Thursday, March 7, 2013

FACEBOOK: SEBUAH AREOPAG BARU BAGI MISI PASTORAL KAUM MUDA


Pengantar           
Penggunaan jejaring sosial sudah menjadi sebuah kebiasaan massal yang begitu lumrah, bahkan dewasa ini mulai meningkat menjadi suatu kebutuhan bagi beberapa orang. Tulisan ini ingin secara singkat mendalami efek-efek dan peluang-peluang yang bisa dimunculkan dalam misi pastoral bagi kaum muda. Karena ada begitu banyak situs jejaring sosial yang ada saat ini, penulis membatasi pembahasan hanya soal penggunaan salah satu jejaring sosial, yaitu facebook.com dalam kehidupan beriman.
Status Questionis
Bagaimanakah dampak penggunaan facebook dalam kehidupan beriman? Apa saja keunggulan/kelebihan yang dibawa oleh media ini sehingga begitu populer? Apa saja ekses-ekses negatif yang harus dan dapat dihindari ?
Teknologi dan Perkembangannya
Dewasa ini manusia hidup dalam dunia yang mengalami perkembangan yang super pesat. Hampir tiap detik tercipta sebuah terobosan baru dalam sains dan teknologi yang berpotensi memudahkan dan bahkan mengubah hidup manusia. Hampir setiap hari tercipta alat baru canggih yang membantu manusia dalam melaksanakan rutinitas hariannya. Salah satunya adalah memudahkan manusia dalam berkomunikasi, seperti mobilephone, smartphone, netbook, superbook, dan lain-lain. Namun, semua benda tersebut baru bisa berfungsi dengan baik bila sudah terhubung dengan internet. Pada masa ini, internet sudah menjadi sebuah konsumsi massa. Di beberapa negara bahkan internet menjadi suatu komoditas yang sudah tidak bisa tidak harus ada karena menyangga hampir semua segi kehidupan, mulai dari perekonomian hingga politik. Bahkan, ada gerakan warga negara di beberapa negara canggih yang ingin memasukkan internet sebagai “hak asasi”.
Internet
Beberapa tahun belakangan ini penggunaan internet di Indonesia meningkat pesat dengan adanya situs-situs jejaring sosial. Dimulai dengan friendster.com, plasatelkom.net, twitter.com hingga yang paling populer saat ini (di Asia) adalah facebook.com. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu dari 3 negara yang memiliki jumlah pengguna facebook terbesar di dunia. Lahirnya situs-situs jejaring sosial ini sebenarnya menandai sebuah era baru bagi peradaban pergaulan manusia, yakni: era multimedia dan digital. Inilah yang disebut oleh Redemptoris Missio sebagai "kebudayaan baru, yang berasal mula tidak justru dari muatan manapun yang begitu saja diungkapkan, tetapi dari kenyataan sendiri, bahwa ada cara-cara baru berkomunikasi, disertai bahasa-bahasa baru, teknik baru dan psikologi baru. (RM, art. 37).
Jejaring sosial Facebook
Facebook adalah sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Havard dan mantan murid Arsdslev High School. Situs ini dibuat pada awalnya hanya untuk jejaring sosial keanggotaan siswa dari Havard College, namun kemudian keanggotaannya diperluas ke sekolah-sekolah lain. Sejak tanggal 11 September 2006, siapapun yang memiliki alamat email dapat mendaftar, sehingga dapat diakses oleh seluruh orang di dunia dan hal ini membuat jumlah pengguna facebook melonjak.
Facebook sudah lahir pada tahun 2004, namun jejaring sosial baru populer  di Indonesia pada tahun 2008. Tahun tersebut menjadi tahun awal berkembang pesatnya situs ini di Indonesia dan meninggalkan situs jejaring yang populer sebelumnya, yaitu friendster.com. Peningkatan pengguna facebook yang cukup pesat ini dipicu oleh kemudahan akses yakni dapat diakses melalui telepon genggam atau HP.
Facebook ini sangat populer di Indonesia dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Banyak orang begitu tergila-gila dengan situs ini sampai-sampai tidak ada satu hari pun tanpa membuka situs ini dan menjadikan mereka resah ketika suatu saat situs ini tidak dapat diakses. Facebook ini menjadi suatu budaya, tidak hanya di kalangan kaum muda melainkan para orang tua. Budaya ini merasuk dalam setiap lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah, atau pun bawah. Dengan munculnya budaya ini menjadikan banyak orang kini membutuhkan askes internet. Banyak kafe atau pun foodcourt yang memasang akses internet via wifi demi menarik para pengunjung. Banyak kaum muda yang pergi ke kafe dengan tujuan untuk bisa facebook-an.
Kosmologi baru dalam facebook
Media komunikasi sosial membentuk dunia, kebudayaan-kebudayaannya, dan cara-cara berpikir (EA, art. 48). Penggunaan facebook yang begitu masif tentu saja membawa dampak yang tidak sedikit dalam mindset generasi jaman sekarang. Berikut ini adalah beberapa poin refleksi penulis terhadap perubahan kosmologis yang terjadi akibat dari berkembangnya penggunaan facebook. Perubahan kosmologis yang dimaksudkan adalah adanya perubahan “aturan main” di dunia fisik dengan di dunia virtual.
Kerapkali “dunia” dalam internet disebut sebagai dunia maya. Namun, penulis sendiri kurang setuju dengan sebutan tersebut karena sebutan “maya” seakan-akan menimbulkan kesan “tidak asli”/”tidak benar-benar terjadi. Padahal, apa yang terjadi dalam monitor komputer dapat sungguh-sungguh berimbas dalam hidup nyata sehari-hari, misalnya: beberapa kesalahan mengklik dapat mengakibatkan seseorang bangkrut karena saldo dalam rekening bisa terkuras habis melalui internet-banking, ada begitu banyak contoh bagaimana perkenalan dan keakraban dalam situs-situs jejaring berakhir di Gereja atau KUA, pelecehan dan pencemaran nama baik yang terjadi di dunia yang disebut “maya” ternyata juga membawa si pelaku untuk mendekam di hotel rodeo selama waktu yang ditetapkan di meja hijau. Penulis pribadi lebih setuju dengan istilah dunia virtual, karena apa yang ada di internet adalah sesautu yang benar terjadi, tetapi hanya dapat kita lihat, tetapi tidak bisa kita raba, cium dan sentuh.
Dalam dunia virtual ini, bukan hanya batas-batas geografis saja yang ditembus, tetapi bahkan batas-batas strata sosial pun dirombak dan dibangun ulang. Account yang dimiliki oleh seorang anak SMP/SD bisa menjadi Administator/Webmaster/ dari sebuah situs/group dan bisa saja menendang (meng-kick) atau mem-banned account dari gurunya atau bahkan seorang profesor terkenal jika ia menginginkannya. Dunia virtual memunculkan kesempatan bagi orang-orang muda untuk menciptakan aturan bagi dunia yang baru ini.
Dalam dunia virtual jangan harap kita akan dihormati orang hanya karena apa yang kita miliki, misalnya: kekayaan, ketampanan, kepintaran, ataupun popularitas. Juga jangan berharap kita dihormati seseorang karena profesi atau jabatan kita, misalnya: seorang imam, suster, doktor, professor. Semua orang memiliki kesederajatan dan kesamaan. Hal ini bisa terjadi karena prinsip mendasar yang ada dalam dunia virtual, yakni Anonimitas Identitas. Prinsip Anonimitas identitas bermula dari fakta bahwa Internet dijaman sekarang belum mempunyai teknologi yang memadai yang mampu mengidentifikasi individu-individu yang terjun ke dunia virtual, sehingga orang dengan mudah dapat memalsukan identitasnya. Prinsip anonimitas identitas ini yang juga membuat internet penuh dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat karena orang bisa dengan mudah bersembunyi dalam identitas-identitas samaran.
Facebook Sebagai Sarana Pastoral Kaum Muda
Gereja mempunyai tugas untuk mendampingi kaum muda dalam menemukan jati diri dan pegangan hidupnya. Maka dari itu diperlukan suatu pelayanan pastoral yang mengkhususkan diri dalam pembinaan kaum muda. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pelayanan pastoral kaum muda adalah sebagai berikut: data kaum muda (mendata dan mengkategorikan kaum muda), fokus pelibatan (apa yang menjadi fokus dalam pendampingan kaum muda harus bersumber pada data yang diperoleh), mengatur langkah-langkah (memperhitungkan kemungkinan untuk  menjangkau sebanyak mungkin orang), menentukan metode dan aktivitas (ada banyak cara yang bisa dipakai), memberi kesempatan kepada kaum muda[1].
Telah kita lihat di atas bagaimana pengaruh facebook dalam kehidupan masyarakat. Realitas yang terjadi adalah facebook menjadi kegemaran bagi masyarakat, terutama kaum muda dan membawa pengaruh yang signifikan bagi perkembangan hidup mereka. Berangkat dari realitas ini, Gereja melihat suatu peluang yang terbuka lebar, yakni apakah Gereja dalam pelayanan pastoralnya dapat masuk ke dalam kehidupan facebook dan mendampingi anggotanya yang terlibat dalam jejaring sosial tersebut.

