PERJUMPAAN KRISTUS DENGAN KEBUDAYAAN
Inkulturasi merupakan terminologi
khas umat Kristiani yang ingin mengatakan suatu proses presentasi
ajaran Gereja dalam budaya-budaya non- Kristiani. Berbagai perdebatan sering
muncul dalam diskursus ini karena memang inkulturasi adalah sebuah proses yang sangat
sulit namun penting. Inkulturasi selalu mengandaikan interaksi antara iman dan budaya.
Secara khusus kami menyempitkan pembahasan tentang iman pada iman Kristiani pada
Yesus Kristus dalam Gereja Katolik Roma. Untuk itu, sebelum kita memulai pembahasan inkulturasi,
penulis merasa perlu untuk mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksudkan
dengan dua terminologi ini – Kristus dan kebudayaan. Tahap ini perlu untuk
menghindari praduga-praduga dalam tiap terminologi.
I. Pembatasan dan Perumusan Terminologi
a. Perumusan terminologi Kristus
Membuat definisi yang jelas tentang Kristus bukanlah hal yang mudah. Ada banyak sekali variasi iman kepada Yesus Kristus
secara pribadi maupun bersama. Bahkan,
sering kali keanekaragaman itu menimbulkan pertanyaan apakah Kristus dalam
kekristenan itu benar-benar Kristus yang satu? Bagi sebagian orang Kristen, Yesus
Kristus adalah seorang guru yang masyur. Ia juga seorang pemberi hukum. Apa yang dikatakan-Nya berkisar tentang kehendak Allah
dan hukum moral yang mendorong
pikiran dan kemauan untuk mengikuti-Nya. Untuk kelompok ini, Kekristenan adalah suatu hukum dan agama baru yang
diproklamasikan oleh Yesus. Bagi yang
lain, Yesus Kristus bukanlah sekadar guru, ahli hukum atau moralis. la adalah
pernyataan Allah. Melalui inkarnasi, hidup dan karya-Nya, sengsara, wafat dan
kebangkitan-Nya, la membuktikan keberadaan sifat ilahi dalam diri-Nya. Yesus
yang demikian melaksanakan kehendak Allah
atas iman manusia sehingga menarik manusia
yang dijumpai-Nya kepada satu hidup yang baru. Bagi kelompok semacam ini, Kekristenan bukan tampil sebagai ajaran atau
agama yang baru, melainkan sebagai suatu persekutuan yang baru yang
didalamnya karya Kristus menjadi pusat perhatian mereka dan dilimpahi anugerah-Nya dengan perantaraan firman dan sakramen-sakramen.
Pengertian seorang Kristen pun dapat mengandung dua arti, yakni seorang yang percaya kepada Yesus Kristus atau seorang
pengikut Yesus Kristus yang menganggap
dirinya adalah milik persekutuan dari orang-orang yang dipilih oleh Kristus. Variasi semacam ini yang menjadikan usaha
merumuskan definisi tentang Kristus merupakan hal yang sulit, oleh karena itu
penulis menyadari keterbatasan dalam perumusan ini. Namun, perumusan
terminologi tetap dibutuhkan agar kita dapat membuat garis besar arti
tentang Kristus.
Lalu apa yang dapat kita lakukan jika kita hendak menguraikan Yesus
Kristus secara tepat? Richard Niebuhr mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan
lain harus ditempuh selain pendekatan moral, tetapi dalam studi Sejarah Gereja
maupun teologinya setiap pendekatan cenderung mengarah kembali pada pendekatan
moral.
Perjanjian Baru dan kesaksian orang Kristen di sepanjang jaman meneguhkan
pengakuan bahwa ajaran kasih merupakan
ajaran Yesus yang paling utama. Dalam banyak
kisah diceritakan bahwa Yesus juga menuntut murid-murid-Nya untuk berbuat
kasih, namun yang sering tidak diperhatikan adalah bahwa Yesus tak pernah memerintahkan kasih demi kasih itu sendiri.
Tuntutan ajaran kasih Yesus adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama
di dalam Allah. Keutamaan ajaran ini terletak dalam
kesederhanaan keterarahannya pada Allah[1]. Kasih akan Allah dan kasih akan sesama adalah dua kebaikan yang berlainan yang tidak
mempunyai persamaan kualitas tetapi hanya mempunyai sumber
yang samal. Kasih akan Allah merupakan pengakuan terhadap kebijaksanaan sejati serta ucapan syukur atas segala
anugerah serta pemakluman pada Yang Ada. Sedangkan kasih akan manusia
lebih bersifat belaskasihan kepada sesama
manusia. Di dalamnya terkandung unsur memberi, mengampuni, dan menderita. Jadi dengan kata lain Yesus mengajarkan kasih
karena Allah adalah kasih. la
menuntut manusia berbuat kasih karena Allah sudah terlebih dahulu mengasihi manusia, sehingga manusia perlu
mewujudkan kasihnya kepada Allah dalam perbuatan kasih mereka kepada
sesama.
