Wednesday, July 20, 2011

Postmodernisme Berpapasan dengan Gereja: Quo Vadis, Christiane?

Gereja Kristus sudah berumur kurang lebih 2000 tahun. Dalam peziarahannya di dunia, akhir-akhir ini Gereja bertemu dengan fenomena-fenomena yang cukup asing di matanya. Fenomen-fenomen ini muncul dari aliran ideologi Postmodernisme. Postmodernisme merupakan aliran pemikiran yang belum berumur satu abad. Namun, dalam usianya yang masih sangat muda itu ia sudah mewarnai berbagai aspek kehidupan manusia. Mau tidak mau Gereja akhirnya harus bertemu dengan Postmodernisme karena berada dalam locus (tempat) yang sama, yakni dunia.

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang momentum ketika Postmodernisme berpapasan dengan Gereja. Untuk itu, pertama-tama penulis akan membahas tentang apa dan bagaimana Postmodernisme mewujud dalam kehidupan manusia. Dengan berbekal pemandangan panoramik ini penulis berusaha menjabarkan kesan pertama (first impression) Postmodernisme ketika berpapasan dengan Gereja untuk memberi gambaran lebih lanjut tentang bagaimana masyarakat Postmodern melihat Gereja. Akhirnya, Bagaimana respon yang perlu diberikan oleh Gereja agar perjumpaannya dengan Postmodern ini menjadi “perjumpaan yang membahagiakan” merupakan bagian akhir dari tulisan ini.

POSTMODERNISME

Pengertian

Pertemuan pertama dengan terminus “Postmodern” mungkin agak membingungkan bagi sebagian orang. Bagaimana tidak? Apa yang hendak dikatakan dengan term ini? Kata “post” biasa diartikan sebagai “sesudah”, sedangkan kata “modern” sering kali dikaitkan dengan arti “jaman sekarang” atau “canggih”[1]. Lalu, apa makna dari “sesudah jaman sekarang” atau “sesudah canggih”? Kata Postmodern mendapatkan artinya yang paling tepat jika didudukkan dalam ranah kajian ideologi (“isme-isme”). Postmodernisme merupakan ideologi pemikiran yang muncul sesudah modernisme. Ideologi ini tergolong baru sehingga para ahli pun belum dapat merumuskan arti definitifnya secara komprehensif[2]. Namun demikian, ada beberapa prinsip dan aspek tentang Postmodernisme yang dapat digali dengan mengumpulkan berbagai definisi dari berbagai sumber dan dari fenomena Postmodern dalam masyarakat kini.

Postmodernism is a tendency in contemporary culture characterized by the rejection of objective truth and global cultural narrative. It emphasizes the role of language, power relations, and motivations; in particular it attacks the use of sharp classifications such as male versus female, straight versus gay, white versus black, and imperial versus colonial[3]. Hal-hal yang ditolak (to reject) oleh Postmodernisme di atas merupakan produk-produk dari modernisme. Posmodernisme lahir sebagai kritik atas Modernisme[4]. Bahkan bisa dikatakan bahwa Postmodernisme memposisikan dirinya sebagai anti-modernisme[5]. Ia merupakan ideologi yang menolak segala bentuk dan hasil modernisme. Ia bahkan bukan sekedar ideologi/suasana intelektual saja karena penolakan terhadap modernitas dilakukannya dalam berbagai aspek mulai dari tema-tema filosofis metafisis (misalnya: kesadaran manusia, kebenaran, epistemologi), spiritualitas, hingga dalam bidang yang nampak secara fisik (misalnya: arsitektur, seni, teater, tulian fiksi, cara berpakaian). Dengan kata lain Postmodernisme merupakan cara pikir dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan sambil menolak ide-ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme[6]. Untuk dapat melihat Postmodernisme secara jelas, penulis membanding-bandingkan perwujudannya dengan Modernisme yang ditolaknya.

Perwujudan Postmodernisme[7]

- Dalam tema-tema metafisis

Kritik utama yang disampaikan oleh Postmodernisme ialah soal KEBENARAN. Pemahaman manusia modern senantiasa menghubungkan kebenaran dengan rasio. Hal ini menjadikan rasio dan logika sebagai tolok ukur kebenaran. Kebenaran dimengerti sebagai kesesuaian antara rasio dan realitas[8]. Karena kebenaran selalu diukur dengan rasio maka manusia modern selalu berusaha mencari kebenaran yang ultima yang tidak bercacat lagi secara rasio. Dengan demikian kebenaran tersebut dapat menjadi kebenaran universal bagi seluruh animal rasionale (umat manusia) di bumi.

