Thursday, March 7, 2013

FACEBOOK: SEBUAH AREOPAG BARU BAGI MISI PASTORAL KAUM MUDA


Pengantar           
Penggunaan jejaring sosial sudah menjadi sebuah kebiasaan massal yang begitu lumrah, bahkan dewasa ini mulai meningkat menjadi suatu kebutuhan bagi beberapa orang. Tulisan ini ingin secara singkat mendalami efek-efek dan peluang-peluang yang bisa dimunculkan dalam misi pastoral bagi kaum muda. Karena ada begitu banyak situs jejaring sosial yang ada saat ini, penulis membatasi pembahasan hanya soal penggunaan salah satu jejaring sosial, yaitu facebook.com dalam kehidupan beriman.
Status Questionis
Bagaimanakah dampak penggunaan facebook dalam kehidupan beriman? Apa saja keunggulan/kelebihan yang dibawa oleh media ini sehingga begitu populer? Apa saja ekses-ekses negatif yang harus dan dapat dihindari ?
Teknologi dan Perkembangannya
Dewasa ini manusia hidup dalam dunia yang mengalami perkembangan yang super pesat. Hampir tiap detik tercipta sebuah terobosan baru dalam sains dan teknologi yang berpotensi memudahkan dan bahkan mengubah hidup manusia. Hampir setiap hari tercipta alat baru canggih yang membantu manusia dalam melaksanakan rutinitas hariannya. Salah satunya adalah memudahkan manusia dalam berkomunikasi, seperti mobilephone, smartphone, netbook, superbook, dan lain-lain. Namun, semua benda tersebut baru bisa berfungsi dengan baik bila sudah terhubung dengan internet. Pada masa ini, internet sudah menjadi sebuah konsumsi massa. Di beberapa negara bahkan internet menjadi suatu komoditas yang sudah tidak bisa tidak harus ada karena menyangga hampir semua segi kehidupan, mulai dari perekonomian hingga politik. Bahkan, ada gerakan warga negara di beberapa negara canggih yang ingin memasukkan internet sebagai “hak asasi”.
Internet
Beberapa tahun belakangan ini penggunaan internet di Indonesia meningkat pesat dengan adanya situs-situs jejaring sosial. Dimulai dengan friendster.com, plasatelkom.net, twitter.com hingga yang paling populer saat ini (di Asia) adalah facebook.com. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu dari 3 negara yang memiliki jumlah pengguna facebook terbesar di dunia. Lahirnya situs-situs jejaring sosial ini sebenarnya menandai sebuah era baru bagi peradaban pergaulan manusia, yakni: era multimedia dan digital. Inilah yang disebut oleh Redemptoris Missio sebagai "kebudayaan baru, yang berasal mula tidak justru dari muatan manapun yang begitu saja diungkapkan, tetapi dari kenyataan sendiri, bahwa ada cara-cara baru berkomunikasi, disertai bahasa-bahasa baru, teknik baru dan psikologi baru. (RM, art. 37).
Jejaring sosial Facebook
Facebook adalah sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Havard dan mantan murid Arsdslev High School. Situs ini dibuat pada awalnya hanya untuk jejaring sosial keanggotaan siswa dari Havard College, namun kemudian keanggotaannya diperluas ke sekolah-sekolah lain. Sejak tanggal 11 September 2006, siapapun yang memiliki alamat email dapat mendaftar, sehingga dapat diakses oleh seluruh orang di dunia dan hal ini membuat jumlah pengguna facebook melonjak.
Facebook sudah lahir pada tahun 2004, namun jejaring sosial baru populer  di Indonesia pada tahun 2008. Tahun tersebut menjadi tahun awal berkembang pesatnya situs ini di Indonesia dan meninggalkan situs jejaring yang populer sebelumnya, yaitu friendster.com. Peningkatan pengguna facebook yang cukup pesat ini dipicu oleh kemudahan akses yakni dapat diakses melalui telepon genggam atau HP.
