(Kritik atas fenomena ketegangan antara heresi dan ortodoksi radikal dalam Islam)
PENGANTAR
Asyhadu alla ilaaha illallah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah...
Setidaknya kata ini kita dengar lima kali dalam sehari, khususnya di pulau Jawa. Kata ini diperdengarkan bersahut-sahutan dari ratusan masjid yang ada di pulau Jawa. Selain itu, banyak juga fenomena keagamaan yang sedang marak terjadi di Indonesia. Pemakaian jilbab bagi kaum hawa menjadi semacam trend mode tersendiri. Toko pakaian muslim mulai menjamur dan menyediakan jilbab dan busana dalam berbagai warna dan corak khas muslim. Banyak pula bermuculan toko-toko yang khusus menyediakan diri untuk melayani pelanggan khusus muslim, contoh: salon muslimah (di depan Seminari Giovanni) , Bank Syariah, dan warung-warung makan muslim. Tren ini melebar kemana-mana mulai dari siaran manajemen qalbu, konsultasi tasawuf, dzikir akbar bahkan sampai ibu-ibu melarang anak-anaknya untuk tidak membeli makanan instan yang tidak ada label “Halal” dalam kemasannya.
Apakah fenomen-fenomen di atas bisa dikatakan sebagai Kebangkitan Islam Indonesia? Menurut hemat penulis, kiranya kesimpulan demikian terlalu dini untuk dilontarkan. Jawaban atas pertanyaan di atas harus juga mempertimbangkan fakta bahwa sejak tahun 70-an ada banyak fatwa dan kelompok dibentuk untuk membela dan menegakkan “Islam sejati” dengan memberangus kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Pengeboman gereja-gereja kristen dan katolik, pembumihangusan rumah ibadah jemaah Ahmadiyah, penggerebekan dan penjarahan diskotik oleh FPI menjadi deretan fakta-fakta yang harus diperhitungkan. Mungkinkah kebangkitan suatu agama berdiri di atas fakta kekerasan yang dilakukannya terhadap agama yang lain?
Di Indonesia, isu yang menyangkut perbedaan agama gampang sekali tersulut menjadi masalah yang besar. Untuk itu, dalam karya tulis ini penulis ingin mengangkat ketegangan yang terjadi antara “kaum yang disebut heretik” dan “kaum yang disebut sebagai pemegang ortodoksi ajaran” untuk melihat motif-motif yang ada di balik tindakan kekerasan yang kerap terjadi dengan mengatasnamakan agama dan kritik atasnya. Kritik dan fakta ini penulis jabarkan bukan untuk memancing konflik yang lebih parah lagi, tetapi justru sebagai sarana pembelajaran agar konflik tersebut dapat dihindari berkat kesadaran yang lebih baik atas keberagaman agama.
KETEGANGAN ANTARA HERESI DAN ORTODOKSI
Sumber dan Bentuk Ketegangan
Salah satu tema penting dalam membaca fenomena hidup keagamaan di Indonesia adalah konflik antar agama yang terjadi di dalamnya. Konflik antar agama muncul ketika agama mayoritas (Islam) berhadapan dengan agama-agama minoritas lainnya. Seringkali agama minoritas diidentikan dengan kelima agama lain yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia (Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Kong Hu Chu), padahal sejatinya tidak. Jika syarat-syarat terbentuknya suatu agama adalah terdapatnya wahyu, kitab suci, nabi, umat, dan tata cara ibadah, maka kelompok-kelompok seperti Salamullah, Al-Qiyadah al-Islamiyah, Brahman Kumar dan Anand Ashramam dapat disebut juga sebagai agama-agama minoritas yang ikut berkonflik dengan agama mayoritas. Namun, seringkali kelompok-kelompok itu digolongkan dalam kategori heresi dan dituntut atas tuduhan penistaan agama Islam. “Pengakuan dari negara” menjadi suatu kriteria baru yang ditambahkan agar sebuah agama tidak dianggap sebagai aliran sesat/heresi.