Facebook sebagai areopag baru bagi misi pastoral kaum muda
Dalam nota pastoral Keuskupan Agung Semarang menyarankan kaum muda agar mampu berjejaring dengan komunitas atau kaum muda yang lain[2]. Hal ini perlu dilakukan agar dapat menampakkan Gereja sebagai suatu persekutuan. Facebook ini menjadi salah satu rujukan untuk dapat menciptakan jejaring sosial tersebut. Sekarang tantangan bagi pelayanan  pastoral Gereja aalah untuk bisa mendampingi jejaring ini melalui pastoral facebook  atau pastoral dunia maya. Tidak sedikit para rohaniwan-rohaniwati/biarawan-biarawati yang sudah menggunakan sarana facebook sebagai salah satu bentuk pendampingan pastoral.
Kosmologi baru dunia virtual seperti yang sudah penulis jelaskan di atas membuat penulis ingin mengidentikkan Facebook sebagai sebuah areopag yang baru. Di jaman para filsuf-filsuf awal (sokrates, plato, aristoteles), areopag (areophagus) adalah tempat keramaian dimana banyak orang berkumpul untuk melakukan berbagai aktivitasnya. Ada yang berjualan, ada yang berdiskusi, ada yang mengajar, ada yang menjambret, ada yang sedang bersih-bersih, ada yang sedang berdoa, ada yang sedang bercinta dan sebagainya.
Dalam dunia Perjanjian Baru pun, tempat areopag ternyata masih ada. Kesaksian tentang hal ini bisa dilihat dari kisah Paulus dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di Areopag Paulus mewartakan Yesus sebagai Allah kepada orang-orang Yahudi, Farisi, bahkan Saduki. Memang tidak bisa dipungkiri ternyata di Athena Paulus belum berhasil untuk berinkulturasi dengan budaya setempat (walaupun pada awalnya kelihatan berhasil), karena ternyata beberapa orang masih menganggap remeh Paulus dengan mengatakan "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu." (Kis 17:32).
Persamaan Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Dalam bayangan penulis, facebook pada saat ini memang merupakan bentuk areopag yang baru. Di dalam facebook orang punya bermacam-macam kepentingan, mulai dari: berdagang, berdiskusi, berdebat, menasihati, melaporkan peristiwa, mengintimidasi, sampai pada mengadakan kesepakatan-kesepakatan yang penting. Di dalam facebook, seperti di jaman Paulus, orang bebas berbicara. Orang bebas berpendapat dan mengungkapkan apa saja. Facebook menjadi semacam pasar dengan berbagai kepentingan.
Selain itu, seperti halnya areopag jaman dahulu, di facebook juga terdapat banyak orang yang berkumpul di tempat itu. Pengunjung facebook dari berbagai usia, budaya, kewarganegaraan, bahasa, agama dan interese tumplek bleg di situs ini. Dari pengamatan penulis, mayoritas pengguna facebook adalah masih kaum muda. Mereka hadir secara sukarela dan kontinu di facebook.
Bagi orang Yahudi jaman Paulus, satu-satunya tempat yang agak longgar dari pengawasan kekaisaran romawi adalah di areopagus. Di situ ada kebebasan berpendapat yang sangat longgar. Orang bisa berbicara dengan bebas tanpa takut ditahan oleh pasukan romawi. Orang lebih bebas untuk berkumpul dan berserikat tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu. Demikian jugalah yang terjadi di facebook. Orang bebas berbicara mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Baru beberapa waktu belakangan ini saja ada beberapa pihak yang mempermasalahkan tulisan-tulisan orang-orang tertentu di facebook dan menuntutnya ke pengadilan karena tulisannya bernada melecehkan/menghina agama tertentu. Sikap ini sebenarnya muncul dari golongan yang tidak paham benar dengan kosmologi baru dalam dunia virtual.
Perbedaan Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Satu perbedaan menonjol yang jelas sekali dapat teramati antara areopagus jaman Paulus dan facebook. Sebagai areopagus jaman ini adalah tidak adanya komunikasi bersemuka (face to face) antara person-person yang sedang berkomunikasi. Hal ini membuat komunikasi yang terjadi di facebook terbatas pada tulisan hasil ketikan. Tidak ada suara dan gesture-gestur tubuh yang dapat terkirim lewat facebook. Beberapa waktu belakangan ini muncul bahasa simbol berupa ikon atau emoticon yang berusaha menyampaikan ekspresi dari lawan bicara, misalnya: simbol “J” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang tersenyum, simbol “L” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang sedih (bad mood), dsb.
Di samping itu, hal yang membedakan lagi ialah kenyataan bahwa tulisan hanya bisa membawa kumpulan informasi di dalamnya. Tulisan tidak mampu menampung kesaksian hidup yang hanya bisa dicerap oleh mata, telinga, dan kulit dalam kontak langsung di kehidupan sehari-hari. Padahal, kesaksian hidup merupakan sumber informasi yang paling dapat dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber informasi yang lain.
Keuntungan Facebook sebagai areopag baru
            Ada beberapa keuntungan nyata yang bisa dirasakan ketika Gereja sungguh menghayati Facebook sebagai sebuah areopag baru dalam misi pewartaannya pada kaum muda, yakni:
Pertama, sebagai sebuah areopag baru, facebook membuka kemungkinan katekese dan pewartaan selebar-lebarnya. Setiap orang bebas untuk mengungkapkan pendapatnya di dunia virtual ini. Regulasi-regulasi negara (misalnya: Indonesia) yang begitu ketat mengatur pewartaan agama menjadi serasa tidak berlaku lagi. Setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapat dan keyakinan agamanya.
Kedua, jarak geografis antara si pewarta dan calon penerima warta tidak lagi menjadi penghalang. Ruang untuk pewartaan terbuka sangat luas karena orang tidak perlu menyediakan tempat aula atau tempat pertemuan khusus dengan segala akomodasi dan konsumsinya. Pertemuan di dunia virtual secara nyata membuat biaya menjadi lebih murah karena setiap peserta bertanggung jawab akan kebutuhannya sendiri. Tidak perlu ada panitia dengan segala seksi-seksinya untuk mengadakan pertemuan di dunia virtual.
Ketiga, yang menjadi keluhan dalam tiap pertemuan pendalaman iman di lingkungan ialah bahwa jumlah orang yadir di dalam pertemuan semacam itu sangat sedikit bila dibandingkan dengan doa Rosario dan sebagainya. Bisa diandaikan bahwa jumlah kaum muda yang terlibat dalam pertemuan pendalaman iman di lingkungan pun sangat sedikit sekali. Namun, fenomena berbeda akan kita temui ketika kita berada di dunia virtual. Di facebook, misalnya, banyak sekali apologet dan katekis volunter muda muncul tanpa komando dari siapapun. Mereka muncul begitu saja secara sukarela. Bisa dilihat bahwa banyak dari mereka membaca dokumen-dokumen Gereja dan bahkan beberapa dari mereka mungkin membaca lebih banyak dari yang dibaca oleh para calon imam.
Bahaya dan kerugian Facebook sebagai areopag baru yang harus dihindari
            Penggunaan facebook sebagai sebuah areopag baru dalam pewartaan bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi ada manfaat yang begitu besar, tetapi di sisi lain juga ada bahaya dan kerugian yang timbul jika tidak diwaspadai. Dalam pengalaman, refleksi dan studi penulis ada beberapa bahaya dan kerugian nyata yang muncul juga ketika memasuki areopag yang baru ini, yakni:
