Kompetensi,
Profesionalitas dan Guru
Dalam UU RI nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen disebutkan bahwa:
a. Kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
b. Profesional adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
c. Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Bertolak dari pengertian di atas,
semua orang akan sependapat bila dikatakan bahwa tidak sembarang orang bisa
menjadi guru. Seorang Guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku,
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, yang harus dimiliki, dihayati,
dan dikuasai olehnya. Semua hal ini mutlak dimiliki oleh seorang guru
karena pada hakikatnya seorang guru
sangat dipercaya oleh orang tua peserta didik untuk memikul sebagian tanggung
jawab pendidikan anaknya. Di berbagai negara, profesi guru amat dihormati oleh
masyarakat karena merekalah yang mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa
itu.
Siapapun tentu sependapat bahwa
guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan. Saya memandang
bahwa tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi pembicaraan yang omong kosong.
Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan dan
pembangunan yang lebih luas dan menyeluruh. Prinsip inilah yang ditanamkan
negara Jepang yang banyak diikuti negara lain sehingga cepat maju
pembangunannya. Ketika Provinsi Hirosima dan Nagasaki di Jepang
diluluhlantakkan oleh bom atom pada perang dunia II (1945), Kaisar Jepang bertanya,
"Masih ada berapakah guru yang hidup"? Hal Ini menunjukkan betapa
besar perhatian Kaisar Jepang terhadap pendidikan dan betapa besar peranan guru
dalam pembangunan suatu bangsa.
Guru sebagai Pengajar
Sebagai pengajar, guru berkewajiban
membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang
belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang
dipelajari. Ini berarti bahwa sebagai pengajar, guru hanya dituntut untuk
memberikan pelajaran kepada peserta didik supaya mereka cerdas dan dapat
memahami pelajaran yang diberikan. Artinya, sebagai tugas pengajar, yang
diutamakan adalah membina kecerdasan intelektual peserta didik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) disebutkan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar. Kata "mengajar" mengandung arti
memberi pelajaran, tetapi dapat pula berarti melatih. Sedangkan kata
"pendidik" menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik
atau yang memelihara serta memberi latihan mengenai budi pekerti atau akhlak
dan kecerdasan pikiran.
Sebagai pendidik, guru adalah tokoh,
panutan para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut
untuk memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab,
wibawa, kemandirian, disiplin, dan kompetensi serta profesionalisme. Pada guru
dituntut tanggung jawab dan kepribadian yang utuh. Kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya,
ataukah akan menjadi perusak bagi hari depan anak didik (terutama pada tingkat
dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (peserta didik tingkat
sekolah menengah).
Berkaitan dengan tanggung jawab, menurut
pandangan penulis, guru harus mengetahui serta memahami nilai budaya, norma
agama, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai nilai budaya dan norma
agama yang berakar kuat di masyarakat. Guru harus bertanggung jawab melaksanakan
pembelajaran untuk mengembangkan peserta didik menjadi cerdas dan sekaligus
berbudi pekerti luhur sesuai dengan nilai budaya dan norma agama yang
berkembang di masyarakat.
Dengan demikian, guru sebagai pendidik
berarti bahwa selain mengajar, ia juga mendidik anak menjadi berbudi pekerti
luhur. Artinya, selain membina kecerdasan intektual anak, ia juga membina
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial peserta
didik. Oleh karena itu, seorang guru harus melaksanakan tugasnya secara
profesional dan mesti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
dan kompetensi sosial.
Kompetensi pedagogik guru,
sekurang-kurangnya meliputi; pemahaman wawasan atau landasan kependidikan,
pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus,
perancangan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilkinya.
Kompetensi kepribadian guru,
sekurang-kurangnya harus meliputi: mantap, stabil emosi, dewasa, arif dan
bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial guru,
sekurang-kurangnya meliputi: kompetensi berkomunikasi lisan, tulisan, dan atau
isyarat, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional,
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional guru merupakan
kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam dalam
melaksanakan tugas yang sungguh-sungguh, teliti, dan bertanggung jawab.
Dari uraian di atas, saya berpandangan,
bahwa dalam proses pembelajaran, guru dituntut kemampuannya untuk
mengembangkan potensi peserta didik sehingga terjadi perubahan pada peserta
didik tersebut. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan sikap dan perilaku
serta yang lainnya ke arah yang lebih positif. Misalnya, perubahan dari tidak
berilmu menjadi berilmu, dari tidak etis menjadi etis, dan dari malas menjadi
rajin.
Fenomena
Guru di Indonesia
Di Indonesia, sungguh disayangkan
sekali karena selama ini, guru ternyata belum mendapatkan posisi yang
seharusnya ditempati. Guru masih termaginalkan atau berada pada posisi
peripheral atau terpinggirkan dalam kebijakan program pembangunan pendidikan.
Tampak jelas bahwa penghargaan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap guru
masih rendah. Guru sejatinya mendapat perlakuan yang lebih terhormat dari
berbagai pihak, karena guru merupakan agen pembaruan dan pendukung nilai-nilai
budaya yang berkembang di masyarakat. Di dalam menjalankan tugasnya, guru
senantiasa memotivasi peserta didiknya untuk mencari dan mencintai ilmu serta
menganjurkan belajar tekun, menyimak dan mengamalkan ilmu yang dipahaminya.