Postmodernisme mencari suatu tolok ukur yang lebih tinggi dan dalam daripada rasio. Lantas, Mereka menemukannya dalam cara-cara nonrasio, yang biasanya ditolak oleh modernisme, yakni melalui emosi dan intuisi. Kritik penggunaan emosi dan intuisi oleh Postmodernisme ini adalah kecenderungan modernisme untuk menjadikan manusia sebagai pribadi-pribadi yang otonom, “dingin” (tidak berperasaan) dan rasional. Penggunaan emosi (perasaan), intuisi, dan kognisi dalam Postmodernisme berharap dapat menjadikan manusia tampil sebagai pribadi yang lengkap, “seutuhnya” dan otentik secara holistik. Dimensi holistik inilah yang akhirnya membawa pada kesadaran bahwa keyakinan dan pemahaman manusia akan kebenaran senantiasa tidak pernah terlepas dari konteks dimana manusia itu berada. Kebenaran merupakan ekspresi dari komunitas tertentu. Dengan demikian, kebenaran selalu bersifat lokal, ada bersama dengan budaya setempat dan dinamis. Michel Foucoult[9] merupakan salah satu filsuf yang menyetujui hal ini. Secara terang-terangan mereka menolak adanya kebenaran yang bersifat universal, melampaui budaya dan permanen karena hal itu sama dengan menisbikan semua konteks-konteks manusia. Mereka juga menolak jika kebenaran hanya ditentukan oleh sekelompok orang saja. Penolakan ini disebabkan karena keraguan Postmodern terhadap orang-orang yang berotoritas tersebut untuk memahami konteks masing-masing manusia secara holistik.

Masyarakat Postmodernisme tidak berkeberatan dengan adanya begitu banyak hal yang disebut sebagai kebenaran bertebaran di sekitar mereka dan bahkan mereka percaya bahwa kebenaran-kebenaran itu dapat hidup berdampingan secara harmonis. Dari poin ini dapat disimpulkan bahwa kebenaran Postmodernisme menganut sikap relativisme dan pluralisme. Namun demikian, nuansa relativisme yang dihadirkan tidak selalu negatif dan individualistis seperti relativisme yang dipahami oleh modernisme dimana pendapat pribadi dijunjung tinggi dan tidak memperhatikan yang lain. Relativisme dalam Postmodernisme mengacu pada kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang dan bukan hanya pribadi-pribadi.

Karena berada dalam komunitas/konteks tertentu dan bersifat dinamis, dalam memikirkan kebenaran masyarakat Postmodern tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis dan logis. Premis-premis yang dahulu dianggap bertentangan pun dengan tenang dapat mereka rangkaikan satu sama lain. Masyarakat Postmodern tidak merasa perlu untuk membuktikan diri mereka benar atau salah karena konteks dan situasi yang berbeda senantiasa melahirkan konsep kebenaran yang berbeda-beda pula. Mereka tidak canggung untuk mengatakan, “Inilah kebenaranku dan sekarang katakanlah kebenaranmu!” dan dalam memberikan pandangan tentang kebenaran mereka pun tidak malu-malu mengatakan, “Apa yang benar bagi kami, mungkin saja salah bagi Anda. Sebaliknya juga apa yang salah bagi kami, mungkin benar, cocok dan sesuai dalam konteks Anda.”[10]

Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Postmodern anti terhadap rasiosentris (berpusat/berkutat pada rasio) modernisme, univeralitas kebenaran, dan kebenaran yang diputuskan oleh otoritas. Sebaliknya, karena mereka memperhatikan emosi (perasaan), intuisi dan konteks dalam melihat kebenaran, maka mereka percaya akan multiversalitas[11] kebenaran yang dapat hidup berdampingan. Terwujudnya kebenaran-kebenaran lokal patut diperjuangkan karena dengan demikian manusia akan menjadi semakin otentik.

- Dalam bidang yang nampak secara fisik

Fenomena Postmodern dapat dengan mudah kita amati dalam keseharian kita. Mungkin selama ini fenomena ini tidak disadari karena “fenomena Postmodern yang nampak” biasa dikaitkan dengan kata “kreativitas”, “nyleneh (bhs. Jawa artinya: aneh-aneh, di luar kebiasaan) atau “out of ordinary”.

Dalam hal-hal yang tampak oleh mata (misalnya dalam: arsitektur, seni, tarian, cara berpenampilan) modernisme selalu mengaitkan nilai keindahan dengan kesatuan dan integritas. Sesuatu dianggap indah jika bisa menampakkan kesatuan integritasnya dengan apik. Integritas ini juga sering dikaitkan dengan “kemurnian” dan bukan “campuran”. Modernisme sering kali juga meninggalkan cara-cara tradisional yang berbau mistik dan nonfungsional.

