Friday, November 19, 2010

Keadilan dan Kedamaian Pain di mata Para Filsuf Modern

PENGANTAR

Latar belakang

Dalam tiga-empat tahun belakangan ini ada beberapa fenomena menarik yang dapat diamati ketika berjalan-jalan ke sebuah toko buku umum, mis: Gramedia, Gunung Agung, dsb. Pertama, jika mau mengamati secara teliti, kita akan menjumpai bahwa jumlah rak buku-buku bertema kekeristenan semakin hari semakin berkurang dan sebaliknya rak yang men-display buku-buku komik bertambah demikian banyak. Kedua, dulu komik selalu ditaruh bersama dengan buku-buku anak-anak yang lain dan diberi kategori “child book”, tetapi sekarang di beberapa toko buku komik dipisahkan dari buku-buku anak yang lain dan diberi kategori baru “komik”. Fenomena kecil ini mau menunjukkan adanya perkembangan minat pembaca komik. Sekarang, komik tidak hanya menyasar pembaca segmen anak-anak saja, tetapi bahkan untuk pembaca di semua segmen usia. Fenomena ini akan diperkuat jika kita melihat media informasi yang banyak beredar. Jawa Post, sebagai contoh koran populer, pada hari-hari tertentu ikut menambah rubrik Anime dan Manga bagi para pembacanya. Di internet, ada jutaan situs yang dibuat untuk para penggemar komik dan hit rate situs-situs ini cukup tinggi bahkan bila dibandingkan dengan situs-situs pendidikan.

Karya tulis ini muncul dari keinginan penulis untuk memaparkan pergeseran isi yang terjadi dalam komik. Komik bukan lagi hanya berisi fantasi atau imajinasi yang muluk-muluk/fiktif, tetapi berisi juga soal kehidupan, misalnya: pertemanan, harapan, dan bahkan soal kebenaran dan keadilan. Komik dapat menjadi sarana komunikasi ideologi pengarangnya. Akan muncul bahaya besar jika hal ini tidak disadari. Komik yang sedang mem-booming ini dibaca oleh jutaan orang di segala umur dan di seluruh dunia. Padahalnya, buku-buku yang dibaca oleh seseorang dapat secara konkret mempengaruhi cara pikir dan bertindak seseorang. Komik yang terjual berjuta-juta eksemplar di seluruh dunia ini pasti mempengaruhi jutaan pembaca pula.

Untuk tujuan itu, dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk mengeksplorasi dan mensistematisasi kajian-kajian filosofis dalam komik naruto. Mengapa penulis memilih Naruto? Dalam situs-situs penyedia komik online, komik Naruto selalu berada dalam peringkat tiga besar tertinggi untuk kategori komik yang diminati.

Sistematika penulisan

Meniru metodologi eksegese kitab suci, pertama-tama penulis ingin mengajak pembaca untuk “mencicipi” komik. Masalah yang timbul adalah bahwa tulisan ini harus ilmiah, karena dikerjakan sebagai pengganti Ujian Tengah Semester Mata kuliah Filsafat Modern. Untuk itu, penulis berusaha sebisa mungkin mentransfer komik menjadi sebuah tulisan yang sistematis. Tidak dapat ditolak bahwa usaha ini sedikit banyak mengurangi sentuhan khas komik. Setelah itu penulis baru mengkonfrontasikan pemikiran filosofis dalam komik dengan pemikiran para filsuf modern. Adapun filsuf modern yang digunakan penulis untuk menganalisis terbatas pada pemikiran Thomas Hobbes, John Locke dan Jean-Jacques Rousseau. Penulis memilih ketiga filsuf ini karena memiliki pemikiran tentang state of nature, negara dan masyarakat yang berbeda-beda.

KISAH PAIN DALAM KOMIK NARUTO

Latar belakang cerita ini adalah suatu negara ninja yang bernama Konoha. Suatu hari, Negara Konoha yang makmur, aman dan tenteram disusupi oleh seorang ninja berkekuatan besar bernama Pain. Pain sendiri berasal dari Negara Amegakure, sebuah negara ninja miskin yang berbatasan dengan Konoha. Kedatangan Pain ke Konoha rupanya mempunyai tujuan untuk membalas dendam kepada Konoha. Untuk itu, dia menggunakan kekuatannya yang luar biasa untuk mengobrak-abrik Konoha. Dengan tindakannya itu, Pain telah membunuh banyak sekali penduduk Konoha.

