Latar Belakang
Tugas untuk menyelesaikan skripsi Kitab Suci perikop Mat 4:1-11 yang dikerjakan oleh penulis bersamaan dengan tugas paper Filsafat Kontemporer membuat penulis sadar bahwa ternyata metode penafsiran (hermeneutika) para ahli kitab suci banyak berhubungan dengan dan bahkan sangat terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dalam filsafat. Banyak perkembangan metode hermeneutika kitab suci muncul sebagai buah-buah dari perjumpaan antara filsafat dan teologi.
Munculnya pemikiran fenomenologis dan eksistensialis dalam dunia filsafat sempat menggoyahkan kekokohan pemikiran filsafat modern yang kaku dan cenderung kering. Dalam Gereja sendiri, perkembangan pemikiran ini justru membawa angin segar bagi metode penafsiran Kitab Suci. Perkembangan metode penafsiran kitab suci yng dipengaruhi oleh hermeneutika filosofis kontemporer justru menambah perbendaharaan metode penafsiran kitab suci dan dengan demikian menambah kekayaan makna teologis yang belum tergali dengan metode-metode sebelumnya. Perkembangan ini sungguh-sungguh mau menunjukkan bahwa Gereja ingin menghayati semboyan Ecclesia semper reformanda.
Karya tulis ini muncul dari keinginan penulis untuk sedikit memaparkan perkembangan metode hermeneutika kitab suci yang ternyata juga sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat. Karena pada dasarnya karya tulis ini merupakan paper mata kuliah Filsafat Kontemporer, maka dalam tulisan ini metode penafsiran kitab suci akan dibahas secara garis besar saja agar tidak membiaskan fokus pembicaraan. Untuk itu, penulis membatasi pembahasan pada metode historis-kritis, sinkronis dan eksistensial yang merupakan metode yang paling sering digunakan secara umum.
Pengertian Hermeneutika
Dari segi etimologis, kata hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata Yunani hermeneuó: menginterpretasikan, menafsirkan, mengartikan atau menerjemahkan. Baru sekitar abad ke-17 dan ke-18 isitilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya Kitab Suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Dalam ranah filsafat dewasa ini, istilah hermeneutika dipakai dalam dalam arti yang meliputi secara luas tema-tema filosofis tradisional yang berkaitan dengan masalah bahasa. Adapun pokok pembicaraan dalam hermeneutika adalah soal “mengerti” (verstehen). Pertanyaan utama yang muncul dari pokok yang demikian adalah tentang bagaimana pembaca dapat “mengerti” suatu teks yang berasal dari masa lampau, yang sangat jauh dan asing dari jaman hidup pembaca sekarang ini? Selain itu, jika teks tidak berasal dari masa lampau, masih dimungkinkan lagi timbul pertanyaan tentang bagaimana pembaca dapat “mengerti” suatu teks yang ditulis/berasal dari orang lain? Intinya adalah bagaimana pembaca dapat mengerti teks yang “memiliki jarak dengan dirinya”/bukan berasal dari dirinya sendiri. Usaha bagaimana menjembatani “keasingan” antara teks dan pembaca merupakan sesuatu yang selalu diusahakan dalam hermeneutika.
Metode Historis-Kritis
Metode hermeneutika Kitab Suci yang dianggap paling tua dalam sejarah penafsiran Kitab Suci adalah metode historis-kritis yang menggunakan pendekatan diakronis. Metode ini berfokus pada keaslian dan perkembangan teks. Metode ini disebut historis karena (a) diterapkan pada teks-teks kuno, (b) mencoba memahami makna teks tersebut dari sudut pandang historis, dan (c) mencoba menerangkan proses-proses historis yang memunculkan teks-teks biblis. Selain itu, juga disebut kritis karena dalam setiap langkahnya (dari kritik tekstual sampai redaksi) metode ini menggunakan bantuan kriteria ilmiah untuk mencapai hasil yang seobjektif mungkin. Untuk itu, metode ini meneliti penggunaan bahasa asli yang digunakan dalam teks (textual criticism); memahami kata, idiom dan susuanan gramatis dalam perkembangan bahasa (historical linguistics); meneliti bentuk asli teks/ lisan dan kehidupan sehari-hari bangsa Israel (tradition criticism); sumber-sumber teks (source criticism); cara si pengarang menyusun teks dan mengadaptasi dari sumber-sumbernya (redaction criticism) dan peristiwa-peristiwa di sekitar penyusunan/penulisan teks (historical criticism).
