Pendahuluan
Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini, teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang sangat cepat. Revolusi teknologi telah mengubah alat-alat komunikasi menjadi semakin bervariasi dan bermutu. Televisi telah membuat orang dapat menyaksikan berbagai peristiwa di belahan bumi lainnya dalam sekejap mata. Internet telah memungkinkan terjadinya pertukaran informasi secara singkat seperti tidak terkendali dan tak terkendala ruang dan waktu. Google[1] menjadi sebuah kamus yang menyajikan informasi secara instan. Penantian dan kelambanan dianggap sebagai hal yang harus dihindari. Dengan fenomena semacam ini, seperti yang dikemukakan oleh Haryatmoko (dosen pascasarjana Filsafat UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), logika komunikasi jaman ini adalah logika waktu pendek. Logika ini tidak hanya digunakan oleh media massa elektronik tapi juga media cetak. Baik elektronik maupun cetak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan logika ini. Prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan demi hidup-matinya media itu.
Sebagai kaum muda yang sedang mempersiapkan diri menjadi imam, penulis merasa perlu untuk mengupas logika waktu pendek, serta bahaya-bahaya yang mungkin terjadi akibat penerapan logika ini. Dalam tulisan ini, penulis juga mencoba memikirkan dan menawarkan solusi yang kiranya dapat menghindari akibat buruk dari logika waktu pendek ini.
Apa dan Bagaimana Logika Waktu Pendek
Logika waktu pendek adalah cara pikir yang membenarkan dan menyukai segala sesuatu yang dapat dihasilkan dalam waktu pendek. Logika ini menjunjung tinggi efektivitas dan efisiensi waktu secara agak berlebihan. Logika ini menolak segala kelambanan. Sindrom yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji.
Logika waktu pendek memiliki dua penerapan, yaitu mimetisme[2] dan logika mode. Mimetisme mempermainkan waktu dalam media. Media tidak diberi waktu untuk memikirkan nilai dari suatu peristiwa. Kriteria pemilihan informasi yang digunakan oleh media massa yang terkena dampak dari mimetisme adalah ketika semua media meliput, maka informasi itu pasti bagus. Hal ini menyebabkan media berlomba-lomba untuk mengepung satu peristiwa saat mengetahui teman-temannya sudah di lokasi, entah peristiwa itu benar-benar penting untuk diliput atau tidak. Momentum peristiwa menjadi hal yang diagung-agungkan.
Logika mode ialah cara pikir yang mendiskualifikasi masa lalu demi penghargaan terhadap yang baru (kekinian). Berdasarkan logika ini, informasi yang disajikan haruslah spektakuler, sensasional dan beranekaragam.
Efek-Efek Logika Waktu Pendek bagi Media Massa Indonesia
Logika waktu pendek memiliki dampak positif dan negatif dalam penerapannya. Dampak positif dari logika waktu pendek adalah pembaca dapat mengetahui informasi secara cepat dan tidak kehilangan momentum peristiwa. Berita-berita yang disajikan setiap hari dalam media massa sangat beranekaragam dan dikemas secara spektakuler, sensasional, dan ringkas.
Di lain pihak logika waktu pendek juga memiliki beberapa efek negatif. Logika waktu pendek membuat media massa mengalami dilema. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran media sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, mandiri, dan kedalaman berpikir. Di sisi lain, pragmatisme ekonomi dan tunggangan ideologi kapilatisme memaksa media menerapkan logika mode yang hanya cenderung untuk menyampaikan hal-hal yang spektakuler, sensasional dan pesan yang beragam. Dilema ini menyebabkan media massa mengalami berbagai kejatuhan nilai. Misalnya, saat kampanye pilkada belakangan ini banyak kandidat yang mengerahkan artis dan berbagai hiburan pada masyarakat. Media massa tampak hanya memberitakan artis dan hiburan itu saja, sedangkan program dan diskusi para kandidat lepas dari liputan. Media massa yang diharapkan berperan dalam pendidikan politik demi meningkatkan mutu debat publik hadir hanya sebagai tontonan belaka.
Harapan yang diletakkan pada media untuk menjadi pelopor budaya yang berkualitas jatuh dalam pemberitaan hal-hal yang remeh, gosip selebritis, dan kriminalitas. Media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif. Namun, media justru semakin membuat audiens tergantung dan kompulsif sehingga mereka sulit berpikir kritis dan membuat penilaian yang reflektif. Melalui iklan-iklan yang semakin menarik, media membentuk masyarakat yang konsumtif. Pada akhirnya, banyak media massa mulai kehilangan visi, contohnya: sebuah stasiun televisi swasta yang menyandang nama “pendidikan” pun sekarang disesaki oleh acara selebritis, mulai dari kontes dangdut sampai dai cilik.
Buah dari logika waktu pendek adalah cara berpikir dibentuk semakin konsumsif dan mengikuti model rayuan informasi.[3] Efek langsung yang dapat dirasakan adalah munculnya masyarakat yang tidak lagi memaksakan norma-norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan, contohnya: ungkapan “Dilarang merokok!” diubah menjadi “Merokok dapat merugikan kesehatan”. Logika waktu pendek juga tidak tahan dengan tulisan panjang. Informasi-informasi yang disajikan ringkas dan beranekaragam, tetapi hanya bersifat superfisial.
Apa yang Dapat Dilakukan
Dengan melihat efek-efek buruk yang disebabkan oleh logika waktu pendek, penulis mencoba memaparkan beberapa alternatif solusi yang dapat membantu mengurangi pengaruh buruk logika ini.