Naruto, yang baru kembali dari masa latihannya, segera bertarung dengan Pain untuk membela negaranya. Dalam pertarungan itulah dialog ini muncul dari kedua tokoh utama:

Pain : … Tujuanku ialah membawa kedamaian lewat keadilan…

Naruto : (sambil berteriak)… JANGAN BERCANDA! Kedamaian? Keadilan? Guruku… teman-temanku… negaraku… KAU YANG SUDAH MENGHANCURKAN SEMUANYA, JANGAN SESUMBAR DENGAN OMONG KOSONG KONYOL BEGITU!!!

Pain : (memandang dengan mata menantang pada naruto) Lalu, apa yang akan kau lakukan?

Naruto : (sambil berteriak)… AKU AKAN MENGALAHKANMU DEMI MEMBAWA KEADILAN DALAM DUNIA NINJA!!!”

Pain : (menghembuskan napas dalam-dalam…dan mencibir) “Hm… Luar biasa! Jadi inilah keadilan. Lalu bagimana dengan desa, guru dan teman-temanku? Mereka juga telah dihancurkan oleh negara Konoha. Apakah kau pikir hanya ninja konoha saja yang berhak berkata tentang keadilan dan kebenaran?”

Naruto : (bertanya-tanya)… Apa maksudmu?

Pain : Negara Konoha sudah terlalu besar. Dari situlah konoha mulai berperang demi mendapatkan keuntungan dan melindungi kepentingan negara. Kalau tidak, rakyatnya akan kelaparan… Tetapi, yang tidak disadari adalah bahwa negara kecil, seperti negarakulah, yang selalu menjadi medan peperangan. Justru negara kecil seperti negaraku inilah yang mengalami dampak paling merugikan dari peperangan negara-negara besar di sekitar kami. Setelah perang berakhir negara besar kembali stabil, namun dengan meninggalkan luka yang dalam pada negara kami. Kami juga menginginkan hal yang sama. Kami juga menginginkan kedamaian.

Naruto : (berpikir dalam)….

Pain : (melihat pada Naruto yang terpaku terdiam)… Kau dan Aku berbeda. Kita berdua sama-sama bekerja demi keadilan kita masing-masing. Konsep keadilan yang kuhadapkan pada Konoha…. sama dengan yang ingin kauhadapkan padaku. Penderitaan karena kehilangan apa yang berharga itu sama bagi semua orang. Kita sama-sama merasakan penderitaan. Kau mengejar keadilanmu….dan aku mengejar keadilanku. Kita seperti orang pada umumnya yang sama-sama digerakkan oleh keinginan untuk balas dendam atas nama keadilan. Tetapi, jika balas dendam disebut sebagai keadilan, maka keadilan yang demikian hanya akan menghasilkan balas dendam-balas dendam yang lain…. Lalu akhirnya menjadi rantai kebencian (chain of hatred) yang tak terputuskan. Dengan mengalami berbagai kejadian, mengenang masa lalu, dan memprediksi masa depan… Hanya ada satu hal yang pasti dalam sejarah… Bahwa manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah saling memahami.

Naruto : (dengan mata yang sedih)…

Pain : Satu-satunya hal yang dapat memutuskan rantai kebencian tersebut adalah membuat dunia merasakan penderitaan yang sesungguhnya. Aku akan membuat senjata hebat yang mampu menghancurkan sebuah negara besar dalam sekejab. Lantas, aku akan membagikan senjata tersebut kepada negara-negara yang sedang berseteru. Karena mempunyai kekuatan dan kekuatiran yang sama, negara-negara itu pasti akan menghentikan peperangannya. Rasa takut akan penderitaan itu akan menghentikan peperangan dan menstabilkan dunia menuju kedamaian. Rasa takut itu akan mampu melahirkan pengendalian diri. Ketika semua negara sudah bisa mengendalikan dirinya, kedamaian yang singkat akan terwujud... Walaupun singkat, kedamaian yang tercipta di tengah arus kebencian tanpa akhir akan membahagiakan semua orang... Manusia itu bodoh. Kalau tidak berbuat sejauh itu, kedamaian tidak akan tercipta. Penderitaan harus diajarkan demi perkembangan dunia….


