Saturday, April 24, 2010

PENDAMPINGAN DIALOG ANTARAGAMA BAGI REMAJA

  1. PENDAHULUAN
Pengantar Tema

Tidak perlu ada perdebatan yang panjang untuk menyetujui bahwa tema Dialog Antaragama merupakan salah satu tema yang cukup penting dan mendesak saat ini. Dialog Antaragama merupakan tema yang bahkan mutlak perlu diberi perhatian yang cukup di tengah situasi jaman yang plural ini. Situasi ini cukup aktual di Indonesia mengingat Indonesia terdiri dari begitu banyak agama-agama dan aliran kepercayaan, suku-suku bangsa, adat dan bahasa. Dialog Antaragama merupakan usaha Gereja Indonesia untuk hidup dan bukan saja untuk bertahan hidup dalam suasana plural sekarang ini. Leonard Swidler, seorang teolog Dialog Antaragama, juga menegaskan bahwa masa depan Gereja menawarkan hanya dua alternatif: kematian atau dialog . Dengan kata lain, senada dengan kata-kata para pejuang kemerdekaan Indonesia, “Merdeka atau Mati” dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Swidler hendak meneriakkan “Dialog atau Mati !

Keprihatinan Gereja ini tampaknya memang bukan hanya dirasakan oleh para pemimpin Gereja. Kerinduan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan ada dalam hati setiap orang. Mengingat pluralisme yang ada saat ini maka mau tidak mau jalan yang paling cocok untuk mewujudkan hal ini bukan dengan mempertebal/menggarisbawahi perbedaan melainkan justru bersikap terbuka terhadap ‘yang lain’ agar sikap saling memahami dan mengerti dapat tumbuh dengan baik. Inilah tujuan sederhana dari Dialog Antaragama.

Banyak sekali orang pada zaman ini yang terdorong untuk bersama-sama mengusahakan terciptanya situasi yang kondusif bagi dialog antaragama. Usaha Umat katolik, khususnya, juga tampak dalam berbagai bentuk forum tanya-jawab dan pelayanan-pelayanan sosial karitatif yang seringkali digelar sebagai wujud nyata dari keinginan untuk menciptakan masyarakat yang “Bhinekka Tunggal Ika”. Hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja Allah yang kelihatan dan yang sungguh-sungguh bersifat universal .

Latar Belakang Pemilihan Tema dan Batasannya

Dalam refleksi dan pengamatan penulis, ada kekurangan yang cukup besar dalam usaha Gereja selama ini. Usaha-usaha untuk mengadakan dialog antaragama, pertemuan-pertemuan ekumene seringkali hanya dipenuhi oleh orang-orang tua . Bahkan tidak hanya dalam urusan Dialog Antargama, penentu kebijakan-kebijakan dan bentuk-bentuk kegiatan seringkali diambil oleh orang-orang tua. Kaum muda hanya ambil bagian secara terbatas an diberi porsi keterlibatan pada saat-saat khusus saja dan bukan menjadi kebiasaan. Bentuk keterlibatan kaum muda selama ini pun seringkali hanya terbatas keterlibatan yang membutuhkan kemampuan fisik saja (menata kursi, mengangkat karung beras yang hendak disalurkan dalam baksos, mengatur parkir, dekorasi kandang natal, dsb). Seringkali malahan, motivasi pemberian keterlibatan itu hanyalah karena generasi tua mengganggap diri sudah tidak mampu bekerja fisik.

Beberapa alasan yang mendasari penulis mengangkat judul “Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” ini adalah karena dalam refleksi penulis Kaum Muda itu adalah sungguh-sungguh anggota Gereja. Kaum muda adalah realitas jaman ini. Memang mereka adalah pemilik Gereja masa depan, tetapi mereka bukan hanya milik Gereja masa depan saja. Mereka juga adalah anggota Gereja masa kini. Seringkali karena dianggap milik Gereja masa depan kaum muda seringkali diabaikan karena dianggap belum waktunya.

