi). Untuk itu hari istimewa ini juga sebagai hari selingan di tengah irama kerja yang menindas. Allah juga ingin menyelamatkan manusia dari penindasan irama kerja. Hal ini menandakan suatu ketergantunga manusia dengan Allah.
Perintah menguduskan hari ketujuh dilaksanakan dengan mengenangnya (bdk. Ul 20:8). Allah menguduskan hari tersebut untuk dikenang oleh umat beriman. Konsep mengenang hari tersebut dengan membawa hari ketujuh sebagai hari istirahat itu sebagai hari untuk beristirahat bersama Allah. Hari tersebut bukan hanya selingan dari irama kerja, melainkan hari mengenangkan mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan oleh Allah. Visi teologis hari Tuhan adalah memadukan penciptaan dan penyelamatan. Bila kenangan itu hidup dalam hati umat beriman, maka ia akan memasuki kedalaman istirahat Allah.
Konsep Sabat yang diwarisi oleh tradisi Yahudi beralih ke hari Minggu oleh karena misteri penyelamatan oleh Kristus. Hari pertama sesudah Sabat (Minggu) ditetapkan sebagai hari raya, sebab hari tersebut adalah hari di mana Tuhan telah bangkit dari antara orang mati. Misteri Paskah yang dirayakan setelah Sabat itu merupakan puncak keselamatan manusia. Hari Sabat telah disempurnakan oleh Kristus yang bangkit menjadi hari Minggu (Dies Domini Dies Christi).
Bab II Hari Tuhan : Hari Tuhan Yang Bangkit Dan Kurnia Roh Kudus
Perayaan hari Minggu merupakan Paskah mingguan. Ada hubungan yang erat antara Minggu dengan misteri kebangkitan Kristus. Paus Innosensius I pada awal abad V mengatakan, ‘Kita merayakan hari Minggu karena kebangkitan mulia Tuhan kita Yesus Kristus dan demikian kita rayakan tidak hanya pada hari Raya Paskah tetapi juga pada setiap kali mulai minggu’. Santo Agustinus sendiri menyebut hari Minggu sebagai “sakramen Paskah”. Hubungan antara hari Minggu dengan Kebangkitan Tuhan sangat kuat ditekankan. Hari Kebangkitan Tuhal-lah yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari Tuhan. Banyak peristiwa yang terjadi pada hari-hari tersebut, misalnya Yesus menampakkan diri kepada dua murid dari Emaus dan kepada sebelas murid yang berkumpul, seminggu kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada para rasul untuk menyakinkan Thomas, pada hari minggu kedelapan sesuah paskah Yahudi, Yesus mencurahkan Roh Kudus kepada para rasul (Pentakosta), dll.
Irama hidup jemaat perdana menjalankan praktek selalu berkumpul pada hari Minggu, yaitu hari pertama sesudah Sabat, untuk memecah-mecahkan roti. Mereka berkumpul bersama pada hari yang ditetapkan menjelang matahari terbit dan menyanyikan kidung kepada Kristus. Namun pada waktu itu penanggalan umat Kristiani berbeda dengan Romawi atau Yunani, sehingga mereka sulit melaksanakan Hari Tuhan yang tetap dalam setiap minggu. Meskipun begitu kegitan tersebut tetap menjadi irama mingguan dan menjadi norma.
Seiring berjalannya kehidupan jemaat perdana, terdapat pembedaan yang semakin besar antara hari Minggu dengan Sabat. Pada hari Sabat Paulus dan para rasul lainnya tetap ke sinagoga untuk mewarkan Kristus, sebab pada hari itu orang Yahudi berkumpul di situ dan beristirahat menurut hukum yang ditetapkan. Namun lama-kelamaan terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu ada orang yang merayakan Sabat, terutama orang Yahudi yang cenderung mempertahankan hukum lama, tapi ada pula yang merayakan hari Minggu. Dalam sejarahnya gagasan pembedaan antara hari Minggu dengan Sabat Yahudi berkembang semakin kuat dalam Gereja. Ada pula yang berpendapat bahwa dua hari tersebut sebagai “dua hari bersaudara”.
Pembandingan antara Hari Minggu dengan Sabat Yahudi mendorong munculnya pengertian-pengertian teologis yang menarik. Secara khusus muncul hubungan yang unik antara Kebangkitan dengan penciptaan. Gagasan Kristiani dengan mengaitkan kebangkitan dengan penciptaan menghasilkan pengertian tentang kebangkitan sebagai awal penciptaan baru. Hari Minggu adalah Paskah mingguan untuk mengenang kebangkitan Tuhan merupakan hari pertama yang adalah hari awal penciptaan. Dengan demikian hari Minggu mengungguli semua hari lain. Dalam liturgi kita sangat jelas ditekankan tentang keistimewaan hari Minggu, terutama dalam dimensi baptisan. Sangat disarankan adanya perayaan baptisan pada hari Minggu, termasuk Sabtu Paskah. Selain itu juga sangat baik untuk mengenang peristiwa bapisan dengan adanya upacara penintensi dan perecikan air suci.
Dengan melihat sejarah hubungan hari Minggu denga Sabat, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah hari Minggu itu sebagai hari pertama atau kedelapan, sebab posisi hari Sabat sebagai hari ketujuh? Hari Minggu bukan hanya hari pertama tapi juga hari kedelapan, maksudnya dalah bahwa hari Minggu secara transenden merupakan awal dan akhir. Pengertian ini membawa kita pada pengertian hidup tanpa akhir (selalu berputar) atau abadi. Hari Minggu merupakan lambang keabadian. Dengan merayakan Hari Minggu umat Kristiani diantar kepada tujuan hidup kekal.
Hari Minggu juga disebut sebagai hari Kristus Sang Terang. Kristus sebagai terang menjadi pusat perayaan hari Minggu. Konsep tetang Kristus Sang Terang ini dalam sejarahnya diambil dari tradisi Romawi. Pada jaman itu banyak orang yang menyembah kepada Dewa Matahari, sebab matahari memberi penghidupan. Gereja lalu mengadopsi konsep tersebut dan menjadikan Kristus sebagai Sang Terang Dunia. Hari Minggu selalu diterangi dan disinari oleh kejayaan Kristus yang bangkit.
Selain hari Minggu dianggap sebagai hari cahaya (terang), dapat juga disebut sebagai hari “api” yang mengacu kepada Roh Kudus. Paskah merayakan Tuhan yang bangkit dan Tuhan yang bangkit tersebut menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Roh Kudus ini merupakan suatu anugerah yang agung. Selain itu, pada hari Pentakosta Allah juga menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan juga menjadi sarana bagi Allah untuk menghembuskan Roh Kudus-Nya kepada kita.
Dengan melihat berbagai dimensi yang begitu mengistimewakan hari Minggu, maka hari Minggu juga dapat disebut sebagai hari iman. Diceritakan bahwa Yesus menampakkan diri kepada para rasul, terutama Thomas pada hari Minggu dan seketika itu juga Thomas percaya dan imannya diteguhkan. Dalam perayaan hari Minggu kita juga diajak untuk memperbaharui iman dan kepercayaan kita dengan mendoakan syahadat. Dari situ kita juga diajak untuk memperbaharui janji baptis kita. Kita juga diajak untuk mendengar Sabda dan menyambut Tubuh Kristus dengan penuh iman. Kita memandang Yesus yang bangkit sambil berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku” .
Dalam milenium ketiga ini, kita memasuki masa yang sulit. Dalam perkembangan jaman, hari Minggu seolah-olah kehilangan makna yang sesungguhnya bagi umat Kristiani. Banyak kegiatan yang harus menyita hari Minggu, misl rekreasi, pekerjaan-pekerjaan, dll. Untuk itu jati diri hari Minggu perlu dilindungi dan terutama perlu dihayati dalm segala kedalamannya. Hari Minggu tetap menjadi unsur yang sungguh diperlukan bagi jati diri Kristiani kita.
Bab III Hari Gereja Ekaristi : Jantung Hari Minggu
Hari Minggu merupakan hari di mana umat Kristiani berkumpul seperti yang telah dilakukan oleh para Rasul. Saat dimana orang berkumpul itulah saat dimana Tuhan yang bangkit hadir di dalamnya. Tuhan telah memberikan janji-Nya untuk menyertai manusia sampai akhir jaman (bdk Mat 28:20), maka dari itu Ia akan selalu menyertai umat-Nya dengan selalu hadir ketika umat-Nya berkumpul.
