Pengantar
Penggunaan jejaring sosial
sudah menjadi sebuah kebiasaan massal yang begitu lumrah, bahkan dewasa ini
mulai meningkat menjadi suatu kebutuhan bagi beberapa orang. Tulisan ini ingin
secara singkat mendalami efek-efek dan peluang-peluang yang bisa dimunculkan
dalam misi pastoral bagi kaum muda. Karena ada begitu banyak situs jejaring
sosial yang ada saat ini, penulis membatasi pembahasan hanya soal penggunaan salah
satu jejaring sosial, yaitu facebook.com
dalam kehidupan beriman.
Status
Questionis
Bagaimanakah dampak
penggunaan facebook dalam kehidupan beriman? Apa saja keunggulan/kelebihan yang
dibawa oleh media ini sehingga begitu populer? Apa saja ekses-ekses negatif
yang harus dan dapat dihindari ?
Teknologi
dan Perkembangannya
Dewasa ini manusia
hidup dalam dunia yang mengalami perkembangan yang super pesat. Hampir tiap detik tercipta sebuah terobosan baru dalam
sains dan teknologi yang berpotensi memudahkan dan bahkan mengubah hidup
manusia.
Hampir setiap hari tercipta alat baru canggih yang membantu manusia dalam melaksanakan rutinitas hariannya.
Salah satunya adalah memudahkan manusia dalam berkomunikasi, seperti mobilephone,
smartphone,
netbook, superbook, dan lain-lain. Namun, semua benda tersebut baru bisa
berfungsi dengan baik bila sudah terhubung dengan internet.
Pada masa ini, internet sudah menjadi sebuah konsumsi massa. Di beberapa negara
bahkan internet menjadi suatu komoditas yang sudah tidak bisa tidak harus ada
karena menyangga hampir semua segi kehidupan, mulai dari perekonomian hingga
politik. Bahkan, ada gerakan
warga negara di beberapa negara canggih yang ingin memasukkan internet sebagai
“hak asasi”.
Internet
Beberapa
tahun belakangan ini penggunaan internet di Indonesia meningkat pesat dengan adanya
situs-situs jejaring sosial. Dimulai dengan friendster.com,
plasatelkom.net, twitter.com
hingga
yang paling populer saat ini (di
Asia) adalah
facebook.com. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu dari 3
negara yang memiliki jumlah pengguna facebook terbesar di dunia. Lahirnya
situs-situs jejaring sosial ini sebenarnya menandai
sebuah era baru bagi peradaban pergaulan manusia, yakni: era multimedia dan
digital. Inilah yang
disebut oleh Redemptoris Missio
sebagai "kebudayaan baru, yang berasal mula tidak justru dari muatan manapun
yang begitu saja diungkapkan, tetapi dari kenyataan sendiri, bahwa ada
cara-cara baru berkomunikasi, disertai bahasa-bahasa baru, teknik baru dan
psikologi baru.” (RM,
art. 37).
Jejaring
sosial Facebook
Facebook adalah sebuah situs web jejaring
sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Havard dan mantan murid Arsdslev
High School. Situs ini dibuat pada awalnya hanya untuk jejaring sosial
keanggotaan siswa dari Havard College,
namun kemudian keanggotaannya diperluas ke sekolah-sekolah lain. Sejak tanggal
11 September 2006, siapapun yang memiliki alamat email dapat mendaftar, sehingga dapat diakses oleh seluruh orang di
dunia dan hal ini membuat jumlah pengguna facebook melonjak.
Facebook sudah lahir pada tahun 2004, namun jejaring sosial baru populer di Indonesia pada tahun 2008. Tahun tersebut
menjadi tahun awal berkembang pesatnya situs ini di Indonesia dan meninggalkan
situs jejaring yang populer sebelumnya, yaitu friendster.com. Peningkatan pengguna facebook yang cukup pesat ini
dipicu oleh kemudahan akses yakni dapat diakses melalui telepon genggam atau HP.
Facebook ini sangat populer di Indonesia dan memiliki pengaruh
yang luar biasa. Banyak orang begitu tergila-gila dengan situs ini
sampai-sampai tidak ada satu hari pun tanpa membuka situs ini dan menjadikan
mereka resah ketika suatu saat situs ini tidak dapat diakses. Facebook ini menjadi suatu budaya, tidak
hanya di kalangan kaum muda melainkan para orang tua. Budaya ini merasuk dalam
setiap lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah, atau pun bawah. Dengan
munculnya budaya ini menjadikan banyak orang kini membutuhkan askes internet.