Ajaran kasih Yesus juga memiliki dimensi eskatologis.
Unsur eskatologis ajaran ini ada
pada saat kedatangan Kerajaan Allah. Kasih merupakan prinsip dasar dalam Kerajaan Allah. Hal ini secara tidak langstmg menyiratkan bahwa
ajaran etika kasih Yesus berada di bawah
konsep pertobatan sebagai persiapan datangnya Kerajaan Allah.
Kuasa dan kharisma Yesus tidak pernah datang dari
diri-Nya sendiri, tetapi sifat keilahian-Nya
sebagai anak Bapa. Dalam hidup-Nya di dunia ini, Yesus selalu memiliki dua disposisi batin, yakni sebagai manusia
yang hidup untuk Allah dan sebagai
Allah yang hidup dengan manusia. Iman dan kepercayaan yang diajarkan Yesus
mengundang keterlibatan manusia secara aktif dalam karya keselamatan Allah dengan gerakan rangkap, yaitu dari dunia kepada
Allah dan dari Allah kepada dunia. Oleh
karena itu umat Kristen selalu ditantang untuk meninggalkan segalanya demi Allah
dan terus-menerus diutus kembali ke dalam dunia untuk mengajarkan dan
mempraktekkan segala sesuatu yang telah diperintahkan kepada mereka[2].
b.
Perumusan Terminologi Kebudayaan
Setelah kita mencoba membuat
rumusan arti Kristus yang tidak memadai, sekarang kita beralih kepada tugas
mendefinisikan arti kebudayaan juga dalam cara yang sama tidak memadainya.
Perumusan arti kebudayaan sama sulitnya dengan perumusan arti Kristus, karena
dalam kebudayaan pun terdapat begitu banyak fenomen-fenomen
dan ekspresi kebudayaan. Kita tidak dapat merumuskan arti kebudayaan
dengan hanya meneliti sekelompok kecil organisasi sosial manusia dan
prestasinya. Dalam pembahasan ini perumusan kebudayaan tidak dipersempit dalam kebudayaan Indonesia , tetapi melihat
kebudayaan secara umum karena Kristus memang
akan berjumpa dengan banyak kebudayaan dari banyak tempat dan bukan dari
Indonesia
saja. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian kita tidak boleh hanya kebudayaan
dari suatu masyarakat tertentu saja.
Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi
kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang. Kebudayaan membuat manusia berbeda dengan binatang. Tidak seperti hewan, manusia tidak hidup begitu saja di
tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah
alam itu. Kebudayaan adalah jumlah keseluruhan dari semua yang timbul secara
spontan guna kemajuan kehidupan material dan sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual dan moral.
Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia
makan, berjalan, menghayati kematian, upacara-upacara yang dilakukan untuk
menyambutnya, kelahiran, seksualitas, cara mengolah
makanan, membuat pakaian, gerabah, cara menghias, merawat tubuh dan
rumahnya. Jadi sebenarnya, ruang lingkup kebudayaan sangat luas.
Kebudayaan adalah bidang dari yang
berbeda, bebas, tidak harus universal dan semua hal yang tak dapat menuntut
untuk dorongan kekuasaan[3].
Kebudayaan pada
satu jaman seringkali diteruskan pada generasi berikutnya. Namun, unsur tradisi
dalam kebudayaan bukanlah sesuatu yang tak
dapat diubah. Manusia selalu menanggapi
tradisi itu: entah menerimanya atau menolaknya atau mengubahnya. Dengan
demikian kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan. Tiap generasi
yang berbeda selalu memberi wujud baru pada kebudayaan yang sudah ada[4].
·
Kebudayaan
selalu terjalin dengan kehidupan manusia dalam masyarakat (bersifat kemasyarakatan)
·
Kebudayaan adalah hasil prestasi manusia
·
Kebudayaan mempunyai
tujuan akhir. Oleh karena itu dunia kebudayaan bisa juga disebut dunia
nilai-nilai.
Kebudayaan juga dipandang sebagai suatu proses
belajar. Dalam bidang kesenian manusia terus menerus mencari bentuk-bentuk
ekspresi baru. Dalam bidang religi pun manusia berusaha untuk menjawab dan menanggapi
kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda dan perbuatan yang terus
menerus diperbaharuinya. Seringkali proses
pencarian ini ditempuh dengan trial and error. Dengan metode ini manusia
dapat menjadi semakin bijaksana atau semakin bodoh. Kebudayaan sebagai proses belajar
tidak selalu menjamin kemajuan dan perbaikan yang sejati. Justru disinilah kebudayaan pun memerlukan "kriterium dan
evaluasi atas tujuannya" untuk mengukur perkembangannya.
c. Sintesa Kristus dan
Kebudayaan
Melalui misteri Inkarnasi Kristus masuk dalam
kehidupan manusia yang berbudaya.