Jemaat yang berkumpul tersebut merayakan ekaristi. Ekaristi yang dirayakan pada hari Minggu ini tidak hanya sebagai ciri khas Gereja, melainkan sebagai sumber hidup Gereja. Ekaristi menjadi “jantung hidup Gereja”. Namun perlu diketahui bahwa perayaan ekaristi hari Minggu tidak berbeda dengan hari lain, sebab pada hakekatnya ekaristi tersebut adalah penampakan Gereja yang bersatu untuk berdoa bersama. Yang membedakan adalah perayaan ekaristi hari Minggu dibuat lebih meriah dan umat Kristiani diwajibkan untuk menghadirinya, sebab hari tersebut merupakan hari di mana Kristus mengalahkan maut dan membagikan hidup-Nya kepada kita. Dalam perayaan ekaristi hari Minggu kita diajak untuk membuka diri bagi persekutuan dengan Gereja semesta seraya memohon agar Bapa mengenang Gereja di seluruh dunia dan menjadikannya semakin berkembang dalam kesatuan seluruh umat beriman dengan Paus dan dengan para gembala Gereja.
Hari Minggu sebagai hari Tuhan juga disebut sebagai hari Gereja, sebab pada hari tersebut umat beriman diajak untuk berkumpul dalam persekutuan dalam Kristus. Perayaan Ekaristi menjadi titik vital untuk membentuk jemaat, sebab banyak umat berkumpul. Jemaat hari Minggu merupakan tempat kesatuan yang teristimewa sebab itulah pentas bagi perayaan “sacramentum unitatis” yang menandai secara mendalam Gereja sebagai umat yang dihimpun oleh dan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Untuk itu maka pada hari Minggu, jemaat diwajibkan untuk berkumpul di Gereja paroki untuk merayakan ekaristi bersama-sama.
Gereja yang hadir di dunia ini menempuh perjalanan yang panjang menuju suatu jaman baru. Inilah visi eskatologis Gereja. Perayaan hari Minggu membantu jemaat menjadi peziarah dalam perjalanan tersebut. Gereja juga diumpamakan sebagai mempelai wanita yang selalu rindu bersatu dengan mempelainya, yakni Kristus sendiri. Hal ini akan terwujud pada akhir jaman kelak. Hari Minggu juga disebut sebagai hari harapan. Harapan Kristiani adalah ikut serta dalam perjamuan Tuhan dalam pesta jaman terakhir, yaitu dalam pernikahan Anak Domba. Dalam perayaan hari Minggu kita diajak untuk mengenangkan kebangkita Kristus dengan juga memiliki harapan penuh kegembiraan akan kedatangan penyelamat, yakni Kristus.
Dalam perayaan Ekaristi kita diberi dua santapan, yakni santapan sabda dan santapan Tubuh Kristus. Santapan sabda diberikan begitu melimpah dengan harapan kita dapat memlihara sabda itu dalam hati kita dan kita menjadi lapar untuk mendengar sabda itu dalam bimbingan Roh Kudus. Ada dua aspek dalam tahap penerimaan sabda, yakni menerima sabda dalam perayaan dan pendalaman pribadi. Sabda yang diberikan dalam perayaan terhitung minimn sehingga diperlukan pendalaman pribadi. Pendalaman pribadi itu lebih pada refleksi membawa sabda itu dalam kehidupan sehari-hari. Allah telah menyampaikan sabda-Nya dan sekarang Ia menunggu jawaban dari kita.
Santapan sabda itu menghantar kita kepada santapan Roti Ekaristi dan menyiapkan jemaat untuk mengenangkan banyak aspek dalam Ekaristi hari Minggu dengan merayakannya secara meriah. Perayaan ekaristi sungguh menghadirkan korban salib, di mana Kristus mau mengorbankan diri-Nya wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kristuslah yang dikorbankan dalam misa yang hadir dalam rupa roti dan anggur yang dicurahi Roh Kudus. Kita juga diajak untuk mengorbankan segala hidup, pujian, duka, derita, doa dan karya kita untuk dipersembahkan dan disatukan dalam korban Kristus.
Ciri kejemaatan ekaristi tampak secara khas bila dipandang sebagai perjamuan Paskah, tempat Kristus sendiri sebagai santapan. Umat berkumpul dan bersekutu untuk merayakan perjamuan Paskah. Persekutuan itu adalah persekutuan dengan Kristus sebagai kurban dan santapannya. Persekutuan dengan Kristus juga dapat nampak dalam persekutuan dengan menjalin persaudaraan. Ketika berkumpul merayakan perjamuan itu, kita diajak untuk juga menjalin persaudaraan dengan jemaat yang lain. Hubungan yang dijalin adalah hubungan cinta kasih.
Setelah kita menerima Tubuh Kristus, kita diajak untuk siap melaksanakan tugas yang sudah menunggu kita. Perayaan Ekaristi tidak hanya berhenti pada pintu Gereja, melainkan harus ada kelanjutannya dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat perdana sudah memberi contoh. Setelah mereka menerima santapan Tubuh Kristus, mereka mulai bekerja menyiarkan Injil. Kita pun juga diajak untuk bekerja setelah menerima santapan itu. Tuga]s kita adalah membawa komitmen untuk menjadikan seluruh hidup sebagai suatu pemberian (anugerah) dan berbagi kegembiraan kita menjumpai Tuhan kepada saudara-saudari di sekitar kita.
Ekaristi merupakan jantung dari hari Minggu, oleh sebab itu sejak abad-abad pertama para Gembala Gereja tidak berhenti mengingatkan umat beriman akan perlunya ikut serta dalam perayaan tersebut. Ada banyak cerita yang mengharukan pada jaman itu dan setelahnya dalam mempertahankan identitas hari Minggu, terlebih kisah kemartiran. Mereka rela mati demi bida merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Pada jaman sekarang Gereja tetap mempertahankan kewajiban itu dan memasukkannya dalam Kitab Hukum Kanonik, “Pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya lainnya yang diwajibkan, umat beriman diwajibkan menghadiri misa”. Dalam menjamin hal ini, uskup diberi tanggung jawab penuh pada pelaksanaan hukum ini dengan dibantu para imam. Sehingga muncullah beberapa kebijakan mengenai hal ini, misalnya imam boleh merayakan lebih dari satu kali Misa hari Minggu, diadakan perayaan pada sore atau petang.
Melihat begitu istimewanya perayaan hari Minggu, maka sangat perlu perayaan tersebut disiapkan dengan usaha yang keras, berdasarkan pengalaman pastoral dan adat setempat dengan memperhatikan norma liturgi. Untuk itulah maka Gereja memberi pehatian pada lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat, sebab bernyanyi sebagai suatu cara yang tepat untuk mengungkapkan kegembiraan hati. Nyanyian dapat memberi corak kemeriahan perayaan itu dan dapat memantapkan citarasa keimanan.
Perayaan Ekaristi tersebut haruslah melibatkan semua umat yang hadir. Memang benar bahwa imamlah yang mengadakan korban Ekaristi dan mempersembahkan kepada Allah dalam nama seluruh umat. Namun kita juga harus ingat bahwa kita telah menerima imamt umum yang kita terima ketika dibaptis dan imamat umum inilah yang memampukan kita untuk ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Sambil mempersembahkan korban dan menerima Komuni Kudus, kita umat diajak untuk ikut serta dalam liturgi seraya mendapat terang dan kekuatan dari situ.