Facebook ini sangat populer di Indonesia dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Banyak orang begitu tergila-gila dengan situs ini sampai-sampai tidak ada satu hari pun tanpa membuka situs ini dan menjadikan mereka resah ketika suatu saat situs ini tidak dapat diakses. Facebook ini menjadi suatu budaya, tidak hanya di kalangan kaum muda melainkan para orang tua. Budaya ini merasuk dalam setiap lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah, atau pun bawah. Dengan munculnya budaya ini menjadikan banyak orang kini membutuhkan askes internet. Banyak kafe atau pun foodcourt yang memasang akses internet via wifi demi menarik para pengunjung. Banyak kaum muda yang pergi ke kafe dengan tujuan untuk bisa facebook-an.
Kosmologi baru dalam facebook
Media komunikasi sosial membentuk dunia, kebudayaan-kebudayaannya, dan cara-cara berpikir (EA, art. 48). Penggunaan facebook yang begitu masif tentu saja membawa dampak yang tidak sedikit dalam mindset generasi jaman sekarang. Berikut ini adalah beberapa poin refleksi penulis terhadap perubahan kosmologis yang terjadi akibat dari berkembangnya penggunaan facebook. Perubahan kosmologis yang dimaksudkan adalah adanya perubahan “aturan main” di dunia fisik dengan di dunia virtual.
Kerapkali “dunia” dalam internet disebut sebagai dunia maya. Namun, penulis sendiri kurang setuju dengan sebutan tersebut karena sebutan “maya” seakan-akan menimbulkan kesan “tidak asli”/”tidak benar-benar terjadi. Padahal, apa yang terjadi dalam monitor komputer dapat sungguh-sungguh berimbas dalam hidup nyata sehari-hari, misalnya: beberapa kesalahan mengklik dapat mengakibatkan seseorang bangkrut karena saldo dalam rekening bisa terkuras habis melalui internet-banking, ada begitu banyak contoh bagaimana perkenalan dan keakraban dalam situs-situs jejaring berakhir di Gereja atau KUA, pelecehan dan pencemaran nama baik yang terjadi di dunia yang disebut “maya” ternyata juga membawa si pelaku untuk mendekam di hotel rodeo selama waktu yang ditetapkan di meja hijau. Penulis pribadi lebih setuju dengan istilah dunia virtual, karena apa yang ada di internet adalah sesautu yang benar terjadi, tetapi hanya dapat kita lihat, tetapi tidak bisa kita raba, cium dan sentuh.
Dalam dunia virtual ini, bukan hanya batas-batas geografis saja yang ditembus, tetapi bahkan batas-batas strata sosial pun dirombak dan dibangun ulang. Account yang dimiliki oleh seorang anak SMP/SD bisa menjadi Administator/Webmaster/ dari sebuah situs/group dan bisa saja menendang (meng-kick) atau mem-banned account dari gurunya atau bahkan seorang profesor terkenal jika ia menginginkannya. Dunia virtual memunculkan kesempatan bagi orang-orang muda untuk menciptakan aturan bagi dunia yang baru ini.
Dalam dunia virtual jangan harap kita akan dihormati orang hanya karena apa yang kita miliki, misalnya: kekayaan, ketampanan, kepintaran, ataupun popularitas. Juga jangan berharap kita dihormati seseorang karena profesi atau jabatan kita, misalnya: seorang imam, suster, doktor, professor. Semua orang memiliki kesederajatan dan kesamaan. Hal ini bisa terjadi karena prinsip mendasar yang ada dalam dunia virtual, yakni Anonimitas Identitas. Prinsip Anonimitas identitas bermula dari fakta bahwa Internet dijaman sekarang belum mempunyai teknologi yang memadai yang mampu mengidentifikasi individu-individu yang terjun ke dunia virtual, sehingga orang dengan mudah dapat memalsukan identitasnya. Prinsip anonimitas identitas ini yang juga membuat internet penuh dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat karena orang bisa dengan mudah bersembunyi dalam identitas-identitas samaran.