Metode historis-kritis yang demikian mendapat legitimasi dan peneguhan dari Scheleiermacher. Sebenarnya metode ini mau mengatasi keasingan suatu teks dengan mencoba mengerti si pengarang. Scheleiermacher berpendapat bahwa untuk dapat memahami suatu teks dengan baik seorang pembaca harus berusaha keluar dari jaman di mana dia sekarang hidup sekarang, lalu merekonstruksi jaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan di mana pengarang berada pada saat ia menulis teksnya. Pembaca harus membayangkan bagaimana keadaan pikiran, perasaan dan maksud si pengarang saat menulis teks tersebut. Selain itu, pembaca jaman ini harus menyamakan diri dengan pembaca asli yang kepada mereka tulisan suci ini awalnya ditujukan. Hanya melalui jalan inilah pembaca dapat mengerti dengan sungguh-sungguh isi teks dari masa lampau/tulisan orang lain. Hermeneutika dengan metode historis-kritis dengan tegas mengambil alih tesis tentang makna tunggal: pada saat yang sama sebuah teks tidak mungkin memiliki lebih dar satu makna. Pendapat Scheleiermacher ini mendapat dukungan dari Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey menimpali juga bahwa memang pembaca tidak dapat menghayati secara langsung (erleben) peristiwa-peristiwa dari masa lampau, tetapi pembaca dapat membayangkan bagaimana si pengarang dulu menghayati peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben).
Walaupun metode historis-kritis inilah yang kerapkali dipilih oleh sebagian besar ekseget, metode ini tidak lepas dari kelemahan. Adapun beberapa kritik dan kelemahan dari metode ini yakni (a) banyak kitab (khususnya PL) bukanlah buatan/hasil karya seorang pengarang tunggal, tetapi mempunyai sejarah yang panjang, dengan demikian usaha untuk membayangkan “keadaan si pengarang” adalah mustahil karena penagrangnya banyak sekali; (b) cara kerja metode historis yang demikian mendetail mengharuskan seseorang memiliki pengetahuan yang cukup dalam dan lengkap tentang sejarah dan keadaan jaman penulisan kitab suci bila ingin menafsirkannya. Padahalnya, hingga saat ini pun, jumlah orang-orang yang memiliki kompetensi demikian sungguh terbatas. Jumlah ini berbanding terbalik dengan kebutuhan umat akan penafsiran Kitab Suci dalam kehidupan mereka sehari-hari; (c) metode historis kritis yang berfokus pada si pengarang kerapkali justru meniadakan peran serta roh kudus dalam penulisan kitab ini dan dengan demikian membatasi diri pada penyelidikan teks secara historis melulu dan tidak memperhatikan dan mengakui kemungkinan-kemungkinan makna lain yang dinyatakan pada tahap-tahap selanjutnya dari pewahyuan alkitabiah dan sejarah gereja; juga (b) ada keraguan yang mendalam dari kaum eksistensialis bahwa seseorang sungguh dapat “meninggalkan” jaman tempat ia hidup sekarang dan “beralih” ke jaman si pengarang. Menurut kaum eksistensialis prasyarat seperti ini sungguh mustahil untuk dilakukan.
Metode Analisis Literer
Metode Analisis Literer yang menggunakan pendekatan sinkronis (with(in) time) mencoba mengisi kekurangan dari metode historis-kritis. Penafsiran dengan metode ini melihat sebuah teks sebagai bentuk final, sebagaimana ada dan terjilid dalam kitab suci di hadapan pembaca sekarang ini. Metode ini tidak tertarik untuk melihat “jauh ke belakang’ teks (tradisi lisannya, proses redaksional teks, penambahan dan pengulangan teks, sumber-sumber yang digunakan oleh teks, dsb). Metode ini memberikan perhatian istimewa untuk menganalisis teks itu sendiri dan teks dalam relasinya dengan dunia yang tergambar dalam teks itu sendiri. Untuk itu, metode ini meneliti jenis dan bentuk teks (literary criticism); menganalisis cerita dalam teks, termasuk alur, tokoh dan peristiwa baik yang tersurat maupun tersirat (narrative criticism); mencoba memahami cara, strategi dan struktur yang digunakan dalam teks untuk mempengaruhi pembaca dan bagamaina efek yang ditimbulkannya (rhetorical criticism); meneliti kata per kata yang digunakan dalam teks, struktur gramatikal dan sintaksis dari teks; mengkaji arti semantis kata yang digunakan dalam teks; meneliti persepsi dunia dalam teks, ciri budaya penulisan, pendengar/pembaca dan komunitas tujuan teks tersebut ditulis (social-scientific criticism).
Metode analisis literer yang berusaha kembali kepada teks itu sendiri tampaknya muncul setelah gelombang fenomenologi. Slogan fenomenologis Husserl back to things themselves tampaknya menjadi nafas dari metode penafsiran analisis literer ini. Penafsir tidak perlu lagi direpotkan untuk melihat jauh ke belakang teks dan memiliki segudang pengetahuan tentang sejarah-sejarah penulisan kitab, melainkan cukup memfokuskan diri dengan teks yang ada di hadapannya sekarang. Segala bentuk asumsi, pengandaian, bayangan, dan imajinasi penafsir justru harus disingkirkan jauh-jauh bila teks sendiri tidak mengatakan hal itu. Tekanan pada poin yang terakhir ini kerapkali menjadi bumerang bagi pengguna metode analisis literer karena ada keraguan yang mendalam bahwa manusia bisa terlepas dari segala asumsi yang melekat pada dirinya.