Kewajiban menguduskan hari Minggu tidak hanya dibatasi dengan merayakan Ekaristi. Hari Tuhan dapat dihayati dengan baik jika ditandai sejak awal hingga akhir dengan kenangan penuh syukur dan aktif akan karya penyelamatan Allah. Hal ini membuat umat Kristiani membentuk saat-saat lain hari itu di luar konteks liturgi, misalnya dalam hidup keluarga, hubungan-hubungan sosial, saat-saat rekreasi, sehingga kegembiraan akan Tuhan yang bangkit juga dirasakan dalam kejadian-kejadian biasa. Ada banyak bentuk kegiatan untuk mengisi hari Minggu, misalnya dengan berdoa bersama dalam keluarga, pengajaran katekese atau juga dengan ziarah ke tempat suci.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada masalah paroki-paroki yang tidak memiliki imam yang cukup untuk melayani jemaat, sehingga tidak dapat mengorbankan Ekaristi bagi seluruh umat setiap minggu. Dalam keadaan ini Gereja tetap menganjurkan jemaat hari Minggu untuk berkumpul untuk merayakan ibadat sabda tanpa imam sesuai aturan yang berlaku. Meskipun begitu titik fokus tetap pada Korban Misa, sebab dengan cara tersebutlah Paskah Tuhan hadir dengan diketuai imam sebagai “in persona Christi”. Untuk itu tetap diperlukan usaha untuk menghadirkan imam untuk mengorbankan ekaristi meski dalam jangka waktu yang berkala.
Akhirnya bagi orang yang cacat, sakit atau dengan alasan serius lainnya tidak dapat ikut serta dalam perayaan Hari Minggu, dapat menyatukan diri dengan perayaan Misa hari Minggu dari jauh. Media yang dapat dipakai adalah radio atau televisi yang menyiarkan perayaan Misa hari Minggu tersebut. Syukur bila ada pelayan jemaat yang mengatar komuni bagi si sakit. Namun sangat jelas bahwa corak tayangan ini tidak sendirinya memenuhi kewajiban hari Minggu yang mengayartkan adanya pastisipasi jemaat yang sedang berhimpun.
Bab IV Hari Manusia: Hari Minggu: Hari Kegembiraan, Istirahat dan Solidaritas
Umat Kristiani merayakan hari mingguan Tuhan yang bangkit terutama sebagai hari kegembiraan. Hari Minggu sebagai gema mingguan perjumpaan pertama dengan Tuhan yang bangkit selalu ditandai dengan kegembiraan. Oleh karena itu, bila ingin menemukan ulang makna hari Minggu yang sepenuhnya, kita harus hidup iman, yaitu kegembiraan Kristiani. Kegembiraan Kristiani harus menandai seluruh hidup. Hari Minggu dilihat sebagai hari kegembiraan yang istimewa, hari itu merupakan hari yang cocok untuk belajar bagaimana bergembira dan menemukan ulang sifat sejati dan akar-akar mendalam kegembiraan itu. Kegembiraan jangan disalahartikan dengan perasaan puas dan kenikmatan yang dangkal, sebab kegembiraan itu jauh lebih bertahan dan memberi penghiburan. Paus Paulus VI menulis tentang kegembiraan Kristiani sebagai berikut, “ Pada hakekatnya kegembiraan Kristiani adalah saling berbagi dalam kegembiraan yang tidak terduga, sekaligus ilahi dan insani, yang terdapat dalam hati Kristus yang dimuliakan”. Oleh karena pentingnya makna kegembiraan ini, maka para imam didesak untuk menekankan keperluan bagi mereka yang dibaptis untuk merayakan Ekaristi hari Minggu dalam kegembiraan.
Aspek hari Minggu Kristiani itu menampakkan secara khas bagaiamana memenuhi Sabat Perjanjian Baru. Sabat pada Perjanjian Lama dikaitkan dengan kisah penciptaan dan kisah exodus dari perbudakan Mesir, tapi dalam Perjanjian Baru orang Kristiani dipanggil untuk mewartakan penciptaan baru dan pejanjian baru yang dilaksanakan dalam Misteri Paskah Kristus. Dengan adanya misteri Paskah Kristus ini bukan berarti menghapus kenangan akan penciptaan dan kisah pembebasan, tapi konsep Sabat pada kisah tersebut telah dipenuhi oleh Misteri Paskah Kristus pada hari Minggu. Oleh karena itu umat Kristiani wajib ingat, bahwa meskipun praktek-praktek Sabat Yahudi sudah menghilang karena dilamapui oleh pemenuhan yang didatangkan oleh Hari Minggu, alasan-alasan yang mendasari kewajiban menguduskan Hari Tuhan yang tertera dalam Sepuluh Perintah tetap berlaku sah meski perlu ditafsir ulang dalam terang dan spiritualitas hari Minggu. Pada intinya bahwa Kristus datang untuk melaksanakan exodus baru, yaitu untuk memulihkan kebebasan kepada rakyat yang tertindas. Ia melakukan penyembuhan pada hari Sabat bukan berarti Ia melanggar Hari Tuhan, tapi Ia memenuhi arti Hari Tuhan itu, bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat. Yesus ingin melawan penafsiran atas hukum Yahudi yang terlalu legalistis sambil mengembangkan makna yang sejati atas hukum tersebut. Umat Kristiani sebagai murid Yesus diundang untuk juga mewartakan pembebasan yang dicapai oleh darah Kristus dan merasa bahwa mereka berwenang untuk mengalihkan makan Sabat kepada hari Kebangkitan. Paskah Kristus telah membebasankan manusia dari perbudakan dosa.
Selama beberapa abad umat Kristiani mematuhi hari Minggu semata-mata sebagai hari ibadat tanpa mampu memberi makan istirahat hari Sabat. Pada abad IV umat Kristiani baru dapat merayakan hari Minggu tanpa rintangan, sebab pada waktu itu hukum sipil menetapkan pelbagai perusahaan dagang untuk tidak bekerja pada hari Minggu. Dalam sejarah konsili-konsili Gereja juga tidak henti-hentinya mendesak peraturan mengenai istirahat hari Minggu. Ada di beberapa negara dimana umat Kristiani sebagai kaum minor yang penanggalannya tidak bertepatan dengan hari Minggu, sehingga mereka sukar menguduskan hari Tuhan sebab tidak memiliki waktu luang pada hari itu. Sebenarnya Allah sendiri menghendaki adanya gilir-berganti antara kerja dan istirahat. Dalam kenyataan jaman sekarang kerja dilihat sangat menindas bagi banyak orang, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Gereja wajib menjamin agar setiap orang dapat menikmati kebebasan istirahatnya demi martabat manusiawi. Dalam situasi jaman sekarang umat Kristiani harus berusaha menjamin supaya perundangan sipil menghargai kewajiban mereka menguduskan hari Minggu.
Agar istirahat tidak merosot menjadi kekosongan atau rasa bosan, maka perlu memberi kesempatan diri untuk memperkaya diri secara rohani, dengan berkomtempasi dan berkmpul dalam persaudaraan. Maka dari itu umat beriman diharapkan bijak dalam memilih berbagai hiburan yang ditawarkan masyarakat dihari istirahat ini. Bijak berarti umat beriman harus memilih kegiatan yang tidak bertantanga dengan nilai-nilai Injil. Dengan demikian hari Minggu tidak hanya menjadi hari Tuhan tapi juga menjadi hari manusia.
Hari Minggu juga harus membuka bagi umat beriman peluang untuk membaktikan diri kepada amal-amal kerahiman, cinta kasih dan kerasulan. Hari Minggu menjadi hari solidaritas. Untuk itu Ekaristi hari Minggu tidak bermaksud membebaskan manusia dari berbagai tugas, melainkan di hari tersebut menjadi hari yang tepat bagi umat beriman untuk melakukan karya amal dan solidaritas. Dengan melakukan hal tersebut, umat beriman akan menjadi “terang dunia”. Kegiatan karya amal ini sudah dilakukan sejak jaman para Rasul dan sekarang kita mewarisi budaya tersebut dengan meneladan kehidupan jemaat perdana.
Ekaristi itu peritiwa dan pogram pesaudaraan sejati. Dari Misa hari Minggu mengalirlah gelombang cinta kasih yang dimaksudkan untuk menyebarluas dalam seluruh hidup umat beriman. Bila hari Minggu sebagai hari kegembiraan, maka umat beriman harus membagikan kegembiraan itu kepada dunia di sekitarnya. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengunjungi orang sakit atau orang yang miskin, memberi bantuan kepada mereka yang miskin dan menderita. Seluruh hari dalam hari Minggu menjadi sekolah agung cinta kasih, keadilan dan damai. Hari Minggu merupakan Paskah mingguan untuk mengenangkan Kristus yang bangkit dan membebaskan manusia, maka dari itu kita diajak untuk meneladan Kristus dengan berusaha peduli pada sesama dan kita menjadi pembebas bagi mereka yang tertawan oleh pemderitaan, kemiskinan dll.
