Wednesday, December 5, 2012

SEMANGAT AWALI MISI GEREJA UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA


PENGANTAR
Sidang KWI, dalam hari studi, 3-4 November 2008, memusatkan perhatian pada “Lembaga Pendidikan Katolik: Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak kepada yang Miskin”. Dalam pertemuan itu Para uskup, utusan Konferensi Pimpinan Tarekat Religius Indonesia (Koptari) dan sejumlah pengelola Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) hadir. Mereka dibantu pula oleh para narasumber yang aktif terlibat dalam seluruh proses tukar-menukar pikiran, pemahaman, dan pengalaman. Pertemuan ini ingin mengungkapkan sekali lagi kepedulian dan kesadaran akan arti serta nilai pendidikan, yang dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh LPK sebagai wujud nyata keikutsertaan Gereja dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia (bdk. Pembukaan UUD 1945 alinea 4).
Walaupun sebagai lembaga agama, Gereja mendaku (mengklaim) memiliki tanggung jawab terhadap masalah sosial. Gereja merasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial karena Gereja hadir di dunia untuk menemani perjalanan domba-domba Kristus yang hidup secara nyata dalam dunia sosial. Tanggung jawab Gereja tersebut pertama-tama ditujukan terutama bagi orang-orang miskin (bdk. KHK 1983, Kanon 794). Di Indonesia, tanggung jawab tersebut dalam perkembangan sejarah mengalami tantangan karena pelbagai permasalahan, yang berhubungan dengan cara berpikir, reksa pastoral, politik pendidikan, manajemen, sumber daya manusia, keuangan, dan kependudukan. Khususnya di Keuskupan Surabaya, Yayasan Yohanes Gabriel merupakan saksi sejarah bagaimana Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya turut serta membangun bangsa dengan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pembahasan dokumen-dokumen gereja, sipil dan sejarah Yayasan Yohanes Gabriel dalam kuliah Pastoral Pendidikan ini merupakan suatu hal baru bagi saya. Banyak hal dan informasi baru yang saya peroleh dari mata kuliah ini. Namun demikian, Saya pribadi merasa tertarik dengan sejarah perkembangan Yayasan Yohanes Gabriel yang begitu dinamis. Oleh karena itu dalam paper ini saya akan mencoba menguraikan “semangat mendidik” yang saya temukan dalam pembahasan tentang Sejarah Yohanes Gabriel untuk bisa melihat semangat awali misi pendidikan di Keuskupan Surabaya. Namun demikian, di bagian awal saya juga ingin menyimpulkan sintesa-sintesa baru yang saya temukan dari dokumen-dokumen gereja dan sipil soal kependidikan.

TEMUAN-TEMUAN DARI DOKUMEN-DOKUMEN GEREJA DAN NEGARA
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Gereja universal sangat memperhatikan masalah pendidikan Katolik. Berbaga dokumen yang sudah diulas oleh teman-teman memperlihatkan perhatian Gereja Universal yang begitu besar soal pendidikan. Ada begitu banyak pembahasan tentang kependidikan diuraikan mulai dari KHK, ensiklik-ensiklik, dan dekrit-dekrit, sampai pada pertemuan-pertemuan baik tingkat lokal, regional, mapun universal juga diadakan untuk membahas dan menekankan beberapa unsur pokok dan penting dalam pendidikan katolik. Pengulangan-pengulangan ini tidak-bisa-tidak ingin menekankan tingkat urgensi dan pentingnya masalah ini.
Secara singkat dapat saya simpulkan bahwa Gereja Universal ingin menyerukan bahwa penanggungjawab utama pendidikan Katolik di keuskupannya adalah Uskup (bdk. KHK 1983, Kanon 806). Dalam kenyataan praktik di lapangan Uskup juga meinta bantuan Lembaga Pendidikan Katolik yang sudah diberi kepercayaan olehnya untuk mengurusi masalah kependidikan, termasuk di dalamnya misalnya: Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (Komdik KWI), Komisi Pendidikan (Komdik)  Keuskupan, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Majelis Pendidikan Katolik (MPK), Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Perhimpunan Akademi Politeknik Katolik Indonesia (PAPKI), Ikatan Insan Pendidikan Katolik (IIPK), pengurus yayasan, kepala sekolah/direktur/ketua/rektor, guru. Namun demikian, sebenarnya tanggung jawab orang tua peserta didik, peserta didik, dan seluruh umat, apa pun jabatannya juga memegang peranan yang tidak kecil.
Pewartaan Injil tidak lengkap seandainya tidak memperhitungkan pengaruh timbal balik yang tiada hentinya antara injil dan kehidupan konkrit manusia, baik perorangan maupun sosial (EN 29). Inilah yang kiranya menjadi dasar secara konstitusional bahwa Gereja harus ikut juga terjun dalam dunia sosial yang merupakan “akuarium” tempat Gereja Kristus hidup. Pewartaan Injil yang baik selalu meneladan misteri Inkarnasi dimana Allah sungguh-sungguh menjadi daging/manusia. Gereja yang baik adalah bukan Gereja yang hanya bisa “omong doang” soal hal-hal yang suci-suci tanpa mengambil tindakan apapun atas ketidakadilan dan ketidakmerataan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dalam masyarakatnya. Misi mewartakan Injil sekarang menghendaki agar kita membaktikan diri bagi pembebasan manusia justru dalam kenyataannya sekarang (keadilan dunia, 35). Sekolah/pelayanan di bidang pendidikan merupakan salah satu cara pewartaan iman yang baik dan dapat menjangkau seluruh golongan.