Fokus penyelidikan Kitab Suci dengan menggunakan metode diakronis dan sinkronis tampaknya ingin mengupas dua dunia dalam teks, yakni dunia yang ada “di dalam” teks itu sendiri (the world ‘of’ or ‘within’ the text) dan dunia “di belakang” teks (the world behind the text). Oleh karena itu, ekseget yang menafsirkan teks dengan mengkombinasikan kedua metode ini, historis-kritis dan literer, biasanya justru menampakkan ketumpangtindihan tafsiran karena tafsiran akibat dari pengetahuan sejarah seringkali tidak tercantum dalam teks itu sendiri. Untuk itu, beberapa penafsir lain ingin mengimbangi kedua penafsiran ini dengan mengarahkan diri pada sebuah fokus yang baru. Banyak ekseget dewasa ini memfokuskan diri pada dunia “di depan” teks (the world in front of the text), yakni dunia yang “akan diciptakan” oleh teks. Oleh karena itu dewasa ini dikembangkan lagi metode hermeneutika yang menggunakan pendekatan baru.
Metode Eksistensial
Sebenarnya tidak ada nama khusus bagi metode ini. Nama eksistensial dari metode ini hanya mau menggambarkan bahwa metode ini ingin menggunakan pendekatan eksistensial dalam mengatasi jarak waktu antara teks dan pembaca. Karena kebaruannya metode ini masih menjadi perdebatan di antara para ahli sendiri.
Titik fokus pendekatan eksistensial dalam menafsirkan kitab suci bukan pertama-tama pada teks per se – yang dimengerti sebagai bentuk perkembangan (dalam pendekatan diakronis) dan bentuk final (dalam pendekatan sinkronis), melainkan pada teks sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh dapat “terlibat”. Pembaca perlu sungguh terlibat dalam teks dan teks harus sungguh terlibat dalam hidup pembaca. Metode eksistensial merupakan sebuah metode instrumental yang “mengijinkan” teks dibaca sebagai sarana untuk mencapai suatu “tujuan akhir”. Dengan demikian, tujun akhir dari pembacaan suatu teks bukanlah teks itu sendiri melainkan “sesuatu yang melampaui teks” di mana kesaksian tentang realitas itu sudah terkandung dalam teks itu sendiri. “Sesuatu yang melampaui teks” itu bisa berupa seperangkat relasi diantara manusia sendiri, dalam hubungannya dengan “kebenaran spiritual” yang melampaui “kebenaran literal”, yang bisa disebut dengan Tuhan, dsb.
Perkembangan metode penafsiran yang terakhir ini menunjukkan secara jelas tantangan bagi eksegese untuk memikirkan ulang beberapa hal dalam terang hermeneutika filosofis kontemporer yang menekankan keterlibatan subjek dalam pemahaman manusia, khususnya menyangkut pengetahuan historis. Ada 3 tokoh filsuf yang minimal sangat berpengaruh hingga mendorong eksegese untuk menyempurnakan metode hermeneutikanya. Bultmann, contohnya, sangat antusias untuk mengusahakan agar realitas yang dibicarakan dalam alkitab dapat berbicara kepada orang-orang sezamannya. Baik Bultmann, Heidegger, Gadamer setuju bahwa pra-pemahaman (vorverstandnis) sungguh-sungguh tidak dapat dipisahkan dari si penafsir dan justru sebaliknya asumsi-asumsi inilah yang memungkinkan manusia untuk dapat memahami realitas yang digambarkan dalam teks. Akan tetapi, untuk menghindari subyektivisme, orang harus membiarkan pra-pemahamannya diperdalam dan diperkaya, dan bahkan dimodifikasi dan dikoreksi, oleh realitas teks secara terus-menerus. Gadamer menambahkan bahwa jarak waktu antara teks dan pembaca justru merupakan suatu faktor yang produktif karena memungkinkan penafsir bukan hanya me-reproduksi makna teks, tetapi sekaligus memproduksi kembali makna suatu teks sehingga sungguh bermakna bagi pembaca dan sesuai dengan jamannya.
