Uraian ini ingin mengungkapkan kembali isi buku “Dialog Intra Religius” karangan Raimundo Pannikar. Dalam hal sistematika penulisan, penulis condong mengadaptasi sistematika dalam buku “Allah dan Pluralisme Religius” untuk memudahkan dalam mengerti tulisan Pannikar ini.
I. Riwayat hidup singkat Pannikar
Pannikar adalah seorang imam Katolik yang lahir dari keluarga beragama campuran, Ayahnya beragama Hindu sedangkan ibunya beragama Katolik Roma. Ia mendapat pendidikan filsafat, teologi, sains, dan kultur sansekerta dengan baik. Berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang imam, ia mendapat tugas perdana di Keuskupan Vanarasi, India. Di tempat ini pertemuan dan kontaknya dengan kultur India semakin mendalam. Pannikar mendaku (to claim) bahwa dirinya hidup dalam empat dunia, yakni: Kristen (tempat ia dididik semenjak kecil), Hindu (kultur hidup dan religi ayahnya), Budha, dan dunia sekuler dengan peradaban Eropa. Untuk itulah, menurutnya, diperlukan iman yang kuat jika ingin melakukan perjalanan antar tradisi dan kultur ini.
II. Perjalanan Intelektual Pannikar
a. Dasar pemikiran (Bab I)
Dalam bagian-bagian awal tulisannya (retorika dialog) Pannikar sudah melepaskan dirinya dari model ekslusivistis, inklusivistis, maupun paralelisme yang dirasa dapat menghambat terjadinya perjumpaan antar agama. Seorang ekslusivis akan menempatkan kebenaran agamanya sebagai suatu kebenaran yang lebih tinggi. Seorang inklusivis meskipun mengakui nilai dan kebenaran agama lain, tetap memegang dengan erat bahwa nilai dan kebenaran agamanya sebagai yang paling lengkap. Lain halnya dengan seorang Paralelis, Ia akan mengganggap bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama walaupun penampilannya berbeda-beda. Sikap yang terbaik dan paling mendesak bagi orang-orang semacam ini adalah tidak mencampuri urusan agama lain. Di satu sisi pendangan ini sangat menyuburkan perkembangan masing-masing agama, tetapi di sisi lain pandangan ini mengutuk mutasi antar agama.
Sejak awal Pannikar sudah menempatkan diri sebagai seorang Pluralis. Baginya tujuan dialog intra-agama adalah pemahaman. Tidak ada maksud sedikit pun untuk mengalahkan yang lain untuk mencapai kesepakatan penuh atau membentuk satu agama universal. Cita-citanya ialah menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman dengan membiarkan setiap pihak berbicara dengan bahasanya masing-masing. Ia menegaskan pula bahwa dalam polaritas aktual dari eksistensi manusia, kita akan menemukan keberadaan kita yang sebenarnya.
b. Evolusi pemikiran Pannikar (Bab II)
Dalam pergulatannya dengan agama-agama selama 30 tahun Pannikar menemukan bebrapa insight baru yang cukup fenomenal. Dalam pergulatannya dengan Allah dalam agama Kristen Ia menemukan bahwa terdapat sikap eksklusif yang cukup kuat di dalamnya. Sikap eksklusif ini ditunjukkan dengan meyakini bahwa hanya Allah yang diwartakan oleh Yesus sebagai yang benar dan obyektif. Karena menggangap dirinya memiliki kebenaran yang lengkap, Gereja tidak merasa perlu untuk berdialog dengan yang lain. Gereja Kristen menyakini dirinya sebagai satu-satunya “umat Allah yang sempurna” bahkan sering disamakan dengan Kerajaan Allah Karena keyakinan ini pula Gereja bahkan merasa berhak untuk melakukan karya-karya misioner yang bertujuan untuk mempertobatkan orang-orang non-Kristen baik secara halus maupun paksa. Sikap di masa lalu semacam inilah yang menghambat perjumpaan agama Kristen dengan agama –agama lain.
Selanjutnya, sebagai penyeimbang atas kesimpulan yang sangat mengganggu Pannikar di atas, Ia membagikan pengalamannya ketika bertemu dengan tradisi dan kultur yang lain, khususnya Hinduisme dan Budhisme. Di dalamnya Pannikar tidak membuat sebuah kritik, baik teologis maupun filosofis, terhadap pandangan salah satu agama tersebut. Sebaliknya, ia justru membuat sebuah pendekatan dialogis yang memunginkan terjadinya pertemuan timbal-balik dengan tidak saling menyalahkan atau saling membenarkan diri satu sama lain.