Adalah sangat sulit untuk menentukan rentang usia kaum muda. Ada berbagai macam pendapat tentang hal ini. UNESCO berpendapat bahwa kaum muda adalah kelompok manusia yang berusia antara 15 – 24 tahun . Lain halnya dengan KWI. Disebutkan dalam PKPKM bahwa kaum muda adalah mereka yang berusia antara 13-35 tahun . Dari situ tampak bahwa rentang usia yang dimaksud sebagai kaum muda itu cukup panjang dan bervariasi. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis membatasi cakupan kata kaum muda dalam artian remaja. Remaja yang dimaksud penulis adalah anak pada usia 12-16 tahun (Adolesensi Dini). Dalam Buku Pintar Seri Senior secara psikologis dikatakan bahwa,

“Masa ini ditandai dengan praokupasi seksual yang meninggi dan tidak jarang karena itu remaja secara relatif merosot daya kreatifnya, ketekunan dan lain-lain keberhasilannya. Ia mulai lebih merenggang dari orang tuanya dan membentuk kelompok-kelompok kawan/sahabat karib. Dalam tendensinya ke arah penarikan diri ia dapat mengembangkan tingkah laku yang kurang dapat dipertanggungjawabkannya: acting out behaviour, deliquent acts, maniakal atau depresif, malahan ada kalanya mempertimbangkan bunuh diri. Pendekatan dengan simpati dan usaha meringankan stress yang dirasakannya akan dapat membantu. ”

Dapat disimpulkan dari kutipan di atas bahwa masa remaja adalah masa yang sangat membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih dewasa. Mungkin akan ada akibat yang cukup fatal jika dalam masa-masa ini seorang remaja tidak mendapat pendampingan yang cukup. Dalam masa ini Gereja sebenarnya bisa menunjukkan cura animarumnya secara lebih tampak sebagai bentuk nyata tanggung jawabnya terhadap kehidupan anggotanya. Mengingat begitu kompleks dan krusialnya masa remaja ini akhirnya penulis memfokuskan perhatian soal “Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” dengan harapan bahwa tulisan ini akan berguna bagi khazanah pendampingan iman remaja yang masih jarang dibahas.
Sistematika Penulisan

Dalam tulisan ini pertama-tama penulis akan membahas kembali secara lebih mendalam tentang “Apa itu dialog” dan “Kemendesakan dialog antaragama”. Selanjutnya pembahasan diarahkan kepada obyek utama pendampingan yang dimaksud, yakni “Remaja” menyangkut identitas, situasi dan potensinya. Pokok bahasan selanjutnya mengalir pada bahasan mengenai “Remaja dan Dialog Antaragama” menyangkut di dalamnya sub bab “Mengapa remaja perlu dilibatkan dalam dialog antaragama”. Setelah itu, Pembicaraan tentang remaja dan dialog bergerak menuju ke praksis pelaksanaan dalam bahasan “Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja” yang dapat dilakukan secara nyata.

2. DIALOG ANTARAGAMA

Apa itu dialog?

Secara sederhana, Swidler mendefinisikan dialog sebagai suatu percakapan antara dua atau lebih orang yang berbeda pandangan, dengan tujuan utama: saling belajar untuk berubah dan bertumbuh. Dalam definisi tersebut dapat disimpulkan tiga hal yang terkandung dalam suatu proses dialog, yakni: tidak bersifat memaksa orang lain untuk berubah, bukan merupakan suatu ajang perdebatan untuk mencari menang-kalah atau pun benar-salah melainkan justru sharing secara terbuka, membuka diri secara jujur dan mendengarkan orang lain dengan tujuan memahami orang lain dengan lebih baik, dan terakhir adalah bahwa proses dialog selalu mengandung resiko perubahan pandangan terhadap posisi dan tradisi yang lama.

Ada tiga macam tahapan yang dialami seseorang dalam berdialog, yakni:

  • Pertama, dalam perjumpaannya dengan orang lain itu seseorang bisa melihat dan mengenal dirinya dengan kacamata yang lebih luas. Kacamata baru itu muncul dalam relasi pertemuannya dengan orang lain. Dengan kacamata itu dia bisa melihat dirinya sendiri dengan lebih dalam.
  • Kedua, dalam dialog orang akan berusaha mengerti dan memahami orang lain. Pengertian dan pemahaman yang mendalam dan sungguh hanya dapat terjadi jika seseorang menganggap orang lain bukan sebagai obyek, tetapi sebagai subyek/pribadi yang lain dan sejajar dengannya . Persamaan dan perbedaan mulai ditemukan dalam tahap ini. Dengan kesadaran akan kerinduan membentuk persatuan, perbedaan yang paling kontradiktif pun dapat dilihat sebagai unsur-unsur yang saling melengkapi.
  • Ketiga, pengenalan akan diri sendiri dan orang lain akan membuat seseorang mengetahui kebenaran dengan lebih utuh. Orang yang mengetahui kebenaran dengan lebih utuh akan mengalami transformasi dalam hidupnya dan membagikan buah-buahnya kepada komunitas tempatnya tinggal.