Karena fokusnya yang demikian, metode eksistensial mengambil langkah berani yang belum terdapat dalam metode-metode sebelumnya. Pendekatan eksistensial secara umum dapat dibagi menjadi dua model, yakni (a) model “percaya” (Trust/consent) dan (b) “ragu-ragu” (suspicion). Model “percaya” adalah pendekatan hermeneutika dengan sebuah dasar kepercayaan bahwa teks kitab suci sungguh merupakan sarana yang dapat dipercaya, sumber, dan saksi atas pengalaman Tuhan. Sedangkan model “ragu-ragu” adalah pendekatan yang berdasar pada sebuah ketidakpercayaan dan sikap ragu-ragu atas apa yang tertulis dalam kitab suci. Pendekatan ini sungguh berani dan revolusioner karena sungguh ingin menghubungkan realitas dalam kitab suci agar terlibat secara penuh dengan realitas di depan teks, yakni realitas pembaca. Dengan demikian, metode hermeneutika ini menolak tesis tentang makna tunggal yang diusung oleh metode histrosi kritis di atas. Metode eksistensial memunculkan sebuah pemikiran bahwa “tafsiran asli” sesuai dengan maksud si pengarang telah ikut mati bersama dengan si pengarang itu sendiri. Bahkan, si pengarang teks sekalipun tidak bisa mengklaim memiliki penafsiran yang paling sahih atas teks yang disusunnya. Ketika teks “dilemparkan” ke publik maka setiap orang memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan teks tersebut.
Refleksi terhadap Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja Katolik
Dua kutub ekstrim yang diusung oleh metode hermeneutika historis-kritis dan eksistensial membawa dua kutub ekstrim kecenderungan penafsiran Kitab Suci juga. Di satu sisi, ada agama yang meyakini bahwa tiap teks dalam Kitab Suci hanya memiliki makna tunggal dan bahkan untuk menghindari bias makna ini maka Kitab Suci harus tetap dibiarkan dalam dalam bahasa aslinya (mis: Al-Quran). Ada ketakutan yang mungkin berlebihan untuk menerjemahkan kitab suci dalam bahasa-bahasa lain karena takut maknanya akan berubah. Bahasa dalam Kitab Suci merupakan bahasa yang sempurna karena Allah sendirilah yang mendiktekannya. Penerjemahan hanya akan menimbulkan bias-bias yang justru akan merugikan pembaca sabda. Pandangan yang demikian memiliki dasar bahwa karena Kitab Suci berasal dari satu sumber (Tuhan), maka satu pulalah penafsiran atasnya. Di sisi yang lain, ada agama yang meyakini bahwa maka setiap orang memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan teks (mis: Protestantisme). Setiap orang berhak menggali makna kitab suci sesuai dengan kebutuhan dirinya. Pandangan yang demikian memiliki dasar yang “rohani” yakni bahwa roh kudus yang telah dicurahkan Allah kepada semua orang akan membantu setiap orang untuk menafsirkan Kitab Suci yang diinspirasikan oleh Roh Kudus sendiri. Dengan dasar seperti ini maka tidak mengherankan jika muncul puluhan ribu denominasi di seluruh dunia akibat dari penafsiran yang berbeda-beda.
Penulis sendiri merefleksikan bahwa Gereja Katolik sendiri sudah cukup berkembang dalam hal penafsiran Kitab Sucinya. Virtus stat in medio. Dalam refleksi penulis, Gereja berdiri di tengah kedua ekstrim ini. Gereja sama sekali tidak melarang dan bahkan mendorong penggalian makna Kitab Suci yang dilakukan secara pribadi oleh masing-masing umat Allah, tetapi Gereja juga tetap memiliki Magisterium yang menjaga persatuan dan kekayaan warisan iman (depositum fidei). Gambaran tugas dari Magisterium yang semacam ini hendaknya dimengerti sama sekali tidak identik dengan tugas lembaga inkuisisi di masa lampau. Magistrium sendiri tidak berisi rumusan-rumusan kebenaran iman yang statis dan tidak bisa didialogkan lagi, melainkan sebaliknya. Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka Magisterium sendiri perlu terus-menerus diajak berdialog dan secara aktif mengusahakan dialog agar pengajarannya tetap aktual bagi jamannya.
Penutup
Ecclesia semper reformanda. Slogan ini bukan hanya sekedar ucapan manis belaka. Gereja sungguh-sungguh berjuang untuk senantiasa meremajakan dirinya agar tetap aktual. Perkembangan metode penafsiran Kitab Suci merupakan bukti bahwa pertemuan antara filsafat dan teologi dapat membuahkan suatu hasil yang baik dan bukan hanya pertentangan dan perdebatan belaka. Dalam bahasa iklan dewasa ini, Filsafat senantiasa berperan penting untuk meremajakan kembali teologi-teologi yang sudah mulai “keriput” dan terlihat tidak menarik.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1981.
Gorman, Michael J. Elements of Biblical Exegesis. USA: Hendricson Publishers, 2009.
Komisi Kitab Suci Kepausan. Penafsiran Alkitab Dalam Gereja. Yogyakarta: Kanisius,2003.
Laba, Laurensius. Diktat Sejarah Filsafat Islam. Malang: STFT Widya Sasana, 2006.