TEMUAN-TEMUAN DARI PRESENTASI SEJARAH YAYASAN YOHANES GABRIEL
Dalam buku Mendidik Anak Bangsa, sejarah Yayasan Yohanes Gabriel disajikan secara indah dan mengharukan oleh pengarang, karena di dalamnya sungguh masukkan unsur afeksi dan dan emosi person-person yang terlibat di dalamnya untuk sungguh memotret panorama jatuh bangun keadaan Yohanes Gabriel kala itu. Mungkin, kekuatan buku ini adalah adanya data-data yang ditangkap dengan metode wawancara kepada banyak saksi sejarah yang masih hidup sehingga sungguh bukan hanya gejolak yayasan saja yang dapat ditangkap, tetapi juga gejolak hati dan perasaan dari orang-orang yang terlibat dalam dinamika yayasan tersebut dapat termuat dengan indah.
Salah satu kesimpulan yang saya dapat dari mendengarkan dan membaca buku ini adalah bahwa semangat awali karya pendidikan di Keuskupan Surabaya adalah  suatu sikap kepedulian terhadap karya agung mencerdaskan bangsa yang tiada kenal henti. Sikap ini muncul karena melihat kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh anak Indonesia karena kurangnya pendidikan. Gereja sebagai lembaga agama yang juga merupakan lembaga kemanusiaan tidak bisa berpangku tangan melihat anak-anak bangsa selamanya terpuruk di bawah garis kemiskinan hanya karena kebodohan yang sebenarnya sungguh dapat dihindari.
Mengapa sebenarnya Gereja sangat “ngotot” untuk menggeluti bidang ini? Dalam refleksi saya, dalam karya pendidikan ini Gereja sungguh menjalankan salah satu tanggung jawab yang dianugerahkan Kristus kepada Gerejanya (tri munus Christi) yakni: tugas sebagai imam, guru, dan raja. Karya pendidikan menunjukkan secara persis dan aktual tugas Gereja untuk mengajar, menanamkan nilai-nilai Injil yang diberikan oleh Kristus, dan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dengan terus mempromosikan kebenaran yang diwartakan oleh Kristus kepada dunia. Selain itu, ternyata dari jaman dulu, karya di bidang pendidikan merupakan bentuk pelayanan diakonia dan kerygma yang paling nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Walaupun ini merupakan tugas yang mulia, ternyata tugas ini harus diselesaikan oleh Gereja dengan setengah mati, jatuh bangun, dan susah payah. Sudah sejak jaman Kristus dan ditegaskan oleh Kristus sendiri bahwa Gereja akan selalu dihadang dan dihalang-halangi dalam melaksanakan tugas perutusannya. Tantagan dalam mengembangkan misi pendidikan berasal dari banyak pihak. Pihak pemerintah terkadang “menyulitkan” Gereja dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang merugikan bagi pengembangan Lembaga Pendidikan Katolik. Di dalam tubuh Yayasan Yohanes Gabriel sendiri, perlu proses yang begitu lama, getir, alot, pahit, dan menyakitkan untuk dapat mengkompakkan seluruh anggotanya dalam tubuh mistik Kristus. Membutuhkan waktu yang lama pula bagi Gereja untuk dapat meyakinkan umat untuk mempercayakan pendidikan anaknya pada Lembaga Pendidikan Katolik dan mempertahankan kepercayaan itu selama kurun waktu yang tidak sebentar.