Ada beberapa syarat dialog yang ia sebutkan secara mendetail, yakni: Yang pertama ialah memahami satu sama lain. Prasyarat pertama untuk pemahaman ini pada level intelektual adalah bahwa kita berbicara dalam bahasa yang sama. Prasyarat yang kedua ialah memahami posisi yang lain. Memahami posisi oang lain tidak sama dengan menilai benar atau salahnya. Kemauan untuk memahami orang lain sungguh-sungguh dari sudut pandangnya merupakan wujud kasih pada sesama yang harus didasarkan pada kaih kepada Allah. Dengan pemahaman yang sungguh ini tidak ada lagi subyek yang memahami obyek, tetapi subyek memahami subyek.
Lalu, Apakah hal ini tidak akan memunculkan suatu pengkhianatan ganda? Pannikar memberi contoh tentang hal ini dengan Krishna dan Kristus. Jika seorang rekannya berkata bahwa orang mencapai keselamatan melalui Krishna, pengejawantahan yang paling mulia dari Yang Illahi, maka bagaimana sikap kita seharusnya? Apakah kita juga harus mempercayai hal itu sebagai sebuah kebenaran dan lantas mengesampingkan iman kita kepada Kristus? Jawaban Pannikar adalah Ya dan tidak! Kita harus mempercayai ucapan rekan kita itu sebagai suatu kebenaran. Usaha identifikasi Krishna sebagai Kristus bukanlah usaha memahami dengan sungguh-sungguh dari sudut pandang seseorang. Krishna harus dipahami sebagai Krishna, dan bukan semacam “Kristus yang baru”. Lalu kembali pada pertanyaan di atas, apakah itu bukan malahan menjadi pengkhianatan terhadap iman kita sendiri? Pannikar menjawab hal ini dengan membedakan secara serius antara iman dan kepercayaan, karena pencampuradukkan keduanya seringkali menimbulkan masalah yang serius. Lebih lanjut Pannikar merenagkan bahwa Iman merupakan penghubung antara “saya” dengan yang transenden, dengan apa yang di atas saya, dan dengan apa yang bukan (belum sama dengan) saya. Salah satu akibat dari iman adalah keselamatan. Maka urusan iman yang paling utama adalah menyelamatkan manusia. Iman tidak bisa disunat dalam bentuk-bentuk universal yang mengungkapkannya secara penuh, karena jika demikian iman akan terlalu terikat pada bumi dan menjadikannya tidak mampu lagi untuk menghubungkan kita dengan yang ada di atas kita. Lalu, kepercayaan bukanlah iman, tapi kepercayaan harus memuat iman. Kepercayaan adalah ungkapan dari iman tersebut. Iman yang tidak diungkapkan/diwujudkan sama dengan tidak ada. Memeluk suatu agama merupakan suatu usaha untuk mewujudkan iman kepada sesuatu yang transeden. Jadi, agama yang kita peluk merupakan wujud kepercayaan. Dengan demikian, mengakui ungkapan iman/kepercayaan umat beragama lain tidak sama dengan mengkhianati iman kita sendiri. Iman kita akan selalu tetap yakni: kita akan tetap percaya akan keberadaan dan kekuasaan Sang Transenden di atas kita itu.
c. Aturan main dalam perjumpaan agama ( Bab III)
Ada satu prinsip dan beberapa konsekuensi yang harus dijalani dalam sebuah perjumpaan agama. Prinsip dalam sebuah perjumpaan agama yaitu sebuah perjumpaan agama harus benar-benar bersifat keagamaan. Sedangkan konsekuensi yang harus dijalani bila ingin terjadi perjumpaan agama yang menyuburkan adalah sbb:
1. Harus bebas dari apologi khusus = mengesampingkan kecenderungan untuk membuktikan kebenaran dan nilai-nila yang terkandung dalam agamanya sendiri.
2. Harus bebas dari apologi umum = karena ketakutannya orang membangun semacam ikatan keagamaan (dari orang saleh, suci para pembela hak-hak suci agama).
3. Berani menghadapi tantangan pertobatan = kemungkinan kehilangan suatu keyakinan bahkan agamanya. Ia bisa juga kehilangan hidupnya dan bahkan bisa juga dilahirkan kembali.
4. Dimensi historis penting tetapi tidak mencukupi = Agama mempunyai tradisi tapi tidak cukup. Kita harus mampu akrab dengan tradisi lama, dan mampu melihat bagaiaman keadaan sekarang dari agama tersebut.