Banyak kafe atau pun foodcourt yang
memasang akses internet via wifi demi
menarik para pengunjung. Banyak kaum muda yang pergi ke kafe dengan tujuan
untuk bisa facebook-an.
Kosmologi
baru dalam facebook
Media
komunikasi sosial membentuk dunia, kebudayaan-kebudayaannya, dan cara-cara
berpikir (EA, art. 48). Penggunaan facebook
yang begitu masif tentu saja membawa dampak yang tidak sedikit dalam mindset generasi jaman sekarang. Berikut
ini adalah beberapa poin refleksi penulis terhadap perubahan kosmologis yang
terjadi akibat dari berkembangnya penggunaan facebook. Perubahan kosmologis
yang dimaksudkan adalah adanya perubahan “aturan main” di dunia fisik dengan di
dunia virtual.
Kerapkali
“dunia” dalam internet disebut sebagai dunia maya. Namun, penulis sendiri kurang setuju dengan
sebutan tersebut karena sebutan “maya” seakan-akan menimbulkan kesan “tidak
asli”/”tidak benar-benar terjadi.
Padahal, apa yang terjadi dalam monitor komputer dapat sungguh-sungguh berimbas
dalam hidup nyata sehari-hari, misalnya: beberapa kesalahan mengklik dapat
mengakibatkan seseorang bangkrut karena saldo dalam rekening bisa terkuras
habis melalui internet-banking, ada
begitu banyak contoh bagaimana perkenalan dan keakraban dalam situs-situs
jejaring berakhir di Gereja atau KUA, pelecehan dan pencemaran nama baik yang
terjadi di dunia yang disebut “maya” ternyata juga membawa si pelaku untuk
mendekam di hotel rodeo selama waktu yang ditetapkan di meja hijau. Penulis
pribadi lebih setuju dengan istilah dunia virtual, karena apa yang ada di
internet adalah sesautu yang benar terjadi, tetapi hanya dapat kita lihat,
tetapi tidak bisa kita raba, cium dan sentuh.
Dalam dunia virtual ini, bukan hanya
batas-batas geografis saja yang ditembus, tetapi bahkan batas-batas strata
sosial pun dirombak dan dibangun ulang. Account
yang dimiliki oleh seorang anak SMP/SD bisa menjadi Administator/Webmaster/ dari sebuah situs/group dan
bisa saja menendang (meng-kick) atau
mem-banned account dari gurunya atau
bahkan seorang profesor terkenal jika ia menginginkannya. Dunia virtual
memunculkan kesempatan bagi orang-orang muda untuk menciptakan aturan bagi
dunia yang baru ini.
Dalam dunia virtual jangan harap kita akan
dihormati orang hanya karena apa yang kita miliki, misalnya: kekayaan,
ketampanan, kepintaran, ataupun popularitas. Juga jangan berharap kita
dihormati seseorang karena profesi atau jabatan kita, misalnya: seorang imam, suster,
doktor, professor. Semua orang memiliki kesederajatan dan kesamaan. Hal ini
bisa terjadi karena prinsip mendasar yang ada dalam dunia virtual, yakni
Anonimitas Identitas. Prinsip Anonimitas identitas bermula dari fakta bahwa
Internet dijaman sekarang belum mempunyai teknologi yang memadai yang mampu
mengidentifikasi individu-individu yang terjun ke dunia virtual, sehingga orang
dengan mudah dapat memalsukan identitasnya. Prinsip anonimitas identitas ini
yang juga membuat internet penuh dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat
karena orang bisa dengan mudah bersembunyi dalam identitas-identitas samaran.
Facebook
Sebagai Sarana Pastoral Kaum Muda
Gereja
mempunyai tugas untuk mendampingi kaum muda dalam menemukan jati diri dan
pegangan hidupnya. Maka dari itu diperlukan suatu pelayanan pastoral yang
mengkhususkan diri dalam pembinaan kaum muda. Langkah-langkah yang dapat
ditempuh dalam pelayanan pastoral kaum muda adalah sebagai berikut: data kaum
muda (mendata dan mengkategorikan kaum muda), fokus pelibatan (apa yang menjadi
fokus dalam pendampingan kaum muda harus bersumber pada data yang diperoleh),
mengatur langkah-langkah (memperhitungkan kemungkinan untuk menjangkau sebanyak mungkin orang),
menentukan metode dan aktivitas (ada banyak cara yang bisa dipakai), memberi
kesempatan kepada kaum muda[1].