Inkamasi merupakan sumber inspirasi bagi kekristenan untuk meneladan Allah yang mengosongkan diri dan mengambil rupa manusia agar dapat
tinggal bersama-sama dengan manusia untuk menyelamatkannya. Setelah Kristus
wafat kini ajaran-ajarannya telah melembaga
dalam diri Gereja dan tersebar di seluruh dunia yang memiliki berbagai
kebudayaan. Oleh karena itu, kekristenan selalu ditantang untuk dapat
menjelmakan diri dalam tiap kebudayaan lokal tanpa harus kehilangan keutuhan
iman kristen. Melalui penjabaran di atas kesatuan iman kristen terletak pada kehendak Allah untuk mendirikan Kerajaan Allah di
bumi. Melalui para nabi dan pada
puncaknya Yesus Kristus, Allah telah memberitakan rencana keselamatan ini. Yesus Kristus Sang Sabda menegaskan hukum utama
Kerajaan Allah, yakni cinta kasih
harus mulai dihayati oleh umat beriman sebagai pondasi Kerajaan Allah. Dimensi pertobatan mengikuti hukum ini karena dalam
pertobatan tampak secara nyata bahwa Kerajaan Allah mulai hadir dalam diri
orang beriman. Inilah sebuah simpulan yang tak memadai tentang Kristus
yang harus dibuat demi pertemuan Kristus dengan budaya.
Berkaitan dengan iman, kebudayaan tampil sebagai suatu usaha manusia
untuk menjawab dan menanggapi kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda
dan perbuatan yang terus menerus diperbaharuinya.
Kebudayaan adalah jumlah keseluruhan
dari semua yang timbul secara spontan guna kemajuan kehidupan material
dan sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual dan moral seseorang.
Kebudayaan bukanlah suatu tradisi yang tetap melainkan selalu berubah menurut
situasi jaman. Hanya saja tetap diperlukan “kriterium” dan “evaluasi” yang
kritis agar kebudayaan tidak semakin merosot.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa baik Kristus
maupun kebudayaan samasama memiliki
kepentingan untuk berubah demi kesesuaiannya dengan manusia tempat Kristus dan kebudayaan itu berada. Injil
Kristus perlu berubah ketika memasuki suatu kebudayaan baru dan
kebudayaan pun perlu berubah ketika manusiamanusia
di dalam kebudayaan itu sudah menjadi Kristen. Perubahan yang terjadi diharapkan
tidak mengubah inti kekristenan yang ingin melaksanakan kehendak Bapa untuk mendirikan Kerajaan Allah di bumi dengan
kasih dan pertobatan dan inti budaya
yang bersifat kemasyarakatan dan merupakan bentuk prestasi manusia yang sarat
dengan nilai-nilai 1uhur.
II. Perjumpaan Kristus dan Kebudayaan
Gereja mengalami masalah ketika berhadapan dengan
Inkulturasi. Gereja mendapat banyak
pengalaman ketika Kristus harus berjumpa dengan Kebudayaan yang beraneka ragam.
Niebuhr menyimpulkan bahwa Gereja memiliki jawaban-jawaban yang khas yang
digunakannya dalam lima
model pemecahan.
1) Kristus lawan Kebudayaan
Menurut pendapat Harnack, ada enam prinsip yang meringkas kepercayaan
orang-orang
Kristen
· Bangsa kita (Umat pilihan
Allah) lebih tua dari pada dunia
· Dania diciptakan demi
kepentingan kita (orang Kristen)
· Dunia dilanjutkan demi kepentingan kita ; kita memperlambat
hukuman atas dunia
· Segala sesuatu yang ada di
dalam dunia ini tunduk dan mengabdi kepada kita
· Semua yang ada di dalam dunia ini, permulaan dan perjalanan serta akhir
dari semua sejarah dinyatakan kepada kita dan jelas nyata bagi mata kita
· Kita akan mengambil bagian dalam penghukuman dunia dan kita sendiri akan menikmati
kebahagiaan abadi.