Tugas untuk menyelesaikan skripsi Kitab Suci perikop Mat 4:1-11 yang dikerjakan oleh penulis bersamaan dengan tugas paper Filsafat Kontemporer membuat penulis sadar bahwa ternyata metode penafsiran (hermeneutika) para ahli kitab suci banyak berhubungan dengan dan bahkan sangat terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dalam filsafat. Banyak perkembangan metode hermeneutika kitab suci muncul sebagai buah-buah dari perjumpaan antara filsafat dan teologi.
Munculnya pemikiran fenomenologis dan eksistensialis dalam dunia filsafat sempat menggoyahkan kekokohan pemikiran filsafat modern yang kaku dan cenderung kering. Dalam Gereja sendiri, perkembangan pemikiran ini justru membawa angin segar bagi metode penafsiran Kitab Suci. Perkembangan metode penafsiran kitab suci yng dipengaruhi oleh hermeneutika filosofis kontemporer justru menambah perbendaharaan metode penafsiran kitab suci dan dengan demikian menambah kekayaan makna teologis yang belum tergali dengan metode-metode sebelumnya. Perkembangan ini sungguh-sungguh mau menunjukkan bahwa Gereja ingin menghayati semboyan Ecclesia semper reformanda.
Karya tulis ini muncul dari keinginan penulis untuk sedikit memaparkan perkembangan metode hermeneutika kitab suci yang ternyata juga sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat. Karena pada dasarnya karya tulis ini merupakan paper mata kuliah Filsafat Kontemporer, maka dalam tulisan ini metode penafsiran kitab suci akan dibahas secara garis besar saja agar tidak membiaskan fokus pembicaraan. Untuk itu, penulis membatasi pembahasan pada metode historis-kritis, sinkronis dan eksistensial yang merupakan metode yang paling sering digunakan secara umum.
Pengertian Hermeneutika
Dari segi etimologis, kata hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata Yunani hermeneuó: menginterpretasikan, menafsirkan, mengartikan atau menerjemahkan. Baru sekitar abad ke-17 dan ke-18 isitilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya Kitab Suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Dalam ranah filsafat dewasa ini, istilah hermeneutika dipakai dalam dalam arti yang meliputi secara luas tema-tema filosofis tradisional yang berkaitan dengan masalah bahasa. Adapun pokok pembicaraan dalam hermeneutika adalah soal “mengerti” (verstehen). Pertanyaan utama yang muncul dari pokok yang demikian adalah tentang bagaimana pembaca dapat “mengerti” suatu teks yang berasal dari masa lampau, yang sangat jauh dan asing dari jaman hidup pembaca sekarang ini? Selain itu, jika teks tidak berasal dari masa lampau, masih dimungkinkan lagi timbul pertanyaan tentang bagaimana pembaca dapat “mengerti” suatu teks yang ditulis/berasal dari orang lain? Intinya adalah bagaimana pembaca dapat mengerti teks yang “memiliki jarak dengan dirinya”/bukan berasal dari dirinya sendiri. Usaha bagaimana menjembatani “keasingan” antara teks dan pembaca merupakan sesuatu yang selalu diusahakan dalam hermeneutika.
Metode Historis-Kritis
Metode hermeneutika Kitab Suci yang dianggap paling tua dalam sejarah penafsiran Kitab Suci adalah metode historis-kritis yang menggunakan pendekatan diakronis. Metode ini berfokus pada keaslian dan perkembangan teks. Metode ini disebut historis karena (a) diterapkan pada teks-teks kuno, (b) mencoba memahami makna teks tersebut dari sudut pandang historis, dan (c) mencoba menerangkan proses-proses historis yang memunculkan teks-teks biblis. Selain itu, juga disebut kritis karena dalam setiap langkahnya (dari kritik tekstual sampai redaksi) metode ini menggunakan bantuan kriteria ilmiah untuk mencapai hasil yang seobjektif mungkin. Untuk itu, metode ini meneliti penggunaan bahasa asli yang digunakan dalam teks (textual criticism); memahami kata, idiom dan susuanan gramatis dalam perkembangan bahasa (historical linguistics); meneliti bentuk asli teks/ lisan dan kehidupan sehari-hari bangsa Israel (tradition criticism); sumber-sumber teks (source criticism); cara si pengarang menyusun teks dan mengadaptasi dari sumber-sumbernya (redaction criticism) dan peristiwa-peristiwa di sekitar penyusunan/penulisan teks (historical criticism).