            Pertama, harus disadari bahwa penggunaan facebook membuat nilai personal-interpersonal dalam komunikasi antar manusia berkurang (physical touch). Melalui facebook seseorang bisa tahu bahwa sahabatnya sedang dalam masalah atau gejolak hati dan di facebook pula orang bisa memberikan nasihat dan penghiburan, tetapi di facebook kita tidak bisa menyentuh orang tersebut, menggenggam tangannya, menatap matanya dan mungkin memeluknya. Penggunaan facebook yang terus menerus membuat orang tidak lagi terbiasa untuk menggunakan sentuhan fisik (physical touch) dalam komunikasinya. Komunikasi cenderung dingin dan tidak ada kehangatan di dalamnya.
            Kedua, kemurnian dan kejujuran ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat diragukan. Rupanya beberapa orang ingin mengatasi kelemahan facebook yang telah disebut pada poin pertama dengan membuat emotikon-emotikon yang bisa berfungsi untuk menunjukkan ekspresi orang tersebut ketika sedang mengungkapkan sesuatu. Kalimat “Kamu jelek” bisa memiliki makna yang berbeda jika diakhiri dengan symbol “:-p” (emoticon wajah orang yang sedang menggoda), ataupun “:-D” (emoticon ekspresi tertawa), atau bahkan “>:(“ (emotikon ekspresi orang marah). Menurut beberapa orang penggunaan emoticon cukup membantu untuk mengungkapkan ekspresi pembicara dalam suatu chatting. Namun, harus disadari dengan baik bahwa kemurnian dan kejujuran ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat bisa diragukan. Penggunaan emoticon tidak bisa mewakili suasana hati karena siapa saja bisa membuat emoticon yang bertentangan dengan suasana hatinya.
            Ketiga, facebook bisa juga menimbulkan efek kontraproduktif bagi relasi antara manusia. Relasi semu dalam facebook membuat orang gampang salah paham dengan temannya. Banyak contoh kesalahpahaman yang bisa dimunculkan sebagai akibat dari kekurangsadaran akan relasi semu yang terbentuk dalam facebook, misalnya: Seseorang bisa terlalu percaya diri dan merasa paling mengerti keadaan diri temannya karena dia selalu mengikuti update-update status dari temannya tersebut, padahal dalam kenyataannya belum tentu demikian; seseorang merasa terpukul sekali ketika temannya marah-marah dengan dia di facebook dan membuat account-nya tidak bisa berhubungan dengan account temannya, padahal mungkin temannya tidak bermaksud sungguh-sungguh memutuskan tali persahabatan dengannya; seseorang menjadi marah sekali dengan sahabatnya yang tidak segera membalas message darinya padahal mungkin saja message tersebut tidak terkirim karena server facebook yang sedang error, dsb.
Beberapa solusi pemecahan dan kesimpulan
            Facebook memiliki potensi yang besar sekali untuk dapat digunakan sebagai areopag yang baru dalam pewartaan. Ruang pewartaan menjadi tak terhalangi lagi dengan sekat-sekat geografis, suku bangsa dan bahasa. Banyak orang lintas agama pun bisa mendengarkan pewartaan dari agama lain tanpa merasa rikuh dan aneh. Facebook sungguh bisa menjadi sarana evangelisasi jaman ini. Bila hal ini dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan tujuannya maka pastoral kaum muda saat ini akan memperoleh wajah baru. Bukan hanya dengan cara klasik dengan rekoleksi atau pun retret, melainkan melalui dunia virtual. Jaringan komunikasi antar pribadi ini bukan sekadar membangun suatu komunitas maya (virtual community), melainkan komunitas batin (spiritual community)[3].   Gereja perlu menjajagi cara-cara mengintegrasikan secara mendalam media massa ke dalam perencanaan dan kegiatan pastoralnya, supaya berkat penggunaan efektif media itu kuasa Injil dapat menjangkau masih lebih jauh lagi orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa seluruhnya, dan meresapi kebudayaan-kebudayaan Asia dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. (Ecclesia in Asia, art 47)
            Namun demikian, perlulah dilakukan beberapa hal juga untuk mengatasi bahaya-bahaya yang muncul dari penggunaan facebook. Beberapa poin solusi yang menjadi buah pikir penulis dalam mengatasi permasalahan ini antara lain:
-          Ruang tipu menipu terbuka luas dalam facebook karena adanya prinsip anonimitas identitas yang meraja lela. Namun demikian, sebenarnya prinsip ini belum merupakan prinsip yang baku. Untuk itu, sebagai langkah awal untuk memberantas anonimitas identitas perlu bagi para pemimpin Gereja untuk mulai memberi contoh dengan  bertanggungjawab terhadap identitas accountnya di dunia maya meskipun tidak ada keharusan. Cara ini bisa dilakukan secara praktis dengan tidak memakai nama ataupun foto palsu dalam account-account jejaring sosialnya.
-          Perjumpaan di dunia virtual haruslah mengarah pada pertemuan personal. Harus disadari bahwa relasi yang terbentuk melalui situs jejaring social bukanlah relasi yang sejati. Relasi virtual yang demikian hanyalah relasi yang semu. Untuk itu, perlu diusahakan agar relasi di dunia virtual tidak berhenti di dunia virtual saja tetapi harus mengarah pada pertemuan personal. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa group-group katolik dan lintas agama dengan mengadakan kopdar (kopi darat/ pertemuan fisik secara langsung di suatu tempat).
-          Banyak anak yang menerima informasi-informasi yang sebenarnya belum saatnya ia terima (misalnya: lirik lagu orang dewasa yang penuh dengan gejolak emosi dan pergulatan yang tidak sesuai dengan anak-anak). Untuk itu, agen-agen pendidikan anak, seperti: keluarga, sekolah dan Gereja memang perlu mengontrol informasi yang diterima anak sedapat mungkin. Jangan membiarkan anak dididik oleh internet dan media. Keluarga, sekolah dan Gereja harus tetap menjadi agen penyedia informasi utama bagi perkembangan anak yang baik dan sehat.
-          Pemimpin agama harus menjalankan peran-peran sebagai pengawas dan pengontrol jaringan komunikasi berbasis komputer, dan penyaring informasi yang bersikap obyektif dan netral. Menunjukkan kepemimpinan yang tegas tidak berarti menyangkal perkembangan pesat komunikasi berbasis komputer, melainkan mengembangkan kebaikan-kebaikan yang dibawanya.
Mengakhiri tulisan saya ini, penulis ingin mengutip apa yang menjadi pengalaman Mgr. Pujasumarta, mantan Uskup Bandung dan Uskup Agung Semarang saat ini. Beliau cukup aktif dalam menyebarkan Kabar Gembira Allah lewat dunia maya.
Beliau mengatakan bahwa,: “Melalui internet, Kabar Gembira yang saya bagikan tidak hanya tersebar lebih cepat tapi juga menjangkau lebih banyak orang. Saya membagikan pengalaman dan pemikiran spiritual yang syukur-syukur bisa mencerahkan orang lain, saya juga terutama ingin mendengarkan apa yang menjadi isi hati mereka. Syukur bahwa ada banyak orang yang menangkap kata-kata saya sebagai Kabar sukacita bagi mereka”[4].