Melawan itu semua Postmodern menampilkan tepat apa yang disebut “ke-tidak indah-an” oleh modernisme untuk mengkritik cara pandang modernisme tentang keindahan. Sebagai contoh dalam seni bangunan (arsitektur). Arsitektur modern biasa membangun dengan bentuk-bentuk yang sederhana untuk menunjukkan integritas dan kesatuannya. Perwujudan hal ini dengan mudah dapat dilihat di lingkungan sekitar kita. Banyak sekali contoh-contoh bangunan perkantoran pencakar langit yang dibangun menurut arsitektur modern. Bentuk-bentuk bangunan itu biasanya sederhana (misalnya: bentuk balok, silinder, kubus, segitiga ). Bahkan, hampir seluruhnya menekankan soal kesederhanaan ini (maksudnya: jika suatu bangunan berbentuk balok, hendaknya jangan dicampur dengan bentuk lain sehingga misalnya menjadi bentuk balok yang di atasnya meruncing seperti segitiga/menggembung seperti bola). Sebuah bangunan hendaknya mencerminkan satu makna tunggal yang integral. Bertolak belakang dengan hal itu, arsitek posmodern berusaha menghancurkan “gaya tunggal” modernisme ini dengan “banyak gaya”-nya. Ia mencampurkan berbagai gaya bangunan dari berbagai era sejarah. Ia mencampurkan berbagai gaya bangunan mulai dari zaman kuno, renaisans, abad pertengahan, sampai pada gaya yang mutakhir. Oleh beberapa ahli seni bangunan hal ini dianggap sebagai langkah destruktif yang menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Namun, Postmodern memiliki refleksi mendalam untuk menjawab hal ini.

Penolakan Postmodern terhadap arsitektur modern didasarkan pada satu prinsip, yakni prinsip simbolis. Oleh karena itu, sering kali Postmodern dengan sengaja memasang banyak ornamen yang sering kali dihindari oleh modernitas. Seni modern, karena mengejar kesatuan makna, sering kali menghilangkan berbagai ornamen dan mengukur semua gayanya dengan “kaidah fungsi”. Apakah ornamen itu mempunyai fungsi yang mendasar? Kalau tidak lebih baik dihilangkan saja. Kerap kali seni bangunan modern menjadi kering karena hal ini dan kehilangan dimensi artistiknya. Sebaliknya, Postmodern dengan sengaja menampilkan kembali gaya-gaya tradisional untuk memunculkan kembali “unsur rasa” dan imajinasi yang dipasung oleh modernitas. Contoh dekat yang dapat diamati adalah bangunan gereja. Seni bangunan gereja modern sering kali sangat simpel dan menghilangkan gaya menara-menara tinggi kuno gereja pada masa lalu karena dianggap tidak ada alasan fungsi yang cukup untuk mempertahankannya. Postmodern menghadirkan kembali nuansa gereja-gereja menara itu dalam seni bangunannya karena merasa bahwa tingginya bangunan katedral itu dapat membawa mata manusia pada kisah dan nuansa mistik yang melampaui rasio manusia. Lebih luas lagi dapat disimpulkan bahwa kaum Postmodern membangun, mencipta lagu, melukis, dan berteater dengan kekuatan kreativitas dan imajinasinya dengan cara mencampuradukkan segala sesuatu dengan bebas. Inilah kritik kaum Postmodern terhadap kaum modern.

POSTMODERN BERPAPASAN DENGAN GEREJA

Dalam bagian ini penulis mencoba mengimajinasikan bilamana Postmodern seperti yang sudah digambarkan dalam bagian sebelumnya berpapasan dengan Gereja. Pengenalan Gereja terhadap Postmodernisme sudah sering ditulis dalam berbagai referensi[12]. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis tidak akan membahasnya. Pembahasan yang masih jarang dilakukan ialah soal “Pengenalan macam apa yang akan didapatkan jika penulis menggunakan sudut pandang Postmodern dalam melihat Gereja?”

Sebuah kesan pertama (First Impression)

Perjumpaan dengan seseorang baru disebut sebagai “perjumpaan sesungguhnya” bila ada kesan yang terbentuk sesudah perjumpaan tersebut. Kerap kali kesan pertama tersebut sangat menentukan dalam usaha menjalin hubungan selanjutnya. Oleh karena itu, dalam ranah ilmu komunikasi, kesan pertama memiliki kemendesakan untuk dibangun dengan baik. Namun, tetap saja apa yang dinamakan kesan pertama sangat perlu diselidiki lebih lanjut tentang kebenarannya terlebih konsistensinya karena kesan pertama tentu saja hanya akan berisi soal hal-hal superfisial yang tampak saja. Banyak “kelebihan yang tak tampak” tidak dapat ditangkap saat kesan pertama tersebut. Demikian pula ketika Postmodern berpapasan/berjumpa dengan Gereja. Pasti ada kesan-kesan pertama yang terbentuk dalam kaum Postmodern tentang Gereja. Berikut ini adalah beberapa pengenalan yang ditemukan oleh penulis dengan membandingkan antara apa yang ada dalam Gereja dengan pemandangan panoramik Postmodern di bagian sebelumnya.