Facebook Sebagai Sarana Pastoral Kaum Muda
Gereja mempunyai tugas untuk mendampingi kaum muda dalam menemukan jati diri dan pegangan hidupnya. Maka dari itu diperlukan suatu pelayanan pastoral yang mengkhususkan diri dalam pembinaan kaum muda. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pelayanan pastoral kaum muda adalah sebagai berikut: data kaum muda (mendata dan mengkategorikan kaum muda), fokus pelibatan (apa yang menjadi fokus dalam pendampingan kaum muda harus bersumber pada data yang diperoleh), mengatur langkah-langkah (memperhitungkan kemungkinan untuk  menjangkau sebanyak mungkin orang), menentukan metode dan aktivitas (ada banyak cara yang bisa dipakai), memberi kesempatan kepada kaum muda[1].
Telah kita lihat di atas bagaimana pengaruh facebook dalam kehidupan masyarakat. Realitas yang terjadi adalah facebook menjadi kegemaran bagi masyarakat, terutama kaum muda dan membawa pengaruh yang signifikan bagi perkembangan hidup mereka. Berangkat dari realitas ini, Gereja melihat suatu peluang yang terbuka lebar, yakni apakah Gereja dalam pelayanan pastoralnya dapat masuk ke dalam kehidupan facebook dan mendampingi anggotanya yang terlibat dalam jejaring sosial tersebut.

Facebook sebagai areopag baru bagi misi pastoral kaum muda
Dalam nota pastoral Keuskupan Agung Semarang menyarankan kaum muda agar mampu berjejaring dengan komunitas atau kaum muda yang lain[2]. Hal ini perlu dilakukan agar dapat menampakkan Gereja sebagai suatu persekutuan. Facebook ini menjadi salah satu rujukan untuk dapat menciptakan jejaring sosial tersebut. Sekarang tantangan bagi pelayanan  pastoral Gereja aalah untuk bisa mendampingi jejaring ini melalui pastoral facebook  atau pastoral dunia maya. Tidak sedikit para rohaniwan-rohaniwati/biarawan-biarawati yang sudah menggunakan sarana facebook sebagai salah satu bentuk pendampingan pastoral.
Kosmologi baru dunia virtual seperti yang sudah penulis jelaskan di atas membuat penulis ingin mengidentikkan Facebook sebagai sebuah areopag yang baru. Di jaman para filsuf-filsuf awal (sokrates, plato, aristoteles), areopag (areophagus) adalah tempat keramaian dimana banyak orang berkumpul untuk melakukan berbagai aktivitasnya. Ada yang berjualan, ada yang berdiskusi, ada yang mengajar, ada yang menjambret, ada yang sedang bersih-bersih, ada yang sedang berdoa, ada yang sedang bercinta dan sebagainya.
Dalam dunia Perjanjian Baru pun, tempat areopag ternyata masih ada. Kesaksian tentang hal ini bisa dilihat dari kisah Paulus dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di Areopag Paulus mewartakan Yesus sebagai Allah kepada orang-orang Yahudi, Farisi, bahkan Saduki. Memang tidak bisa dipungkiri ternyata di Athena Paulus belum berhasil untuk berinkulturasi dengan budaya setempat (walaupun pada awalnya kelihatan berhasil), karena ternyata beberapa orang masih menganggap remeh Paulus dengan mengatakan "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu." (Kis 17:32).
Persamaan Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Dalam bayangan penulis, facebook pada saat ini memang merupakan bentuk areopag yang baru. Di dalam facebook orang punya bermacam-macam kepentingan, mulai dari: berdagang, berdiskusi, berdebat, menasihati, melaporkan peristiwa, mengintimidasi, sampai pada mengadakan kesepakatan-kesepakatan yang penting. Di dalam facebook, seperti di jaman Paulus, orang bebas berbicara. Orang bebas berpendapat dan mengungkapkan apa saja. Facebook menjadi semacam pasar dengan berbagai kepentingan.
Selain itu, seperti halnya areopag jaman dahulu, di facebook juga terdapat banyak orang yang berkumpul di tempat itu. Pengunjung facebook dari berbagai usia, budaya, kewarganegaraan, bahasa, agama dan interese tumplek bleg di situs ini. Dari pengamatan penulis, mayoritas pengguna facebook adalah masih kaum muda. Mereka hadir secara sukarela dan kontinu di facebook.