Yoseph Indra Kusuma



[1] Bdk. Nota pastoral Keuskupan Agung Semarang, (http://notapastoralkas2009.blogspot.com/2009/02/nota-pastoral-keuskupan-agung-semarang.html,diakses 3 Des 2012).
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Wawancara Ucan Internet Memperluas Jangkauan Pastoral Uskup,(http://www.ucanews.com/, diakses tangal 3 Desember 2012). 

MAKNA KOMPETENSI DAN PROFESIONALITAS GURU SEBAGA PENGAJAR DAN PENDIDIK


Kompetensi, Profesionalitas dan Guru

Dalam UU RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa:
a.       Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
b.      Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
c.       Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Bertolak dari pengertian di atas, semua orang akan sependapat bila dikatakan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Seorang Guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku, yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai olehnya. Semua hal ini mutlak dimiliki oleh seorang guru karena  pada hakikatnya seorang guru sangat dipercaya oleh orang tua peserta didik untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya. Di berbagai negara, profesi guru amat dihormati oleh masyarakat karena merekalah yang mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa itu.
Siapapun tentu sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan. Saya memandang bahwa tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi pembicaraan yang omong kosong. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan dan pembangunan yang lebih luas dan menyeluruh. Prinsip inilah yang ditanamkan negara Jepang yang banyak diikuti negara lain sehingga cepat maju pembangunannya. Ketika Provinsi Hirosima dan Nagasaki di Jepang diluluhlantakkan oleh bom atom pada perang dunia II (1945), Kaisar Jepang bertanya, "Masih ada berapakah guru yang hidup"? Hal Ini menunjukkan betapa besar perhatian Kaisar Jepang terhadap pendidikan dan betapa besar peranan guru dalam pembangunan suatu bangsa.

Guru sebagai Pengajar

Sebagai pengajar, guru berkewajiban membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang dipelajari. Ini berarti bahwa sebagai pengajar, guru hanya dituntut untuk memberi­kan pelajaran kepada peserta didik supaya mereka cerdas dan dapat memahami pelajaran yang diberikan. Artinya, sebagai tugas pengajar, yang diutamakan adalah membina kecerdasan intelektual peserta didik.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Kata "mengajar" mengandung arti memberi pelajaran, tetapi dapat pula berarti melatih. Sedangkan kata "pendidik" menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik atau yang memelihara serta memberi latihan mengenai budi pekerti atau akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sebagai pendidik, guru adalah tokoh, panutan para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, kemandirian, disiplin, dan kompetensi serta profesionalisme. Pada guru dituntut tanggung jawab dan kepribadian yang utuh. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak bagi hari depan anak didik (terutama pada tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (peserta didik tingkat sekolah menengah).