Telah kita
lihat di atas bagaimana pengaruh facebook
dalam kehidupan masyarakat. Realitas yang terjadi adalah facebook menjadi kegemaran bagi masyarakat, terutama kaum muda dan
membawa pengaruh yang signifikan bagi perkembangan hidup mereka. Berangkat dari
realitas ini, Gereja melihat suatu peluang yang terbuka lebar, yakni apakah
Gereja dalam pelayanan pastoralnya dapat masuk ke dalam kehidupan facebook dan mendampingi anggotanya yang
terlibat dalam jejaring sosial tersebut.
Facebook
sebagai areopag baru bagi misi pastoral kaum muda
Dalam nota
pastoral Keuskupan Agung Semarang menyarankan kaum muda agar mampu berjejaring
dengan komunitas atau kaum muda yang lain[2].
Hal ini perlu dilakukan agar dapat menampakkan Gereja sebagai suatu
persekutuan. Facebook ini menjadi
salah satu rujukan untuk dapat menciptakan jejaring sosial tersebut. Sekarang
tantangan bagi pelayanan pastoral Gereja
aalah untuk bisa mendampingi jejaring ini melalui pastoral facebook atau pastoral dunia
maya. Tidak sedikit para rohaniwan-rohaniwati/biarawan-biarawati yang sudah
menggunakan sarana facebook sebagai
salah satu bentuk pendampingan pastoral.
Kosmologi baru dunia virtual seperti yang
sudah penulis jelaskan di atas membuat penulis ingin mengidentikkan Facebook sebagai sebuah areopag yang
baru. Di jaman para filsuf-filsuf awal (sokrates, plato, aristoteles), areopag
(areophagus) adalah tempat keramaian dimana banyak orang berkumpul untuk
melakukan berbagai aktivitasnya. Ada yang berjualan, ada yang berdiskusi, ada
yang mengajar, ada yang menjambret,
ada yang sedang bersih-bersih, ada
yang sedang berdoa, ada yang sedang bercinta dan sebagainya.
Dalam dunia Perjanjian Baru pun, tempat areopag
ternyata masih ada. Kesaksian tentang hal ini bisa dilihat dari kisah Paulus
dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di Areopag Paulus mewartakan Yesus sebagai
Allah kepada orang-orang Yahudi, Farisi, bahkan Saduki. Memang tidak bisa
dipungkiri ternyata di Athena Paulus belum berhasil untuk berinkulturasi dengan
budaya setempat (walaupun pada awalnya kelihatan berhasil), karena ternyata
beberapa orang masih menganggap remeh Paulus dengan mengatakan "Lain kali
saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu." (Kis 17:32).
Persamaan
Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Dalam bayangan penulis, facebook pada saat
ini memang merupakan bentuk areopag yang baru. Di dalam facebook orang punya
bermacam-macam kepentingan, mulai dari: berdagang, berdiskusi, berdebat,
menasihati, melaporkan peristiwa, mengintimidasi, sampai pada mengadakan
kesepakatan-kesepakatan yang penting. Di dalam facebook, seperti di jaman
Paulus, orang bebas berbicara. Orang bebas berpendapat dan mengungkapkan apa
saja. Facebook menjadi semacam pasar
dengan berbagai kepentingan.
Selain itu, seperti halnya
areopag jaman dahulu, di facebook juga terdapat banyak orang yang berkumpul di
tempat itu. Pengunjung facebook dari berbagai usia, budaya, kewarganegaraan,
bahasa, agama dan interese tumplek bleg
di situs ini. Dari pengamatan penulis, mayoritas pengguna facebook adalah masih
kaum muda. Mereka hadir secara sukarela dan kontinu di facebook.