Pada tanggal 24 Januari 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan pesan komunikasi bagi seluruh umat manusia yang berkehendak baik, dan secara khusus untuk umat katolik sejagat dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia ke-41 yang dirayakan pada 20 Mei 2007. Pesan ini kiranya dapat menjadi salah satu alternatif jawaban bagi para pengguna dan pelaku media. Dalam pesan itu, Paus mengajak ketiga lembaga tradisional (keluarga, Gereja, dan sekolah) untuk mengambil kembali tanggung jawab mereka terhadap pendidikan anak dan tidak “mempersembahkan” tanggung jawab itu kepada media massa modern. Paus ingin mengajak keluarga, Gereja, dan sekolah menjadi pencari, pengumpul, dan penyaji informasi utama bagi masyarakat dan anak-anak. Paus juga mengingatkan bahwa pada masa ini arus media massa tidak dapat ditolak mentah-mentah. Sebagai sarana, media-media itu telah memiliki hubungan psikologis yang sangat erat dengan masyarakat berbagai usia dan jenis kelamin. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk menolak menggunakannya. Yang perlu diperhatikan para pelaku media adalah memasukkan nilai-nilai manusiawi dan kristiani sesuai dengan struktur dan logika, seturut kekhasan kemasan media massa. Paus juga mengajak umat Kristiani untuk memberdayakan media alternatif yang lazim dikenal sebagai media komunitas, seperti teater rakyat, wayang, drama, poster, selebaran, forum diskusi, dalam bentuk sastra rakyat,seperti pantun, teka-teki, syair, tarian, dan nyanyian. Media komunikasi komunitas ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa, sehingga orang-orang sekomunitaslah yang menjadi lakon dalam media-media itu. Dengan demikian, dinamika hidup masyarakat tertentu akan mencari media yang sesuai dengan bentuk masyarakat yang ada dan bukan sebaliknya.
Selain yang telah disebutkan di atas, penulis juga memikirkan sebuah solusi lain. Bagi para pelaku media, hal pertama yang harus selalu dijunjung tinggi oleh mereka adalah idealisme media tersebut. Setiap media pastilah memiliki idealismenya masing-masing. Idealisme itu hendaknya menjadi tongkat pengukur atas informasi-informasi yang disajikan. Bagian vital media yang sangat bersinggungan dengan hal ini adalah para redaktur rubrik. Mereka inilah yang seharusnya menjaga editorial policy (kriteria layak-tidaknya sebuah berita dipublikasikan) dalam suatu media. “Sebuah informasi harus melalui ‘saringan’ tersebut sebelum sampai publik” artinya lolos-tidaknya sebuah peristiwa diberitakan (menjadi berita/informasi) tergantung pada hasil pengecekan peristiwa itu dengan editorial policy dan idealisme media. Dengan demikian, informasi/berita yang disajikan sungguh-sungguh pilihan dan membawa pesan yang sesuai dengan idealisme media.
Kesimpulan
Logika komunikasi jaman ini adalah logika waktu pendek yang memiliki dua penerapan utama, yakni mimetisme dan logika mode. Penerapan ini membawa dampak positif dan negatif. Untuk menghindari efek negatif dari logika ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yakni:
- Sesuai pesan Paus, para pengguna media diajak untuk mengembalikan peran ketiga lembaga tradisional (keluarga, Gereja dan sekolah) sebagai pencari, pengumpul dan penyaji informasi yang utama bagi masyarakat dan anak-anak. Para pelaku media diajak untuk mengembangkan media komunitas dan memasukkan nilai-nilai manusiawi kristiani seturut kekhasan kemasan media massa.
- Para pelaku media harus selalu menjunjung tinggi idealisme media dalam pemberitaannya. Editorial policy harus digunakan unttuk menyeleksi informasi-informasi yang akan disampaikan.
Sebagai calon imam, pengetahuan akan logika waktu pendek dan segala akibatnya sangat mendesak untuk diketahui. Mereka akan berkarya dan berkomunikasi di jaman yang menggunakan logika seperti ini. Setelah mengetahui akibat-akibat buruk dari logika waktu pendek, para calon imam itu, dalam masa pendidikannya, dapat memikirkan strategi pastoral yang tepat guna menghindari efek tersebut bagi media komunikasi gereja dan pewartaannya. Dengan demikian mereka dapat menjadi gembala-gembala yang kontekstual, tetapi tidak terseret oleh arus jaman.
[1] Google adalah sebuah perusahaan Amerika Serikat yang paling terkenal melalui mesin pencarinya yang juga bernama Google
[2] Mimetisme artinya hasrat tiru-meniru yang memperbudak kebebasan manusia dengan kecemburuan dan kebencian, diambil dari http://kompas.com/kompas-cetak/0605/07/Buku/2630564.htm, diakses 5 Oktober 2007
[3] Haryatmoko. Logika Waktu Pendek Media, (http://mirifica.net/wmview.php?ArtCat=8&PHPSESSID= 2f5e183d0dffb3567b29878be325a163, diakses 17 September 2007).
Daftar Pustaka
Adian, Donny G. Etika Komunikasi: Lekuk Etis Komunikasi Kita, (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/11/pustaka/3588343.html, diakses 17 September 2007).
Suki. Pendidikan Media; Refleksi atas Pesan Paus Benekdiktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia 2007, (http://www.mail-archieve.com/ beritakatolik@yahoogroups.com/mailist.html=00638, diakses 17 September 2007).
Haryatmoko. Logika Waktu Pendek Media, (http://mirifica.net/wmview.php?ArtCat= 8&PHPSESSID=2f5e183d0dffb3567b29878be325a163, diakses 17 September 2007).
Sumardinata, J. Resensi buku Melucuti Karma Kambing Hitam, (http://kompas.com/kompas- cetak/0605/07/Buku/2630564.htm, diakses 5 Oktober 2007)
No comments:
Post a Comment