Thursday, March 7, 2013

MAKNA KOMPETENSI DAN PROFESIONALITAS GURU SEBAGA PENGAJAR DAN PENDIDIK


Kompetensi, Profesionalitas dan Guru

Dalam UU RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa:
a.       Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
b.      Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
c.       Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Bertolak dari pengertian di atas, semua orang akan sependapat bila dikatakan bahwa tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Seorang Guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku, yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai olehnya. Semua hal ini mutlak dimiliki oleh seorang guru karena  pada hakikatnya seorang guru sangat dipercaya oleh orang tua peserta didik untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya. Di berbagai negara, profesi guru amat dihormati oleh masyarakat karena merekalah yang mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa itu.
Siapapun tentu sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan. Saya memandang bahwa tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi pembicaraan yang omong kosong. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan dan pembangunan yang lebih luas dan menyeluruh. Prinsip inilah yang ditanamkan negara Jepang yang banyak diikuti negara lain sehingga cepat maju pembangunannya. Ketika Provinsi Hirosima dan Nagasaki di Jepang diluluhlantakkan oleh bom atom pada perang dunia II (1945), Kaisar Jepang bertanya, "Masih ada berapakah guru yang hidup"? Hal Ini menunjukkan betapa besar perhatian Kaisar Jepang terhadap pendidikan dan betapa besar peranan guru dalam pembangunan suatu bangsa.

Guru sebagai Pengajar

Sebagai pengajar, guru berkewajiban membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang dipelajari. Ini berarti bahwa sebagai pengajar, guru hanya dituntut untuk memberi­kan pelajaran kepada peserta didik supaya mereka cerdas dan dapat memahami pelajaran yang diberikan. Artinya, sebagai tugas pengajar, yang diutamakan adalah membina kecerdasan intelektual peserta didik.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Kata "mengajar" mengandung arti memberi pelajaran, tetapi dapat pula berarti melatih. Sedangkan kata "pendidik" menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik atau yang memelihara serta memberi latihan mengenai budi pekerti atau akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sebagai pendidik, guru adalah tokoh, panutan para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, kemandirian, disiplin, dan kompetensi serta profesionalisme. Pada guru dituntut tanggung jawab dan kepribadian yang utuh. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak bagi hari depan anak didik (terutama pada tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (peserta didik tingkat sekolah menengah).

Berkaitan dengan tanggung jawab, menurut pandangan penulis, guru harus mengetahui serta memahami nilai budaya, norma agama, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai nilai budaya dan norma agama yang berakar kuat di masyarakat. Guru harus bertanggung jawab melaksa­nakan pembelajaran untuk mengembangkan peserta didik menjadi cerdas dan sekaligus berbudi pekerti luhur sesuai dengan nilai budaya dan norma agama yang berkembang di masyarakat.    
  
Dengan demikian, guru sebagai pendidik berarti bahwa selain mengajar, ia juga mendidik anak menjadi berbudi pekerti luhur. Artinya, selain membina kecerdasan intektual anak, ia juga membina kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial peserta didik. Oleh karena itu, seorang guru harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan mesti memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.

Kompetensi pedagogik guru, sekurang-kurangnya meliputi; pema­haman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembela­jaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilkinya.

Kompetensi kepribadian guru, sekurang-kurangnya harus meliputi: mantap, stabil emosi, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial guru, sekurang-kurangnya meliputi: kompetensi berkomunikasi lisan, tulisan, dan atau isyarat, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

Kompetensi profesional guru merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam dalam melaksanakan tugas yang sungguh-sungguh, teliti, dan bertanggung jawab.
Dari uraian di atas, saya berpandangan, bahwa dalam proses pembe­lajaran, guru dituntut kemampuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga terjadi perubahan pada peserta didik tersebut. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan sikap dan perilaku serta yang lainnya ke arah yang lebih positif. Misalnya, perubahan dari tidak berilmu menjadi berilmu, dari tidak etis menjadi etis, dan dari malas menjadi rajin.

Fenomena Guru di Indonesia

Di Indonesia, sungguh disayangkan sekali karena selama ini, guru ternyata belum mendapatkan posisi yang seharusnya ditempati. Guru masih termaginalkan atau berada pada posisi peripheral atau terpinggirkan dalam kebijakan program pembangunan pendidikan. Tampak jelas bahwa penghargaan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap guru masih rendah. Guru sejatinya mendapat perlakuan yang lebih terhormat dari berbagai pihak, karena guru merupakan agen pembaruan dan pendukung nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Di dalam menjalankan tugasnya, guru senantiasa memotivasi peserta didiknya untuk mencari dan mencintai ilmu serta menganjurkan belajar tekun, menyimak dan mengamalkan ilmu yang dipahaminya. Meskipun tugas guru sangat mulia, masih terdapat sebagian masyarakat yang kurang paham dan menganggap tugas guru sebagai pekerjaan biasa dan kurang penting.