Bagi orang Yahudi jaman Paulus, satu-satunya tempat yang agak longgar dari pengawasan kekaisaran romawi adalah di areopagus. Di situ ada kebebasan berpendapat yang sangat longgar. Orang bisa berbicara dengan bebas tanpa takut ditahan oleh pasukan romawi. Orang lebih bebas untuk berkumpul dan berserikat tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu. Demikian jugalah yang terjadi di facebook. Orang bebas berbicara mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Baru beberapa waktu belakangan ini saja ada beberapa pihak yang mempermasalahkan tulisan-tulisan orang-orang tertentu di facebook dan menuntutnya ke pengadilan karena tulisannya bernada melecehkan/menghina agama tertentu. Sikap ini sebenarnya muncul dari golongan yang tidak paham benar dengan kosmologi baru dalam dunia virtual.
Perbedaan Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Satu perbedaan menonjol yang jelas sekali dapat teramati antara areopagus jaman Paulus dan facebook. Sebagai areopagus jaman ini adalah tidak adanya komunikasi bersemuka (face to face) antara person-person yang sedang berkomunikasi. Hal ini membuat komunikasi yang terjadi di facebook terbatas pada tulisan hasil ketikan. Tidak ada suara dan gesture-gestur tubuh yang dapat terkirim lewat facebook. Beberapa waktu belakangan ini muncul bahasa simbol berupa ikon atau emoticon yang berusaha menyampaikan ekspresi dari lawan bicara, misalnya: simbol “J” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang tersenyum, simbol “L” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang sedih (bad mood), dsb.
Di samping itu, hal yang membedakan lagi ialah kenyataan bahwa tulisan hanya bisa membawa kumpulan informasi di dalamnya. Tulisan tidak mampu menampung kesaksian hidup yang hanya bisa dicerap oleh mata, telinga, dan kulit dalam kontak langsung di kehidupan sehari-hari. Padahal, kesaksian hidup merupakan sumber informasi yang paling dapat dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber informasi yang lain.
Keuntungan Facebook sebagai areopag baru
            Ada beberapa keuntungan nyata yang bisa dirasakan ketika Gereja sungguh menghayati Facebook sebagai sebuah areopag baru dalam misi pewartaannya pada kaum muda, yakni:
Pertama, sebagai sebuah areopag baru, facebook membuka kemungkinan katekese dan pewartaan selebar-lebarnya. Setiap orang bebas untuk mengungkapkan pendapatnya di dunia virtual ini. Regulasi-regulasi negara (misalnya: Indonesia) yang begitu ketat mengatur pewartaan agama menjadi serasa tidak berlaku lagi. Setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapat dan keyakinan agamanya.
Kedua, jarak geografis antara si pewarta dan calon penerima warta tidak lagi menjadi penghalang. Ruang untuk pewartaan terbuka sangat luas karena orang tidak perlu menyediakan tempat aula atau tempat pertemuan khusus dengan segala akomodasi dan konsumsinya. Pertemuan di dunia virtual secara nyata membuat biaya menjadi lebih murah karena setiap peserta bertanggung jawab akan kebutuhannya sendiri. Tidak perlu ada panitia dengan segala seksi-seksinya untuk mengadakan pertemuan di dunia virtual.
Ketiga, yang menjadi keluhan dalam tiap pertemuan pendalaman iman di lingkungan ialah bahwa jumlah orang yadir di dalam pertemuan semacam itu sangat sedikit bila dibandingkan dengan doa Rosario dan sebagainya. Bisa diandaikan bahwa jumlah kaum muda yang terlibat dalam pertemuan pendalaman iman di lingkungan pun sangat sedikit sekali. Namun, fenomena berbeda akan kita temui ketika kita berada di dunia virtual. Di facebook, misalnya, banyak sekali apologet dan katekis volunter muda muncul tanpa komando dari siapapun. Mereka muncul begitu saja secara sukarela. Bisa dilihat bahwa banyak dari mereka membaca dokumen-dokumen Gereja dan bahkan beberapa dari mereka mungkin membaca lebih banyak dari yang dibaca oleh para calon imam.