Berkaitan dengan tanggung jawab, menurut pandangan penulis, guru harus mengetahui serta memahami nilai budaya, norma agama, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai nilai budaya dan norma agama yang berakar kuat di masyarakat. Guru harus bertanggung jawab melaksa­nakan pembelajaran untuk mengembangkan peserta didik menjadi cerdas dan sekaligus berbudi pekerti luhur sesuai dengan nilai budaya dan norma agama yang berkembang di masyarakat.    
  
Dengan demikian, guru sebagai pendidik berarti bahwa selain mengajar, ia juga mendidik anak menjadi berbudi pekerti luhur. Artinya, selain membina kecerdasan intektual anak, ia juga membina kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial peserta didik. Oleh karena itu, seorang guru harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan mesti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Kompetensi pedagogik guru, sekurang-kurangnya meliputi; pema­haman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembela­jaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilkinya.

Kompetensi kepribadian guru, sekurang-kurangnya harus meliputi: mantap, stabil emosi, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial guru, sekurang-kurangnya meliputi: kompetensi berkomunikasi lisan, tulisan, dan atau isyarat, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

Kompetensi profesional guru merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam dalam melaksanakan tugas yang sungguh-sungguh, teliti, dan bertanggung jawab.
Dari uraian di atas, saya berpandangan, bahwa dalam proses pembe­lajaran, guru dituntut kemampuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga terjadi perubahan pada peserta didik tersebut. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan sikap dan perilaku serta yang lainnya ke arah yang lebih positif. Misalnya, perubahan dari tidak berilmu menjadi berilmu, dari tidak etis menjadi etis, dan dari malas menjadi rajin.

Fenomena Guru di Indonesia

Di Indonesia, sungguh disayangkan sekali karena selama ini, guru ternyata belum mendapatkan posisi yang seharusnya ditempati. Guru masih termaginalkan atau berada pada posisi peripheral atau terpinggirkan dalam kebijakan program pembangunan pendidikan. Tampak jelas bahwa penghargaan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap guru masih rendah. Guru sejatinya mendapat perlakuan yang lebih terhormat dari berbagai pihak, karena guru merupakan agen pembaruan dan pendukung nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Di dalam menjalankan tugasnya, guru senantiasa memotivasi peserta didiknya untuk mencari dan mencintai ilmu serta menganjurkan belajar tekun, menyimak dan mengamalkan ilmu yang dipahaminya. Meskipun tugas guru sangat mulia, masih terdapat sebagian masyarakat yang kurang paham dan menganggap tugas guru sebagai pekerjaan biasa dan kurang penting.

Walaupun pemerintah sudah mempunyai perhatian terhadap pendidikan, yang dimulai dengan perhatian terhadap peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dalam Undang-undang RI Nomor: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ternyata peminat profesi guru semakin sedikit dari tahun ke tahun. Dari pengamatan dan pengalaman perjumpaan penulis dengan banyak orang, beberapa orang muda memilih jurusan pendidikan guru karena hanya inilah opsi jurusan terakhir yang dapat mereka ambil. Beberapa orang muda lainnya tertarik menjadi guru karena melihat iming-iming gaji guru Pegawai Negri Sipil yang tidak bisa dibilang kecil. Motivasi untuk mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa tampaknya sudah sangat memudar pada masa ini. Prestise dan kebanggaan untuk menjadi guru semakin lama semakin menurun.

Namun demikian, sebenarnya memang ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena menurunnya kebanggaan profesi guru. Kebebasan pers dan informasi membuat guru juga tidak jarang terliput karena perbuatan-perbuatannya yang kurang pantas. Contoh yang paling nyata ialah ketika mendekati Ujian Nasional. Sampai sekarang pun masih terjadi bahwa beberapa orang guru nekat berbuat curang demi kelulusan muridnya. Guru merasa dirong-rong oleh keharusan bahwa muridnya harus lulus semua. Banyak guru tidak lagi bersikap profesional karena harus membalas budi kepada murid les dan orang tua yang sudah memberikan uang atau kebaikan apapun kepadanya.

Guru dan Era Globalisasi

Dalam menghadapi era globalisasi ini setiap sekolah mutlak memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kualitas tinggi agar mampu mengatasi berbagai tantangan yang timbul. Seorang guru mau tidak mau dituntut kemampuannya untuk mengikuti atau mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas keguruan sebagai pengemban misi pembangunan. Guru juga dituntut kemampuannya mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat pengaruh perubahan global. Di era ini, guru dituntut melakukan pembelajaran yang bersifat inovatif, ofensif, dan proaktif. Proses pembelajaran sejatinya bukan hanya dalam bentuk transfer informasi, tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan zaman yang semakin beragam. 

Di era ini, saya memandang, bahwa peserta didik sangat berpeluang mengembangkan kemampuannya mengikuti dan memahami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik dapat menyerap banyak informasi dari kecanggihan berbagai mass media, sehingga tidak menutup kemungkinan, peserta didik akan lebih maju pemahaman dan pengetahuannya terhadap suatu mata pelajaran dibandingkan gurunya. Itulah sebabnya sehingga tantangan yang dihadapi seorang guru di era ini, bukan saja dituntut menjalankan tugas sebagai pengajar secara profesional, tetapi juga dituntut memahami dan menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan tersebut, sehingga guru semakin kaya dengan materi ajar.

Tantangan yang dihadapi oleh guru-guru di sekolah katolik sebenanya juga jauh lebih berat lagi. Di beberapa tempat guru di sekolah katolik tidak hanya bergelut soal materi ajar, ilmu pngetahuan, teknologi, dsb, tetapi juga masih harus bergulat dengan urusan perut karena minimnya penghasilan. Namun demikian, keadaan yang demikian kadang kala justru melahirkan guru-guru sejati yang benar-benar memberikan hati, diri dan seluruh keberadaannya guna mengajar dan mendidik siswa. Saya sendiri masih mengalami bahwa guru-guru katolik di tempat asal saya tidak hanya membawa pulang berkas-berkas pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah, tetapi juga bahkan harus “membawa pulang” murid-murid yang belum bisa menguasai beberapa materi agar dapat diajar  secara intensif dan personal di rumah. Tentu saja tidak ada keuntungan materi apapun yang bisa didapatkan dari kegiatan semacam ini. Pengalaman-pengalaman keikhlasan dalam mengajar dan mendidik siswa seperti inilah yang membuat saya masih bisa mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Inti atau hakekat dari pendidikan atau proses pembelajaran adalah "perubahan". Sedangkan inti atau hakekat dari ilmu pengetahuan adalah "manfaat". Sekecil atau sesedikit apapun ilmu yang dimiliki, tetapi ia bermanfaat, maka itu jauh lebih berharga dan lebih mulia dari ilmu yang banyak, tetapi tidak bermanfaat. Profesi seorang guru adalah contoh profesi yang sungguh menggunakan ilmu yang dimiliki (entah banyak/sedikit) secara bermanfaat.