KEADILAN DAN KEDAMAIAN MENURUT PAIN

Dalam bagian ini penulis berusaha untuk mensistematisasi pemikiran Pain dengan bahasa penulis sendiri. Sebagian besar pemikiran Pain penulis ambil dari kisah Pain dalam komik Naruto bab 436, tetapi ada beberapa detail kecil lain yang penulis ambil dari bab yang lain.

State of nature menurut Pain

Pain berangkat dari pandangan state of nature-nya bahwa manusia adalah makhluk yang bodoh dan tidak akan pernah saling memahami. Karena keadaannya yang demikian manusia selalu egois dan lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya meluas dan bersatu menjadi kebutuhan Negara. Negara, yang terdiri dari individu-individu, juga berjuang demi terciptanya masyarakat ideal (semacam bonum commune atau societas perfecta) bagi dirinya sendiri. Dalam kenyataannya, bonum commune itu bisa berwujud kemakmuran, stabilitas ekonomi, stabilitas keamanan, pembangunan nasional, perkembangan teknologi, dan kesejahteraan umum. Terpenuhinya kebutuhan diri dan terwujudnya bonum commune itulah yang dinamakan Kedamaian.

Problem Kedamaian menurut Pain

Terwujudnya kedamaian yang seperti ini menjadi masalah ketika bangsa yang satu harus berhadapan dengan bangsa yang lain dan individu yang satu harus berhadapan dengan individu yang lain ketika sama-sama memperjuangkan kedamaian. Problem ini terjadi karena kedamaian sungguh-sungguh baru bisa terwujud melalui terpenuhinya kebutuhan diri dan terwujudnya bonum commune. Terpenuhinya kebutuhan hidup satu individu berarti hilangnya satu kesempatan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi individu yang lain. Kedamaian satu individu menimbulkan penderitaan bagi individu yang lain. Sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup yang terbatas menjadikan individu-individu harus berlomba-lomba untuk sesegera mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karena menjadi arus dan kecenderungan bersama, perlombaan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini mendapatkan legalisasinya. Sayangnya, usaha untuk memenangkan perlombaan ini menjadi tak terkendali. Banyak individu dan negara ingin ambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan berperang dan menaklukkan negara yang lain. Dari peperangan ini muncul pembedaan negara besar dan kecil. Negara-negara besar adalah negara-negara yang kerapkali memenangkan peperangan dan dengan demikian menguasai semakin banyak sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Sebaliknya, negara-negara kecil adalah negara yang kerapkali kalah dalam peperangan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya dirampas oleh negara-negara besar.

Membawa Kedamaian lewat Keadilan

Dari alur pemikiran di atas, pantaslah jika pada suatu waktu timbul perlawanan dari negara-negara kecil yang tidak mau terus menerus berada di bawah negara-negara besar. Desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mendorong negara-negara kecil berani untuk melawan negara-negara besar. Salah satu cara perlawanan yang bisa dilakukan adalah dengan menghancurkan negara-negara besar dan ganti merampas sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Apakah tindakan negara kecil ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang mengacaukan perdamaian? Jika yang dimaksud adalah kedamaian negara besar, maka jawabannya adalah “Ya”. Tindakan negara-negara kecil ini mau tidak mau akan melukai stabilitas bonum commune negara besar tersebut. Tindakan negara kecil ini sungguh melukai kedamaian negara besar. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata negara-negara kecil tersebut, tindakan ini merupakan perjuangan untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan mereka yang sebelumnya telah terampas oleh negara-negara besar.