Syarat terakhir yang “ditambahkan” secara tersirat dalam kehidupan beragama di Indonesia inilah yang menjadi alasan kematian beratus-ratus gerakan agama baru yang muncul di seluruh nusantara, diantaranya: di Jawa: Sumarah dengan kitab suci Sesanggaman, Pangestu dengan Pusaka Sasengko, Jati Kawruh Kasunyatan dengan Kawula Gusti Murid Sejati, ajaran Ngesti Tunggal; di Aceh: Aliran Bantaqiyah (yang mengumbar tata cara ibadah mirip ajaran Syekh Siti Jenar), Gerakan Ma’rifatullah, dll. Banyak dari aliran ini sudah punah karena agama mayoritas serasa memiliki kewenangan untuk memberangus aliran-aliran ini dengan alasan “sesat” karena belum diakui oleh negara. Namun, kenyataan selanjutnya juga menambahkan bahwa ternyata “Pengakuan dari negara” atas suatu agama juga tidak menjamin keamanan dan kebebasan penganut agama “minoritas resmi” untuk beribadat. Kejadian pengeboman, pengerusakan dan pembakaran gereja-gereja di berbagai kota dan pelemparan batu kepada jemaat yang sedang beribadat menjadi bukti ketidakamanan agama minoritas untuk beribadat.
Lebih lanjut lagi, ternyata kaum pemegang ortodoksi agama mayoritas juga “menempelkan predikat” sesat pada setiap usaha untuk mengkontekstualkan ajaran agama Islam. Yusman Roy, seorang mantan petinju dan kemudian mengasuh Ponpes I’tikaf Ngadi Lelaku di Malang, pernah sempat mendekam dalam penjara karena mengajarkan shalat berbahasa Indonesia. Beberapa orang yang lain juga pernah dimasukkan dalam penjara karena mencoba mengajarkan membaca Al-Quran dengan bahasa Indonesia.
Permasalahan menjadi semakin rumit dan meruncing karena para pemegang ortodoksi agama mayoritas menggunakan tangan pemerintah untuk memasukkan dan menegakkan ajarannya. Karena memiliki massa rakyat yang paling besar, agama mayoritas merasa memiliki kuasa untuk menggunakan tangan pemerintah untuk membentuk hukum-hukum yang “menguntungkan” mereka dan memasung kebebasan penganut agama yang lain. SKB (surat Keputusan Bersama), UU APP dan RUU Sisdiknas menjadi rangkaian usaha para pemegang ortodoksi untuk melestarikan ajarannya dengan meminjam tangan pemerintah. Hal ini menjadi mungkin karena sebagian besar yang duduk di pemerintahan memang orang muslim.
Motif dasar tindakan
Dari berbagai fakta dan tindakan di atas penulis berusaha memikirkan motif apa sebenarnya yang mendasari tindakan mereka itu. Dari berbagai pustaka yang dibaca penulis, ternyata yang menjadi alasan utama berbagai tindakan mereka tersebut bersumber dari kalimat shahadat itu sendiri. Asyhadu alla ilaaha illallah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah... Mereka ingin menegakkan monoteisme di Indonesia secara konsisten. Monoteisme dianggap sebagi inti sari ajaran dalam Islam sehingga asli atau tidaknya Ke-Islam-an diukur dari sejauh mana monoteisme telah “berkompromi” dengan masyarakat di sekitarnya. Semakin banyak “kompromi” yang dilakukan, semakin melenceng jauhlah ia dari Islam yang sejati.
Agama-agama non-islam yang lain (baik yang “resmi” maupun tidak) dianggap membahayakan monoteisme yang mereka pegang karena masing-masing agama membawa ajaan tentang Allah yang berbeda-beda. Membiarkan agama-agama itu berkembang sama dengan membiarkan konsep Allah yang benar menjadi kabur karena konsep Allah yang berbeda-beda dari masing-masing agama itu. Maka, satu-satunya cara yang dapat ditempuh ialah memberantas praktek-praktek agama dan menganggapnya sebagai heresi/aliran sesat karena “belum diakui oleh pemerintah”. Namun, bagi agama-agama yang sudah terlanjur “diakui oleh pemerintah” cara “pemberantasan” ini tidak dapat dilakukan dengan terang-terangan karena ada pasal undang-undang dasar yang mengatur secara jelas perlindungan terhadap warga negara untuk beribadah. Oleh karena itu, “pemberantasan” dilakukan dengan menebar teror bagi penganut agama lain ketika hendak beribadah. Hal ini paling jelas dapat kita saksikan ketika penganut agama-agama minoritas sedang merayakan hari besar keagamaannya. Berapa pleton polisi yang dikerahkan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan saat merayakan Natal dan Paskah? Selain itu, perkembangan jumlah penganut agama-agama minoritas biasa dilakukan dengan mempersulit ijin mendirikan tempat ibadah.