Walaupun pemerintah sudah mempunyai perhatian terhadap pendidikan, yang dimulai dengan perhatian terhadap peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dalam Undang-undang RI Nomor: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ternyata peminat profesi guru semakin sedikit dari tahun ke tahun. Dari pengamatan dan pengalaman perjumpaan penulis dengan banyak orang, beberapa orang muda memilih jurusan pendidikan guru karena hanya inilah opsi jurusan terakhir yang dapat mereka ambil. Beberapa orang muda lainnya tertarik menjadi guru karena melihat iming-iming gaji guru Pegawai Negri Sipil yang tidak bisa dibilang kecil. Motivasi untuk mengajar dan mendidik generasi penerus bangsa tampaknya sudah sangat memudar pada masa ini. Prestise dan kebanggaan untuk menjadi guru semakin lama semakin menurun.

Namun demikian, sebenarnya memang ada banyak faktor yang mempengaruhi fenomena menurunnya kebanggaan profesi guru. Kebebasan pers dan informasi membuat guru juga tidak jarang terliput karena perbuatan-perbuatannya yang kurang pantas. Contoh yang paling nyata ialah ketika mendekati Ujian Nasional. Sampai sekarang pun masih terjadi bahwa beberapa orang guru nekat berbuat curang demi kelulusan muridnya. Guru merasa dirong-rong oleh keharusan bahwa muridnya harus lulus semua. Banyak guru tidak lagi bersikap profesional karena harus membalas budi kepada murid les dan orang tua yang sudah memberikan uang atau kebaikan apapun kepadanya.

Guru dan Era Globalisasi

Dalam menghadapi era globalisasi ini setiap sekolah mutlak memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kualitas tinggi agar mampu mengatasi berbagai tantangan yang timbul. Seorang guru mau tidak mau dituntut kemampuannya untuk mengikuti atau mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas keguruan sebagai pengemban misi pembangunan. Guru juga dituntut kemampuannya mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat pengaruh perubahan global. Di era ini, guru dituntut melakukan pembelajaran yang bersifat inovatif, ofensif, dan proaktif. Proses pembelajaran sejatinya bukan hanya dalam bentuk transfer informasi, tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa, sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan zaman yang semakin beragam. 

Di era ini, saya memandang, bahwa peserta didik sangat berpeluang mengembangkan kemampuannya mengikuti dan memahami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik dapat menyerap banyak informasi dari kecanggihan berbagai mass media, sehingga tidak menutup kemungkinan, peserta didik akan lebih maju pemahaman dan pengetahuannya terhadap suatu mata pelajaran dibandingkan gurunya. Itulah sebabnya sehingga tantangan yang dihadapi seorang guru di era ini, bukan saja dituntut menjalankan tugas sebagai pengajar secara profesional, tetapi juga dituntut memahami dan menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan tersebut, sehingga guru semakin kaya dengan materi ajar.

Tantangan yang dihadapi oleh guru-guru di sekolah katolik sebenanya juga jauh lebih berat lagi. Di beberapa tempat guru di sekolah katolik tidak hanya bergelut soal materi ajar, ilmu pngetahuan, teknologi, dsb, tetapi juga masih harus bergulat dengan urusan perut karena minimnya penghasilan. Namun demikian, keadaan yang demikian kadang kala justru melahirkan guru-guru sejati yang benar-benar memberikan hati, diri dan seluruh keberadaannya guna mengajar dan mendidik siswa. Saya sendiri masih mengalami bahwa guru-guru katolik di tempat asal saya tidak hanya membawa pulang berkas-berkas pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah, tetapi juga bahkan harus “membawa pulang” murid-murid yang belum bisa menguasai beberapa materi agar dapat diajar  secara intensif dan personal di rumah. Tentu saja tidak ada keuntungan materi apapun yang bisa didapatkan dari kegiatan semacam ini. Pengalaman-pengalaman keikhlasan dalam mengajar dan mendidik siswa seperti inilah yang membuat saya masih bisa mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Inti atau hakekat dari pendidikan atau proses pembelajaran adalah "perubahan". Sedangkan inti atau hakekat dari ilmu pengetahuan adalah "manfaat". Sekecil atau sesedikit apapun ilmu yang dimiliki, tetapi ia bermanfaat, maka itu jauh lebih berharga dan lebih mulia dari ilmu yang banyak, tetapi tidak bermanfaat. Profesi seorang guru adalah contoh profesi yang sungguh menggunakan ilmu yang dimiliki (entah banyak/sedikit) secara bermanfaat.

No comments:

Post a Comment