Konsekuensi Logis dari Pemikiran Pain (hasil pikiran penulis lebih lanjut)

Lantas, apakah masih ada lakon yang dapat disebut sebagai lakon protagonis (tokoh baik) dan lakon antagonis (tokoh jahat)? Tampaknya, pelabelan seorang lakon sebagai lakon protagonis atau antagonis menjadi begitu relatif dan naif. Sebagian besar sinetron, film, cerita, dan pertunjukkan-pertunjukkan menampilkan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Kerapkali dalam cerita itu Sang Penegak Kebaikan berjuang untuk menumpas Kejahatan. Berhenti pada kata “menumpas”, kita lalu dapat bertanya, “Apa bedanya antara tokoh baik dan tokoh jahat jika kedua-duanya sama-sama melakukan kegiatan ‘menumpas’?” Lakon protagonis biasanya menegakkan keadilan dan perdamaian dengan menggulingkan dan bahkan membunuh habis rezim/tokoh antagonis yang menindas kaum lemah. Anehnya, kematian dan pembunuhan tokoh antagonis tidak pernah dihubung-hubungkan dengan dosa/kejahatan, tetapi justru sebagai momentum tumbuh dan tegaknya keadilan dan kedamaian. Bagaimana mungkin kedamaian dapat diidentikkan dengan kematian seorang manusia/ kekalahan satu pihak? Namun, selama ini kita juga termasuk dalam golongan orang-orang yang bersorak gembira ketika Batman, Superman, dan superhero lainnya berhasil menumpas “tokoh jahat” di akhir cerita.

Kedamaian sejati yang singkat

Kedamaian dan kesengsaraan bagai dua sisi pada sekeping mata uang. Kedamaian satu pihak senantiasa terwujud dengan membawa kesengsaraan bagi pihak yang lain. Oleh karena itu, banyak negara kecil digerakkan untuk melawan pihak yang mengalami damai (negara besar) dengan mengatasnamakan keadilan. Keadilan bagi negara kecil adalah balas dendam karena kedamaian negara besar senantiasa didirikan di atas penderitaan mereka. Tetapi, jika balas dendam disebut sebagai keadilan, maka keadilan yang demikian hanya akan menghasilkan balas dendam-balas dendam yang lain. Lalu, pada akhirnya menjadi rantai kebencian (chain of hatred) yang tak terputuskan karena negara besar juga pasti akan ganti membalas tindakan negara kecil yang menciderai kedamaiannya. Menurut Pain, satu-satunya hal yang dapat memutuskan rantai kebencian tersebut adalah membuat dunia merasakan penderitaan yang sesungguhnya. Dengan membuat senjata penghancur dan membagi-bagikannya pada negara yang sedang berseteru Pain ingin menghancurkan kategori negara besar dan negara kecil. Karena mempunyai kekuatan dan kekuatiran yang sama, negara-negara itu pasti akan menghentikan peperangannya. Rasa takut akan penderitaan itu akan menghentikan peperangan dan menstabilkan dunia menuju kedamaian. Rasa takut itu akan mampu melahirkan pengendalian diri. Ketika semua negara sudah bisa mengendalikan dirinya, kedamaian yang singkat akan terwujud. Walaupun singkat, kedamaian yang tercipta di tengah arus kebencian tanpa akhir akan membahagiakan semua orang.