Bab V Hari Di Antara Hari-hari: Hari Minggu: Pesta Primordial: Mewahyukan Makna Waktu
Dalam Kristianitas waktu mempunyai relevansi yang mendasar. Di dalam waktu terdapat perkembangan mulai dari awal mula penciptaan dunia, sejarah keselamatan dan puncaknya kepenuhan dari waktu itu yaitu penjelmaan Sabda yang menjadi manusia. Dalam terang Perjanjian Baru, tahun-tahun hidup Kristus menjadi pusat waktu dan pusat itu mencapai puncaknya dalam kebangkitan. Untuk itu, Gereja menyerukan bahwa Kristus yang Bangkit adalah yang awal dan akhir, Alfa dan Omega. Kristus adalah Tuhan waktu, Ia awalnya dan juga akhirnya. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan yang merayakan Kristus yang bangkit sekaligus hari yang mewahyukan makna waktu. Hari Minggu Kristiani yang bersumber pada kebangkitan ini menjelajahi kurun waktu manusia, bulan-bulan, tahun-tahun, abad-abad seperti anak panah yang terarah pada sasarannya, yaitu kedatangan Kristus yang kedua. Dengan menguduskan hari Minggu memberi kesaksian penting tentang kepastian akan keselamatan sehingga umat Kristiani dalam setiap jaman hidupnya selalu ditopang oleh pengharapan.
Hari Minggu sebagai hari Tuhan yang terulang setiap mingguan berakar dalam tradisi Gereja yang paling kuno dan seiring berjalannya waktu membentuk lingkaran liturgi tahunan. Dalam lingkaran tahun liturgi ini, Gereja hendak memaparkan selama kurun waktu setahun seluruh misteri Kristus, mulai dari penjelmaan serta kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan. Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu, Gereja ingin membuka rahasia kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan agar manusia dipenuhi rahmat keselamatan.
Dalam tahun liturgi, Gereja juga menghormati Santa Maria sebagai Bunda Gereja dan para kudus. Hubungan intrinsik antara kemuliaan para kudus dan Kristus dibangun kedalam penataan tahun liturgi dan diungkapkan secara indah dalam hari perayaan Minggu sebagai hari Tuhan. Hari Minggu juga sebagai pola alami untuk memahami dan merayakan hari-hari raya tahun litugi yang begitu bernilai bagi hidup Kristiani. Oleh karena itulah Gereja menekankan relevansinya dan mewajibkan bagi umat beriman untuk menghadiri Misa dan mematuhinya sebagai waktu istirahat. Namun dalam pelaksanaan tahun liturgi ini juga diperlukan adanya kebijakan pastoral dengan mempertimbangkan tradisi dan budaya setempat. Intinya jangan sampai keagungan hari Minggu itu terkikis oleh tradisi atau budaya setempat. Dalam hal ini peran gembala umat sangat diperlukan dan harus bijaksana dalam menentukan keputusan.
Penutup
Kekayaan rohani hari Minggu sangatlah melimpah dan itu disalurkan kepada kita lewat tradisi. Bila kekayaan rohani tersebut dapat dimengerti dengan baik maka hari Minggu menjadi sintesis hidup Kristiani. Ekaristi hari Minggu menjadi tempat penghayatan iman secara penuh, untuk itu umat beriman harus menyadari keistimewaan hari itu dengan tidak merayakan hari Minggu dengan kegiatan-kegiatan yang masih dipertanyakan dari sudut moral. Dalam hari Minggu umat beriman diundang untuk merayakan keselamatan dan mejadiakannya sebagai hari kegembiraan dan hari istirahat. Untuk itulah maka hari Minggu menjadi jiwa hari-hari lain.
Hari Minggu pada akhirnya menjadi sarana untuk melestarikan hidup Kristiani. Di samping itu hari tersebut juga memiliki nilai tambahan menjadi kesaksian dan pewartaan, sebagai hari doa, persekutuan dan kegembiraan. Hari Minggu menjadi undangan untuk memandang ke depan. Pada hari itu umat Kristiani dapat berseru kepada Kristus, “maranatha” : datanglah ya Tuhan! Dalam hal ini Gereja berperan mendampingi umat untuk tujuan tersebut. Dalam mengejar tuan itu, Gereja ditopang oleh Roh Kudus. Roh itulah yang selalu hadir dan menyetai Gereja melalui berbagai peristiwa. Bunda Maria seagai Bunda Gereja juga berperan mendampingi Gereja. Dari minggu ke minggu, umat beriman diajak untuk mengikuti jejak Bunda Maria dan pengantaraan keibuannya memberi kekuatan dan semangat yang istimewa kepada doa yang naik dari Gereja ke hadirat Tritunggal yang Mahakudus.
Surat Apostolik ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ketika dunia akan memasuki tahun Yubelium, yaitu berakhirnya mileniun kedua dan memasuki milenium ketiga. Dalam perpindahan milenum tersebut sudah tentu duna akan mengalami perubahan dan Paus ingin mengajak umat beriman untuk tetap menghayati kekudusan hari Minggu secara mendalam meski dunia akan berubah.
Hari Minggu sebagai Hari Tuhan erat kaitannya dengan intipati misteri Kristiani, sebab hari tersebut merupakan hari untuk mengenangkan Kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus yang dirayakan setiap Paskahlah yang melandasi iman Kristiani (1 Kor 15:14). Namun, perayaan mengenangkan kebangkian Kristus itu bukan hanya setahun sekali, melainkan setiap minggu, sebab hari Minggu merupakan Paskah yang terulang setiap mingguan. Pada homili abad ke IV dikatakan bahwa Hari Tuhan (Minggu) merupakan tuan atas hari-hari lain dan bagi mereka yang menerima rahmat iman akan dapat menagkap relevansi hari itu setiap minggu.
Relevansi mendasar Hari Minggu telah diakui selama dua ribu tahun dan ditegaskan ulang dalam Konsili Vatikan II. Paus Paulus VI juga menekankan relevansi itu ketika menyetujui Penanggalan Liturgi Romwi Umum yang baru. Dalam milenium ketiga ini, umat Kristiani diajak untuk merefleksikan kembali , kita diaajak untuk menemukan ulang makna hari Minggu: misteri, perayaan dan relevansinya bagi hidup sehari-hari. Realitas yang terjadi jaman ini adalah hari Minggu dianggap sebagai hari istirahat dari beban pekerjaan selama seminggu. Hari Minggu dipakai sebagai kegiatan weekend dengan rekreasi atau kegiatan refreshing lainnya. Jika hari Minggu dipandang sebatas hari istirahat, maka hari tersebut akan kehilangan maknanya yang mendasar. Perayaan Ekarsiti hanya menjadi sebagian dalam kegiatan akhir pekan. Hal ini membuat umat Kristiani bersedia merayakannya, tapi sebenarnya tidak mampu menjalankannya. Namun kita sebagai murid Kristus diminta untuk menghindari kebingungan antara merayakan Hari Minggu yang seharusnya sungguh merupakan cara menguduskan Hari Tuhan dengan acara akhir pekan sebagai hari rekerasi. Untuk dapat mengambil sikap yang benar dibutuhkan kematangan rohani yang memampukan umat Kristiani “menjadi seperti adanya” sepenuhnya sesuai dengan kurnia iman. Dengan begitu mereka akan diantar pada pengertian yang mendalam tentang Hari Minggu, bahkan dalam situasi sulitpun orag mampu enghayatinya dalam bimbingan Roh Kudus.
Kenyataan sekarang terdapat perbedaan antar Gereja yang terlalu mencolok. Ada Gereja yang bersemangat dalam merayakan Hari Minggu, namun ada pula yang sepi. Untuk itulah perlu digali ulang dasar-dasar ajaran yang mendalam yang melandasi ajaran Gereja ini untuk menguduskan Hari Tuhan. Perayaan Ekaristi hari Minggu dihahayti sebagai beristirahat dalam semangat kegembiraan dan persaudaraan Kristiani. Paus Yohanes Paulus II selalu menyerukan untuk “jangan takut!”. Beliau mengajak kita untuk tidak takut meluangkan waktu kita untuk Kristus agar Ia memancarkan cahayanya dan memberi arah dalam jalan hidup kita. Waktu yang dipersembahkan kepada Kristus bukanlah waktu yang hilang, tetapi justru waktu yang didapat agar hubungan kita semakin akarab dan mendalam dengan Tuhan.