Meskipun tugas guru sangat mulia, masih terdapat sebagian masyarakat yang
kurang paham dan menganggap tugas guru sebagai pekerjaan biasa dan kurang penting.
Walaupun pemerintah sudah
mempunyai perhatian terhadap pendidikan, yang dimulai dengan perhatian terhadap
peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dalam Undang-undang RI Nomor: 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, ternyata peminat profesi guru semakin sedikit dari
tahun ke tahun. Dari pengamatan dan pengalaman perjumpaan penulis dengan banyak
orang, beberapa orang muda memilih jurusan pendidikan guru karena hanya inilah
opsi jurusan terakhir yang dapat mereka ambil. Beberapa orang muda lainnya tertarik
menjadi guru karena melihat iming-iming gaji guru Pegawai Negri Sipil yang tidak bisa dibilang
kecil. Motivasi untuk mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa tampaknya
sudah sangat memudar pada masa ini. Prestise dan kebanggaan untuk menjadi guru semakin
lama semakin menurun.
Namun demikian, sebenarnya
memang ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena menurunnya kebanggaan
profesi guru. Kebebasan pers dan informasi membuat guru juga tidak jarang
terliput karena perbuatan-perbuatannya yang kurang pantas. Contoh yang paling
nyata ialah ketika mendekati Ujian Nasional. Sampai sekarang pun masih terjadi
bahwa beberapa orang guru nekat berbuat curang demi kelulusan muridnya. Guru
merasa dirong-rong oleh keharusan bahwa muridnya harus lulus semua. Banyak guru
tidak lagi bersikap profesional karena harus membalas budi kepada murid les dan
orang tua yang sudah memberikan uang atau kebaikan apapun kepadanya.
Guru dan Era
Globalisasi
Dalam menghadapi era globalisasi ini setiap
sekolah mutlak memerlukan sumber
daya manusia yang memiliki kualitas tinggi agar mampu mengatasi berbagai
tantangan yang timbul. Seorang guru mau tidak mau dituntut kemampuannya untuk mengikuti atau mengejar
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat agar tidak tertinggal
dalam menjalankan tugas keguruan sebagai pengemban misi pembangunan. Guru juga
dituntut kemampuannya mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat
pengaruh perubahan global. Di era ini, guru dituntut melakukan pembelajaran
yang bersifat inovatif, ofensif, dan proaktif. Proses pembelajaran sejatinya
bukan hanya dalam bentuk transfer
informasi, tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga dapat melahirkan
sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan zaman yang semakin
beragam.
Di era ini, saya memandang, bahwa
peserta didik sangat berpeluang mengembangkan kemampuannya mengikuti dan
memahami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik dapat menyerap
banyak informasi dari kecanggihan berbagai mass media, sehingga tidak menutup
kemungkinan, peserta didik akan lebih maju pemahaman dan pengetahuannya
terhadap suatu mata pelajaran dibandingkan gurunya. Itulah sebabnya sehingga
tantangan yang dihadapi seorang guru di era ini, bukan saja dituntut
menjalankan tugas sebagai pengajar secara profesional, tetapi juga dituntut
memahami dan menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang
berhubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan tersebut, sehingga guru
semakin kaya dengan materi ajar.
Tantangan yang dihadapi oleh guru-guru
di sekolah katolik sebenanya juga jauh lebih berat lagi. Di beberapa tempat
guru di sekolah katolik tidak hanya bergelut soal materi ajar, ilmu pngetahuan,
teknologi, dsb, tetapi juga masih harus bergulat dengan urusan perut karena
minimnya penghasilan. Namun demikian, keadaan yang demikian kadang kala justru
melahirkan guru-guru sejati yang benar-benar memberikan hati, diri dan seluruh
keberadaannya guna mengajar dan mendidik siswa. Saya sendiri masih mengalami
bahwa guru-guru katolik di tempat asal saya tidak hanya membawa pulang
berkas-berkas pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah, tetapi juga bahkan
harus “membawa pulang” murid-murid yang belum bisa menguasai beberapa materi
agar dapat diajar secara intensif dan
personal di rumah. Tentu saja tidak ada keuntungan materi apapun yang bisa
didapatkan dari kegiatan semacam ini. Pengalaman-pengalaman keikhlasan dalam
mengajar dan mendidik siswa seperti inilah yang membuat saya masih bisa
mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Inti atau hakekat dari pendidikan atau proses
pembelajaran adalah "perubahan". Sedangkan inti atau hakekat dari
ilmu pengetahuan adalah "manfaat". Sekecil atau sesedikit apapun ilmu
yang dimiliki, tetapi ia bermanfaat, maka itu jauh lebih berharga dan lebih
mulia dari ilmu yang banyak, tetapi tidak bermanfaat. Profesi seorang guru
adalah contoh profesi yang sungguh menggunakan ilmu yang dimiliki (entah
banyak/sedikit) secara bermanfaat.
No comments:
Post a Comment