Bahaya dan kerugian Facebook sebagai areopag baru yang harus dihindari
            Penggunaan facebook sebagai sebuah areopag baru dalam pewartaan bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi ada manfaat yang begitu besar, tetapi di sisi lain juga ada bahaya dan kerugian yang timbul jika tidak diwaspadai. Dalam pengalaman, refleksi dan studi penulis ada beberapa bahaya dan kerugian nyata yang muncul juga ketika memasuki areopag yang baru ini, yakni:
            Pertama, harus disadari bahwa penggunaan facebook membuat nilai personal-interpersonal dalam komunikasi antar manusia berkurang (physical touch). Melalui facebook seseorang bisa tahu bahwa sahabatnya sedang dalam masalah atau gejolak hati dan di facebook pula orang bisa memberikan nasihat dan penghiburan, tetapi di facebook kita tidak bisa menyentuh orang tersebut, menggenggam tangannya, menatap matanya dan mungkin memeluknya. Penggunaan facebook yang terus menerus membuat orang tidak lagi terbiasa untuk menggunakan sentuhan fisik (physical touch) dalam komunikasinya. Komunikasi cenderung dingin dan tidak ada kehangatan di dalamnya.
            Kedua, kemurnian dan kejujuran ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat diragukan. Rupanya beberapa orang ingin mengatasi kelemahan facebook yang telah disebut pada poin pertama dengan membuat emotikon-emotikon yang bisa berfungsi untuk menunjukkan ekspresi orang tersebut ketika sedang mengungkapkan sesuatu. Kalimat “Kamu jelek” bisa memiliki makna yang berbeda jika diakhiri dengan symbol “:-p” (emoticon wajah orang yang sedang menggoda), ataupun “:-D” (emoticon ekspresi tertawa), atau bahkan “>:(“ (emotikon ekspresi orang marah). Menurut beberapa orang penggunaan emoticon cukup membantu untuk mengungkapkan ekspresi pembicara dalam suatu chatting. Namun, harus disadari dengan baik bahwa kemurnian dan kejujuran ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat bisa diragukan. Penggunaan emoticon tidak bisa mewakili suasana hati karena siapa saja bisa membuat emoticon yang bertentangan dengan suasana hatinya.
            Ketiga, facebook bisa juga menimbulkan efek kontraproduktif bagi relasi antara manusia. Relasi semu dalam facebook membuat orang gampang salah paham dengan temannya. Banyak contoh kesalahpahaman yang bisa dimunculkan sebagai akibat dari kekurangsadaran akan relasi semu yang terbentuk dalam facebook, misalnya: Seseorang bisa terlalu percaya diri dan merasa paling mengerti keadaan diri temannya karena dia selalu mengikuti update-update status dari temannya tersebut, padahal dalam kenyataannya belum tentu demikian; seseorang merasa terpukul sekali ketika temannya marah-marah dengan dia di facebook dan membuat account-nya tidak bisa berhubungan dengan account temannya, padahal mungkin temannya tidak bermaksud sungguh-sungguh memutuskan tali persahabatan dengannya; seseorang menjadi marah sekali dengan sahabatnya yang tidak segera membalas message darinya padahal mungkin saja message tersebut tidak terkirim karena server facebook yang sedang error, dsb.