Bab I Hari Tuhan : Merayakan Karya Sang Pencipta
Hari Minggu juga merupakan perayaan Paskah, yaitu hari mengenang kebangkitan Kristus. Paskah itu merupakan tahap penciptaan baru, sebab kehadiran Yesus dalam penciptaan Allah diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Paskah (sengsara, wafat dan bangkit). Kebangkitan Kristus membentuk suatu ciptaan baru yang dibawa kepada pemenuhannya, yaitu ketika Ia kembali dalam kemuliaan-Nya. Untuk mengerti makna sepenuhnya Hari Minggu perlu membaca ulang kisah agung penciptaan dan mendalami pengertian tentang teologi hari Shabbat, yaitu sebagai hari istirahat.
Dalam Kitab Kejadian diceritakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu itu baik adanya. Dalam kosmos (dunia) yang ada itu terdapat kebaikan-kebaikan. Manusia hanya sebagian dari kosmos tersebut, namun ia diciptakan sebagai yang lebih baik dari segala ciptaan. Manusia dicptakan secitra dengan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak hanya menjadi penghuni kosmos, melainkan juga membangunnya. Manusia menjadi rekan kerja Allah dalam memelihara kosmos.
Hari Shabbat diartikan sebagai hari istirahat Sang Pencipta yang menggembirakan. Dalam kisah penciptaan Allah beristirahat pada hari ketujuh. Allah beristirahat bukan berarti Allah tidak aktif. Allah tetap aktif dengan memandang karya ciptaan, terutama manusia sebagai mahkota ciptaan. Tindakan Allah yang memandang tersebut menunjukkan suatu hubungan erat Allah dengan manusia layaknya hubungan suami-isteri. Hubungan itu adalah hubungan yang penuh dengan cinta kasih. Dalam hubungan tersebut tersirat rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Maka dari itu terdapat hubungan yang erat pula antara tat penciptaan dengan penyelamatan.
Allah memberkati hari ketujuh tersebut dan menguduskannya. Hari ketujuh dikuduskan sebagai Hari Tuhan. Perintah menguduskan hari ketujuh ini masuk dalam dekalog/sepuluh perintah, untuk itu wajib untuk dilaksanakan oleh umat beriman. Namun pelaksanaannya tidak boleh hanya sekadar kewajiban, melainkan pengudusan hari ketujuh harus dilihat sebagai bentuk hubungan antara Allah dengan manusia. Hari ketujuh merupakan Hari Tuhan yang merupakan hari istimewa dibanding hari lain. Hari Tuhan ini merupakan hari dimana manusia diberi kesempatan untuk membina hubungan yang istimewa dengan Tuhan. Hari istimewa ini juga dikenang sebagai hari dimana Allah menyelamatkan Israel dari perbudakan Mesir (konsep Paskah Yahudi). Untuk itu hari istimewa ini juga sebagai hari selingan di tengah irama kerja yang menindas. Allah juga ingin menyelamatkan manusia dari penindasan irama kerja. Hal ini menandakan suatu ketergantunga manusia dengan Allah.
Perintah menguduskan hari ketujuh dilaksanakan dengan mengenangnya (bdk. Ul 20:8). Allah menguduskan hari tersebut untuk dikenang oleh umat beriman. Konsep mengenang hari tersebut dengan membawa hari ketujuh sebagai hari istirahat itu sebagai hari untuk beristirahat bersama Allah. Hari tersebut bukan hanya selingan dari irama kerja, melainkan hari mengenangkan mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan oleh Allah. Visi teologis hari Tuhan adalah memadukan penciptaan dan penyelamatan. Bila kenangan itu hidup dalam hati umat beriman, maka ia akan memasuki kedalaman istirahat Allah.
Konsep Sabat yang diwarisi oleh tradisi Yahudi beralih ke hari Minggu oleh karena misteri penyelamatan oleh Kristus. Hari pertama sesudah Sabat (Minggu) ditetapkan sebagai hari raya, sebab hari tersebut adalah hari di mana Tuhan telah bangkit dari antara orang mati. Misteri Paskah yang dirayakan setelah Sabat itu merupakan puncak keselamatan manusia. Hari Sabat telah disempurnakan oleh Kristus yang bangkit menjadi hari Minggu (Dies Domini Dies Christi).
Bab II Hari Tuhan : Hari Tuhan Yang Bangkit Dan Kurnia Roh Kudus
Perayaan hari Minggu merupakan Paskah mingguan. Ada hubungan yang erat antara Minggu dengan misteri kebangkitan Kristus. Paus Innosensius I pada awal abad V mengatakan, ‘Kita merayakan hari Minggu karena kebangkitan mulia Tuhan kita Yesus Kristus dan demikian kita rayakan tidak hanya pada hari Raya Paskah tetapi juga pada setiap kali mulai minggu’. Santo Agustinus sendiri menyebut hari Minggu sebagai “sakramen Paskah”. Hubungan antara hari Minggu dengan Kebangkitan Tuhan sangat kuat ditekankan. Hari Kebangkitan Tuhal-lah yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai hari Tuhan. Banyak peristiwa yang terjadi pada hari-hari tersebut, misalnya Yesus menampakkan diri kepada dua murid dari Emaus dan kepada sebelas murid yang berkumpul, seminggu kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada para rasul untuk menyakinkan Thomas, pada hari minggu kedelapan sesuah paskah Yahudi, Yesus mencurahkan Roh Kudus kepada para rasul (Pentakosta), dll.
Irama hidup jemaat perdana menjalankan praktek selalu berkumpul pada hari Minggu, yaitu hari pertama sesudah Sabat, untuk memecah-mecahkan roti. Mereka berkumpul bersama pada hari yang ditetapkan menjelang matahari terbit dan menyanyikan kidung kepada Kristus. Namun pada waktu itu penanggalan umat Kristiani berbeda dengan Romawi atau Yunani, sehingga mereka sulit melaksanakan Hari Tuhan yang tetap dalam setiap minggu. Meskipun begitu kegitan tersebut tetap menjadi irama mingguan dan menjadi norma.
Seiring berjalannya kehidupan jemaat perdana, terdapat pembedaan yang semakin besar antara hari Minggu dengan Sabat. Pada hari Sabat Paulus dan para rasul lainnya tetap ke sinagoga untuk mewarkan Kristus, sebab pada hari itu orang Yahudi berkumpul di situ dan beristirahat menurut hukum yang ditetapkan. Namun lama-kelamaan terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu ada orang yang merayakan Sabat, terutama orang Yahudi yang cenderung mempertahankan hukum lama, tapi ada pula yang merayakan hari Minggu. Dalam sejarahnya gagasan pembedaan antara hari Minggu dengan Sabat Yahudi berkembang semakin kuat dalam Gereja. Ada pula yang berpendapat bahwa dua hari tersebut sebagai “dua hari bersaudara”.
Pembandingan antara Hari Minggu dengan Sabat Yahudi mendorong munculnya pengertian-pengertian teologis yang menarik. Secara khusus muncul hubungan yang unik antara Kebangkitan dengan penciptaan. Gagasan Kristiani dengan mengaitkan kebangkitan dengan penciptaan menghasilkan pengertian tentang kebangkitan sebagai awal penciptaan baru. Hari Minggu adalah Paskah mingguan untuk mengenang kebangkitan Tuhan merupakan hari pertama yang adalah hari awal penciptaan. Dengan demikian hari Minggu mengungguli semua hari lain. Dalam liturgi kita sangat jelas ditekankan tentang keistimewaan hari Minggu, terutama dalam dimensi baptisan. Sangat disarankan adanya perayaan baptisan pada hari Minggu, termasuk Sabtu Paskah. Selain itu juga sangat baik untuk mengenang peristiwa bapisan dengan adanya upacara penintensi dan perecikan air suci.