KEADILAN DAN KEDAMAIAN PAIN DI MATA PARA FILSUF MODERN

Konfrontasi Pemikiran Pain dan Para Filsuf Modern

Mengikuti konsep Keadilan dan Kedamaian menurut Pain di atas, pertama-tama dapat disimpulkan bahwa Pain memiliki state of nature yang hampir mirip dengan Hobbes. Hobbes juga setuju bila dikatakan bahwa penentu perilaku manusia adalah kebutuhannya untuk mempertahankan diri. Manusia bergerak dan beraktivitas karena didorong oleh kebutuhannya untuk mempertahankan diri (natural necessity of Self-preservation) dan menghindari kematian akibat dari tidak dipenuhinya kebutuhan hidup. Oleh karena itu, manusia pada dasarnya mau mengusai yang lain untuk memperebutkan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Mau tidak mau manusia satu berperang dengan manusia yang lain karena siapa yang menang itulah yang akan hidup. Dalam perang itu, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). State of nature yang demikian sungguh bertolak belakang dengan state of nature Locke dan Rousseau yang secara umum mau mengatakan bahwa manusia pada dasarnya itu baik. Namun, Locke juga melihat fenomena yang sama pada perkembangan masyarakat yang selanjutnya dalam pemikirannya tentang state of war. Dalam state of war-nya Locke juga melihat bahwa manusia mulai bersikap serakah dan hendak menimbun uang yang dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya. Demi mempertahankan dan mengakumulasikan harta miliknya, manusia yang satu berhadapan dengan yang lain dengan sikap penuh curiga, iri, saling bersaing dan bermusuhan. Dalam pemikirannya tentang Commonwealth, Locke juga menjelaskan mengapa individu-individu yang saling bersaing tadi akhirnya mau bersatu dalam satu negara. Hanya demi tujuan agar hak atas harta pribadinya terjamin dan semakin mudah memenuhi kebutuhan hiduplah individu mau meninggalkan kebebasan mereka dan bersatu membentuk negara. Karena negara dibentuk atas motivasi yang demikian dari tiap anggotanya, maka mau tidak mau negara pun berjuang agar masing-masing individu tercukupi kebutuhannya, sehingga tetap patuh pada pemerintah negara tersebut. Semakin banyak rakyat yang harus dipenuhi kebutuhannya, maka semakin banyak pula usaha yang harus dilakukan oleh negara. Rousseau menambahkan bahwa rakyat mau mengesampingkan kehendak individunya demi kehendak umum (volunté generalé) karena tahu bahwa kehendak umum yang diusahakan oleh negara juga membawa kebaikan bagi mereka. Dengan jalan pikir seperti ini, anggapan bahwa ajaran Rousseau mendukung asas totalitarianisme dapat ditolak. Individu tidak akan menyerah begitu saja kepada kehendak umum jika kehendak/kepentingannya tidak terakomodasi. Baik Hobbes, Locke, maupun Rousseau setuju dengan Pain bahwa negara mencapai tujuannya ketika berhasil mewujudkan suatu bonum commune dan dengan demikian berhasil memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.

Namun, pemikiran Pain tentang Problem Kedamaian menjadi kritik bagi persetujuan ketiga filsuf di atas tentang terwujudnya bonum commune sebagai perwujudan kedamaian di sebuah negara. Jika berpikir hanya untuk satu negara tampaknya pandangan Rousseau tentang kehendak umum mungkin terjadi. Akan tetapi, bagaimana jika teori ini hendak diterapkan dalam multi negara? Kehendak siapa yang harus menjadi kehendak umum? Kehendak negara manakah yang bisa menjadi kehendak umum? Mungkinkah ada suatu Kehendak universal? Pada tataran konsep hal ini dimungkinkan. Namun, selama di dunia nyata ini masih ada kesenjangan alamiah, sosial dan budaya tampaknya adanya kehendak universal yang dapat menyatukan kehendak tiap negara hanya utopis belaka.

Senada dengan state of nature-nya, solusi pemecahan Pain yang mengedepankan rasa takut sebagai unsur terpenting dalam pengendalian diri juga mirip dengan strategi rule by fear Hobbes yang merupakan konsekuensi dari absolutisme kekuasaan Sang Monster Leviathan (Negara). Hobbes menggagas konsep Leviathan untuk menghentikan kecenderungan manusia untuk perang semua melawan semua (bellum omnes contra omnia). Karena hanya negaralah yang memonopoli penggunaan kekerasan maka individu dalam negara tersebut dapat dikendalikan dengan mudah dan tidak saling menyerang satu sama lain. Walaupun mirip, sekali lagi konsep Pain memberikan kritik pemikira Hobbes. Bagaimana jika teori Hobbes ini diterapkan dalam multi negara? Bukankah negara yang satu akan mencoba mengembangkan keabsolutan kekuatannya hingga ke negara-negara lain, dan negara yang lain itu akan melawan karena juga ingin mempertahankan keabsolutan dirinya dan sedapat mungkin juga mengembangkan keabsolutan kekuatannya pula. Bukankah hal semacam ini kembali pada kecenderungan bellum omnes contra omnia? Dengan demikian, strategi absolutisme kekuasaan Hobbes tidak lagi mencukupi untuk membendung kecenderungan bellum omnes contra omnia manusia. Konsep absolutisme kekuasaan semacam inilah juga ditolak oleh Locke dan Rousseau. Locke mengkritik konsep absolutisme dengan mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, sedangkan Rousseau justru menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dengan mengenyahkan semua lembaga penengah (seperti: DPR, MPR, dsb) yang justru akan mengurangi kedaulatan rakyat.

