Saturday, April 24, 2010

ECCLESIA SEMPER REFORMANDA

(Analisis Film “John of Arc” karya Luc Besson)

Ecclesia est igitur sancta, licet in sinu suo peccatores complectatur (Cathecismus 827).Gereja itu kudus, meskipun di tengah-tengahnya terdapat orang berdosa. Walaupun di dalam Gereja ada wahyu Allah yang tidak dapat salah, harus diakui juga bahwa Gereja sebagai sebuah organisasi/lembaga kerap melakukan kesalahan pada masa yang lampau. Kisah Joan of Arc merupakan contoh dari kesalahan Gereja dimasa yang lampau. Ada beberapa kesalahan Gereja yang coba penulis uraikan dalam tulisan ini.

Pertama, Gereja dan Negara adalah satu. Pada jaman itu sulit untuk membedakan hal-hal mana yang menjadi urusan Gereja dan mana yang menjadi urusan Negara. Keduanya campur aduk. Sebenarnya hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Gereja. Perkembangan Gereja terjamin berkat keikutsertaan dan lindungan hukum negara di dalamnya. Pembiayaan hidup dan karya Gereja pun mendapat jaminan dari Pemerintah setempat. Namun, karena keuntungan-keuntungan inilah Gereja menjadi terikat oleh hal-hal duniawi. Bahkan, musuh negara menjadi musuh Gereja dan musuh Gereja menjadi musuh negara pula. Luc Besson menampilkan hal ini dengan tidak berlebihan. Hal ini paling nampak dalam pengadilan agama yang dialami oleh Joan of Arc. Dalam pengadilan itu Joan dihukum bukan karena kesesatannya. Alasan mendasar penghukuman Joan ialah alasan politik. Raja Inggris saat itu menginginkan agar Joan dibakar hidup-hidup karena telah menyebabkan Inggris kehilangan Orleans. Pengadilan agama saat itu (Inkuisisi) sarat bermuatan kepentingan politik. Untunglah, Ecclesia semper reformanda. Saat ini Gereja sudah menyadari kekeliruannya dan mulai membuat pembatasan yang jelas dan tegas antara urusan Gereja dan Sipil/pemerintahan. Bahkan, Gereja kini melarang para klerusnya untuk terjun dalam politik praktis. Gereja belajar dari pengalamannya sendiri.

Kedua, dari dulu bahkan hingga sekarang Gereja masih saja bersikap dan bersifat patriarkal. Wanita sejak jaman bapa-bapa gereja terkesan kurang dihargai. Bahkan, Origenes pun pernah menyebut wanita sebagai “laki-laki yang tidak sempurna”. Harkat dan martabat seorang wanita ada di bawah laki-laki. Dalam film tampak dengan jelas bagaimana Joan harus menjalani berbagai tes yang menguji kelayakannya sebagai “pembawa pesan dari Tuhan” (termasuk di dalamnya tes keperawanan). Bahkan, pada waktu Joan sudah “lulus tes” para panglima perang Charles VII pun masih enggan untuk menganggapnya sebagai “pembawa restu Raja” dalam peperangan. Namun demikian, Film Joan of Arc bukanlah bertujuan untuk mendukung gerakan Feminisme yang marak belakangan ini karena dari teks pembanding (www. wikipedia.org.id)ditemukan bahwa ia malahan pernah mengusir seorang wanita dari tentara Perancis dan mungkin saja telah memukul seorang pengikut yang keras kepala dengan pedang. Untunglah, Ecclesia semper reformanda. Perlakuan yang kurang pantas ini sedikit demi sedikit sudah disadari oleh Gereja. Jumlah wanita yang semakin besar dan bahkan lebih besar dari jumlah laki-laki mengharuskan Gereja berpikir ulang tentang fungsi dan peran wanita di dalam kehidupan menggereja. Sedikit demi sedikit kini wanita mulai mendapat peran dalam kehidupan menggereja, bahkan yang terjadi justru ekstrim kebalikannya. Kini peran mereka malah mendominasi dalam kehidupan menggereja karena kaum laki-laki justru banyak yang malas dan tidak mau meluangkan waktunya.

Tanggapan atas cara Luc Besson menyampaikan Film Joan of Arc

Menurut penulis, tampaknya Luc Besson menggambarkan saat seseorang menerima wahyu (vision) sebagai saat yang luar biasa. Banyak cahaya surga dan fenomena aneh lainnya. Padahal, jika kita melihat pengalaman hidup St. Theresia dari kanak-kanak Yesus, pewahyuan dapat hadir dalam kegiatan sehari-hari yang biasa. Selain itu, Luc Besson menggambarkan proses inkuisisi yang terjadi saat itu dengan tidak berlebihan. Memang saat itu urusan Gereja masih tercampur aduk dengan urusan pemerintahan sehingga unsur politis pun masuk dalam pengadilan agama. Pada akhir filmya, Luc Besson belum terlalu menunjukkan kekudusan Joan of Arc sehingga Gereja menggelarinya sebagai santa. Film Luc Besson berhenti pada kesalahan Joan of Arc saja.

Relevansi dengan kehidupan keagamaan di Indonesia

Saat ini dapat kita amati di sekeliling kita, banyak sekali orang yang menggunakan atribut-atribut agama mayoritas di muka umum. Bahkan, dari makanan sampai obat-obatan pun orang harus selalu memastikan ada tidaknya tulisan Halal yang dikeluarkan oleh MUI. Pada ranah politik kita juga menyaksikan menguatnya kekuatan politik keagamaan yang ditandai dengan tampilnya partai-partai yang berbasis agama secara meyakinkan di depan umum. Apakah ini merupakan fenomena kebangkitan kesadaran beragama? Atau hanya usaha suatu agama untuk mencari legitimasi dan kekuatan dalam berbagai sektor kehidupan bernegara? Menurut penulis, proses kedualah yang sedang terjadi. Buktinya, begitu MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Ahmadiyah dan meminta pemerintah untuk melarangnya, maka kekerasan terhadap komunitas ini terjadi dimana-mana. Apakah hal ini berarti Islam juga ingin membentuk Inkuisisi dan mengulangi kesalahan Gereja pada masa yang lampau? Mengapa kita tidak bisa belajar dari pengalaman orang lain? Apakah kita harus merasakannya sendiri dahulu baru kemudian percaya?

No comments:

Post a Comment