Kelemahan bentuk pemecahan masalah
ini adalah dengan model ini, Kristus menyatakan permusuhannya secara
terbuka dengan budaya atau alam. Hal ini mengandung konsekuensi
praktis dan teologis. Konsekuensi praktis yakni umat Allah secara
terbuka didorong untuk menjadi agen-agen penentang budayanya sendiri. Konsekuensi
teologisnya adalah tentang konsep Tritunggal. Allah Bapa adalah pencipta alam
beserta isinya. Budaya hidup dan tercipta dalam alam ciptaan Bapa. Kecurigaan
terhadap kebudayaan berarti kecurigaan terhadap Allahnya alam. Selain itu, Roh
Kudus sumber kebijaksanaan terperangkap dalam pribadi Kristus yang dijadikan sebagai satu-satunya
kebenaran.
2)
Kristus dari Kebudayaan
Dasar dari model pemecahan inkulturasi ini adalah
Kristus perlu ditafsirkan sepenuhnya dalam ukuran
budaya untuk meniadakan ketegangan dan perbedaan antara, Yesus dan kepercayaan sosial. Keburukan model ini
adalah kesetiaan terhadap kebudayaan terlalu tinggi dan bahkan
mengakibatkan kesetiaan kepada Kristus dapat digolongkan sama halnya dengan
berhala lain. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam perkembangan teologi Tritunggal. Perkembangan teologi Tritunggal dilihat
sebagai akibat dari pengenalan
filsafat budaya ke dalam iman kristen, bukan suatu konsekuensi dari
upaya orang beriman untuk memahami apa yang mereka percayai. Kalau seperti ini kebenaran Tritunggal menjadi relatif, maksudnya:
orang Kristen penggagum filsafat tidak
suka rumusan ini, orang gnostik merasa kurang dengan hanya konsep Tritunggal saja, orang liberal merasa tidak perlu memakai
konsep Tritunggal. Dengan demikian, bagi
kaum Gnostik Kristus menjadi semacam bunglon. Dengan penempelan kata Kristus
berarti menambah unsur illahi kepada gagasan-gagasan manusiawi.
3)
Kristus di atas Kebudayaan
Dasar dari model pemecahan ini adalah Yesus Kristus ialah Anak Allah.
Allah adalah yang menciptakan langit dan bumi. Allah adalah sang pencipta yang
menjadikan alam beserta segala isinya. Dalam
alam-lah semua kebudayaan didirikan dan ditata dengan baik olehNya.
Yesus taat dan disatukan dan tak perpisahkan oleh Dia. Duma sebagai kebudayaan tidak dapat dipandang sebagai dunia
yang tidak ber-Tuhan sebab sedikitnya
kebudayaan selalu dibangun di atas "dunia" sebagai alam, yang tidak
dapat ada kecuali ditopang oleh pencipta dan pemeliharan Alam, yang
denganNya Yesus mempunyai relasi erat dan
unik. Keburukan model ini adalah dalam kenyataannya bukan Kristus
sendirilah yang hadir. Kekuasaan Kristus sering hadir dalam lembaga-lembaga manusiawi yang bersifat sementara dan
diragukan, sehingga, yang terjadi malahan lembaga-lembaga manusiwai itu
bertindak bak Anak Allah.
4)
Kristus dan Kebudayaan
dalam Paradoks
Dasar model permecahan inkulturasi ini adalah bersumber dari pendapat
para dualis tentang perbedaan posisi kristus dan budaya yang harus sama-sama dihormati.
Masingmasing orang harus memiliki loyality
to Christ (kesetiaan kepada Kristus) dan responsibility for culture (tanggung
jawab kepada budaya) secara terpisah. Hal ini pernah tampak dalam sikap Marcion ketika ia ingin melepaskan iman Kristen
dari kebudayaan Yahudi. Oleh karena
itu ia hanya mengakui kitab-kitab yang berbahasa Ibrani. Di sini tampak bahwa ia sangat mencintai Kristus, tapi tidak
mencintai Kristus yang hidup sebagai orang Yahudi. Keburukan dari model
ini adalah sifatnya yang kadang-kadang konservatif terhadap budaya. Paulus pun
pernah jatuh dalam model ini. Ia menginginkan perubahan bentuk-bentuk kebiasaan
beragama tetapi membiarkan kehidupan ekonomi negara dengan perbudakan. Ia
menasihati supaya suami, istri, anak harus saling
mengasihi dalam Kristus tapi membiarkan budaya patriarkal.
5) Kristus
Pembaharu Budaya
Dasar dari model pemecahan inkulturasi ini adalah
Kristus yang bangkit dengan mulia berhak
membaharui kebudayaan kafir agar orang diselamatkan-Nya. Keburukan dari model
ini adalah mencabut kebudayaan dari akamya.