Aspek-aspek di dalam Gereja yang “menyenangkan”[13] bagi Postmodernisme

Kesan pertama kerap kali memunculkan pertimbangan-pertimbangan yang mempengaruhi keputusan like-dislike terhadap pribadi seseorang. Penulis menemukan paling tidak ada tiga hal dalam diri Gereja yang secara sekilas akan tampak “menyenangkan” bagi Postmodernisme, yakni: ekumenisme, inkulturasi, dan gerakan karismatik. Pertama, tentang Ekumenisme. Gerakan ekumenisme ialah kegiatan dan usaha untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Di dalamnya ada unsur-unsur menghindari kata-kata, penilaian dan tindakan yang tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, memberi kesempatan bagi mereka untuk menguraikan ajaran persekutuannya demi penghargaan dan pemahaman kepada mereka yang lebih sungguh dan koreksi diri sendiri agar menjadi lebih baik[14]. Iklim seperti ini dirasa cocok dan sangat sesuai bagi kaum Postmodern. Memang kaum Postmodern tidak mengusahakan kesatuan sebagaimana Gereja, tetapi mereka sungguh-sungguh berusaha untuk merayakan perbedaan dengan cara menghargai, mengerti dan memahami ‘yang lain’ sama seperti usaha Gereja terhadap ‘saudara-saudari yang terpisah’.

Kedua, tentang Usaha Inkulturasi. Inkulturasi merupakan terminologi khas umat Kristiani yang ingin mengatakan suatu proses presentasi ajaran Gereja dalam budaya-budaya non- Kristiani. Dorongan untuk berinkulturasi didasari oleh semangat inkarnasi Sang Putra yang rela “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:7). Proses ini bukan sekadar soal adaptasi luaran semata-mata, sebab inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia. Maka, proses ini adalah proses yang mendalam dan menyeluruh yang mencakup, pesan Kristen dan juga refleksi serta praktek Gereja universal yang diperkaya dengan bentuk-bentuk ungkapan dan nilai-nilai dari Gereja-gereja lokal[15]. Singkat kata, inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja mau mendorong agar umat beriman dapat beriman melalui budayanya sendiri. Dengan demikian iman dapat dihayati dengan lebih baik mendalam. Kaum Postmodern pun melihat Inkulturasi sebagai nilai yang positif dalam diri Gereja. Inkulturasi berarti pengakuan Gereja atas kearifan lokal. Gereja sadar bahwa kehadirannya sebagai orang asing di suatu tempat hanya akan menjadikan seseorang beriman secara superfisial. Gereja pun tidak lagi memandang perlu untuk menyamaratakan semua unsur dalam peribadatan sampai sekecil-kecilnya. Inilah yang dimaksud oleh Postmodern menjadi manusia yang otentik, yang hidup dari konteks asalnya, meyakini kepercayaan/imannya dari konteksnya sendiri . Inkulturasi juga memungkinkan untuk memasukkan “banyak gaya” seperti gaya khas Postmodern dalam mencipta sesuatu.

Ketiga, gerakan karismatis. Kaum Postmodern akan “tersenyum senang” melihat gerakan yang relatif baru dalam Gereja ini. Harus diakui ada pandangan bahwa gerakan karismatis lahir sebagai ungkapan pencarian umat beriman akan kepuasan hati dalam beribadat. Umat beriman sering kali merasakan kekeringan dalam perayaan liturgi, maka mereka mencari “sumber air” sekunder untuk dapat memuaskan kehausan jiwa mereka untuk tersapa. Memang Perayaan Liturgi sendiri mengandung kekayaan yang tidak akan pernah habis untuk digali. Namun, kekayaan makna ini sering kali kering dan tidak menyentuh perasaan umat beriman. Gerakan karismatis muncul bukan sebagai gerakan yang bersifat separatis (memisahkan diri) melainkan sebagai gerakan yang komplementaris (bersifat melengkapi/mengakomodasi kebutuhan umat beriman). Dalam ibadat karismatis umat beriman memang lebih dimungkinkan untuk mengungkapkan perasaan (emosi) dan intuisinya daripada melulu makna-makna yang hanya ditangkap oleh rasio/akal budi melulu. Lagu-lagu dan susunan acara ibadat sering kali disusun dengan gaya piramidal yang menanjak-berpuncak-menurun kembali. Dalam kacamata Postmodern gerakan karismatis ini sangat menunjukkan adanya semangat yang sama untuk “berontak” dari suasana rasiosentris. Ada arah yang sama antara yang dikehendaki umat beriman dan kaum Postmodern, yakni penggunaan kembali emosi (perasaan) dan intuisi yang sering kali ditekan.