5. Bukan sekedar kongres filsafat = Agama jauh dari sekedar ajaran-ajaran filosofis
6. Bukan sekedar simposium teologis = Para teolog pada umumnya lebih terlibat dalam menerangkan data yang telah diterima dari pada mengolah tugas lebih lanjut.
7. Bukan sekedar ambisi pemuka agama
8. Perjumpaan agama dalam iman, harapan,dan kasih
Iman ini berarti suatu sikap yang melampaui data-data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda. Harapan berarti sikap mengharapkan yang melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan kemanusiaan kita, tetapi juga kelemahan kita. Kasih yaitu gerak hati yang mendorong kita kepada sesama dan membimbing kita untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dari diri kita.
d. Keberatan Pannikar terhadap beberapa metode dialog (Bab IV dan V)
1. Pemanfaatan dan Penafsiran dalam perjumpaan antaragama
Pannikar melihat bahwa pendekatan dengan cara ini hanya tepat bila hal itu dimaksudkan untuk membela ajaran pihak tertentu. Pemanfaatan dan penafsiran hanya akan mempertemukan agama-agama secara superfisial saja.
2. Epoche Fenomenologis dalam perjumpaan agama
Epoche Fenomenologis berarti seseorang dengan sengaja meletakkan formulasi keyakinannya dan (bahkan) keyakinan fundamentalnya dalam tanda kurung demi terciptanya harmoni dan kondisi yang kondusif untuk berdialog. Padahal, justru dalam sebuah dialog orang harus meletakkan semua kartu kepercayaannya” di atas meja agar tidak ada lagi yang tersembunyi. Ada banyak alasan yang disampaikan oleh Pannikar dalam menolak hal ini, baik secara psikologis, fenomenologis, filosofis, maupun teologis.
e. Penutup (Bab VI)
Suatu dialog yang dialogis (dan bukan yang dialektis) itu penting. Ada dua pemikiran yang pantas untuk dihindari. Pertama, eklektisisme yang merupakan campuran tidak kritis dari tradisi agama-agama dan persetujuan di antara mereka. Caranya dengan memotong semua ketidaksepahaman. Kedua, sinkretisme yang membolehkan asimilasi yang mungkin sehingga dapat menumbuhkan masing-masing tradisi. Akan lebih baik jika kita dapat mengambil hal positif dari masing-masing agama, contohnya:
Buddhisme mau mengingatkan Karistianisme dan humanisme bahwa tak ada pewahyuan yang membenarkan manipulasi dengan kedok “kehendak Allah” yang menyetir tujuan manusia. Tujuan akhir itu tak terlukiskan, sehingga malah tak ada. misteri eksistensi yang terakhir itu tak dapat ditangkap. Di sini misteri itu imanen.
Kristianisme juga mau mengingatkan Buddhisme dan Humanisme bahwa tak ada usaha sendiri yang memadai untuk merekayasa nasib manusia dengan semestinya. Perlulah Penyelenggaraan Ilahi. Di sini misteri bersifat transenden.
Humanisme juga mengingatkan Buddhisme dan Kristianisme bahwa agama tradisional sering melupakan ajaran mereka. sekularisme adalah tanggung jawab penuh manusia terhadap masa yang akan datang. Di sini misteri merupakan titik temu antara yang imanen dan transenden.
Akhirnya, pemanusiaan manusia haruslah dipahami sebagai penceburan ke dalam realitas dan keseluruhan nasib semua yang ada di dalam dan di luar manusia. Ini merupakan suatu proses di mana seseorang sugguh menjadi suatu pribadi.
KOMENTAR
Pannikar telah dengan gemilang menunjukkan jalan bagi orang-orang yang ingin memulai proses dialog. Kami sangat setuju dengan pemberian judul “Dialog Intra Religus” dan bukan “Dialog Antaragama” karena memang proses dialog harus dimulai dengan mengajak orang berefleksi secara pribadi dan melihat pengalaman agamnya sendiri terlebih dahulu (bukan pengalaman agama orang lain).
samping itu, kami berusaha membuat semacam kritik pada pemahaman Pannikar agar argumentasinya dapat lebih valid. Menurut kami tulisan Pannikar ini terlalu banyak mengunakan kosakata khas kristiani yang mungkin kurang dapat diterima dengan baik oleh umat beragama lain atau bahkan justru dianggap sebagai kristenisasi model baru yang menggunakan prinsip “Kristen Anonim” Karl Rahner. Misalnya: Dalam penyampaian uraian Kristologis bahwa “Yesus adalah Kristus” tidak sama dengan “Kristus adalah Yesus” Pannikar tetap menggunakan term Kristus. Term ini akan membuat ide Pannikar sulit diterima oleh kaum budis, hindu, dan islam. Akan lebih baik jika Pannikar menggunakan istilah Mesias yang memiliki makna sama dan ada dalam PL maupun Al-Quran sehingga lebih universal.