MELIHAT KEMBALI LITURGI ANAK DI PAROKI MASING-MASING


Apa sebenarnya yang dikatakan Gereja tentang Liturgi Anak?
Seringkali perayaan liturgi anak dibayang-bayangi oleh ketakutan-ketakutan melanggar aturan Liturgi yang seringkali dianggap membelenggu dan kaku. Para pendamping pembinaan iman anak seringkali merasa takut untuk “berkreasi” dalam liturgi anak-anak karena takut berdosa dan melanggar peraturan liturgi yang gosipnya sangat ketat itu.
Sebenarnya kalau mau membaca dokumen-dokumen yang mengatur tentang liturgi anak, ternyata justru pikiran kita yang terlalu kaku dan bukan peraturan liturginya. Pikiran-pikiran di atas sebenarnya hanyalah pikiran a priori yang tidak berdasar. Dalam dokumennya yang sebenarnya sudah jadul (tahun 1973) Gereja sebenarnya sudah sadar untuk mengikuti jejak Tuhan dengan “memeluk anak-anak dan memberkati mereka” (Mrk. 10:16). Gereja ingin agar anak-anak dalam perayaan Ekaristi dapat menyongsong Kristus, dan bersama-sama dengan-Nya mereka “menghadap Bapa”, dengan cara yang lebih cocok serta dalam suasana yang lebih menggembirakan. Dengan kata lain, Gereja sendiri membuka peluang yang cukup luas agar bisa terjadi kreasi-kreasi dalam liturgi anak yang bisa membawa anak-anak untuk semakin terlibat secara sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Singkat kata, Gereja terbuka terhadap berbagai penyesuaian asal saja tetap terpelihara kesatuan hakiki Ritus Romawi (KL 38).
Baik jika kita meluangkan waktu sejenak untuk membaca dan merenungkan kutipan singkat dari dokumen Gereja berikut ini:
“Pendidikan iman gerejawi bagi anak-anak itu sangat sukar, karena mereka belum dapat mengambil manfaat sepenuh-penuhnya dari perayaan liturgi, khususnya perayaan Ekaristi. Meskipun kini dalam misa dipakai bahasa pribumi, namun kata-kata maupun tanda-tanda yang dipakai dalam misa kurang sesuai dengan daya tangkap anak-anak. Memang dalam kehidupan sehari-hari pun anak-anak tidak selalu bisa menangkap segala hal yang mereka alami bersama dengan orang-orang dewasa; dan mereka belum tentu menjadi bosan karenanya. Dari sebab itu tidak dapat dituntut bahwa mereka harus selalu memahami segala-galanya dalam liturgi. Namun di lain pihak anak-anak itu akan sangat dirugikan dalam perkembangan rohaninya kalau bertahun-tahun lamanya mereka mengalami hal-hal yang tidak atau kurang dapat mereka mengerti. Sebab psikologi modern membuktikan bahwa anak-anak mempunyai bakat religius yang luar biasa, sehingga pengalaman religius pada masa kanak-kanak dan pada umur SD sangat berpengaruh dalam perkembangan mereka.“ (PMBA, Pedoman Misa Bersama Anak, art. 2)
Sudah benarkah Liturgi Anak di parokiku selama ini?
Pertanyaan benar dan tidak benar yang muncul dalam hati kita biasanya muncul dari kekhawatiran bahwa kita akan melanggar aturan-aturan liturgi yang ada. Aturan liturgi yang mana? Biasanya karena tidak pernah membaca dokumen-dokumen tentang liturgi maka kita akan mudah membuat kesimpulan bahwa aturan liturgi untuk anak-anak harus sama dengan liturgi untuk orang dewasa. Padahal, dalam Konstitusi Liturgi, sudah dituntut bahwa liturgi harus disesuaikan dengan bermacam-macam kelompok orang (PMBA, art. 3). Aturan Liturgi untuk anak berbeda dengan aturan liturgi untuk orang dewasa.
Dalam PMBA, ternyata Gereja hanya menuntut beberapa hal yang tidak boleh diubah, yakni:
[1] Struktur umum Misa yang terdiri dari dua bagian utama yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi, yang didahului oleh Ritus Pembuka dan diakhiri dengan Ritus Penutup;
[2] Rumus aklamasi dan jawaban yang diberikan umat atas salam dan doa Imam Selebran;
[3] Doa Tuhan “Bapa Kami” yang resmi;
[4] Penyebutan Allah Tritunggal pada akhir berkat penutup;
[5] Syahadat atau pengakuan iman (PMBA 39).
Namun selain itu, masih ada beberapa bagian lain yang memang sudah tidak boleh diubah menurut aturan atau tata cara baku yang lebih tinggi daripada Pedoman Misa Bersama Anak (PMBA), misalnya norma-norma dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) dan Kitab Hukum Kanonik (KHK, Codex Iuris Canonici) Gereja Katolik.
Bagaimana caranya menyusun Liturgi anak?
Liturgi Anak tidak sama dengan Misa menurut gaya anak-anak, tetapi Misa bersama dengan anak-anak. Hal ini perlu dipertegas untuk menghindari kecenderungan menurunkan Liturgi ke taraf anak-anak. Anak-anak harus dihantar dan memandang Liturgi sebagai kegiatan orang dewasa ke dalam mana mereka secara bertahap dipersatukan. Oleh karean itu adalah tidak bijaksana pakaian imam dan peralatan suci dibikin sesuai dengan dunia anak. Pemimpin perayaan liturgi pun dilarang bertingkah kekanak-kanakan, misalnya dalam gaya bahasa dan tingkah laku yang konyol, tak sesuai dengan keluhurannya.