Ketiga hal dalam Gereja ini, yakni: Ekumenisme, Inkulturasi, dan Gerakan Karismatis, bisa jadi memang merupakan pengaruh Postmodern terhadap Gereja. Namun, bisa juga bahwa gerakan ini muncul sebagai antisipasi Gereja sendiri tanpa pengaruh dari Postmodern. Poin penting yang dapat disimpulkan adalah ketiga hal tersebut merupakan bukti bahwa Gereja tetap memiliki perhatian yang besar terhadap “apa yang terjadi” maupun “apa yang akan terjadi” dalam dunia ini karena dunia merupakan locus theologicus Gereja (tempat Gereja berteologi).

Aspek-aspek di dalam Gereja yang “tidak menyenangkan”[16] bagi Postmodernisme

Sebaliknya, selain hal yang “menyenangkan”, penulis juga menemukan paling tidak ada tiga hal dalam diri Gereja yang secara sekilas akan tampak “tidak menyenangkan” bagi Postmodernisme, yakni: Magisterium Gereja, Dogma Gereja, dan kokohnya Filsafat Kristiani. Ketiga hal ini secara sekilas tampak bertentangan dengan prinsip dan semangat Postmodern. Pertama, tentang Magisterium Gereja. Magisterium Gereja merupakan bagian dari Gereja yang bertugas untuk menjaga kemurnian ajaran Gereja. Dengan demikian merekalah yang menjadi penentu ortodoksi (benar-salahnya) suatu ajaran bagi Gereja. Kuasa otoritas demikianlah yang cukup ditentang oleh Postmodern. Postmodern meragukan otoritas para penentu kebenaran karena mereka ragu bahwa para penentu kebenaran tersebut dapat memahami konteks masing-masing “manusia yang ditentukan kebenarannya tersebut” secara holistik. Dengan bahasa sederhana hal ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan, “Seberapa jauh para uskup, baik di Indonesia maupun di luar negeri, mengenal kehidupan umat beriman di seluruh dunia sehingga mereka mempunyai otoritas untuk menentukan kebenaran suatu ajaran?”

Kedua, tentang Dogma Gereja. Karena merasa memiliki ajaran yang tidak terputus mulai dari jaman para rasul, Gereja merasa diri yakin bahwa ajarannya merupakan sebuah pencerahan kebenaran yang universal. Bahkan, pada masa-masa yang lampau Gereja yakin bahwa ajaran kebenarannya ini bersifat suprakultur (di atas budaya/kultur) sehingga budaya yang bertentangan dengan ajaran Gereja harus dikalahkan. Pandangan ini pada jaman sekarang sudah berkurang secara signifikan tetapi bentuk-bentuk pelaksanaannya secara halus masih bisa kita temui di sana-sini. Postmodern cenderung melawan adanya ajaran yang bersifat universal dan permanen. Kebenaran selalu bersifat lokal, ada bersama dengan budaya setempat dan dinamis. Kebenaran yang bersifat universal sering kali sulit sekali dipertahankan karena konteks jaman akan selalu berubah dari waktu ke waktu.

Ketiga, kokohnya Filsafat Kristiani. Fides quaerens intellectum. Iman membutuhkan pengertian. Mungkin pepatah inilah yang melatarbelakangi munculnya sekelompok besar pemikir yang memfokuskan studi mereka untuk terus membangun suatu filsafat kristiani. Hasilnya dapat kita rasakan pada jaman sekarang. Sekurang-kurangnya dapat dikatakan bahwa tidak ada segi dari iman yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Memang ada beberapa segi yang rasio manusia tidak mampu untuk mengungkap semua aspeknya. Segi ini biasa digelari dengan atribut misteri. Di satu sisi usaha untuk menyusun suatu filsafat kristiani yang kokoh memang baik dan patut mendapat pernghargaan tersendiri, tetapi di sisi lain, dari kacamata Postmodern misalnya, kekokohan filsafat kristiani ini dapat menjadi simbol rasiosentris (berpusat/berkutat pada rasio). Karena sibuk menyusun argumentasi-argumentasi teologis, yang menyegarkan bagi sebagian orang, tetapi juga kering bagi sebagian besar umat beriman, sering kali Gereja lupa untuk memberikan penghiburan batin kepada mereka yang bersedih dan membangkitkan semangat bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat, bukan melulu melalui pernyataan-pernyataan teologis tetapi lebih pada sikap empati yang menyentuh sampai ke kedalaman hati.

Ketiga hal dalam Gereja ini, yakni: Magisterium Gereja, Dogma Gereja, dan Filsafat Kristiani dapat dikatakan sebagai “produk-produk lama” jika dibandingkan dengan Ekumenisme, Inkulturasi dan Gerakan Karismatik. Dengan melihat kembali uraian di atas dapat disimpulkan secara garis besar bahwa “produk-produk lama” ini kembali mendapat tantangan seperti sudah pernah terjadi pada jaman-jaman sebelumnya. Sikap Gereja yang dewasa dan tidak terprovokatif sangat diperlukan untuk dapat menjawab tantangan jaman dari Postmodernisme.