Kemendesakan Dialog Antaragama

Dunia kita saat ini sudah menjadi “semakin sempit”. Kemajuan teknologi terutama sarana transportasi, informasi dan komunikasi telah membuat manusia sedikit demi sedikit mengalahkan keterbatasan manusia dalam ruang dan waktu. Dalam waktu yang relatif singkat seseorang bisa berpindah dari benua satu ke benua yang lain. Hal-hal yang dulu tampaknya mustahil dilakukan kini tampak di hadapan mata sebagai kemungkinan-kemungkinan. Media-media massa yang menyajikan informasi berita pun mulai menggeser metode kerjanya yakni dari menyajikan peristiwa-peristiwa yang “telah terjadi di suatu tempat” berubah menjadi menyajikan peristiwa-peristiwa yang “sedang terjadi di berbagai tempat”. Situasi “kampung dunia” semacam ini dalam arti tertentu membuat “setiap orang” pasti bertemu dengan “yang lain” baik secara fisik maupun virtual. Perjumpaan dengan “yang lain” inilah yang membawa dampak besar bagi kondisi dunia saat ini. Salah satunya adalah munculnya fenomena Masyarakat Postmodern.

Masyarakat postmodern adalah mereka yang dengan segala kesadaran diri menggunakan segala macam kecanggihan sarana transportasi, informasi dan komunikasi untuk bertemu dengan “yang lain” baik yang lokal maupun internasional. Perjumpaan dengan yang lain ini membawa perubahan pola pikir yang begitu kentara. Misalnya berbicara tentang kebenaran, mereka bersikap pesimis terhadap model kebenaran generasi sebelum mereka (yakni masyarakat modern) yang selalu mengagung-agungkan pencarian suatu kebenaran yang bersifat universal. Mereka berpikir bahwa setiap manusia selalu berangkat dan ada dalam konteks dan komunitas tertentu (Identitas multi level ). Maka keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran selalu berakar pada komunitas tempat kita berada. Dengan kata lain masyarakat postmodern menolak pencerahan yang universal, supra-kultur dan permanen . Sebaliknya, mereka lebih memilih kepada pencerahan yang multiversal, intra-kultur dan dinamis. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi tiap komunitas tertentu. Mereka pun yakin dan percaya bahwa kebenaran-kebenaran yang beraneka ragam itu bisa hidup berdampingan bersama. Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa di sekitar kita sedang terjadi proses deabsolutisasi kebenaran . Ada gelombang pluralisme dan relativisme yang dihembuskan oleh masyarakat postmodern . Dengan cara pandang ini maka pantaslah jika di jaman ini muncul banyak sekali agama-agama abru di Indonesia sebagai protes atas agama-agama besar yang menjadi mainstream di Indonesia .

Melihat kondisi yang demikian Gereja mutlak harus bersiap-siap membarui/mengubah metode pewartaannya. Katekese dan pewartaan yang bersifat otoritatif akan mendapat penolakan yang keras dari masyarakat postmodern. Salah satu model katekse dan pewartaan yang cocok untuk jaman ini adalah katese dan pewartaan yang dialogis. Umat tidak lagi didikte tentang mana yang salah dan mana yang benar, tetapi sebaliknya para pewarta harus berdialog dengan umat untuk melihat mana yang benar dan yang salah. Tentu saja untuk melakukan hal ini seorang pewarta harus memiliki integritas dan pondasi iman dan ajaran Gereja yang kokoh.