Untuk menyusun Liturgi Anak persoalan utama bukanlah soal menyusun upacara yang sama sekali lain, melainkan menyesuaikan upacara yang ada dengan mempertahankan, menyingkat, atau menghilangkan unsur-unsur tertentu, dan dengan memilih teks-teks yang lebih cocok. Beberapa tempat dalam liturgi yang memungkinkan adanya kreativitas adalah sebagai berikut (disarikan dari PMBA):
a.       Ritus Pembuka:
-          Diizinkan untuk menghilangkan unsur-unsur tertentu dalam ritus pembuka, atau juga menambah beberapa kreativitas dalam perarakan (mis: anak-anak membawa lilin, tari-tarian, dsb), tetapi hendak selalu diakhir dengan doa pembuka.
b.      Liturgi Sabda:
-          Pada hari Minggu dan hari raya, jumlah bacaan dapat dikurangi dari 3 bacaan menjadi 2 atau 1 bacaan. Namun, Injil hendaknya selalu ada.
-          Konferensi para uskup dapat mempersiapkan lectionarium (buku bacaan misa) yang khusus untuk anak-anak dengan disesuaikan dengan bahasa dan alam pikir anak.
-          Perhatian besar sesungguhnya diberikan kepada elemen-elemen liturgi sabda untuk membantu anak-anak memahami bacaan-bacaan suci. Maka baik jika menjelang bacaan ada sedikit pengantar berupa penjelasan konteks bacaan, ataupun penjelasan tentang sabda dalam hubungan dengan hidup para kudus yang diperingati.
-          Homili kepada anak-anak dapat berupa dialog antara pastor dengan anak-anak. Bila pastor paroki atau pengurus gereja setuju, maka seorang awam yang mampu, dapat membawakan homili, terlebih jika imam sukar menyesuaikan diri dengan alam pikiran anak-anak.
c.       Doa-doa Presidensial:
-          Karena doa-doa presidensial dalam Misale Romawi lebih diperuntukkan bagi kaum dewasa, maka doa-doa dapat disesuaikan dengan keadaan anak, dengan tetap mempertahankan maksud dan isi doa-doa itu.
-          Sebagai pusat dan puncak perayaan Ekaristi, Doa Syukur Agung (DSA) patut didaraskan sedemikian rupa agar menarik anak-anak dan sepatutnya anak-anak berpartisipasi di dalamnya dengan aklamasi. Untuk itu, penggunaan DSA VIII - X dalam TPE 2005 sangat disarankan karena telah menjawabi kebutuhan anak untuk berpartisipasi dengan adanya aklamasi bersama.
d.      Upacara-upacara sebelum Komuni:
-          Sesudah DSA, hendaknya selalu menyusul Bapa Kami, pemecahan Roti dan undangan untuk berkomuni, karena ketiga (3) unsur itu penting sebagai unsur pembentuk bagian misa ini.
e.      Ritus Penutup:
-          Sebelum berkat akhir dan pengutusan, perlu ada pesan singkat dan pengulangan pesan Tuhan pada hari itu untuk dilaksanakan oleh anak-anak secara praktis dalam hidup sehari-hari. Pesan ini penting agar hubungan antara perayaan Ekaristi dan hidup dapat dilihat jelas oleh anak-anak.
Hal-hal lain apa yang dapat dilakukan untuk memeriahkan Liturgi anak?
Pada prinsipnya, semakin banyak anak terlibat dalam proses persiapan dan pelaksanaan liturgi anak, maka perayaan tersebut semakin baik karena anak memang butuh bergerak, visualisasi dan berkarya. Ada banyak contoh kegiatan yang dapat dilakukan untuk menarik partisipasi anak sebanyak mungkin. Beberapa contoh di antaranya adalah sbb:
-          persiapan ruangan serta altar
-          menyanyi dan memainkan alat musik,
-          memaklumkan bacaan suci non Injil
-          menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh imam selama homili dialog berlangsung
-          membawakan intensi-intensi doa umat, membawa persembahan ke altar, serta beberapa hal lainnya, sesuai dengan kebiasaan setempat.
-          menggambar dan hasil gambar buatan anak-anak itu hendaknya dipakai dalam ilustrasi homili, doa umat, serta tema doa-doa, atau sebagai hiasan di dinding-dinding Gereja untuk sementara waktu.
Penutup
Sebagai penutup, hendaknya kita sebagai orang-orang dewasa, yang memiliki kewajiban untuk membina iman anak, perlu sesekali waktu meluangkan waktu untuk membaca dokumen-dokumen Gereja tentang anak. Untuk apa? Di satu pihak, hasil membaca tersebut dapat meneguhkan kita jika apa yang kita lakukan sungguh sesuai dengan keinginan Gereja, dan di pihak lain hal ini sekaligus dapat membuat kita mawas diri agar perayaan Ekaristi yang kita rayakan besama anak-anak selanjutnya, tidak terlalu melenceng jauh dari yang diharapkan Gereja universal.
Hal yang harus dihindari ialah membuat asumsi-asumsi bahwa Liturgi itu ketat dan tidak pandang bulu sebelum kita benar-benar membaca dokumen Liturgi. Jangan-jangan asumsi-asumsi ketakutan kita tersebutlah yang membuat anak-anak mengalami kerugian karena tidak dapat mengalami Ekaristi yang sungguh bermakna dan dapat mereka mengerti.
Yoseph Indra Kusuma

