PENGANTAR
Sidang KWI, dalam hari
studi, 3-4 November 2008, memusatkan perhatian pada “Lembaga Pendidikan
Katolik: Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak kepada yang
Miskin”. Dalam pertemuan itu Para uskup, utusan Konferensi Pimpinan Tarekat
Religius Indonesia (Koptari) dan sejumlah pengelola Lembaga Pendidikan Katolik
(LPK) hadir. Mereka dibantu pula oleh para narasumber yang aktif terlibat dalam
seluruh proses tukar-menukar pikiran, pemahaman, dan pengalaman. Pertemuan ini
ingin mengungkapkan sekali lagi kepedulian dan kesadaran akan arti serta nilai
pendidikan, yang dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh LPK sebagai wujud nyata
keikutsertaan Gereja dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia (bdk.
Pembukaan UUD 1945 alinea 4).
Walaupun sebagai lembaga
agama, Gereja mendaku (mengklaim) memiliki tanggung jawab terhadap masalah
sosial. Gereja merasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial karena
Gereja hadir di dunia untuk menemani perjalanan domba-domba Kristus yang hidup
secara nyata dalam dunia sosial. Tanggung jawab Gereja tersebut pertama-tama
ditujukan terutama bagi orang-orang miskin (bdk. KHK 1983, Kanon 794). Di
Indonesia, tanggung jawab tersebut dalam perkembangan sejarah mengalami
tantangan karena pelbagai permasalahan, yang berhubungan dengan cara berpikir,
reksa pastoral, politik pendidikan, manajemen, sumber daya manusia, keuangan,
dan kependudukan. Khususnya di Keuskupan Surabaya, Yayasan Yohanes Gabriel
merupakan saksi sejarah bagaimana Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya turut
serta membangun bangsa dengan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pembahasan dokumen-dokumen
gereja, sipil dan sejarah Yayasan Yohanes Gabriel dalam kuliah Pastoral
Pendidikan ini merupakan suatu hal baru bagi saya. Banyak hal dan informasi
baru yang saya peroleh dari mata kuliah ini. Namun demikian, Saya pribadi
merasa tertarik dengan sejarah perkembangan Yayasan Yohanes Gabriel yang begitu
dinamis. Oleh karena itu dalam paper ini saya akan mencoba menguraikan
“semangat mendidik” yang saya temukan dalam pembahasan tentang Sejarah Yohanes
Gabriel untuk bisa melihat semangat awali misi pendidikan di Keuskupan
Surabaya. Namun demikian, di bagian awal saya juga ingin menyimpulkan
sintesa-sintesa baru yang saya temukan dari dokumen-dokumen gereja dan sipil
soal kependidikan.
TEMUAN-TEMUAN DARI DOKUMEN-DOKUMEN GEREJA DAN NEGARA
Tidak bisa dipungkiri lagi
bahwa Gereja universal sangat memperhatikan masalah pendidikan Katolik. Berbaga
dokumen yang sudah diulas oleh teman-teman memperlihatkan perhatian Gereja
Universal yang begitu besar soal pendidikan. Ada begitu banyak pembahasan
tentang kependidikan diuraikan mulai dari KHK, ensiklik-ensiklik, dan
dekrit-dekrit, sampai pada pertemuan-pertemuan baik tingkat lokal, regional,
mapun universal juga diadakan untuk membahas dan menekankan beberapa unsur pokok
dan penting dalam pendidikan katolik. Pengulangan-pengulangan ini
tidak-bisa-tidak ingin menekankan tingkat urgensi dan pentingnya masalah ini.
Secara singkat dapat saya
simpulkan bahwa Gereja Universal ingin menyerukan bahwa penanggungjawab utama pendidikan
Katolik di keuskupannya adalah Uskup (bdk. KHK 1983, Kanon 806). Dalam
kenyataan praktik di lapangan Uskup juga meinta bantuan Lembaga Pendidikan
Katolik yang sudah diberi kepercayaan olehnya untuk mengurusi masalah
kependidikan, termasuk di dalamnya misalnya: Komisi Pendidikan Konferensi
Waligereja Indonesia (Komdik KWI), Komisi Pendidikan (Komdik) Keuskupan,
Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Majelis Pendidikan Katolik (MPK),
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Perhimpunan Akademi Politeknik
Katolik Indonesia (PAPKI), Ikatan Insan Pendidikan Katolik (IIPK), pengurus
yayasan, kepala sekolah/direktur/ketua/rektor, guru. Namun demikian, sebenarnya
tanggung jawab orang tua peserta didik, peserta didik, dan seluruh umat, apa
pun jabatannya juga memegang peranan yang tidak kecil.