Bagi orang Yahudi jaman
Paulus, satu-satunya tempat yang agak longgar dari pengawasan kekaisaran romawi
adalah di areopagus. Di situ ada kebebasan berpendapat yang sangat longgar. Orang
bisa berbicara dengan bebas tanpa takut ditahan oleh pasukan romawi. Orang
lebih bebas untuk berkumpul dan berserikat tanpa harus meminta ijin terlebih
dahulu. Demikian jugalah yang terjadi di facebook. Orang bebas berbicara
mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Baru beberapa waktu belakangan ini saja
ada beberapa pihak yang mempermasalahkan tulisan-tulisan orang-orang tertentu
di facebook dan menuntutnya ke
pengadilan karena tulisannya bernada melecehkan/menghina agama tertentu. Sikap
ini sebenarnya muncul dari golongan yang tidak paham benar dengan kosmologi
baru dalam dunia virtual.
Perbedaan
Areopag Jaman Paulus dengan Facebook
Satu perbedaan menonjol yang
jelas sekali dapat teramati antara areopagus jaman Paulus dan facebook. Sebagai
areopagus jaman ini adalah tidak adanya komunikasi bersemuka (face to face) antara person-person yang
sedang berkomunikasi. Hal ini membuat komunikasi yang terjadi di facebook
terbatas pada tulisan hasil ketikan. Tidak ada suara dan gesture-gestur tubuh
yang dapat terkirim lewat facebook. Beberapa waktu belakangan ini muncul bahasa
simbol berupa ikon atau emoticon yang berusaha menyampaikan ekspresi dari lawan
bicara, misalnya: simbol “J” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang
tersenyum, simbol “L” untuk mengekspresikan wajah lawan bicara yang sedang
sedih (bad mood), dsb.
Di samping itu, hal yang
membedakan lagi ialah kenyataan bahwa tulisan hanya bisa membawa kumpulan
informasi di dalamnya. Tulisan tidak mampu menampung kesaksian hidup yang hanya
bisa dicerap oleh mata, telinga, dan kulit dalam kontak langsung di kehidupan
sehari-hari. Padahal, kesaksian hidup merupakan sumber informasi yang paling
dapat dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber informasi yang lain.
Keuntungan
Facebook sebagai areopag baru
Ada
beberapa keuntungan nyata yang bisa dirasakan ketika Gereja sungguh menghayati
Facebook sebagai sebuah areopag baru dalam misi pewartaannya pada kaum muda,
yakni:
Pertama, sebagai
sebuah areopag baru, facebook membuka kemungkinan katekese dan pewartaan selebar-lebarnya.
Setiap orang bebas untuk mengungkapkan pendapatnya di dunia virtual ini.
Regulasi-regulasi negara (misalnya: Indonesia) yang begitu ketat mengatur
pewartaan agama menjadi serasa tidak berlaku lagi. Setiap orang bebas untuk
mengemukakan pendapat dan keyakinan agamanya.
Kedua, jarak
geografis antara si pewarta dan calon penerima warta tidak lagi menjadi
penghalang. Ruang untuk pewartaan terbuka sangat luas karena orang tidak perlu
menyediakan tempat aula atau tempat pertemuan khusus dengan segala akomodasi
dan konsumsinya. Pertemuan di dunia virtual secara nyata membuat biaya menjadi
lebih murah karena setiap peserta bertanggung jawab akan kebutuhannya sendiri.
Tidak perlu ada panitia dengan segala seksi-seksinya untuk mengadakan pertemuan
di dunia virtual.
Ketiga, yang menjadi
keluhan dalam tiap pertemuan pendalaman iman di lingkungan ialah bahwa jumlah
orang yadir di dalam pertemuan semacam itu sangat sedikit bila dibandingkan
dengan doa Rosario dan sebagainya. Bisa diandaikan bahwa jumlah kaum muda yang
terlibat dalam pertemuan pendalaman iman di lingkungan pun sangat sedikit
sekali. Namun, fenomena berbeda akan kita temui ketika kita berada di dunia
virtual. Di facebook, misalnya, banyak sekali apologet dan katekis volunter muda
muncul tanpa komando dari siapapun. Mereka muncul begitu saja secara sukarela.
Bisa dilihat bahwa banyak dari mereka membaca dokumen-dokumen Gereja dan bahkan
beberapa dari mereka mungkin membaca lebih banyak dari yang dibaca oleh para
calon imam.