Kesimpulan sementara yang dapat
kita ambil dari uraian di atas adalah bahwa model-model pemecahan inkulturasi
ini masih belum memadai untuk jaman sekarang. Mengapa belum memadai? Karena cenderung
mengalahkan salah satu. Kenyataan yang terjadi adalah sering budaya yang
dikalahkan dengan memenangkan agama dengan alasan terakhir bahwa agama itu
berasal dari Tuhan. Namun, sebenarnya agama, kristen itu pada awalnya pun juga budaya (Yahudi-Yunani) yang sudah dipermak
sedemikian rupa sehingga menjadi agama seperti
sekarang ini. Coba jika budaya yang dikalahkan itu juga mendapat permak dengan porsi yang sama, dimungkinkan budaya yang
merupakan kearifan lokal itu pun juga bisa menjadi agama dan tentunya juga
berasal dari Tuhan. Padahal kebenaran argumentasi ini masih bisa
dipertanyakan lebih lanjut.
IIL Nilai dan Prinsip baru dalam Berinkulturasi
Konsili Vatikan II dan
perkembangan ilmu pengetahuan menyumbangkan banyak masukan dan
pertimbangan bagi Gereja dalam menghadapi proses inkulturasi. Ada dua macam
sumbangan besar yang diterima Gereja, yakni berupa nilai-nilai dari situasi
aktual dunia
saat ini dan metode serta prinsip inkulturasi yang baru. Dalam. berinkulturasi,
Gereja merasakan perkembangan dalam pemahamannya akan situasi aktul dunia saat
ini. Untuk itu, beberapa nilai muncul secara menonjol sebagai pertimbangan yang
cukup, penting dalam berinkulturasi. Nilai-nilai itu adalah :
1. Penghargaan akan Budaya dan Kearifan Lokal
Redemtoris Missio yang diterbitkan
oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 7 Desember 1990
dalam. artikel 52-54 menegaskan kemendesakkan Gereja untuk menjelmakan Injil dalain
kebudayaan para. bangsa. Gereja menyadari bahwa proses merasuknya Gereja ke
dalam kebudayaan para bangsa adalah suatu proses yang panjang. Proses ini bukan sekadar soal adaptasi luaran
semata-mata, sebab inkulturasi berarti suatu
transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi
mereka ke dalam Kekristenan dan meresapnya Kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia. Maka, proses ini adalah
proses yang mendalam dan menyeluruh
yang mencakup, pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek Gereja universal
yang diperkaya dengan bentuk-bentuk ungkapan dan mlai-nilai dari Gereja-gereja
lokal. Oleh karna itu, inkulturasi harus melibatkan seluruh umat Allah dan
bukan sedikit orang ahli saja.
2. Nilai Kemanusiaan yang dipromosikan lebih dari hukum manusiawi
Dengan perspektif humanitasnya, Gereja menjadi sadar akan tugasnya untuk
membela nilai-nilai kemanusiaan. Adanya sekian banyak nilai budaya suku-suku
maupun bangsa-bangsa membuat pewartaan iman
semakin rumit. Pewartaan iman akan berhadapan dengan banyak sekali yang
harus diperhatikan. Oleh karena itu nilai-nilai kemanusiaan hendaklah menjadi dasar yang tepat bagi misiologi.
Dalam nilai kemanusiaan sekian banyak
nilai suku dapat diintegrasikan satu sama, lain karena sifatnya yang universal.
Nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, perdamaian, pengampunan, kesabaran,
kesetiaan, kerendahan hati, ketaatan, hormat, cinta kasih, dsb memang memiliki cakupan yang universal. Dengan
mengangkat nilai-nilai itu, Gereja akan
lebih diterima di semua. kalangan. Bagi Gereja sendiri martabat manusia lebih tinggi derajatnya dari pada hukum manusiawi
manapun, sehingga tiap-tiap bentuk kebudayaan yang mempromosikan
martabat manusia sudah selayaknya didukung Gereja.
3.
Habitus Multikultural[5]
Dalam era globalisasi ini Gereja menjadi sadar bahwa
dirinya diutus ke tengah-tengah umat
manusia yang tidak hanya memiliki satu budaya melainkan sudah tercampur banyak budaya lainnya karena alat transportasi mudah
memungkinkan manusia untuk tinggal
di berbagai tempat dan berinteraksi dengan manusia yang memiliki kultur lain. Kesadaran ini membuat Gereja harus memikirkan secara
serius bentuk-bentuk inkulturasi yang tepat
bagi mereka.
4.
Promosi Budaya
Kehidupan[6]
Setiap budaya mengandung dua dimensi yang berlainan
yakni dimensi positif dan negatif Dimensi negatif
dalam budaya oleh Paus Yohanes Paulus II dinamakan budaya kematian dan sebaliknya budaya positif dinamakan
budaya kehidupan. Paus Yohanes Paulus
II mengawali gerakan untuk menghindari tindakan yang mendatangkan kematian dan
penuh dedikasi untuk menyelamatkan kehidupan, terutama bagi mereka yang lemah. Dengan demikian, Gereja harus selalu memikirkan
bentuk inkulturasi yang mendatangkan kehidupan bagi budaya setempat.