Pewartaan Injil tidak
lengkap seandainya tidak memperhitungkan pengaruh timbal balik yang tiada
hentinya antara injil dan kehidupan konkrit manusia, baik perorangan maupun
sosial (EN 29). Inilah yang kiranya menjadi dasar secara konstitusional bahwa
Gereja harus ikut juga terjun dalam dunia sosial yang merupakan “akuarium”
tempat Gereja Kristus hidup. Pewartaan Injil yang baik selalu meneladan misteri
Inkarnasi dimana Allah sungguh-sungguh menjadi daging/manusia. Gereja yang baik
adalah bukan Gereja yang hanya bisa “omong
doang” soal hal-hal yang suci-suci tanpa mengambil tindakan apapun atas
ketidakadilan dan ketidakmerataan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dalam
masyarakatnya. Misi mewartakan Injil sekarang menghendaki agar kita membaktikan
diri bagi pembebasan manusia justru dalam kenyataannya sekarang (keadilan
dunia, 35). Sekolah/pelayanan di bidang pendidikan merupakan salah satu cara
pewartaan iman yang baik dan dapat menjangkau seluruh golongan.
TEMUAN-TEMUAN DARI PRESENTASI SEJARAH YAYASAN YOHANES GABRIEL
Dalam buku Mendidik Anak
Bangsa, sejarah Yayasan Yohanes Gabriel disajikan secara indah dan mengharukan
oleh pengarang, karena di dalamnya sungguh masukkan unsur afeksi dan dan emosi
person-person yang terlibat di dalamnya untuk sungguh memotret panorama jatuh
bangun keadaan Yohanes Gabriel kala itu. Mungkin, kekuatan buku ini adalah
adanya data-data yang ditangkap dengan metode wawancara kepada banyak saksi
sejarah yang masih hidup sehingga sungguh bukan hanya gejolak yayasan saja yang
dapat ditangkap, tetapi juga gejolak hati dan perasaan dari orang-orang yang
terlibat dalam dinamika yayasan tersebut dapat termuat dengan indah.
Salah satu kesimpulan yang
saya dapat dari mendengarkan dan membaca buku ini adalah bahwa semangat awali
karya pendidikan di Keuskupan Surabaya adalah
suatu sikap kepedulian terhadap karya agung mencerdaskan bangsa yang
tiada kenal henti. Sikap ini muncul karena melihat kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami oleh anak Indonesia karena kurangnya pendidikan.
Gereja sebagai lembaga agama yang juga merupakan lembaga kemanusiaan tidak bisa
berpangku tangan melihat anak-anak bangsa selamanya terpuruk di bawah garis
kemiskinan hanya karena kebodohan yang sebenarnya sungguh dapat dihindari.
Mengapa sebenarnya Gereja
sangat “ngotot” untuk menggeluti
bidang ini? Dalam refleksi saya, dalam karya pendidikan ini Gereja sungguh
menjalankan salah satu tanggung jawab yang dianugerahkan Kristus kepada
Gerejanya (tri munus Christi) yakni:
tugas sebagai imam, guru, dan raja. Karya pendidikan menunjukkan secara persis
dan aktual tugas Gereja untuk mengajar, menanamkan nilai-nilai Injil yang
diberikan oleh Kristus, dan menjadi garam dan terang bagi masyarakat dengan
terus mempromosikan kebenaran yang diwartakan oleh Kristus kepada dunia. Selain
itu, ternyata dari jaman dulu, karya di bidang pendidikan merupakan bentuk
pelayanan diakonia dan kerygma yang paling nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Walaupun ini merupakan tugas
yang mulia, ternyata tugas ini harus diselesaikan oleh Gereja dengan setengah
mati, jatuh bangun, dan susah payah. Sudah sejak jaman Kristus dan ditegaskan
oleh Kristus sendiri bahwa Gereja akan selalu dihadang dan dihalang-halangi
dalam melaksanakan tugas perutusannya. Tantagan dalam mengembangkan misi
pendidikan berasal dari banyak pihak. Pihak pemerintah terkadang “menyulitkan”
Gereja dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang merugikan bagi pengembangan
Lembaga Pendidikan Katolik. Di dalam tubuh Yayasan Yohanes Gabriel sendiri,
perlu proses yang begitu lama, getir, alot, pahit, dan menyakitkan untuk dapat
mengkompakkan seluruh anggotanya dalam tubuh mistik Kristus. Membutuhkan waktu
yang lama pula bagi Gereja untuk dapat meyakinkan umat untuk mempercayakan
pendidikan anaknya pada Lembaga Pendidikan Katolik dan mempertahankan
kepercayaan itu selama kurun waktu yang tidak sebentar.