3. REMAJA

Identitas Remaja

Seperti sudah sedikit tertuang dalam kutipan pada bagian latar belakang pemilihan tema dan batasannya, Remaja ialah sekelompok manusia yang mulai beralih dari tahap pra-adolesensi ke jenjang yang lebih tinggi adolesensi dini. Kebanyakan dari mereka akan sangat tersinggung jika masih dianggap anak-anak. Mereka merasa dirinya bukan lagi anak-anak, tetapi juga bukan orang dewasa karena biasanya mereka menganggap orang dewasa sebagai musuh mereka karena orang dewasa lebih suka menekan daripada memahami mereka . Masa remaja merupakan masa mulainya pencarian jati diri. Dalam fase ini seseorang akan menjadi sangat impulsif dan reaktif. Hal ini mungkin juga disebabkan karena pertumbuhan organ-organ seksual mereka. “Kebanjiran” berbagai macam hormon dalam tubuh mereka merupakan salah satu alasan biologis penyebab kelabilan mereka .

Situasi Remaja

Perjumpaan dengan orang-orang muda acapkali memunculkan pengalaman-pengalaman orisinal. Pengalaman yang hanya dapat dipahami jikalau terjadi proses dialog antara yang melakukan dengan pihak yang mengamati. Sebelum terjadi dialog, sebuah tindakan sangat mungkin disalahmengerti dan disalahpahami sehingga memunculkan cap-cap sepihak. Tindakan-tindakan mereka untuk memasang tato, bertindik, dan berjimat seringkali langsung dikecam habis-habisan tanpa pendekatan terlebih dahulu. Efeknya, bukan pertobatan yang terjadi malahan justru pemberontakan yang lebih ugal-ugalan.

Terkait dengan keadaan dunia aktual, secara khusus di Asia, Para uskup Asia melihat bahwa kaum muda (termasuk remaja) merupakan Cermin Gereja Asia. Ada dua segi yang sempat terekam oleh para usukp Asia yang segi negatif dan positif dari kehidupan kaum muda di Asia. Secara umum, kaum muda di Asia hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini merenggut banyak kesempatan yang mungkin bagi mereka (mis: kesempatan memperoleh pendidikan, dsb). Kemiskinan ini membuat kaum muda mudah terpengaruh oleh berbagai macam ideologi, apalagi ideologi yang seakan dapat membawa mereka terlepas dari kemiskinan. Ideologi yang menawarkan pembebasan semacam itu adalah materialisme dan konsumerisme. Berbagai media massa (televisi, radio, koran, internet) menjadi sarana yang ampuh untuk penyebaran berbagai ideologi tersebut. Ini adalah segi negatif kehidupan kaum muda di Asia. Sebaliknya, di sisi yang lain tampak kaum muda yang justru aktif dalam usaha transformasi kehidupan sosial kemasyarakatan. Banyak dari mereka yang terjun secara aktif dalam kegiatan pewartaan dan pelayanan sosial dalam Gereja. Tak sedikit pula dari mereka yang ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi yang bertujuan sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Bahkan para uskup juga sempat merekam kelaparan mereka akan doa dan kontemplasi. Ini adalah segi negatif kehidupan kaum muda di Asia .


Potensi Remaja

Ada berbagai macam potensi yang sebenarnya bisa digali dan dimanfaatkan dalam diri para remaja. Beberapa yang dapat penulis reflesikan dalam tulisan ini antara lain:
  • Remaja hidup dalam kelompok: Kecenderungan ini cukup menguntungkan karena karya pastoral yang kita lakukan bisa langsung dikenakan pada banyak orang dalam kelompok.
  • Remaja memiliki dan menyukai ide-ide gila (baru), semangat dan energi yang melimpah: Kebanyakan generasi tua bersikap apriori terhadap ide-ide gila dan baru yang lahir dari pemikiran remaja. Padahal jika dicermati dengan lebih baik maka banyak hal dapat digali dari pemikiran mereka ini.
  • Dalam tahap yang demikian remaja sangat terbuka untuk mengalami penanaman dan penjernihan nilai: Dalam masa pencarian ini mereka mulai mencoba mencari nilai-nilai yang dapat mereka jadikan pegangan hidup. Maka cocok sekali jika dalam masa ini mereka mendapatkan penanaman nilai yang memadai dan benar. Penanaman nilai yang salah pun terkadang bisa terjadi dalam masa ini dan dibawa sampai mati (contoh: perekrutan anggota teroris dengan melakukan “brainwashing” sejak dini).
  • Mereka mulai meninggalkan cara pikir anak yang materialistik dan mulai mampu untuk berpikir secara abstrak: Potensi ini memudahkan bagi kita untuk mulai berbicara dalam bahasa mereka tanpa menghilangkan nilai-nilai yang ingin disampaikan