Bahaya
dan kerugian Facebook sebagai areopag baru yang harus dihindari
Penggunaan
facebook sebagai sebuah areopag baru dalam pewartaan bagaikan pedang bermata
dua, di satu sisi ada manfaat yang begitu besar, tetapi di sisi lain juga ada
bahaya dan kerugian yang timbul jika tidak diwaspadai. Dalam pengalaman, refleksi
dan studi penulis ada beberapa bahaya dan kerugian nyata yang muncul juga
ketika memasuki areopag yang baru ini, yakni:
Pertama, harus disadari bahwa penggunaan
facebook membuat nilai personal-interpersonal dalam komunikasi antar manusia berkurang
(physical touch). Melalui facebook
seseorang bisa tahu bahwa sahabatnya sedang dalam masalah atau gejolak hati dan
di facebook pula orang bisa memberikan nasihat dan penghiburan, tetapi di
facebook kita tidak bisa menyentuh orang tersebut, menggenggam tangannya,
menatap matanya dan mungkin memeluknya. Penggunaan facebook yang terus menerus
membuat orang tidak lagi terbiasa untuk menggunakan sentuhan fisik (physical touch) dalam komunikasinya.
Komunikasi cenderung dingin dan tidak ada kehangatan di dalamnya.
Kedua, kemurnian dan kejujuran
ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat diragukan.
Rupanya beberapa orang ingin mengatasi kelemahan facebook yang telah disebut
pada poin pertama dengan membuat emotikon-emotikon yang bisa berfungsi untuk
menunjukkan ekspresi orang tersebut ketika sedang mengungkapkan sesuatu.
Kalimat “Kamu jelek” bisa memiliki makna yang berbeda jika diakhiri dengan
symbol “:-p” (emoticon wajah orang yang sedang menggoda), ataupun “:-D”
(emoticon ekspresi tertawa), atau bahkan “>:(“ (emotikon ekspresi orang
marah). Menurut beberapa orang penggunaan emoticon cukup membantu untuk
mengungkapkan ekspresi pembicara dalam suatu chatting. Namun, harus disadari dengan baik bahwa kemurnian dan
kejujuran ekspresi-ekspresi yang tertuang melalui media komunikasi sangat bisa diragukan.
Penggunaan emoticon tidak bisa mewakili suasana hati karena siapa saja bisa membuat
emoticon yang bertentangan dengan suasana hatinya.
Ketiga, facebook bisa juga menimbulkan
efek kontraproduktif bagi relasi antara manusia. Relasi semu dalam facebook
membuat orang gampang salah paham dengan temannya. Banyak contoh kesalahpahaman
yang bisa dimunculkan sebagai akibat dari kekurangsadaran akan relasi semu yang
terbentuk dalam facebook, misalnya: Seseorang bisa terlalu percaya diri dan merasa
paling mengerti keadaan diri temannya karena dia selalu mengikuti update-update
status dari temannya tersebut, padahal dalam kenyataannya belum tentu demikian;
seseorang merasa terpukul sekali ketika temannya marah-marah dengan dia di
facebook dan membuat account-nya tidak bisa berhubungan dengan account temannya,
padahal mungkin temannya tidak bermaksud sungguh-sungguh memutuskan tali
persahabatan dengannya; seseorang menjadi marah sekali dengan sahabatnya yang
tidak segera membalas message darinya padahal mungkin saja message tersebut
tidak terkirim karena server facebook
yang sedang error, dsb.