Selain nilai-nilai di atas, perkembangan ilmu
pengetahuan juga mendorong para teolog dan kaum awam untuk menyumbangkan pemikiran mereka.
Akhirnya, muncullah beberapa prinsip dalam berinkulturasi
yang sangat berguna bagi gereja dalam proses perjumpaannya dengan
kebudayaan-kebudayaan lokal. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Prinsip kontinuitas dan diskontinuitas
Yang dimaksud dengan kontinuitas adalah sikap hormat dan
upaya untuk memajukan unsur-unsur tradisi
lokal, sedangkan diskontinuitas adalah segala upaya misioner untuk
mempromosikan altematif-alternatif sebagai ganti nilai-nilai tradisional[7].
2. Kesetiaan Rangkap
Artinya, pertama Gereja setia kepada
kebenaran-kebenaran alkitabiah dan kedua, setia kepada keselamatan umat manusia dalam konteks kultural konkret[8]. Selain itu prinsip koheren dan komprehensif juga menjadi dasar
kesetiaan rangkap ini. Dalam berinkulturasi
ada dua sumber utama yang digunakan, yakni: Iman Katolik dan Budaya setempat. Prinsip koherensi menekankan bahwa
apa yang dikatakan mengenai Yesus harus berdasar pada kedua sumber
tersebut. Prinsip komprehensif menekankan
bahwa sebelum dibuat satu korelasi timbal balik secara kritis di antara kedua
sumber, masing-masing sumber harus didalami secara komprehensif.[9]
3. Cocok dan bisa dimengerti
Cocok juga berarti tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Untuk dapat mengetahui cocok tidaknya orang harus
mempunyai familiaritas baik dengan ajaran kekristenan maupun budaya setempat.
4. Evaluasi Inventifitas dalam
kebudayaan
Inventifitas adalah kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai perombakan dalam pandangan,
tidak memusnahkan sesuatu melainkan untuk mencapai suatu pembaharuan yang menyelamatkan. Inventifitas berarti kaya akal, cerdas,
yang dapat memuncak menjadi kreativitas[10]. Inventifitas dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
a.
Menggali kaidah-kaidah lama dan mempersoalkannya. Namun,
kaidah lama tidak disingkirkan sama sekali.
b.
Memadukan dua hal yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu
yang baru.
5. Prinsip
Inkulturasi Amalados
Amalados
seorang teolog dan analis budaya mengembangkan sebuah prinsip dalam berinkulturasi.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Prinsip pertama Inkulturasi adalah
kebebasan yang dewasa dalam roh. Amalados
menekankan sikap ini di awal untuk menghindari sikap takut mengambil
resiko/takut salah yang menghalangi kreativitas berinkulturasi. Prinsip ini punya nuansa
yang cukup berbeda dengan prinsip yang menekankan persetujuan uskup/otoritas
setempat terlebih dahulu dan kesesuaian dengan gereja universal. Walaupun kedua
hal itu penting dan perlu secara mutlak, penekanan yang terlalu banyak akan
mengakibatkan ketakutan untuk berinkulturasi. Amalados berpandangan bahwa Uskup
seharusnya berperan menciptakan suasana yang kondusif agar tercipta kebebasan
berkreasi ini.
b. Prinsip kedua adalah menerima pluralitas. Menurut Amalados, keseragaman (uniformitas)
adalah cara murahan untuk mencapai kesatuan (unitas). Injil itu sangat
kaya sehingga perlu digali dan diekspresikan terus dalam berbagai macam bentuk.
Memang pluralisme kerapkali menimbulkan banyak ketegangan. Namun, ketegangan dapat menjadi sumber pertumbuhan jika
dipertemukan dengan kebebasan berkreasi.
c. Prinsip ketiga ialah kesiapsediaan mati
untuk bangkit lagi. Prinsip
ini merupakan elemen pertumbuhan yang
tidak tergantikan. Tanpa kematian Gereja akan
tetap berjalan di tempat. Kematian berarti penyerahan diri secara konkret. Injil
yang diwujudkan dalam tradisi-tradisi, para misionaris dengan berbagai latar
belakang budayanya harus rela mati (menanggalkan semua itu) demi munculnya
sebuah kreasi baru.
d.
Prinsip keempat menjawab pertanyaan, "Lalu kalau semua mati, dengan apa kita
mengukur kebenaran iman kita?". Rasa keimanan (sense of faith/senses fidei) kitalah yang harus menjadi
tolak ukur kehidupan kristiani. Rasa ini harus terus membimbing proses menafsirulang
makna injil, mengevaluasi kegiatan-kegiatan kreasi
baru, memastikan tidak adanya penyalahgunaan dan mengutamakan kesatuan.
e.