Kritik terhadap Keadilan dan Perdamaian Pain

Karena kemiripannya dengan Hobbes, kritik terhadap filsafat Hobbes juga dapat dikenakan pada filsafat Pain. Ada dua poin besar yang dapat menjadi kritik terhadap konsep keadilan dan kedamaian menurut Pain, yakni: pertama, soal kontradiksi dalam state of nature Pain dan kedua, soal solusi kedamaian sejati yang singkat.

Kritik pertama soal kontradiksi dalam state of nature Pain. Dalam konsep state of nature-nya Pain menilai bahwa manusia adalah makhluk yang bodoh dan tidak akan pernah saling memahami. Kritiknya terletak dalam dua hal. Pertama, Pain mereduksi segala tindakan dan tingkah laku manusia pada (salah) satu dorongan yang dianggapnya terkuat dalam jiwa manusia, yakni dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Reduksi ini tentu saja tidak dapat dibenarkan melihat di dalam realitas banyak individu bekerja keras bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja melainkan juga untuk orang lain, misalnya: banyak orang tua yang rela bekerja keras demi kebutuhan anaknya. Kedua, soal kebodohan manusia dan ketidakmampuannya untuk saling memahami. Pernyataan ini cukup kontradiktif dengan pernyataannya tentang negara. Jika manusia itu bodoh dan tidak akan mampu saling memahami niscahya negara tidak akan terbentuk. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara senantiasa mengandaikan ratio yang cukup serta kesepahaman antar indvidu untuk bersatu dalam sebuah negara. Negara tanpa kesepahaman individu-individu di dalamnya tidak dapat disebut sebagai negara.

Kritik kedua soal solusi kedamaian sejati yang singkat. Pada kenyataannya konsep perdamaian pain juga akan sangat sulit diwujudkan. Setelah senjata pemusnah itu dibagikan, desakan untuk mempertahankan diri, ketakutan, ketegangan, dan kecemasan bahwa dirinya akan dihabisi oleh partner perjanjiannya yang sama-sama mempunyai nafsu serigala seperti dirinya akan membuat tiap negara cepat atau lambat menghabisi negara yang lain dengan asumsi, “Agar negaraku selamat, aku tentu lebih memilih untuk membunuh sainganku ketika lengah.” Pembagian kekuatan hanya akan mempercepat kehancuran semua negara. Bahkan, kedamaian dalam waktu yang singkat tidak akan sempat terwujud dengan strategi ini.

Kesimpulan dan Penutup

Pertama, konsep Keadilan dan Kedamaian tampaknya akan menjadi topik abadi dalam filsafat. Banyak filsuf dari jaman ke jaman berusaha menyusun suatu konsep keadilan dan kedamaian yang rapi dan indah. Namun, kendala utamanya ialah membawa konsep tersebut dalam dunia nyata jauh lebih sulit dari membawa konsep tersebut ke atas kertas. Sikap pesimis yang lahir setelah menyadari hal ini sama dengan kematian perlahan-lahan. Sebaliknya, sikap optimis dan kerja keras untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian, walaupun harus dengan jatuh bangun, menunjukkan keluhuran manusia sebagai makhluk berakal budi yang pembelajar.

Kedua, meremehkan media informasi, seperti komik, secara a priori dapat menjadi bumerang bagi kita sendiri karena komik ternyata dapat digunakan sebagai media promosi ideologi tertentu. Bahkan, komik mampu menghidangkan kajian-kajian filosofis kepada pembaca secara lebih menarik dan halus bila dibandingkan dengan diktat-diktat filsafat. Sebagai calon imam, penulis berpikir bahwa wacana untuk mengkomunikasikan Injil semenarik komik mengkomunikasikan ide Sang Pengarang seharusnya bukan menjadi wacana terus menerus. Ketakutan yang berlebihan akan sarana-sarana modern, seperti: internet, multimedia, dsb hanya akan membuat para petugas pastoral semakin terasing dari dunia. Penggunaan yang ugahari dan bersahaja sangat dibutuhkan demi kemuliaan Tuhan yang semakin besar.

Sumber Buku

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2004.
Kishimoto, Masashi. Naruto, Vol. 41. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 42. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 46. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
-------. Naruto, Vol. 47. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kishimoto, Masashi. Naruto, Ch. 436: Peace, (www.onemanga.com, diakses tanggal 30 maret
2010).

No comments:

Post a Comment