QUO VADIS, CHRISTIANE?[17]

Perjumpaan dengan Postmodernisme merupakan perjumpaan dengan sebagian besar pola pikir dan pola tindakan manusia jaman sekarang. Untuk itu, ketika Postmodernisme menyapa Gereja, sudah seharusnya ia bisa memberikan sapaan yang tepat pula terhadap Postmodernisme sehingga Gereja dapat merangkul Postmodernisme dan berdialog dengannya. Dialog itu akan melahirkan pemahaman dan pembelajaran bagi Gereja untuk melihat peluang-peluang untuk dapat mengkomunikasikan dirinya di jaman Postmodern ini. Mengganggap Postmodernisme sekedar sebagai mode intelektual yang kosong dan reaksioner, dengan buru-buru dan sembrono, sebenarnya adalah kenaifan dan kedangkalan tersendiri[18]. Dalam tulisan ini, menurut penulis, Gereja harus bisa memberikan dua hal, yakni: pertama, memberikan tanggapan Gereja atas kesan pertama Postmodern tentang dirinya dan kedua, membuat strategi agar dapat berinteraksi dengan manusia di jaman Postmodern ini.

Tanggapan Gereja atas kesan pertama Postmodern tentang dirinya

Karena merupakan kesan pertama, Gereja tidak perlu berbangga hati ataupun sebaliknya bersikap gusar terhadap kesan yang ditangkap oleh Postmodern. Gereja justru harus memperkenalkan diri lebih lanjut kepada Postmodern agar keduanya semakin saling mengenal. Kesan positif tentang Gereja muncul karena dalam pandangan Postmodern usaha-usaha Gereja dalam ekumenisme, inkulturasi dan gerakan karismatis menunjukkan sikap toleransi dan penghargaan Gereja terhadap “yang lain”. Namun, agar tidak disalahpahami, sikap yang demikian bukan hanya didasarkan pada sikap menghargai keanekaragaman saja. Tindakan Gereja ini didasarkan atas kerinduan Gereja untuk mewujudkan suatu kesatuan yang universal. Kesatuan yang dimaksud ialah pertobatan semua manusia kepada nilai-nilai Injil dan dengan demikian mereka dapat diselamatkan demi kemuliaan Allah[19].

Tentang kesan yang negatif terhadap Gereja, perlu dijelaskan pula alasan Gereja untuk mempertahankan struktur yang demikian. Gereja sendiri sebenarnya sudah melihat tuntutan untuk berubah sesuai dengan keadaan jaman. Namun, tetap ada tarik-menarik yang terjadi antara nilai “otentisitas” dan “progresivitas”. Hal yang dihindari oleh Gereja adalah progresivitas yang mencabut Gereja dari akarnya. Dari sudut pandang ini seharusnya Postmodern dapat mengerti disposisi Gereja, yakni menjaga otentisitasnya. Di balik otoritas Magisterium, Dogma Gereja, dan Filsafat Kristiani ada usaha untuk menjaga otentisitas Gereja dan bukan tanpa sebab. Bukankah otentisitas ini juga yang dikejar oleh kaum Postmodern? Poin ini menjadi poin yang penting untuk digarisbawahi karena mau tidak mau Gereja akan menghadapi pertanyaan yang sama dari umat beriman yang mulai mengenal Postmodernitas.

Strategi berinteraksi dengan Masyarakat Postmodern

Perjumpaan dengan Postmodern seharusnya juga memberikan kepada Gereja pengenalan tentang prinsip dan cara pikir Postmodern. Alih-alih menganggapnya sebagai ancaman akan lebih baik jika Gereja bisa berdialog dengannya. Setelah melihat panoramik Postmodern di atas, ada beberapa peluang yang dapat digunakan sebagai strategi Gereja untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat Postmodern.

- Inkulturasi yang berani

Inkulturasi sebenarnya harus didasarkan pada suatu kebebasan yang dewasa dalam roh. Keseragaman (uniformitas) adalah cara murahan untuk mencapai kesatuan (unitas). Hal ini perlu ditanamkan dari awal untuk menghindari sikap takut mengambil resiko/takut salah yang menghalangi kreativitas berinkulturasi. Prinsip ini punya nuansa yang cukup berbeda dengan prinsip yang menekankan persetujuan uskup/otoritas setempat terlebih dahulu dan kesesuaian dengan Gereja universal. Walaupun kedua hal itu penting dan perlu secara mutlak, penekanan yang terlalu banyak akan mengakibatkan ketakutan untuk berinkulturasi. Seorang Uskup seharusnya berperan menciptakan suasana yang kondusif agar tercipta kebebasan berkreasi ini. Tentang prinsip kesatuan dengan Gereja Universal, penting untuk segera dicari prinsip-prinsip kesatuan yang benar-benar fundamental, sehingga muncul ruang kebebasan bagi para petugas pastoral untuk berkreasi. Umat beriman Postmodern sangat mengharapkan sebuah inkulturasi yang mendalam dan bukan hanya di permukaan saja, karena hanya dengan cara inilah mereka dapat menikmati nuansa beriman secara lokal.