Dengan melihat sejarah hubungan hari Minggu denga Sabat, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah hari Minggu itu sebagai hari pertama atau kedelapan, sebab posisi hari Sabat sebagai hari ketujuh? Hari Minggu bukan hanya hari pertama tapi juga hari kedelapan, maksudnya dalah bahwa hari Minggu secara transenden merupakan awal dan akhir. Pengertian ini membawa kita pada pengertian hidup tanpa akhir (selalu berputar) atau abadi. Hari Minggu merupakan lambang keabadian. Dengan merayakan Hari Minggu umat Kristiani diantar kepada tujuan hidup kekal.
Hari Minggu juga disebut sebagai hari Kristus Sang Terang. Kristus sebagai terang menjadi pusat perayaan hari Minggu. Konsep tetang Kristus Sang Terang ini dalam sejarahnya diambil dari tradisi Romawi. Pada jaman itu banyak orang yang menyembah kepada Dewa Matahari, sebab matahari memberi penghidupan. Gereja lalu mengadopsi konsep tersebut dan menjadikan Kristus sebagai Sang Terang Dunia. Hari Minggu selalu diterangi dan disinari oleh kejayaan Kristus yang bangkit.
Selain hari Minggu dianggap sebagai hari cahaya (terang), dapat juga disebut sebagai hari “api” yang mengacu kepada Roh Kudus. Paskah merayakan Tuhan yang bangkit dan Tuhan yang bangkit tersebut menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Roh Kudus ini merupakan suatu anugerah yang agung. Selain itu, pada hari Pentakosta Allah juga menghembusi para rasul dengan Roh Kudus. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan juga menjadi sarana bagi Allah untuk menghembuskan Roh Kudus-Nya kepada kita.
Dengan melihat berbagai dimensi yang begitu mengistimewakan hari Minggu, maka hari Minggu juga dapat disebut sebagai hari iman. Diceritakan bahwa Yesus menampakkan diri kepada para rasul, terutama Thomas pada hari Minggu dan seketika itu juga Thomas percaya dan imannya diteguhkan. Dalam perayaan hari Minggu kita juga diajak untuk memperbaharui iman dan kepercayaan kita dengan mendoakan syahadat. Dari situ kita juga diajak untuk memperbaharui janji baptis kita. Kita juga diajak untuk mendengar Sabda dan menyambut Tubuh Kristus dengan penuh iman. Kita memandang Yesus yang bangkit sambil berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku” .
Dalam milenium ketiga ini, kita memasuki masa yang sulit. Dalam perkembangan jaman, hari Minggu seolah-olah kehilangan makna yang sesungguhnya bagi umat Kristiani. Banyak kegiatan yang harus menyita hari Minggu, misl rekreasi, pekerjaan-pekerjaan, dll. Untuk itu jati diri hari Minggu perlu dilindungi dan terutama perlu dihayati dalm segala kedalamannya. Hari Minggu tetap menjadi unsur yang sungguh diperlukan bagi jati diri Kristiani kita.
Bab III Hari Gereja Ekaristi : Jantung Hari Minggu
Hari Minggu merupakan hari di mana umat Kristiani berkumpul seperti yang telah dilakukan oleh para Rasul. Saat dimana orang berkumpul itulah saat dimana Tuhan yang bangkit hadir di dalamnya. Tuhan telah memberikan janji-Nya untuk menyertai manusia sampai akhir jaman (bdk Mat 28:20), maka dari itu Ia akan selalu menyertai umat-Nya dengan selalu hadir ketika umat-Nya berkumpul.
Jemaat yang berkumpul tersebut merayakan ekaristi. Ekaristi yang dirayakan pada hari Minggu ini tidak hanya sebagai ciri khas Gereja, melainkan sebagai sumber hidup Gereja. Ekaristi menjadi “jantung hidup Gereja”. Namun perlu diketahui bahwa perayaan ekaristi hari Minggu tidak berbeda dengan hari lain, sebab pada hakekatnya ekaristi tersebut adalah penampakan Gereja yang bersatu untuk berdoa bersama. Yang membedakan adalah perayaan ekaristi hari Minggu dibuat lebih meriah dan umat Kristiani diwajibkan untuk menghadirinya, sebab hari tersebut merupakan hari di mana Kristus mengalahkan maut dan membagikan hidup-Nya kepada kita. Dalam perayaan ekaristi hari Minggu kita diajak untuk membuka diri bagi persekutuan dengan Gereja semesta seraya memohon agar Bapa mengenang Gereja di seluruh dunia dan menjadikannya semakin berkembang dalam kesatuan seluruh umat beriman dengan Paus dan dengan para gembala Gereja.
Hari Minggu sebagai hari Tuhan juga disebut sebagai hari Gereja, sebab pada hari tersebut umat beriman diajak untuk berkumpul dalam persekutuan dalam Kristus. Perayaan Ekaristi menjadi titik vital untuk membentuk jemaat, sebab banyak umat berkumpul. Jemaat hari Minggu merupakan tempat kesatuan yang teristimewa sebab itulah pentas bagi perayaan “sacramentum unitatis” yang menandai secara mendalam Gereja sebagai umat yang dihimpun oleh dan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Untuk itu maka pada hari Minggu, jemaat diwajibkan untuk berkumpul di Gereja paroki untuk merayakan ekaristi bersama-sama.
Gereja yang hadir di dunia ini menempuh perjalanan yang panjang menuju suatu jaman baru. Inilah visi eskatologis Gereja. Perayaan hari Minggu membantu jemaat menjadi peziarah dalam perjalanan tersebut. Gereja juga diumpamakan sebagai mempelai wanita yang selalu rindu bersatu dengan mempelainya, yakni Kristus sendiri. Hal ini akan terwujud pada akhir jaman kelak. Hari Minggu juga disebut sebagai hari harapan. Harapan Kristiani adalah ikut serta dalam perjamuan Tuhan dalam pesta jaman terakhir, yaitu dalam pernikahan Anak Domba. Dalam perayaan hari Minggu kita diajak untuk mengenangkan kebangkita Kristus dengan juga memiliki harapan penuh kegembiraan akan kedatangan penyelamat, yakni Kristus.
Dalam perayaan Ekaristi kita diberi dua santapan, yakni santapan sabda dan santapan Tubuh Kristus. Santapan sabda diberikan begitu melimpah dengan harapan kita dapat memlihara sabda itu dalam hati kita dan kita menjadi lapar untuk mendengar sabda itu dalam bimbingan Roh Kudus. Ada dua aspek dalam tahap penerimaan sabda, yakni menerima sabda dalam perayaan dan pendalaman pribadi. Sabda yang diberikan dalam perayaan terhitung minimn sehingga diperlukan pendalaman pribadi. Pendalaman pribadi itu lebih pada refleksi membawa sabda itu dalam kehidupan sehari-hari. Allah telah menyampaikan sabda-Nya dan sekarang Ia menunggu jawaban dari kita.
Santapan sabda itu menghantar kita kepada santapan Roti Ekaristi dan menyiapkan jemaat untuk mengenangkan banyak aspek dalam Ekaristi hari Minggu dengan merayakannya secara meriah. Perayaan ekaristi sungguh menghadirkan korban salib, di mana Kristus mau mengorbankan diri-Nya wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kristuslah yang dikorbankan dalam misa yang hadir dalam rupa roti dan anggur yang dicurahi Roh Kudus. Kita juga diajak untuk mengorbankan segala hidup, pujian, duka, derita, doa dan karya kita untuk dipersembahkan dan disatukan dalam korban Kristus.
Ciri kejemaatan ekaristi tampak secara khas bila dipandang sebagai perjamuan Paskah, tempat Kristus sendiri sebagai santapan. Umat berkumpul dan bersekutu untuk merayakan perjamuan Paskah. Persekutuan itu adalah persekutuan dengan Kristus sebagai kurban dan santapannya. Persekutuan dengan Kristus juga dapat nampak dalam persekutuan dengan menjalin persaudaraan. Ketika berkumpul merayakan perjamuan itu, kita diajak untuk juga menjalin persaudaraan dengan jemaat yang lain. Hubungan yang dijalin adalah hubungan cinta kasih.
Setelah kita menerima Tubuh Kristus, kita diajak untuk siap melaksanakan tugas yang sudah menunggu kita. Perayaan Ekaristi tidak hanya berhenti pada pintu Gereja, melainkan harus ada kelanjutannya dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat perdana sudah memberi contoh. Setelah mereka menerima santapan Tubuh Kristus, mereka mulai bekerja menyiarkan Injil. Kita pun juga diajak untuk bekerja setelah menerima santapan itu. Tuga]s kita adalah membawa komitmen untuk menjadikan seluruh hidup sebagai suatu pemberian (anugerah) dan berbagi kegembiraan kita menjumpai Tuhan kepada saudara-saudari di sekitar kita.