Beberapa solusi pemecahan dan kesimpulan
            Facebook memiliki potensi yang besar sekali untuk dapat digunakan sebagai areopag yang baru dalam pewartaan. Ruang pewartaan menjadi tak terhalangi lagi dengan sekat-sekat geografis, suku bangsa dan bahasa. Banyak orang lintas agama pun bisa mendengarkan pewartaan dari agama lain tanpa merasa rikuh dan aneh. Facebook sungguh bisa menjadi sarana evangelisasi jaman ini. Bila hal ini dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan tujuannya maka pastoral kaum muda saat ini akan memperoleh wajah baru. Bukan hanya dengan cara klasik dengan rekoleksi atau pun retret, melainkan melalui dunia virtual. Jaringan komunikasi antar pribadi ini bukan sekadar membangun suatu komunitas maya (virtual community), melainkan komunitas batin (spiritual community)[3].   Gereja perlu menjajagi cara-cara mengintegrasikan secara mendalam media massa ke dalam perencanaan dan kegiatan pastoralnya, supaya berkat penggunaan efektif media itu kuasa Injil dapat menjangkau masih lebih jauh lagi orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa seluruhnya, dan meresapi kebudayaan-kebudayaan Asia dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. (Ecclesia in Asia, art 47)
            Namun demikian, perlulah dilakukan beberapa hal juga untuk mengatasi bahaya-bahaya yang muncul dari penggunaan facebook. Beberapa poin solusi yang menjadi buah pikir penulis dalam mengatasi permasalahan ini antara lain:
-          Ruang tipu menipu terbuka luas dalam facebook karena adanya prinsip anonimitas identitas yang meraja lela. Namun demikian, sebenarnya prinsip ini belum merupakan prinsip yang baku. Untuk itu, sebagai langkah awal untuk memberantas anonimitas identitas perlu bagi para pemimpin Gereja untuk mulai memberi contoh dengan  bertanggungjawab terhadap identitas accountnya di dunia maya meskipun tidak ada keharusan. Cara ini bisa dilakukan secara praktis dengan tidak memakai nama ataupun foto palsu dalam account-account jejaring sosialnya.
-          Perjumpaan di dunia virtual haruslah mengarah pada pertemuan personal. Harus disadari bahwa relasi yang terbentuk melalui situs jejaring social bukanlah relasi yang sejati. Relasi virtual yang demikian hanyalah relasi yang semu. Untuk itu, perlu diusahakan agar relasi di dunia virtual tidak berhenti di dunia virtual saja tetapi harus mengarah pada pertemuan personal. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa group-group katolik dan lintas agama dengan mengadakan kopdar (kopi darat/ pertemuan fisik secara langsung di suatu tempat).
-          Banyak anak yang menerima informasi-informasi yang sebenarnya belum saatnya ia terima (misalnya: lirik lagu orang dewasa yang penuh dengan gejolak emosi dan pergulatan yang tidak sesuai dengan anak-anak). Untuk itu, agen-agen pendidikan anak, seperti: keluarga, sekolah dan Gereja memang perlu mengontrol informasi yang diterima anak sedapat mungkin. Jangan membiarkan anak dididik oleh internet dan media. Keluarga, sekolah dan Gereja harus tetap menjadi agen penyedia informasi utama bagi perkembangan anak yang baik dan sehat.
-          Pemimpin agama harus menjalankan peran-peran sebagai pengawas dan pengontrol jaringan komunikasi berbasis komputer, dan penyaring informasi yang bersikap obyektif dan netral. Menunjukkan kepemimpinan yang tegas tidak berarti menyangkal perkembangan pesat komunikasi berbasis komputer, melainkan mengembangkan kebaikan-kebaikan yang dibawanya.
Mengakhiri tulisan saya ini, penulis ingin mengutip apa yang menjadi pengalaman Mgr. Pujasumarta, mantan Uskup Bandung dan Uskup Agung Semarang saat ini. Beliau cukup aktif dalam menyebarkan Kabar Gembira Allah lewat dunia maya.
Beliau mengatakan bahwa,: “Melalui internet, Kabar Gembira yang saya bagikan tidak hanya tersebar lebih cepat tapi juga menjangkau lebih banyak orang. Saya membagikan pengalaman dan pemikiran spiritual yang syukur-syukur bisa mencerahkan orang lain, saya juga terutama ingin mendengarkan apa yang menjadi isi hati mereka. Syukur bahwa ada banyak orang yang menangkap kata-kata saya sebagai Kabar sukacita bagi mereka”[4].

Yoseph Indra Kusuma



[1] Bdk. Nota pastoral Keuskupan Agung Semarang, (http://notapastoralkas2009.blogspot.com/2009/02/nota-pastoral-keuskupan-agung-semarang.html,diakses 3 Des 2012).
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Wawancara Ucan Internet Memperluas Jangkauan Pastoral Uskup,(http://www.ucanews.com/, diakses tangal 3 Desember 2012). 

No comments:

Post a Comment