Mempelajari kisah sejarah ini pada akhirnya saya juga ingin menyetujui kristal-kristal yang telah ditemukan oleh penulis sebagai unsur-unsur yang bersifat komplementer yang membentuk karakteristik Yayasan Yohanes Gabriel bertumbuh kembang menjadi karya khas keuskupan sampai saat sekarang ini. unsur-unusr tersebut antara lain: misioner, komuniter, inspirasi-kreatif, personal, dan institusional. Oleh penulis, unsur-unsur ini disebut sebagai Harta Rohani yang diwariskan oleh sejarah. Mengapa demikian? Unsur-unsur di atas inilah yang menjadi alasan, semangat dan “spiritualitas” Yayasan dalam memperjuangkan visi dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Unsur-unsur inilah yang merupakan Semangat Awali Misi Gereja untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk menguraikan sedikit tentang maksud unsur-unsur tersebut.
Unsur Misioner. Semangat untuk mendidik anak-anak pribumi agar melalui pendidikan itu pengenalan akan iman kristiani dapat dimulai. Pendidikan anak-anak dipilih karena anggapan bahwa anak-anak memang lebih terbuka terhadap sesuatu yang menyangkut iman bila dibandingkan dengan orang dewasa. Unsur misioner ini juga dipendarkan dari nama Yohanes Gabriel yang sungguh menjadi teladan dan pelindung bagi Sekolah-sekolah katolik untuk bermisi dan mewartakan nilai-nilai Injil dalam masyarakat.
Unsur Komuniter. Semangat untuk bersatu, berkumpul dan bersekutu seperti jemaat perdana. Persekutuan inilah yang memampukan para anggota Yayasan untuk bertahan menghadapi saat-saat tersulit, mendapat jodoh dan sekaligus menggalang murid. Keteladanan dalam bersekutu dan berkumpul sebagai saudara ini jugalah yang membuat komunitas katolik terlihat begitu menarik di mata masyarakat.
Unsur inspiratif-kreatif. Kemampuan mental-spiritual para insan Yayasan untuk terbuka terhadap gerak roh yg menjiwai mereka dan dgn jeli membaca tanda2 jaman. Unsur kiranya tidak selalu berhasil, tetapi menandai gerak langkah yayasan, membuat karya yayasan terus berkembang, dll.
Unsur Spiritual-personal. Unsur ini dimengerti sebagai semangat kerohanian yang khas pada masing individu Yayasan dan dihayati secara pribadi oleh mereka. Semangat yang pertama dan utama adalah kristianitas, semangat untuk bertemu dan mengikuti Yesus Sang Guru dan Tuhan. Pengalaman bersama dengan Kristus inilah yang menjadikan insan Yayasan mampu bertahan di tengah pasang-surut. Hubungan kasih dengan Kristus ini diangkat sebagai semboyan ”Caritas Christi Urget Nos”.
Unsur Institusional. Unsur ini merupakan media kehadiran Roh. Melalui lembaga, Roh itu mengelola insan Yayasan. Unsur inilah yang membuat Yayasan Yohanes Gabriel bukan merupakan suatu lembaga yang mati tapi suatu organisme hidup, mengalami jatuh-bangun. Sebagai organisme yang hidup, Yayasan Yohanes Gabriel menunjukkan hadirnya Roh yang hidup dalam Yayasan dan berkehendak memberikan hidup itu kepada insan anggotanya.
Unsur dan nilai-nilai nilah yang membuat Yayasan Yohanes Gabriel bisa bertahan hingga sekarang dan justru menjadi ciri khas karakteristik Yayasan Yohanes Gabriel. Oleh karena itu, nilai-nilai, yang disebut sebagai harta ini memang perlu terus menerus dilestarikan dan dikembangkan, walaupun pada saat ini dunia pendidikan katolik sedang mengalami pasang surut yng cukup tajam. Nilai-nilai dan unsur ini dapat menjadi seperti sebuah kompas yang senantiasa mengarahkan visi dan misi Gereja dalam karya pendidikannya.

Yoseph Indra Kusuma

No comments:

Post a Comment