Ekaristi merupakan jantung dari hari Minggu, oleh sebab itu sejak abad-abad pertama para Gembala Gereja tidak berhenti mengingatkan umat beriman akan perlunya ikut serta dalam perayaan tersebut. Ada banyak cerita yang mengharukan pada jaman itu dan setelahnya dalam mempertahankan identitas hari Minggu, terlebih kisah kemartiran. Mereka rela mati demi bida merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Pada jaman sekarang Gereja tetap mempertahankan kewajiban itu dan memasukkannya dalam Kitab Hukum Kanonik, “Pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya lainnya yang diwajibkan, umat beriman diwajibkan menghadiri misa”. Dalam menjamin hal ini, uskup diberi tanggung jawab penuh pada pelaksanaan hukum ini dengan dibantu para imam. Sehingga muncullah beberapa kebijakan mengenai hal ini, misalnya imam boleh merayakan lebih dari satu kali Misa hari Minggu, diadakan perayaan pada sore atau petang.
Melihat begitu istimewanya perayaan hari Minggu, maka sangat perlu perayaan tersebut disiapkan dengan usaha yang keras, berdasarkan pengalaman pastoral dan adat setempat dengan memperhatikan norma liturgi. Untuk itulah maka Gereja memberi pehatian pada lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat, sebab bernyanyi sebagai suatu cara yang tepat untuk mengungkapkan kegembiraan hati. Nyanyian dapat memberi corak kemeriahan perayaan itu dan dapat memantapkan citarasa keimanan.
Perayaan Ekaristi tersebut haruslah melibatkan semua umat yang hadir. Memang benar bahwa imamlah yang mengadakan korban Ekaristi dan mempersembahkan kepada Allah dalam nama seluruh umat. Namun kita juga harus ingat bahwa kita telah menerima imamt umum yang kita terima ketika dibaptis dan imamat umum inilah yang memampukan kita untuk ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Sambil mempersembahkan korban dan menerima Komuni Kudus, kita umat diajak untuk ikut serta dalam liturgi seraya mendapat terang dan kekuatan dari situ.
Kewajiban menguduskan hari Minggu tidak hanya dibatasi dengan merayakan Ekaristi. Hari Tuhan dapat dihayati dengan baik jika ditandai sejak awal hingga akhir dengan kenangan penuh syukur dan aktif akan karya penyelamatan Allah. Hal ini membuat umat Kristiani membentuk saat-saat lain hari itu di luar konteks liturgi, misalnya dalam hidup keluarga, hubungan-hubungan sosial, saat-saat rekreasi, sehingga kegembiraan akan Tuhan yang bangkit juga dirasakan dalam kejadian-kejadian biasa. Ada banyak bentuk kegiatan untuk mengisi hari Minggu, misalnya dengan berdoa bersama dalam keluarga, pengajaran katekese atau juga dengan ziarah ke tempat suci.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada masalah paroki-paroki yang tidak memiliki imam yang cukup untuk melayani jemaat, sehingga tidak dapat mengorbankan Ekaristi bagi seluruh umat setiap minggu. Dalam keadaan ini Gereja tetap menganjurkan jemaat hari Minggu untuk berkumpul untuk merayakan ibadat sabda tanpa imam sesuai aturan yang berlaku. Meskipun begitu titik fokus tetap pada Korban Misa, sebab dengan cara tersebutlah Paskah Tuhan hadir dengan diketuai imam sebagai “in persona Christi”. Untuk itu tetap diperlukan usaha untuk menghadirkan imam untuk mengorbankan ekaristi meski dalam jangka waktu yang berkala.
Akhirnya bagi orang yang cacat, sakit atau dengan alasan serius lainnya tidak dapat ikut serta dalam perayaan Hari Minggu, dapat menyatukan diri dengan perayaan Misa hari Minggu dari jauh. Media yang dapat dipakai adalah radio atau televisi yang menyiarkan perayaan Misa hari Minggu tersebut. Syukur bila ada pelayan jemaat yang mengatar komuni bagi si sakit. Namun sangat jelas bahwa corak tayangan ini tidak sendirinya memenuhi kewajiban hari Minggu yang mengayartkan adanya pastisipasi jemaat yang sedang berhimpun.
Bab IV Hari Manusia: Hari Minggu: Hari Kegembiraan, Istirahat dan Solidaritas
Umat Kristiani merayakan hari mingguan Tuhan yang bangkit terutama sebagai hari kegembiraan. Hari Minggu sebagai gema mingguan perjumpaan pertama dengan Tuhan yang bangkit selalu ditandai dengan kegembiraan. Oleh karena itu, bila ingin menemukan ulang makna hari Minggu yang sepenuhnya, kita harus hidup iman, yaitu kegembiraan Kristiani. Kegembiraan Kristiani harus menandai seluruh hidup. Hari Minggu dilihat sebagai hari kegembiraan yang istimewa, hari itu merupakan hari yang cocok untuk belajar bagaimana bergembira dan menemukan ulang sifat sejati dan akar-akar mendalam kegembiraan itu. Kegembiraan jangan disalahartikan dengan perasaan puas dan kenikmatan yang dangkal, sebab kegembiraan itu jauh lebih bertahan dan memberi penghiburan. Paus Paulus VI menulis tentang kegembiraan Kristiani sebagai berikut, “ Pada hakekatnya kegembiraan Kristiani adalah saling berbagi dalam kegembiraan yang tidak terduga, sekaligus ilahi dan insani, yang terdapat dalam hati Kristus yang dimuliakan”. Oleh karena pentingnya makna kegembiraan ini, maka para imam didesak untuk menekankan keperluan bagi mereka yang dibaptis untuk merayakan Ekaristi hari Minggu dalam kegembiraan.
Aspek hari Minggu Kristiani itu menampakkan secara khas bagaiamana memenuhi Sabat Perjanjian Baru. Sabat pada Perjanjian Lama dikaitkan dengan kisah penciptaan dan kisah exodus dari perbudakan Mesir, tapi dalam Perjanjian Baru orang Kristiani dipanggil untuk mewartakan penciptaan baru dan pejanjian baru yang dilaksanakan dalam Misteri Paskah Kristus. Dengan adanya misteri Paskah Kristus ini bukan berarti menghapus kenangan akan penciptaan dan kisah pembebasan, tapi konsep Sabat pada kisah tersebut telah dipenuhi oleh Misteri Paskah Kristus pada hari Minggu. Oleh karena itu umat Kristiani wajib ingat, bahwa meskipun praktek-praktek Sabat Yahudi sudah menghilang karena dilamapui oleh pemenuhan yang didatangkan oleh Hari Minggu, alasan-alasan yang mendasari kewajiban menguduskan Hari Tuhan yang tertera dalam Sepuluh Perintah tetap berlaku sah meski perlu ditafsir ulang dalam terang dan spiritualitas hari Minggu. Pada intinya bahwa Kristus datang untuk melaksanakan exodus baru, yaitu untuk memulihkan kebebasan kepada rakyat yang tertindas. Ia melakukan penyembuhan pada hari Sabat bukan berarti Ia melanggar Hari Tuhan, tapi Ia memenuhi arti Hari Tuhan itu, bahwa hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat. Yesus ingin melawan penafsiran atas hukum Yahudi yang terlalu legalistis sambil mengembangkan makna yang sejati atas hukum tersebut. Umat Kristiani sebagai murid Yesus diundang untuk juga mewartakan pembebasan yang dicapai oleh darah Kristus dan merasa bahwa mereka berwenang untuk mengalihkan makan Sabat kepada hari Kebangkitan. Paskah Kristus telah membebasankan manusia dari perbudakan dosa.