Dari kacamata motif dasar tersebut tindakan-tindakan mereka di atas justru tampak memiliki tujuan yang mulia. Monoteisme yang dijunjung tinggi dan ditegakkan adalah monoteisme yang tidak mengakui adanya pluralitas karena memang hanya ada 1 Tuhan. Kebenaran itu hanya 1 dan yang lain pasti bukan kebenaran. Menjunjung tinggi dan menegakkan monoteisme sama dengan membela dan menjunjung tinggi satu-satunya Tuhan yang benar.
PEMIKIRAN PENULIS
Kritik penulis atas monoteisme (sebagai motif dasar tindakan) ortodoksi radikal Islam
Penegakan monoteisme yang demikian membentuk masyarakat yang sulit menerima pluralitas karena memang masing-masing agama dianggap memiliki Allah dan Kebenaran yang berbeda dan saling bersaing untuk menjadi yang “Paling Benar”. Persengketaan posisi “paling benar” ini harus dilakukan karena menurut mereka memang hanya ada satu tempat untuk 1 kebenaran dan yang lain pasti bukan kebenaran.
Menurut hemat penulis, pandangan seperti ini sudah terjebak dalam antropomorfisme tentang Tuhan. Tuhan dianggap seperti seorang raja yang perlu dibela oleh rakyat dan tentara-tentaranya. Kemahakuasaan Tuhan dibandingkan dengan kekuasaan seorang raja yang harus mengalahkan raja lain untuk dapat memperluas wilayah kekuasaannya. Tuhan yang satu harus mengalahkan atau mungkin “membinasakan” Tuhan yang lain agar penganutnya semakin bertambah. Kemahakuasaan Tuhan berbanding lurus dengan jumlah penganutnya, karena semakin banyak penganut semakin besar pula kekuatan yang dapat dihimpun dari himpunan massa itu. Penganut suatu agama dianggap menjadi tentara yang harus siap berperang untuk membela Tuhannya. Oleh karena itu, mau tidak mau, Tuhan yang satu harus menjadi serigala yang siap menerkam Tuhan yang lain. Apakah Tuhan memang perlu dibela dengan cara yang semacam ini? Konsep ketuhanan semacam ini bukan lagi merupakan wujud monoteisme tetapi justru merupakan wujud monolatri modern yang cenderung mengarah pada mono-religion (satu agama).
Ada tiga kritik utama yang dapat penulis lontarkan terhadap konsep monoteisme yang diusung oleh pihak-pihak yang mengaku diri sebagai penjaga ortodoksi ajaran islam, yakni:
- Pertama, monoteisme telah dipahami dengan tidak utuh dan tidak kritis sehingga pada perkembangannya paham justru tersebut melahirkan eksklusivitas agama dan praktik keagamaan nonkompromis yang tidak memberikan ruang dialogis terhadap nilai-nilai kultural yang telah ada jauh sebelum paham tersebut tiba di Indonesia. Maksudnya, konsep monoteisme yang dimengerti oleh pihak-pihak yang mengaku diri sebagai penjaga ortodoksi ajaran islam justru menghancurkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang sudah ada di Indonesia lebih dahulu.
- Kedua, praktik keagamaan cenderung bergeser dari aspek religiusitas murni menjadi aspek politik praktis yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya partai politik maupun kelompok masyarakat mengatasnamakan agama tertentu sebagai dasar ideologinya. Hal ini terbukti dengan tidak henti-hentinya usaha dari beberapa golongan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam yang berazaskan Syariat.
- Ketiga, bentuk ekstrem dari paham monoteisme, yakni fundamentalisme, dewasa ini semakin menggejala dan dalam tahap-tahap tertentu rentan mereduksi nilai-nilai lokal.