4. REMAJA DAN DIALOG ANTARAGAMA

Mengapa remaja perlu dilibatkan dalam dialog antaragama

Setiap hari remaja harus bertemu dengan “yang lain”dalam kehidupan sehari-hari
Walaupun remaja mungkin tidak memahami fenomena kampung dunia, mereka sendiri setiap hari harus mengalami perjumpaan dengan yang lain. Mereka berjumpa dengan yang lain di sekolah, rumah, kantin, pasar, terminal, jalan, dan bahkan juga di Facebook, Twitter, Friendster, dll. Hal ini sebenarnya membuat mereka menjadi para pelaku dialog antaragama tanpa mereka sadari. Namun, berapa orang remaja saja yang mendapat pembekalan dan pendampingan manakala mereka berdialog dengan sesamanya yang berbeda agama? Berapa orang yang akhirnya harus mengakhiri persahabatan dengan temannya yang berbeda agama ketika sudah mulai saling ejek-mengejek? Betapa menyenangkan jika melihat bahwa sejak dari kecil mereka sudah bisa saling menghormati sesamanya tanpa memandang SARA.

Remaja adalah anggota Gereja
Remaja adalah sungguh-sungguh anggota Gereja. Mereka bukanlah anggota kelas dua atau dapat dinomor-duakan. Gereja harus bertanggung jawab atas kehidupan semua anggota Gerejanya. Gereja harus mendampingi setiap anggotanya (termasuk remaja) agar dapat menjadi ‘garam dan terang’/misionaris bagi semua orang karena rahmat baptisan yang telah diterimanya . Walaupun pandangan tentan remaja selalu mengarah pada Gereja masa depan, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa remaja juga adalah anggota Gereja masa kini yang perlu untuk didampingi secara serius.

Remaja adalah pemilik Gereja Masa Depan
Baik para pemimpin Gereja maupun kita sendiri sebenarnya sudah sangat memahami bahwa remaja merupakan pemilik Gereja masa depan. Kita semua menginginkan agar nantinya Gereja tetap senantiasa utuh dan dapat diwariskan kembali turun temurun. Melihat tantangan jaman ini maka Gereja masa depan sangat membutuhkan okoh-tokoh Gereja yang memiliki semangat dialog. Masa remaja memegang peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Dalam masa ini mereka mulai membentuk nilai-nilai hidup yang akan mereka bawa sampai mati. Kaburnya/salahnya makna suatu nilai akan semakin sulit dikoreksi seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Namun, penanaman nilai-nilai ini juga tidak dapat dilakukan dengan perintah-perintah otoritatif dan imperatif yang justru akan membuat mereka depresi dan akhirnya bersikap represi. Pendekatan yang simpatik dan bersahabat akan membantu mereka melewati masa ini dengan menyenangkan dan sehat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja
Mendampingi orang muda memang tidak mudah, tidak populer, membutuhkan pengorbanan yang besar dan harus bisa ngemong . Mereka yang mempunyai wawasan iman yang cukup bagi pendampingan kaum muda seringkali cukup sulit untuk diajak bergabung dan terlibat dalam pendampingan orang-orang muda. Alasan yang sering kali diutarakan adalah adanya generation gap yang cukup jauh, sibuk dan tidak punya cukup waktu. Seringkali orang-orang yang demikian hanya suka mengkritik tanpa menunjukkan sumbangsihnya sendiri bagi pendampingan kaum muda.