Metode historis-kritis yang demikian mendapat legitimasi dan peneguhan dari Scheleiermacher. Sebenarnya metode ini mau mengatasi keasingan suatu teks dengan mencoba mengerti si pengarang. Scheleiermacher berpendapat bahwa untuk dapat memahami suatu teks dengan baik seorang pembaca harus berusaha keluar dari jaman di mana dia sekarang hidup sekarang, lalu merekonstruksi jaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan di mana pengarang berada pada saat ia menulis teksnya. Pembaca harus membayangkan bagaimana keadaan pikiran, perasaan dan maksud si pengarang saat menulis teks tersebut. Selain itu, pembaca jaman ini harus menyamakan diri dengan pembaca asli yang kepada mereka tulisan suci ini awalnya ditujukan. Hanya melalui jalan inilah pembaca dapat mengerti dengan sungguh-sungguh isi teks dari masa lampau/tulisan orang lain. Hermeneutika dengan metode historis-kritis dengan tegas mengambil alih tesis tentang makna tunggal: pada saat yang sama sebuah teks tidak mungkin memiliki lebih dar satu makna. Pendapat Scheleiermacher ini mendapat dukungan dari Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey menimpali juga bahwa memang pembaca tidak dapat menghayati secara langsung (erleben) peristiwa-peristiwa dari masa lampau, tetapi pembaca dapat membayangkan bagaimana si pengarang dulu menghayati peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben).
Walaupun metode historis-kritis inilah yang kerapkali dipilih oleh sebagian besar ekseget, metode ini tidak lepas dari kelemahan. Adapun beberapa kritik dan kelemahan dari metode ini yakni (a) banyak kitab (khususnya PL) bukanlah buatan/hasil karya seorang pengarang tunggal, tetapi mempunyai sejarah yang panjang, dengan demikian usaha untuk membayangkan “keadaan si pengarang” adalah mustahil karena penagrangnya banyak sekali; (b) cara kerja metode historis yang demikian mendetail mengharuskan seseorang memiliki pengetahuan yang cukup dalam dan lengkap tentang sejarah dan keadaan jaman penulisan kitab suci bila ingin menafsirkannya. Padahalnya, hingga saat ini pun, jumlah orang-orang yang memiliki kompetensi demikian sungguh terbatas. Jumlah ini berbanding terbalik dengan kebutuhan umat akan penafsiran Kitab Suci dalam kehidupan mereka sehari-hari; (c) metode historis kritis yang berfokus pada si pengarang kerapkali justru meniadakan peran serta roh kudus dalam penulisan kitab ini dan dengan demikian membatasi diri pada penyelidikan teks secara historis melulu dan tidak memperhatikan dan mengakui kemungkinan-kemungkinan makna lain yang dinyatakan pada tahap-tahap selanjutnya dari pewahyuan alkitabiah dan sejarah gereja; juga (b) ada keraguan yang mendalam dari kaum eksistensialis bahwa seseorang sungguh dapat “meninggalkan” jaman tempat ia hidup sekarang dan “beralih” ke jaman si pengarang. Menurut kaum eksistensialis prasyarat seperti ini sungguh mustahil untuk dilakukan.
Metode Analisis Literer
Metode Analisis Literer yang menggunakan pendekatan sinkronis (with(in) time) mencoba mengisi kekurangan dari metode historis-kritis. Penafsiran dengan metode ini melihat sebuah teks sebagai bentuk final, sebagaimana ada dan terjilid dalam kitab suci di hadapan pembaca sekarang ini. Metode ini tidak tertarik untuk melihat “jauh ke belakang’ teks (tradisi lisannya, proses redaksional teks, penambahan dan pengulangan teks, sumber-sumber yang digunakan oleh teks, dsb). Metode ini memberikan perhatian istimewa untuk menganalisis teks itu sendiri dan teks dalam relasinya dengan dunia yang tergambar dalam teks itu sendiri. Untuk itu, metode ini meneliti jenis dan bentuk teks (literary criticism); menganalisis cerita dalam teks, termasuk alur, tokoh dan peristiwa baik yang tersurat maupun tersirat (narrative criticism); mencoba memahami cara, strategi dan struktur yang digunakan dalam teks untuk mempengaruhi pembaca dan bagamaina efek yang ditimbulkannya (rhetorical criticism); meneliti kata per kata yang digunakan dalam teks, struktur gramatikal dan sintaksis dari teks; mengkaji arti semantis kata yang digunakan dalam teks; meneliti persepsi dunia dalam teks, ciri budaya penulisan, pendengar/pembaca dan komunitas tujuan teks tersebut ditulis (social-scientific criticism).
Metode analisis literer yang berusaha kembali kepada teks itu sendiri tampaknya muncul setelah gelombang fenomenologi. Slogan fenomenologis Husserl back to things themselves tampaknya menjadi nafas dari metode penafsiran analisis literer ini. Penafsir tidak perlu lagi direpotkan untuk melihat jauh ke belakang teks dan memiliki segudang pengetahuan tentang sejarah-sejarah penulisan kitab, melainkan cukup memfokuskan diri dengan teks yang ada di hadapannya sekarang. Segala bentuk asumsi, pengandaian, bayangan, dan imajinasi penafsir justru harus disingkirkan jauh-jauh bila teks sendiri tidak mengatakan hal itu. Tekanan pada poin yang terakhir ini kerapkali menjadi bumerang bagi pengguna metode analisis literer karena ada keraguan yang mendalam bahwa manusia bisa terlepas dari segala asumsi yang melekat pada dirinya.