Kritik penulis atas labelisasi suatu kelompok sebagai heresi dan ortodoksi
Di Indonesia ada kecenderungan untuk membedakan dengan ketat antara agama mainstream (aliran induk) dan agama sempalan (splinter group). Agama mainstream biasa diidentikkan dengan agama-agama besar di Indonesia yang telah diakui oleh pemerintah. Sebaliknya, agama sempalan/sekterian mengandung konotasi negatif seeperti protes terhadap dan pemisahan diri dari agama mainstream. Penulis melihat pembedaan istilah antara agama mainstream dan agama sempalan bukannya tanpa masalah. Ada dua problem yang sekurang-kurangnya bisa diangkat berkaitan dengan hal ini.
Pertama, dari sosiologi agama, berbicara tentang agama sempalan selalu harus bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi (ajaran yang benar) yang menjadi mainstream (aliran induk) dalam suatu masyarakat, karena agama sempalan merupakan agama yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Kesulitan pertama muncul dari sini, yakni, “Apa tolak ukur dari ortodoksi?”. Tanpa tahu terlebih dahulu tolak ukur ortodoksi, istilah sempalan menjadi kabur dan tidak bermakna karena tidak ada pembandingnya. Dalam kasus umat Islam dewasa ini, ortodoksi seringkali dianggap terwakili oleh badan-badan ulama yang berwijawa seperti MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU dan sebagainya. Sebagai pembanding, agama non islam juga memiliki KWI, Walubi, PGI, PHDI, dsb. Namun, persoalan tidak hilang dengan rujukan ortodoksi ini karena seringkali badan-badan ulama yang berwibawa ini saling menolak putusan-putusan yang dibuat oleh badan ulama yang lain, contoh: Syuriah NU jelas-jelas menolak Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme. Lalu kepada siapa sebenarnya ortodoksi ini dapat disandangkan?
Kedua, seringkali yang terjadi ialah suatu agama baru dianggap sempalan/sesat setelah ada fatwa yang melarangnya, contohnya: kasus Ahmadiyah Qadian (Islam Jama’ah). Padahalnya, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ulama di negara-negara bagiannya. Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita bisa memastikan apakah suatu aliran termasuk semapalan atau bukan? Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa konsep ortodoksi kelihatannya adalah sesuatu yang bsa berubah menurut zaman dan tempatnya. Apa yang dianggap “salah” di sini dan sekarang, bisa saja dianggap “benar” di kemudian hari atau di tempat yang lain. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah konsep sempalan pun sangat bersifat kontekstual. Satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa yang sempalan dan yang ortodoks merupakan sesuatu yang sangat kontekstual adalah Gerakan Islam Liberal. Awalnya Gerakan Islam Liberal begitu dihujat dan dianggap sesat oleh beberapa kalangan pemegang arus ortodoksi. Bahkan, mereka mencap para penganut Islam Liberal sebagai penganut sesat dan tergolong kafir. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tampaknya Gerakan Islam Liberal justru mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan, terutama kaum muda yang memperoleh akses pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Dan justru, kekuatan Islam Liberal sekarang ini mampu menandingi gejala fundamentalisme di Indonesia.
Monoteisme yang sehat
Monoteisme bernaung di bawah sila Ketuhanan yang Maha Esa. Ke-Esa-an Tuhan dalam sila ini hendaknya dimengerti bahwa semua agama sebenarnya menyembah “Allah yang satu”. Pengertian ini penting untuk membendung kecenderungan tiap agama untuk mengkalim bahwa “Satu-satunya Allah” yang benar ada dalam agama kami. Perbedaan ajaran dan tata hidup dalam masing-masing agama hendaknya dimengerti sebagai keterbatasan manusia untuk mengenal Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang secara persis mengetahui bagaimana Tuhan sebenar-benarnya dan bagaimana tata hidup manusia yang paling berkenan di hadapan Tuhan. Agama-agama samawi seharusnya bekerja sama untuk memancarkan kebaikan dan kehendak Tuhan demi mengangkat kemanusiaan manusia. Sebaliknya, agama yang justru mengajarkan untuk memusnahkan manusia lain demi kemuliaan Allah yang lebih besar, adalah agama yang patut kita waspadai bersama.
Daftar Pustaka
Fadl, Khaled Abou El. Cita dan Fakta Toleransi Islam. Bandung: Arasy Mizan, 2003.
Jamil, M. Mukhsin. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Manji, Irshad. Beriman Tanta Rasa Takut. Jakarta: Nun Publisher, 2008.