I. Riwayat hidup singkat Pannikar
Pannikar adalah seorang imam Katolik yang lahir dari keluarga beragama campuran, Ayahnya beragama Hindu sedangkan ibunya beragama Katolik Roma. Ia mendapat pendidikan filsafat, teologi, sains, dan kultur sansekerta dengan baik. Berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang imam, ia mendapat tugas perdana di Keuskupan Vanarasi, India. Di tempat ini pertemuan dan kontaknya dengan kultur India semakin mendalam. Pannikar mendaku (to claim) bahwa dirinya hidup dalam empat dunia, yakni: Kristen (tempat ia dididik semenjak kecil), Hindu (kultur hidup dan religi ayahnya), Budha, dan dunia sekuler dengan peradaban Eropa. Untuk itulah, menurutnya, diperlukan iman yang kuat jika ingin melakukan perjalanan antar tradisi dan kultur ini.
II. Perjalanan Intelektual Pannikar
a. Dasar pemikiran (Bab I)
Dalam bagian-bagian awal tulisannya (retorika dialog) Pannikar sudah melepaskan dirinya dari model ekslusivistis, inklusivistis, maupun paralelisme yang dirasa dapat menghambat terjadinya perjumpaan antar agama. Seorang ekslusivis akan menempatkan kebenaran agamanya sebagai suatu kebenaran yang lebih tinggi. Seorang inklusivis meskipun mengakui nilai dan kebenaran agama lain, tetap memegang dengan erat bahwa nilai dan kebenaran agamanya sebagai yang paling lengkap. Lain halnya dengan seorang Paralelis, Ia akan mengganggap bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama walaupun penampilannya berbeda-beda. Sikap yang terbaik dan paling mendesak bagi orang-orang semacam ini adalah tidak mencampuri urusan agama lain. Di satu sisi pendangan ini sangat menyuburkan perkembangan masing-masing agama, tetapi di sisi lain pandangan ini mengutuk mutasi antar agama.
Sejak awal Pannikar sudah menempatkan diri sebagai seorang Pluralis. Baginya tujuan dialog intra-agama adalah pemahaman. Tidak ada maksud sedikit pun untuk mengalahkan yang lain untuk mencapai kesepakatan penuh atau membentuk satu agama universal. Cita-citanya ialah menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman dengan membiarkan setiap pihak berbicara dengan bahasanya masing-masing. Ia menegaskan pula bahwa dalam polaritas aktual dari eksistensi manusia, kita akan menemukan keberadaan kita yang sebenarnya.
b. Evolusi pemikiran Pannikar (Bab II)
Dalam pergulatannya dengan agama-agama selama 30 tahun Pannikar menemukan bebrapa insight baru yang cukup fenomenal. Dalam pergulatannya dengan Allah dalam agama Kristen Ia menemukan bahwa terdapat sikap eksklusif yang cukup kuat di dalamnya. Sikap eksklusif ini ditunjukkan dengan meyakini bahwa hanya Allah yang diwartakan oleh Yesus sebagai yang benar dan obyektif. Karena menggangap dirinya memiliki kebenaran yang lengkap, Gereja tidak merasa perlu untuk berdialog dengan yang lain. Gereja Kristen menyakini dirinya sebagai satu-satunya “umat Allah yang sempurna” bahkan sering disamakan dengan Kerajaan Allah Karena keyakinan ini pula Gereja bahkan merasa berhak untuk melakukan karya-karya misioner yang bertujuan untuk mempertobatkan orang-orang non-Kristen baik secara halus maupun paksa. Sikap di masa lalu semacam inilah yang menghambat perjumpaan agama Kristen dengan agama –agama lain.
Selanjutnya, sebagai penyeimbang atas kesimpulan yang sangat mengganggu Pannikar di atas, Ia membagikan pengalamannya ketika bertemu dengan tradisi dan kultur yang lain, khususnya Hinduisme dan Budhisme. Di dalamnya Pannikar tidak membuat sebuah kritik, baik teologis maupun filosofis, terhadap pandangan salah satu agama tersebut. Sebaliknya, ia justru membuat sebuah pendekatan dialogis yang memunginkan terjadinya pertemuan timbal-balik dengan tidak saling menyalahkan atau saling membenarkan diri satu sama lain.