Prinsip-prinsip budaya baru yakni: budaya
kasih, perlunya menggali kearifan lokal, nilai solidaritas,
mengutamakan yang miskin dan pembelaan martabat pnbadi.
IV. Bentuk dan Contoh Inkulturasi
yang Dapat Dilakukan
Dalam bagian ini kami akan
mencoba menyajikan beberapa bentuk dan contoh Inkulturasi yang
dilakukan dengan nilai dan metode baru di atas. Bentuk-bentuk Inkulturasi yang mungkin
dilakukan adalah:
1. Membuat
Kristologi Lokal
Kristologi lokal adalah suatu
"pembicaraan mengenai Yesus Kristus untuk menjawab
persoalan-persoalan Gereja lokal berdasarkan Tradisi Kristen". Tujuan
dibentuknya Kristologi lokal adalah memberi makna lokal kepada iman Kristen agar
semakin berakar dan dipahami oleh Gereja lokal. Kristologi Kristen pada mulanya
adalah kristologi barat yang dibawa oleh para misionaris. Kristologi yang sudah
terbentuk itu adalah refleksi iman yang didasari oleh kebudayaan barat.
Kristologi barat itulah yang diajarkan kepada Gereja misi. Pengajaran seperti
itu memang baik pada awalnya, sebab pengajaran
yang diberikan adalah baru. Namun untuk jaman sekarang Gereja misi sudah
berubah menjadi Gereja Lokal, maka
pengajaran kristologi yang dari barat mungkin sudah tidak cukup relevan untuk dihayati. Jaman sekarang diperlukan suatu
refleksi kristologi yang baru dengan berdasarkan budaya serta tradisi
setempat atau lokal. Menyusun kristologi lokal sangat dibutuhkan untuk menjawab
tantangan-tantangan dalam pewartaan di
Gereja lokal. Sebuah contoh yang cukup sukses dalam menysusun Kristologi lokal adalah pemikiran J.B.
Banawiratma dalam bukunya yang berjudul Yesus Sang Guru.
Dalam kebudayaan Jawa dikenal
adanya pepatah manunggaling kawula Gusti. Makna dari pepatah
klasik tersebut adalah tujuan manusia hidup di dunia ini adalah mencapai
kesempurnaan, yaitu bersatu dengan Tuhan. Untuk bisa mencapai kesempurnaan
tersebut, dalam konsep orang jawa mereka harus berguru.
Guru adalah sarana atau jalan untuk mencapai kesempurnaan, bersatu dengan
Tuhan. Orang harus tepat dalam memilih guru. Guru tersebut adalah
guru yang dianggap sungguh-sungguh merniliki ilmu dan kawruh (pengetahuan).
Untuk itu, muncul suatu pertanyaan besar yaitu siapa guru saya?
Dalam buku Yesus Sang Guru ini, penulis menerangi konsep Guru dalam masyarakat
Jawa dengan
terang Injil, terlebih Injil Yohanes. Siapa guru saya? Guru saya adalah Yesus.
Injil Yohanes menonjolkan peran Yesus
sebagai guru. Yesus adalah mesias pengantara manusia kepada Bapa. Bersatu dengan Bapa adalah harapan umat
Kristen dan itu menjadi lambang kesempurnaan hidup umat Kristen. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut
diperlukan menjalin hubungan dengan Yesus yang menjadi guru. Hubungan
tersebut adalah persatuan dengan Yesus dalam iman dan kepercayaan.
2. Membaptis
Ritual Lokal
Matteo Ricci adalah contoh yang
baik untuk menggambarkan hal ini. Ada
3 fokus perhatian Ricci:[11]
a.
la mengadopsi gelar Lord of Heaven bagi masyarakat Cina yang
bisa mengarah pada ilah mana saja sebagai sebutan bagi Allah orang Kristen.
b.
Pengaruh konfusius yang cukup besar bagi rakyat Cina
membuatnya tergerak untuk melanjutkan tradisi penghormatan kepada Konfusius
secara periodik walaupun Konfusius bukanlah tokoh gereja.
c.
Penghormatan kepada arwah leluhur yang
ditandai dengan upacara sembah sujud. Walaupun awalnya Paus
Clemens IX dan Benediktus XIV mengutuk praktik itu, 250 tahun kemudian Pius XII merestorasi karya Inkulturasi
Ricci tersebut.