Ada beberapa hal yang harus diberi perhatian secara istimewa dalam Pendampingan Dialog Antaragama Bagi Remaja. Penulis merasa perlu untuk menuliskan secara ringkas hal-hal yang harus dipenuhi/dilakukan tersebut terlebih dahulu agar proses pendampingan selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa hal tersebut antara lain:

Merumuskan Tujuan Pendampingan secara jelas
Berikut ini adalah contoh gambaran kaum muda yang diharapkan muncul sesudah menjalani proses pendampingan. Para muda-mudi yang sudah ikut dalam program pendampingan diharapkan:
  • Mampu memiliki pandangan yang sehat dan benar tentang orang lain, sesama manusia, dan manusia pada umumnya tanpa memandang suku, agama, ras, budaya, tingakt ekonomi, dsb.
  • Mampu berkenalan, bertemu, menerima dan bergaul dengan orang lain tanpa pandang bulu.
  • Mampu memiliki kepekaan terhadap orang lain dalam kata-kata dan tindak tanduk serta mampu menanggapinya dengan wajar
  • Mampu berkomunikasi dengan jelas dan baik dengan siapapun
  • Mampu menciptakan dan membina kebersamaan dan kerjasama demi perkembangan diri dan menyelesaikan tugas bersama dalam semangat setia kawan dan Bhinekka Tunggal Ika
Rumusan Tujuan Pendampingan ini dibuat bukan hanya untuk kebutuhan pendamping. Sosialisasi tujuan pendampingan ini kepada para remaja harus dilakukan terus menerus agar semangat ini terinternalisasi dalam hidup mereka.

Harus ada Pendamping yang kompeten dan rela
Dalam proses pendampingan pendamping memegang peranan sentral. Dialah berperan mulai dari proses persiapan evaluasi akhir kegiatan. Dialah yang memimpin untuk menentukan isi acara, metode, arah acara dan juga suasana kegiatan tersebut. Ada segudang ideal yang diperlukan untuk menjadi seorang Pendamping yang profesional. Namun, jika hal itu disebutkan secara terperinci justru akan membuat orang enggan menjadi pendamping karena dibayang-bayangi oleh ketentuan yang segudang itu. Oleh karena itu, proses pendampingan dialog antaragama bagi remaja minimal pertama-tama membutuhkan seorang pendamping yang bisa memimpin, memiliki wawasan dan relasi yang sehat dengan orang-orang di luar agamanya, berwibawa sekaligus bersahabat dan dengan sukarela mau terlibat dalam pendampingan dialog antaragama bagi remaja.

Harus ada Pembaharuan sikap dan pandangan terhadap Remaja
Dalam Gereja sendiri tampaknya harus ada pertobatan (transformasi) berkaitan dengan siakp dan pandangannya terhadap Remaja.
  • Di dalam Gereja, Remaja harus diterima sebagai partner : Generasi yang lebih tua hendaknya tidak menempatkan generasi muda secra sub-ordinat, melainkan sejajar. Hanya posisi yang demikianlah yang memungkinkan terjadinya relasi timbal balik antar generasi. Selain itu, untuk dapat menerima remaja sebagai partner, generasi tua harus sekuat tenaga menghapuskan keraguan dan pandangan stereotip terhadap remaja. Generasi tua harus memberi kepercayaan bahwa generasi muda adalah pribadi yang otonom dan independen. Dalam relasi sebagai partner, generasi tua tidak seallu bertindak sebagai guru yang mengajarkan segala sesuatu kepada generasi muda. Kadangkala harus disadari pula bahwa generasi tua harus belajar kepada Generasi yang lebih muda. Misalnya: dalam proses dialog antaragama generasi tua umumnya menunjukkan sikap skeptis atau juga menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Dalam hal ini generasi tua perlu belajar dari generasi muda tentang bagaimana berkomunikasi tanpa tembok-tembok curiga dan waspada
  • Gereja harus mampu menjadi basis pendidikan dialog antaragama: Gereja memang harus menjadi tempat remaja beribadat dan berdoa kepada Allah. Namun, sebenarnya Gereja perlu mengembangkan fungisnya sebagai tempat bagi remaja untuk belajar hidup sebagai komunitas beriman. Gereja merupakan tempat di mana remaja belajar bersikap menerima dan menghargai ‘yang lain’ sebagai sesama yang bermartabat dan tanpa diskriminasi. Dengan mengembangkan fungsinya seara demikian Gereja menjadi basis pendidikan dialog antaragama. Sebagai suatu basis pendidikan, sebenarnya Gereja bisa menjadikan pengalaman hidup sehari-hari sebagai latihan agar dapat melakukan dialog antaragama dengan baik. Pengalaman yang dimaksud adalah peluang untuk berlatih mengusahakan dialog antargenerasi. Perlu diadakan latihan terus menerus bagi para anggota Gereja agar dapat memahami “yang lain”. Sebagai latihan, agar tidak jauh-jauh, bagaimana relasi antargenerasi dalam Gereja. Apakah sudah tercipta suatu kebiasaan dialog pada kedua belah pihak? Jika belum, maka sudah selayaknya kita “berlatih untuk berdialog di dalam” terlebih dahulu baru kemudian “ke luar” .
Prinsip masuk “lewat pintu mereka dan keluar lewat pintu kita” merupakan prinsip yang paling cocok dalam pendampingan remaja.
Prinsip ini disebut-sebut dalam beberapa buku pendampingan kaum muda sebagai prinsip pendampingan yang cukup efektif bagi remaja. Remaja memiliki kebutuhan yang besar untuk didengarkan dan dihargai. Walaupun terkadang dengan kekuatan intelektual dan pengetahuan yang masih sangat terbatas mereka bertingkah layaknya para ilmuwan, pendamping harus tetap menghargai remaja. Penerapan prinip ini harus juga diperhatikan oleh para pendamping dalam menentukan materi pendampingan, program pendampingan, bentuk pendampingan, pendekatan pendampingan, proses pendampingan serta termasuk gaya pendampingannya. Hal terpenting yang mau dibangun dari prinsip ini adalah menghindari kesan otoritatif dan satu arah yang seringkali ada dalam proses pendampingan remaja. Ketika kesan ini terbangun dengan baik para remaja akan lebih merasa aman untuk mengekspresikan dirinya dan berdialog dengan sepenuh hati tanpa takut-takut lagi.