Selama beberapa abad umat Kristiani mematuhi hari Minggu semata-mata sebagai hari ibadat tanpa mampu memberi makan istirahat hari Sabat. Pada abad IV umat Kristiani baru dapat merayakan hari Minggu tanpa rintangan, sebab pada waktu itu hukum sipil menetapkan pelbagai perusahaan dagang untuk tidak bekerja pada hari Minggu. Dalam sejarah konsili-konsili Gereja juga tidak henti-hentinya mendesak peraturan mengenai istirahat hari Minggu. Ada di beberapa negara dimana umat Kristiani sebagai kaum minor yang penanggalannya tidak bertepatan dengan hari Minggu, sehingga mereka sukar menguduskan hari Tuhan sebab tidak memiliki waktu luang pada hari itu. Sebenarnya Allah sendiri menghendaki adanya gilir-berganti antara kerja dan istirahat. Dalam kenyataan jaman sekarang kerja dilihat sangat menindas bagi banyak orang, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Gereja wajib menjamin agar setiap orang dapat menikmati kebebasan istirahatnya demi martabat manusiawi. Dalam situasi jaman sekarang umat Kristiani harus berusaha menjamin supaya perundangan sipil menghargai kewajiban mereka menguduskan hari Minggu.
Agar istirahat tidak merosot menjadi kekosongan atau rasa bosan, maka perlu memberi kesempatan diri untuk memperkaya diri secara rohani, dengan berkomtempasi dan berkmpul dalam persaudaraan. Maka dari itu umat beriman diharapkan bijak dalam memilih berbagai hiburan yang ditawarkan masyarakat dihari istirahat ini. Bijak berarti umat beriman harus memilih kegiatan yang tidak bertantanga dengan nilai-nilai Injil. Dengan demikian hari Minggu tidak hanya menjadi hari Tuhan tapi juga menjadi hari manusia.
Hari Minggu juga harus membuka bagi umat beriman peluang untuk membaktikan diri kepada amal-amal kerahiman, cinta kasih dan kerasulan. Hari Minggu menjadi hari solidaritas. Untuk itu Ekaristi hari Minggu tidak bermaksud membebaskan manusia dari berbagai tugas, melainkan di hari tersebut menjadi hari yang tepat bagi umat beriman untuk melakukan karya amal dan solidaritas. Dengan melakukan hal tersebut, umat beriman akan menjadi “terang dunia”. Kegiatan karya amal ini sudah dilakukan sejak jaman para Rasul dan sekarang kita mewarisi budaya tersebut dengan meneladan kehidupan jemaat perdana.
Ekaristi itu peritiwa dan pogram pesaudaraan sejati. Dari Misa hari Minggu mengalirlah gelombang cinta kasih yang dimaksudkan untuk menyebarluas dalam seluruh hidup umat beriman. Bila hari Minggu sebagai hari kegembiraan, maka umat beriman harus membagikan kegembiraan itu kepada dunia di sekitarnya. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengunjungi orang sakit atau orang yang miskin, memberi bantuan kepada mereka yang miskin dan menderita. Seluruh hari dalam hari Minggu menjadi sekolah agung cinta kasih, keadilan dan damai. Hari Minggu merupakan Paskah mingguan untuk mengenangkan Kristus yang bangkit dan membebaskan manusia, maka dari itu kita diajak untuk meneladan Kristus dengan berusaha peduli pada sesama dan kita menjadi pembebas bagi mereka yang tertawan oleh pemderitaan, kemiskinan dll.
Bab V Hari Di Antara Hari-hari: Hari Minggu: Pesta Primordial: Mewahyukan Makna Waktu
Dalam Kristianitas waktu mempunyai relevansi yang mendasar. Di dalam waktu terdapat perkembangan mulai dari awal mula penciptaan dunia, sejarah keselamatan dan puncaknya kepenuhan dari waktu itu yaitu penjelmaan Sabda yang menjadi manusia. Dalam terang Perjanjian Baru, tahun-tahun hidup Kristus menjadi pusat waktu dan pusat itu mencapai puncaknya dalam kebangkitan. Untuk itu, Gereja menyerukan bahwa Kristus yang Bangkit adalah yang awal dan akhir, Alfa dan Omega. Kristus adalah Tuhan waktu, Ia awalnya dan juga akhirnya. Hari Minggu sebagai Paskah mingguan yang merayakan Kristus yang bangkit sekaligus hari yang mewahyukan makna waktu. Hari Minggu Kristiani yang bersumber pada kebangkitan ini menjelajahi kurun waktu manusia, bulan-bulan, tahun-tahun, abad-abad seperti anak panah yang terarah pada sasarannya, yaitu kedatangan Kristus yang kedua. Dengan menguduskan hari Minggu memberi kesaksian penting tentang kepastian akan keselamatan sehingga umat Kristiani dalam setiap jaman hidupnya selalu ditopang oleh pengharapan.
Hari Minggu sebagai hari Tuhan yang terulang setiap mingguan berakar dalam tradisi Gereja yang paling kuno dan seiring berjalannya waktu membentuk lingkaran liturgi tahunan. Dalam lingkaran tahun liturgi ini, Gereja hendak memaparkan selama kurun waktu setahun seluruh misteri Kristus, mulai dari penjelmaan serta kelahiran-Nya hingga kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan. Dengan mengenangkan misteri-misteri penebusan itu, Gereja ingin membuka rahasia kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan agar manusia dipenuhi rahmat keselamatan.
Dalam tahun liturgi, Gereja juga menghormati Santa Maria sebagai Bunda Gereja dan para kudus. Hubungan intrinsik antara kemuliaan para kudus dan Kristus dibangun kedalam penataan tahun liturgi dan diungkapkan secara indah dalam hari perayaan Minggu sebagai hari Tuhan. Hari Minggu juga sebagai pola alami untuk memahami dan merayakan hari-hari raya tahun litugi yang begitu bernilai bagi hidup Kristiani. Oleh karena itulah Gereja menekankan relevansinya dan mewajibkan bagi umat beriman untuk menghadiri Misa dan mematuhinya sebagai waktu istirahat. Namun dalam pelaksanaan tahun liturgi ini juga diperlukan adanya kebijakan pastoral dengan mempertimbangkan tradisi dan budaya setempat. Intinya jangan sampai keagungan hari Minggu itu terkikis oleh tradisi atau budaya setempat. Dalam hal ini peran gembala umat sangat diperlukan dan harus bijaksana dalam menentukan keputusan.
Penutup
Kekayaan rohani hari Minggu sangatlah melimpah dan itu disalurkan kepada kita lewat tradisi. Bila kekayaan rohani tersebut dapat dimengerti dengan baik maka hari Minggu menjadi sintesis hidup Kristiani. Ekaristi hari Minggu menjadi tempat penghayatan iman secara penuh, untuk itu umat beriman harus menyadari keistimewaan hari itu dengan tidak merayakan hari Minggu dengan kegiatan-kegiatan yang masih dipertanyakan dari sudut moral. Dalam hari Minggu umat beriman diundang untuk merayakan keselamatan dan mejadiakannya sebagai hari kegembiraan dan hari istirahat. Untuk itulah maka hari Minggu menjadi jiwa hari-hari lain.
Hari Minggu pada akhirnya menjadi sarana untuk melestarikan hidup Kristiani. Di samping itu hari tersebut juga memiliki nilai tambahan menjadi kesaksian dan pewartaan, sebagai hari doa, persekutuan dan kegembiraan. Hari Minggu menjadi undangan untuk memandang ke depan. Pada hari itu umat Kristiani dapat berseru kepada Kristus, “maranatha” : datanglah ya Tuhan! Dalam hal ini Gereja berperan mendampingi umat untuk tujuan tersebut. Dalam mengejar tuan itu, Gereja ditopang oleh Roh Kudus. Roh itulah yang selalu hadir dan menyetai Gereja melalui berbagai peristiwa. Bunda Maria seagai Bunda Gereja juga berperan mendampingi Gereja. Dari minggu ke minggu, umat beriman diajak untuk mengikuti jejak Bunda Maria dan pengantaraan keibuannya memberi kekuatan dan semangat yang istimewa kepada doa yang naik dari Gereja ke hadirat Tritunggal yang Mahakudus.
Surat Apostolik ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ketika dunia akan memasuki tahun Yubelium, yaitu berakhirnya mileniun kedua dan memasuki milenium ketiga. Dalam perpindahan milenum tersebut sudah tentu duna akan mengalami perubahan dan Paus ingin mengajak umat beriman untuk tetap menghayati kekudusan hari Minggu secara mendalam meski dunia akan berubah.
No comments:
Post a Comment