3. Lokalisasi
simbol-simbol peribadatan
Jika kita melihat interior hiasan,
patung dan model bangunan gereja-gereja di Indonesia , hampir semua
masih berkiblat pada Eropa. Patung Maria dan Yesus selalu mengambil model orang
Eropa. Beberapa kalangan saat ini mulai berani mengeksplorasi hal ini dengan
menampilkan sosok Maria sebagai wanita jawa berkulit coklat berbusana
kebaya seperti wanita jawa pada umumnya, bentuk gereja
seperti pendhopo, dsb. Hal ini baik dilakukan untuk membantu penghayatan iman umat.
Namun, memerlukan katekese yang cukup terlebih dahulu agar proses ini tidak
mengagetkan umat.
Demikian pembahasan kami mengenai
perjumpaan Kristus dengan Kebudayaarn. Semoga Gereja Universal
benar-benar menjadi persekutuan Gereja-Gereja di seluruh dunia dan bukannya
Gereja Eropa yang ada di banyak tempat di dunia.
Daftar Pustaka
Hardjosoetiko,Fransiskus,”Teologi
Inkulturasi”(Malang :
STFT Widya Sasana,2009),hlm. 8.(diktat)
H. Richard
Nierbuhr,Kristus dan Kebudayaan (judul
asli: Christ and Culture),
diterjemahkan oleh Yayasan Satya Karya (Jakarta :Petra
Jaya,[tanpa tahun]), hlm. 22.
Tiga
paragraf terakhir merupakan parafrasa dari Dr. C.A. Van Peursen, Strategi
Kebudayaan (judul asli: Cultuur In
Stroomversnelling-een geheel bewerkte uitgave van-Strategie Van De Cultuur,
Elsevier), diterjemahkan oleh Dick Hartono (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1976), hlm.10-12.
William
Chang,”Perilaku Multikultural Sebagai Habitus”, dalam Mgr. John Liku Ada, Pr
(ed.), Dialog Antara Iman Dan Budaya
(Jakarta: Komisi Teologi KWI,2006),hlm. 175.
Piet Go, O
Carm,”Menumbuhkembangkan Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian Dalam
Pastoral”, dalam Mgr. Liku Ada, Pr (ed.), Dialog
Antara Iman Dan Budaya (Jakarta: Komisi Teologi KWI,2006),hlm. 207
Raymundus
Sudhiarsa,”Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja”, dalam Mgr. Liku Ada, Pr
(ed.), Dialog Antara Iman Dan Budaya (Jakarta:
Komisi Teologi KWI,2006),hlm. 140.
Yoseph Suban
Hayon, SVD,”Membuat Kristologi Lokal Metode dan Kriteria Evaluasi”, dalam Spektrum Vol. XXXIV no. 3-4 (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,2006),hlm. 58.
[1] H. Richard Nierbuhr,Kristus
dan Kebudayaan (judul asli: Christ
and Culture), diterjemahkan oleh Yayasan Satya Karya (Jakarta :Petra Jaya,[tanpa tahun]), hlm. 22.
[2] Ibid.,hlm. 34.
[3] Ibid.,hlm. 36.
[4] Tiga paragraf terakhir merupakan parafrasa dari Dr. C.A. Van
Peursen, Strategi Kebudayaan (judul asli: Cultuur
In Stroomversnelling-een geheel bewerkte uitgave van-Strategie Van De Cultuur,
Elsevier), diterjemahkan oleh Dick Hartono (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1976), hlm.10-12.
[5] William Chang,”Perilaku Multikultural Sebagai Habitus”, dalam Mgr.
John Liku Ada, Pr (ed.), Dialog Antara
Iman Dan Budaya (Jakarta: Komisi Teologi KWI,2006),hlm. 175.
[6] Piet Go, O Carm,”Menumbuhkembangkan Budaya Kehidupan Versus Budaya
Kematian Dalam Pastoral”, dalam Mgr. Liku Ada, Pr (ed.), Dialog Antara Iman Dan Budaya (Jakarta: Komisi Teologi
KWI,2006),hlm. 207.
[7] Raymundus Sudhiarsa,”Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja”, dalam
Mgr. Liku Ada, Pr (ed.), Dialog Antara
Iman Dan Budaya (Jakarta: Komisi Teologi KWI,2006),hlm. 140.
[8] Ibid.,hlm. 152.
[9] Yoseph Suban Hayon, SVD,”Membuat Kristologi Lokal Metode dan
Kriteria Evaluasi”, dalam Spektrum Vol.
XXXIV no. 3-4 (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,2006),hlm.
58.
[10] Prof. Dr. C.A. Van Peursen, op.cit.,hlm.
151.
[11] Fransiskus Hardjosoetiko,”Teologi Inkulturasi”(Malang : STFT Widya Sasana,2009),hlm.
8.(diktat)
No comments:
Post a Comment