MEMBACA PENGANTAR KE DALAM TEOLOGI BERDASARKAN INJIL KARYA KARL BARTH


Seperti yang sudah dikatakan dalam bagian pengantar, buku ini memang sungguh tampak sebagai kristalisasi pemikiran Karl Barth diusia senjanya setelah bergulat selama bertahun-tahun dengan teologi. Saya merasa banyak disegarkan oleh beberapa buah refleksi Karl Barth di masa tuanya ini.
Apa itu teologi?
Menurut Barth, tujuan utama teologi adalah untuk mengenal, mengerti, dan memberitakan Allah yang memperkenalkan diri dalam Injil, yang berfirman sendiri kepada manusia dan yang bertindak di antara manusia. Teologi Barth adalah teologi firman. Firman Allah adalah penyataan Allah yang menjadi pokok persoalan Teologi.
Alih-alih memberikan definisi lugas teologi injil, Barth memberikan beberapa ciri yang menandai ilmu teologi. Pertama, teologi adalah ilmu yang bersikap rendah hati. Ia menanti dibenarkan oleh Allah sendiri dan tidak berusaha mengangkat dirinya di hadapan ilmu yang lain. Kedua, teologi menunggu dengan sabar dan menanti dengan penuh percaya bagaimana eksistensi, iman, dan daya pikir manusia dapat dilukiskan dalam konfrontasi dengan Allah yang mendahuluinya dalam injil. Ketiga, Pokok teologi berdasarkan Injil adalah Allah dalam sejarah tindakan-tindakannya. Barth sangat menitikberatkan penyataan Allah dan Alkitab. Firman Allah dilihat dalam kerangka dinamis daripada statis. Firman Allah adalah peristiwa Allah yang berbicara kepada manusia dalam Yesus Kristus, yang adalah penyataan pribadi Allah kepada manusia. Barth beranggapan bahwa teologi beku yang lama telah khilaf karena membuat firman menjadi benda yang statis, yang bisa dianalisis dan dibedah seperti mayat. Keempat, Allah yang memperkenalkan diri dalam Injil bukanlah Allah yang menyendiri. Allah yang ingin dibawa oleh teologi adalah Allah yang berfirman kepada manusia dengan ramah dan membawa damai sejahtera. Dengan demikian teologi ialah suatu ilmu yang bersyukur dan bersukaria karena Allah beserta kita.
          Menurut Barth, teologi harus didasarkan atas firman Allah saja, bukan atas pengetahuan alamiah atapun filsafat manusia. Bart menolak semua teologi alamiah yaitu teologi yang berdasarkan ciptaan atau akal manusia, lepas dari firman Allah. Barth menandaskan bahwa hanya firman Allah yang menjadi satu-satunya dasar teologi. Dengan demikian Bart ingin menegaskan bahwa Allah dalam kekristenan sama sekali tidak dikenal di luar Yesus Kristus. Semua pengetahuan alamiah tentang Allah, baik melalui ciptaan dsb, ditolak.
Bagaimana berteologi?
Sejauh pemahaman saya, Karl Barth menempatkan dulu teologi pada posisi yang tepat agar kemudian manusia bisa berteologi dengan benar. Tempat pertama teologi adalah Firman Allah, Sejarah Imanuel yang bermula dalam sejarah Israel dan tiba pada tujuannya dalam Yesus Kristus, yang adalah firman Allah yang disampaikan kepada manusia dalam segala zaman dan lingkungan. Di tempat selanjutnya, ada golongan tertentu, yaitu para nabi dan para rasul dari alkitab yang langsung menerima firman dan dipanggil menjadi saksi-saksi sejati (otentik) yang penuh wibawa terhadap segala zaman dan lingkungan. Berikutnya, muncul jemat sebagai akibat dari pewartaan firman yang disampaikan oleh saksi-saks pertama. Mereka ini dipanggil untuk menjadi saksi-saksi tingkat kedua dan ditentukan untuk memberitakan karya dan firman Allah ke seluruh dunia. Last but not least, adalah Roh. Teologi dengan dirinya sendiri tidak dapat menemukan kebenaran tanpa kehadiran Roh Kudus di dalamnya. Tanpa Roh Kudus, teologi hanyalah sistematisasi hasil pemikiran manusia dan bukan merupakan kebenaran. Argumen ini didasarkan pada diri Allah yang adalah bebas dan tidak dapat dibatasi oleh apa pun, bahkan oleh perbuatan dan penyataan-Nya yang pernah atau telah terjadi dalam sejarah. Dengan demikian, teologi yang berusaha menemukan Allah harus terus menerus dilakukan dengan cara baru, sebab tanpa pembaruan ini teologi hanyalah formalitas sistematisasi pemikiran manusia.
Ada tiga sikap yang disebut Karl Barth sebagai sikap-sikap yang ada dalam diri seorang teolog dan mendasari kegiatan berteologinya, yakni: keheranan, perkenaan, dan kewajiban.
Tentang keheranan. Keheranan muncul dan harus tetap ada dalam diri seorang teolog selamanya. Teologi dimulai dari keheranan. Keheranan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang melebihi rasa tercengang karena berhadapan dengan suatu kejadian yang hanya sementara luar biasa, aneh dan baru, dan kemudian akan menjadi biasa, lazim, dan dikenal lama. Verwunderung (keheranan menghadapi keajaiban) sangat berbeda dengan Bewunderung (rasa kagum). Keheranan dalam teologi muncul karena teologi mempunyai kebaruan tak terhingga dalam pokok-pokok ilmunya. Bergulat dngan teologi akan selalu menimbulkan keheranan yang tak henti-henti. Seorang teolog yang sudah mulai tidak lagi merasa keheranan berarti karyanya mulai membusuk sampai akar.
Tentang perkenaan. Pokok ilmu teologi tidak mengijinkan peminatnya untuk mengambil suatu jarak antara dirinya dan pokok itu serta menyimpan hasil penelitian bagi dirinya sendiri. Dalam teologi Allah seakan menyerang, menahan dan menguasai teolog untuk menjadi pelaku dan bukan sebagi penonton saja. Peminat teologi tidak saja tertarik secara sadar ataupun tak sadar, tetapi terkena oleh teologi tua res agitur. Dengan kata lain, pokok ilmu teologi mempunyai daya serang sehingga manusia yang didekatnya itu dikenainya.
Tentang kewajiban. Kewajiban adalah kenyataan bahwa seorang teolog dikaruniai suatu kemerdekaan yang khas karena fungsi yang mewajibkannya untuk menggunakan kemerdekaan itu secara istimewa. Terdapat hukum yang harus dihormati di seberang segala keheranan dan perkenaan agar teolog dapat mengenal dan mengakui kebenaran. Teologi seakan membuat teolog merasa wajib untuk mencemplungkan dirinya dalam pokok-pokok ilmunya, dengan hukum yang membebaskan.
          Sebagai suatu simpul, Berteologi harus dimulai dengan iman. Iman inilah yang membuat seseorang lalu memiliki sikap keheranan, terkena dan wajib. Iman adalah conditio sine qua non dari ilmu teologi. Di dalam peristiwa iman itu keheranan, keterkenaan, dan kewajiban menyebabkan seseorang menjadi teolog.
          Untuk dapat berteologi, seseorang harus pertama-tama menjadi mendengar firman Allah. Mengapa demikian? Karena teologi adalah jawaban manusiawi terhadap logos Allah. Tanpa mendengarkan firman Allah seseorang tidak bisa berteologi karena tidak memiliki sesuatu yang perlu dijawab. Para teolog adalah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan menyaksikannya secara manusiawi, yaitu melalui pandangan dan cara pikir yang ditentukan oleh waktu dan tempat. Namun demikian, dalam berteologi harus disadari bahwa hasil pengolahan teologi harus “berada di bawah” saksi-saksi pertama dan Alkitab karena merekalah saksi-saksi sejati (otentik) firman Allah.
Yoseph Indra Kusuma