Fokus penyelidikan Kitab Suci dengan menggunakan metode diakronis dan sinkronis tampaknya ingin mengupas dua dunia dalam teks, yakni dunia yang ada “di dalam” teks itu sendiri (the world ‘of’ or ‘within’ the text) dan dunia “di belakang” teks (the world behind the text). Oleh karena itu, ekseget yang menafsirkan teks dengan mengkombinasikan kedua metode ini, historis-kritis dan literer, biasanya justru menampakkan ketumpangtindihan tafsiran karena tafsiran akibat dari pengetahuan sejarah seringkali tidak tercantum dalam teks itu sendiri. Untuk itu, beberapa penafsir lain ingin mengimbangi kedua penafsiran ini dengan mengarahkan diri pada sebuah fokus yang baru. Banyak ekseget dewasa ini memfokuskan diri pada dunia “di depan” teks (the world in front of the text), yakni dunia yang “akan diciptakan” oleh teks. Oleh karena itu dewasa ini dikembangkan lagi metode hermeneutika yang menggunakan pendekatan baru.
Metode Eksistensial
Sebenarnya tidak ada nama khusus bagi metode ini. Nama eksistensial dari metode ini hanya mau menggambarkan bahwa metode ini ingin menggunakan pendekatan eksistensial dalam mengatasi jarak waktu antara teks dan pembaca. Karena kebaruannya metode ini masih menjadi perdebatan di antara para ahli sendiri.
Titik fokus pendekatan eksistensial dalam menafsirkan kitab suci bukan pertama-tama pada teks per se – yang dimengerti sebagai bentuk perkembangan (dalam pendekatan diakronis) dan bentuk final (dalam pendekatan sinkronis), melainkan pada teks sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh dapat “terlibat”. Pembaca perlu sungguh terlibat dalam teks dan teks harus sungguh terlibat dalam hidup pembaca. Metode eksistensial merupakan sebuah metode instrumental yang “mengijinkan” teks dibaca sebagai sarana untuk mencapai suatu “tujuan akhir”. Dengan demikian, tujun akhir dari pembacaan suatu teks bukanlah teks itu sendiri melainkan “sesuatu yang melampaui teks” di mana kesaksian tentang realitas itu sudah terkandung dalam teks itu sendiri. “Sesuatu yang melampaui teks” itu bisa berupa seperangkat relasi diantara manusia sendiri, dalam hubungannya dengan “kebenaran spiritual” yang melampaui “kebenaran literal”, yang bisa disebut dengan Tuhan, dsb.
Perkembangan metode penafsiran yang terakhir ini menunjukkan secara jelas tantangan bagi eksegese untuk memikirkan ulang beberapa hal dalam terang hermeneutika filosofis kontemporer yang menekankan keterlibatan subjek dalam pemahaman manusia, khususnya menyangkut pengetahuan historis. Ada 3 tokoh filsuf yang minimal sangat berpengaruh hingga mendorong eksegese untuk menyempurnakan metode hermeneutikanya. Bultmann, contohnya, sangat antusias untuk mengusahakan agar realitas yang dibicarakan dalam alkitab dapat berbicara kepada orang-orang sezamannya. Baik Bultmann, Heidegger, Gadamer setuju bahwa pra-pemahaman (vorverstandnis) sungguh-sungguh tidak dapat dipisahkan dari si penafsir dan justru sebaliknya asumsi-asumsi inilah yang memungkinkan manusia untuk dapat memahami realitas yang digambarkan dalam teks. Akan tetapi, untuk menghindari subyektivisme, orang harus membiarkan pra-pemahamannya diperdalam dan diperkaya, dan bahkan dimodifikasi dan dikoreksi, oleh realitas teks secara terus-menerus. Gadamer menambahkan bahwa jarak waktu antara teks dan pembaca justru merupakan suatu faktor yang produktif karena memungkinkan penafsir bukan hanya me-reproduksi makna teks, tetapi sekaligus memproduksi kembali makna suatu teks sehingga sungguh bermakna bagi pembaca dan sesuai dengan jamannya.