Mempelajari kisah sejarah
ini pada akhirnya saya juga ingin menyetujui kristal-kristal yang telah
ditemukan oleh penulis sebagai unsur-unsur yang bersifat komplementer yang
membentuk karakteristik Yayasan Yohanes Gabriel bertumbuh kembang menjadi karya
khas keuskupan sampai saat sekarang ini. unsur-unusr tersebut antara lain:
misioner, komuniter, inspirasi-kreatif, personal, dan institusional. Oleh
penulis, unsur-unsur ini disebut sebagai Harta Rohani yang diwariskan oleh
sejarah. Mengapa demikian? Unsur-unsur di atas inilah yang menjadi alasan,
semangat dan “spiritualitas” Yayasan dalam memperjuangkan visi dan misi
mencerdaskan kehidupan bangsa. Unsur-unsur inilah yang merupakan Semangat Awali Misi Gereja untuk
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Oleh karena itu, saya merasa perlu untuk
menguraikan sedikit tentang maksud unsur-unsur tersebut.
Unsur Misioner. Semangat untuk mendidik anak-anak pribumi agar
melalui pendidikan itu pengenalan akan iman kristiani dapat dimulai. Pendidikan
anak-anak dipilih karena anggapan bahwa anak-anak memang lebih terbuka terhadap
sesuatu yang menyangkut iman bila dibandingkan dengan orang dewasa. Unsur
misioner ini juga dipendarkan dari nama Yohanes Gabriel yang sungguh menjadi
teladan dan pelindung bagi Sekolah-sekolah katolik untuk bermisi dan mewartakan
nilai-nilai Injil dalam masyarakat.
Unsur Komuniter. Semangat untuk bersatu, berkumpul dan bersekutu
seperti jemaat perdana. Persekutuan inilah yang memampukan para anggota Yayasan
untuk bertahan menghadapi saat-saat tersulit, mendapat jodoh dan sekaligus
menggalang murid. Keteladanan dalam bersekutu dan berkumpul sebagai saudara ini
jugalah yang membuat komunitas katolik terlihat begitu menarik di mata
masyarakat.
Unsur inspiratif-kreatif. Kemampuan mental-spiritual
para insan Yayasan untuk terbuka terhadap gerak roh yg
menjiwai mereka dan dgn jeli membaca tanda2 jaman. Unsur kiranya
tidak selalu berhasil, tetapi menandai gerak langkah yayasan, membuat karya
yayasan terus berkembang, dll.
Unsur Spiritual-personal. Unsur ini dimengerti
sebagai semangat kerohanian yang
khas pada masing individu Yayasan dan dihayati secara pribadi oleh mereka. Semangat
yang
pertama dan utama adalah
kristianitas, semangat untuk bertemu dan mengikuti Yesus Sang Guru dan Tuhan. Pengalaman
bersama dengan Kristus inilah yang menjadikan insan Yayasan
mampu bertahan di tengah pasang-surut. Hubungan
kasih dengan
Kristus ini diangkat sebagai
semboyan ”Caritas Christi Urget Nos”.
Unsur
Institusional. Unsur ini merupakan media kehadiran
Roh. Melalui lembaga, Roh itu mengelola insan Yayasan. Unsur inilah yang membuat Yayasan Yohanes Gabriel
bukan merupakan suatu
lembaga yang
mati tapi suatu organisme hidup, mengalami jatuh-bangun. Sebagai organisme
yang hidup, Yayasan Yohanes Gabriel
menunjukkan hadirnya Roh yang hidup dalam Yayasan
dan berkehendak memberikan hidup itu kepada
insan anggotanya.
Unsur dan nilai-nilai nilah
yang membuat Yayasan Yohanes Gabriel bisa bertahan hingga sekarang dan justru
menjadi ciri khas karakteristik Yayasan Yohanes Gabriel. Oleh karena itu,
nilai-nilai, yang disebut sebagai harta ini memang perlu terus menerus
dilestarikan dan dikembangkan, walaupun pada saat ini dunia pendidikan katolik
sedang mengalami pasang surut yng cukup tajam. Nilai-nilai dan unsur ini dapat
menjadi seperti sebuah kompas yang senantiasa mengarahkan visi dan misi Gereja
dalam karya pendidikannya.
Yoseph
Indra Kusuma
No comments:
Post a Comment