- Mewartakan Injil dalam dunia profan

Masyarakat Postmodern sangat menyukai “banyak gaya”/gaya campuran dalam mencipta dan berpikir. Mereka tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis dan logis. Premis-premis yang dahulu dianggap bertentangan pun dengan tenang dapat mereka rangkaikan satu sama lain. Masyarakat Postmodern tidak merasa perlu untuk membuktikan diri mereka benar atau salah karena konteks dan situasi yang berbeda senantiasa melahirkan konsep kebenaran yang berbeda-beda pula. Sebenarnya, hal ini dapat dilihat Gereja sebagai peluang untuk mewartakan Injil dalam dunia profan. Ini merupakan kesempatan Gereja untuk mewartakan kebenaran Injili. Mengapa Gereja tidak mencoba membuat suatu buku bermutu yang menggunakan premis-premis khas kristiani secara lantang dalam kajian-kajian ilmu profan (misalnya: dalam disiplin-disiplin sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, dsb) sebagai bentuk pewartaan? Bukankah banyak awam dan kaum klerus yang berkompeten dalam kedua bidang tersebut (baik profan maupun religius)? Memang, pada mulanya usaha ini mungkin akan dianggap aneh oleh sebagian besar orang dengan alasan perbedaan konteks dan macam-macam lainnya. Namun, mengapa Gereja tidak mencobanya jika iklim pemikiran Postmodern membuka kemungkinan tersebut?

- Peninjauan kembali usaha untuk terus menggali kekayaan teologis Gereja

Perjumpaan dengan Postmodern juga bisa dijadikan sebagai cermin bagi Gereja untuk melihat dirinya. Dalam diskusi-diskusi internal Gereja sering kali yang masih ditekankan adalah soal kekayaan makna teologis. Pandangan Postmodern bisa dijadikan sebagai cermin “Sejauh mana makna-makna teologis yang telah tersusun dalam buku-buku teologis dapat dinikmati oleh kaum beriman?” Jangan sampai karena terlalu terfokus pada penggalian makna-makna ini Gereja menjadi acuh tak acuh terhadap reaksi umat yang tetap merasa kekeringan dan tidak tersegarkan oleh makna-makna teologis yang bersifat akademis. Mungkin Gereja perlu mulai membuat sesuatu yang tidak melulu memuaskan akal budi dengan makna-makna simbolis, tetapi juga memperhatikan aspek afeksi secara serius. Dalam refleksi penulis, selama ini sisi afektif sangat kurang diperhatikan. Contoh yang dekat dengan kehidupan Gereja adalah soal pemilihan lagu-lagu liturgis. Dalam pemilihan lagu-lagu liturgis yang diutamakan adalah makna teologisnya, meskipun lagu itu akhirnya kering. Lagu yang syairnya berisi pergulatan batin dan dapat “mengaduk-aduk” perasaan sering kali dihindari karena dapat menghilangkan fokus peribadatan. Tolok ukur semacam ini perlu untuk dikaji ulang. Peribadatan yang didasarkan oleh rasa kasih hendaknya tidak selalu diukur dengan akal budi. Justru manusia harus menggunakan segala daya hati, jiwa, dan akal budinya untuk mengasihi Tuhan Allah.[20] Segi afektif sangat penting diperhatikan dalam beriman. Protes kaum Postmodern terhadap modernitas salah satunya adalah karena rasio menjadi primadona modernitas. Dengan demikian, peribadatan yang “tampan/cantik” perlu didefinisikan ulang tolok ukurnya. Biasanya ketampanan peribadatan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan pakem-pakem/aturan-aturan yang sudah ada. Mungkin prinsip “menggetarkan hati” dapat dipakai sebagai prinsip tambahan yang dapat memperhangat suasana peribadatan.

Perjumpaan yang membawa berkat

Perjumpaan antara Gereja dengan Postmodernitas sudah tak terhindarkan lagi. Lambat laun Postmodernitas pun akan mempengaruhi umat beriman dalam berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, sangat tidak bijaksana jika Gereja semata-mata melihat gelombang Postmodernitas melulu sebagai ancaman bagi dirinya, padahal tidak dapat dipungkiri bahwa Postmodernitas juga ikut membuka “jendela-jendela” yang selama ini masih tertutup rapat bahkan setelah Konsili Vatikan II. Gereja perlu untuk senantiasa berziarah di dunia bersama dengan pemikiran-pemikiran manusia di dalamnya agar dapat memberikan respon yang tepat kepadanya. Dengan demikian perjumpaannya dengan Postmodern dan pemikiran-pemikiran manusia selanjutnya pun dapat menjadi “perjumpaan yang membawa berkat”.