Karena fokusnya yang demikian, metode eksistensial mengambil langkah berani yang belum terdapat dalam metode-metode sebelumnya. Pendekatan eksistensial secara umum dapat dibagi menjadi dua model, yakni (a) model “percaya” (Trust/consent) dan (b) “ragu-ragu” (suspicion). Model “percaya” adalah pendekatan hermeneutika dengan sebuah dasar kepercayaan bahwa teks kitab suci sungguh merupakan sarana yang dapat dipercaya, sumber, dan saksi atas pengalaman Tuhan. Sedangkan model “ragu-ragu” adalah pendekatan yang berdasar pada sebuah ketidakpercayaan dan sikap ragu-ragu atas apa yang tertulis dalam kitab suci. Pendekatan ini sungguh berani dan revolusioner karena sungguh ingin menghubungkan realitas dalam kitab suci agar terlibat secara penuh dengan realitas di depan teks, yakni realitas pembaca. Dengan demikian, metode hermeneutika ini menolak tesis tentang makna tunggal yang diusung oleh metode histrosi kritis di atas. Metode eksistensial memunculkan sebuah pemikiran bahwa “tafsiran asli” sesuai dengan maksud si pengarang telah ikut mati bersama dengan si pengarang itu sendiri. Bahkan, si pengarang teks sekalipun tidak bisa mengklaim memiliki penafsiran yang paling sahih atas teks yang disusunnya. Ketika teks “dilemparkan” ke publik maka setiap orang memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan teks tersebut.
Refleksi terhadap Penafsiran Kitab Suci dalam Gereja Katolik
Dua kutub ekstrim yang diusung oleh metode hermeneutika historis-kritis dan eksistensial membawa dua kutub ekstrim kecenderungan penafsiran Kitab Suci juga. Di satu sisi, ada agama yang meyakini bahwa tiap teks dalam Kitab Suci hanya memiliki makna tunggal dan bahkan untuk menghindari bias makna ini maka Kitab Suci harus tetap dibiarkan dalam dalam bahasa aslinya (mis: Al-Quran). Ada ketakutan yang mungkin berlebihan untuk menerjemahkan kitab suci dalam bahasa-bahasa lain karena takut maknanya akan berubah. Bahasa dalam Kitab Suci merupakan bahasa yang sempurna karena Allah sendirilah yang mendiktekannya. Penerjemahan hanya akan menimbulkan bias-bias yang justru akan merugikan pembaca sabda. Pandangan yang demikian memiliki dasar bahwa karena Kitab Suci berasal dari satu sumber (Tuhan), maka satu pulalah penafsiran atasnya. Di sisi yang lain, ada agama yang meyakini bahwa maka setiap orang memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan teks (mis: Protestantisme). Setiap orang berhak menggali makna kitab suci sesuai dengan kebutuhan dirinya. Pandangan yang demikian memiliki dasar yang “rohani” yakni bahwa roh kudus yang telah dicurahkan Allah kepada semua orang akan membantu setiap orang untuk menafsirkan Kitab Suci yang diinspirasikan oleh Roh Kudus sendiri. Dengan dasar seperti ini maka tidak mengherankan jika muncul puluhan ribu denominasi di seluruh dunia akibat dari penafsiran yang berbeda-beda.
Penulis sendiri merefleksikan bahwa Gereja Katolik sendiri sudah cukup berkembang dalam hal penafsiran Kitab Sucinya. Virtus stat in medio. Dalam refleksi penulis, Gereja berdiri di tengah kedua ekstrim ini. Gereja sama sekali tidak melarang dan bahkan mendorong penggalian makna Kitab Suci yang dilakukan secara pribadi oleh masing-masing umat Allah, tetapi Gereja juga tetap memiliki Magisterium yang menjaga persatuan dan kekayaan warisan iman (depositum fidei). Gambaran tugas dari Magisterium yang semacam ini hendaknya dimengerti sama sekali tidak identik dengan tugas lembaga inkuisisi di masa lampau. Magistrium sendiri tidak berisi rumusan-rumusan kebenaran iman yang statis dan tidak bisa didialogkan lagi, melainkan sebaliknya. Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka Magisterium sendiri perlu terus-menerus diajak berdialog dan secara aktif mengusahakan dialog agar pengajarannya tetap aktual bagi jamannya.
Penutup
Ecclesia semper reformanda. Slogan ini bukan hanya sekedar ucapan manis belaka. Gereja sungguh-sungguh berjuang untuk senantiasa meremajakan dirinya agar tetap aktual. Perkembangan metode penafsiran Kitab Suci merupakan bukti bahwa pertemuan antara filsafat dan teologi dapat membuahkan suatu hasil yang baik dan bukan hanya pertentangan dan perdebatan belaka. Dalam bahasa iklan dewasa ini, Filsafat senantiasa berperan penting untuk meremajakan kembali teologi-teologi yang sudah mulai “keriput” dan terlihat tidak menarik.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1981.
Gorman, Michael J. Elements of Biblical Exegesis. USA: Hendricson Publishers, 2009.
Komisi Kitab Suci Kepausan. Penafsiran Alkitab Dalam Gereja. Yogyakarta: Kanisius,2003.
Laba, Laurensius. Diktat Sejarah Filsafat Islam. Malang: STFT Widya Sasana, 2006.
No comments:
Post a Comment