Beberapa
solusi pemecahan dan kesimpulan
Facebook
memiliki potensi yang besar sekali untuk dapat digunakan sebagai areopag yang
baru dalam pewartaan. Ruang pewartaan menjadi tak terhalangi lagi dengan
sekat-sekat geografis, suku bangsa dan bahasa. Banyak orang lintas agama pun
bisa mendengarkan pewartaan dari agama lain tanpa merasa rikuh dan aneh. Facebook sungguh bisa menjadi sarana evangelisasi
jaman ini. Bila hal ini dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan
tujuannya maka pastoral kaum muda saat ini akan memperoleh wajah baru. Bukan
hanya dengan cara klasik dengan rekoleksi atau pun retret, melainkan melalui
dunia virtual. Jaringan komunikasi antar pribadi ini bukan sekadar membangun
suatu komunitas maya (virtual community), melainkan komunitas batin (spiritual
community)[3]. Gereja perlu menjajagi cara-cara
mengintegrasikan secara mendalam media massa ke dalam perencanaan dan kegiatan
pastoralnya, supaya berkat penggunaan efektif media itu kuasa Injil dapat
menjangkau masih lebih jauh lagi orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa
seluruhnya, dan meresapi kebudayaan-kebudayaan Asia dengan nilai-nilai Kerajaan
Allah. (Ecclesia in Asia, art
47)
Namun
demikian, perlulah dilakukan beberapa hal juga untuk mengatasi bahaya-bahaya
yang muncul dari penggunaan facebook. Beberapa poin solusi yang menjadi buah
pikir penulis dalam mengatasi permasalahan ini antara lain:
-
Ruang
tipu menipu terbuka luas dalam facebook karena adanya prinsip anonimitas
identitas yang meraja lela. Namun demikian, sebenarnya prinsip ini belum
merupakan prinsip yang baku. Untuk itu, sebagai langkah awal untuk memberantas
anonimitas identitas perlu bagi para pemimpin Gereja untuk mulai memberi contoh
dengan bertanggungjawab terhadap
identitas accountnya di dunia maya meskipun tidak ada keharusan. Cara ini bisa
dilakukan secara praktis dengan tidak memakai nama ataupun foto palsu dalam
account-account jejaring sosialnya.
-
Perjumpaan
di dunia virtual haruslah mengarah pada pertemuan personal. Harus disadari
bahwa relasi yang terbentuk melalui situs jejaring social bukanlah relasi yang
sejati. Relasi virtual yang demikian hanyalah relasi yang semu. Untuk itu,
perlu diusahakan agar relasi di dunia virtual tidak berhenti di dunia virtual
saja tetapi harus mengarah pada pertemuan personal. Hal ini sudah dilakukan
oleh beberapa group-group katolik dan lintas agama dengan mengadakan kopdar (kopi darat/ pertemuan fisik
secara langsung di suatu tempat).
-
Banyak
anak yang menerima informasi-informasi yang sebenarnya belum saatnya ia terima
(misalnya: lirik lagu orang dewasa yang penuh dengan gejolak emosi dan
pergulatan yang tidak sesuai dengan anak-anak). Untuk itu, agen-agen pendidikan
anak, seperti: keluarga, sekolah dan Gereja memang perlu mengontrol informasi
yang diterima anak sedapat mungkin. Jangan membiarkan anak dididik oleh
internet dan media. Keluarga, sekolah dan Gereja harus tetap menjadi agen
penyedia informasi utama bagi perkembangan anak yang baik dan sehat.
-
Pemimpin
agama harus menjalankan peran-peran sebagai pengawas dan pengontrol jaringan
komunikasi berbasis komputer, dan penyaring informasi yang bersikap obyektif
dan netral. Menunjukkan kepemimpinan yang tegas tidak berarti menyangkal
perkembangan pesat komunikasi berbasis komputer, melainkan mengembangkan
kebaikan-kebaikan yang dibawanya.
Mengakhiri tulisan saya ini,
penulis ingin mengutip apa yang menjadi
pengalaman Mgr. Pujasumarta, mantan Uskup Bandung dan Uskup Agung Semarang saat
ini. Beliau cukup aktif dalam menyebarkan Kabar Gembira Allah lewat dunia maya.
Beliau mengatakan bahwa,: “Melalui internet, Kabar
Gembira yang saya bagikan tidak hanya tersebar lebih cepat tapi juga menjangkau
lebih banyak orang. Saya membagikan pengalaman dan pemikiran spiritual yang
syukur-syukur bisa mencerahkan orang lain, saya juga terutama ingin
mendengarkan apa yang menjadi isi hati mereka. Syukur bahwa ada banyak orang
yang menangkap kata-kata saya sebagai Kabar sukacita bagi mereka”[4].
Yoseph Indra Kusuma
[1]
Bdk. Nota pastoral
Keuskupan Agung Semarang, (http://notapastoralkas2009.blogspot.com/2009/02/nota-pastoral-keuskupan-agung-semarang.html,diakses
3 Des 2012).
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Wawancara Ucan Internet Memperluas Jangkauan Pastoral
Uskup,(http://www.ucanews.com/, diakses tangal 3 Desember 2012).