[1] Sebagai contoh: anak-anak jaman sekarang sering kali menyebut diri mereka sebagai “anak-anak modern” untuk membedakan mereka dari anak-anak tradisional/”anak-anak ndeso” (bhs. Jawa, artinya berasal dari desa/kampungan). Selain itu, kata modern sering kali digandengkan dengan kata alat-alat/peralatan sehingga term “alat-alat modern” sering kali mempunyai makna “alat-alat canggih”.

[2] Bdk. Yulia Oen, Etos Postmodern, http://www.sabda.org/reformed/etos_Postmodern diakses tanggal 29 April 2010

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism diakses tangal 29 April 2010

[4] Bdk. F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003, hal. 149 juga Yulia Oen, Op. Cit., juga Hipolitus Kewuel, Allah dalam Dunia Postmodern, Malang: Penerbit Dioma, 2004, hal. 87

[5] Yulia Oen, Op. Cit.

[6] Ibid.

[7] Bdk. Ibid.

[8] Bdk. Thomas Harming Suwarta, Memeluk Kebenaran, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Memeluk+Kebenaran&dn=20091106172404 diakses tanggal 29 April 2010, juga Bdk. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/filsafat_ilmu/bab5-kebenaran.pdf diakses tanggal 29 April 2010

[9] Bdk. http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault diakses tanggal 29 April 2010, juga Bdk. http://www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/436/pomo.htm diakses tanggal 29 April 2010

[10] Yulia Oen, Op. Cit.

[11] melawan universalitas (unus = satu). Dengan demikian multiversalitas (multus = banyak) ingin mengungkapkan perayaan atas keberagaman dan bukan kesatuan.

[12] Ivan Kristiono, Christianity and Postmodern Culture, http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/6384 diakses tanggal 29 April 2010, juga Bdk. Heryanto, Tantangan Postmodernisme terhadap Iman Kristen, http://www.heryanto.com/data/disertasi/Microsoft%20Word%20-%20TANTANGAN%20POSTMODERNISME%20TERHADAP%20IMAN%20KRISTEN.pdf diakses tanggal 29 April 2010, juga Bdk. A. Budi Susanto, Teologi & praksis komunitas post modern, Yogyakarta: Kanisius, 1994

[13] Kata menyenangkan di sini mengandung arti sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam gerakan Postmodernisme

[14] Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN KEDUA, Dekrit Tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 4

[15] Bdk. Sri Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), terj. Frans Borgias, OFM, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 1994, 52-54

[16] Kata tidak menyenangkan di sini mengandung arti tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan semangat yang terdapat dalam Postmodernisme

[17] Judul sub bab ini digunakan dengan makna yang biasa dan tidak bernuansa negatif seperti yang terdapat dalam proverbia latina

[18] Bambang Sugiarto, Postmodern Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996, hal 15

[19] Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN KEDUA, Dekrit Tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 1

[20] Bdk. Mat 22:37, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”


Daftar Pustaka

Dokumen Gereja

KONSILI EKUMENIS VATIKAN KEDUA, Dekrit Tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, 1.

Sri Paus Yohanes Paulus II. Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), terj. Frans Borgias, OFM. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.

Buku

Anderson, Perry. Asal-usul Postmodernitas. Yogyakarta: Penerbit Insight Reference. 2004.

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2003.

Kewuel, Hipolitus K. Allah dalam Dunia Postmodern. Malang: Dioma. 2004.

O’Donnell, Kevin. Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2009.

Susanto, A. Budi. Teologi & Praksis Komunitas Post Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1994.

Sugiarto Bambang. Postmodern Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1996. hal 15

Situs Internet

Heryanto. Tantangan Postmodernisme terhadap Iman Kristen. (http://www.heryanto.com/data/disertasi/Microsoft%20Word%20-%20TANTANGAN%20POSTMODERNISME%20TERHADAP%20IMAN%20KRISTEN.pdf ,diakses tanggal 29 April 2010)

Kristiono, Ivan. Christianity and Postmodern Culture. (http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/6384, diakses tanggal 29 April 2010)

Oen, Yulia. Etos Postmodern. (http://www.sabda.org/reformed/etos_Postmodern ,diakses tanggal 29 April 2010)

Postmodernism. (http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism ,diakses tangal 29 April 2010)

Suwarta, Thomas Harming. Memeluk Kebenaran. (http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Memeluk+Kebenaran&dn=20091106172404, diakses tanggal 29 April 2010)

Situs Internet Tanpa Judul

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/filsafat_ilmu/bab5-kebenaran.pdf, diakses tanggal 29 April 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault, diakses tanggal 29 April 2010

http://www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/436/pomo.htm, diakses tanggal 29 April 2010

No comments:

Post a Comment