Penting untuk diingat bahwa prinsip ini dianjurkan penggunaannya hanya dalam pendampingan remaja dan bukan saat dialog antaragama. Proses dialog antaragama harus bebas dari tendensi yang demikian. Proses dialog tidak boleh diwarnai oleh sikap “ini pintuku” dan “itu pintumu”. Kesalahan yang sama seperti ini pernah dilakukan oleh Gereja di jaman yang lampau dan ternyata berdampak buruk.

5. PENUTUP
Dalam fenomena kampung dunia saat ini, kebutuhan untuk berdialog merupakan kebutuhan Gereja untuk hidup dan bukan hanya untuk bertahan hidup. Remaja sebagai pemilik Gereja masa depan perlu didampingi sedini mungkin agar dapat memiliki sikap dialogis yang kelak akan berguna dalam menghadapi tantangan jaman di masa yang akan datang. Perjuangan dan pengorbanan para pendamping dalam mendampingi kaum muda (khususnya remaja) hendaknya dipandang sebagai investasi jangka panjang yang kelak akan berbuah lebat.






DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja
KONSILI EKUMENIS VATIKAN KEDUA, Dekrit Tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 1.
Sri Paus Yohanes Paulus II. Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), terj. Frans Borgias, OFM. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
Sumber Lain
Gayo, H.M. Iwan. 2008. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: PT Grasindo.
Jamil, M. Mukshin. 2008. Agama-agama baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jelantik J.P.H. 2007. Diktat Pastoral Kaum Muda (pro manuscripto). Malang: STFT Widya Sasana.
Komisi Kepemudaan Konperensi Waligereja Indonesia. 1998. Pedoman Karya Pastoral Kaum. Jakarta:KWI.
L, Silvester Kanisius. 2006. Allah dan Pluralisme Religius. Jakarta: Penerbit OBOR.
Mangunhardjana, A.M. 1986. Pendampingan Kaum Muda. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Oen, Yulia. Etos Postmodern. http://www.ylsa.org/. diakses 14 Maret 2010.
Titisari, Detty. 2004. “Tato Mahkota Duri”, dalam Dr. Hartono Budi dan M. Purwatma (ed.). Di Jalan Terjal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudhiarsa, Raymundus. 2006.”Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja”, dalam Mgr. John Liku Ada, Pr (ed.). Dialog Antara Iman Dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi KWI.
Sunarko, A. 2006. “Terombang-ambing antara Budaya Modern dan Postmodern” , dalam Mgr. John Liku Ada, Pr (ed.). Dialog Antara Iman Dan Budaya. Jakarta: Komisi Teologi KWI.
Yap Fu Lan. 2005. Mendampingi Remaja Gaul Lintas Batas. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

No comments:

Post a Comment