Ada beberapa syarat dialog yang ia sebutkan secara mendetail, yakni: Yang pertama ialah memahami satu sama lain. Prasyarat pertama untuk pemahaman ini pada level intelektual adalah bahwa kita berbicara dalam bahasa yang sama. Prasyarat yang kedua ialah memahami posisi yang lain. Memahami posisi oang lain tidak sama dengan menilai benar atau salahnya. Kemauan untuk memahami orang lain sungguh-sungguh dari sudut pandangnya merupakan wujud kasih pada sesama yang harus didasarkan pada kaih kepada Allah. Dengan pemahaman yang sungguh ini tidak ada lagi subyek yang memahami obyek, tetapi subyek memahami subyek.
Lalu, Apakah hal ini tidak akan memunculkan suatu pengkhianatan ganda? Pannikar memberi contoh tentang hal ini dengan Krishna dan Kristus. Jika seorang rekannya berkata bahwa orang mencapai keselamatan melalui Krishna, pengejawantahan yang paling mulia dari Yang Illahi, maka bagaimana sikap kita seharusnya? Apakah kita juga harus mempercayai hal itu sebagai sebuah kebenaran dan lantas mengesampingkan iman kita kepada Kristus? Jawaban Pannikar adalah Ya dan tidak! Kita harus mempercayai ucapan rekan kita itu sebagai suatu kebenaran. Usaha identifikasi Krishna sebagai Kristus bukanlah usaha memahami dengan sungguh-sungguh dari sudut pandang seseorang. Krishna harus dipahami sebagai Krishna, dan bukan semacam “Kristus yang baru”. Lalu kembali pada pertanyaan di atas, apakah itu bukan malahan menjadi pengkhianatan terhadap iman kita sendiri? Pannikar menjawab hal ini dengan membedakan secara serius antara iman dan kepercayaan, karena pencampuradukkan keduanya seringkali menimbulkan masalah yang serius. Lebih lanjut Pannikar merenagkan bahwa Iman merupakan penghubung antara “saya” dengan yang transenden, dengan apa yang di atas saya, dan dengan apa yang bukan (belum sama dengan) saya. Salah satu akibat dari iman adalah keselamatan. Maka urusan iman yang paling utama adalah menyelamatkan manusia. Iman tidak bisa disunat dalam bentuk-bentuk universal yang mengungkapkannya secara penuh, karena jika demikian iman akan terlalu terikat pada bumi dan menjadikannya tidak mampu lagi untuk menghubungkan kita dengan yang ada di atas kita. Lalu, kepercayaan bukanlah iman, tapi kepercayaan harus memuat iman. Kepercayaan adalah ungkapan dari iman tersebut. Iman yang tidak diungkapkan/diwujudkan sama dengan tidak ada. Memeluk suatu agama merupakan suatu usaha untuk mewujudkan iman kepada sesuatu yang transeden. Jadi, agama yang kita peluk merupakan wujud kepercayaan. Dengan demikian, mengakui ungkapan iman/kepercayaan umat beragama lain tidak sama dengan mengkhianati iman kita sendiri. Iman kita akan selalu tetap yakni: kita akan tetap percaya akan keberadaan dan kekuasaan Sang Transenden di atas kita itu.
c. Aturan main dalam perjumpaan agama ( Bab III)
Ada satu prinsip dan beberapa konsekuensi yang harus dijalani dalam sebuah perjumpaan agama. Prinsip dalam sebuah perjumpaan agama yaitu sebuah perjumpaan agama harus benar-benar bersifat keagamaan. Sedangkan konsekuensi yang harus dijalani bila ingin terjadi perjumpaan agama yang menyuburkan adalah sbb:
1. Harus bebas dari apologi khusus = mengesampingkan kecenderungan untuk membuktikan kebenaran dan nilai-nila yang terkandung dalam agamanya sendiri.
2. Harus bebas dari apologi umum = karena ketakutannya orang membangun semacam ikatan keagamaan (dari orang saleh, suci para pembela hak-hak suci agama).
3. Berani menghadapi tantangan pertobatan = kemungkinan kehilangan suatu keyakinan bahkan agamanya. Ia bisa juga kehilangan hidupnya dan bahkan bisa juga dilahirkan kembali.
4. Dimensi historis penting tetapi tidak mencukupi = Agama mempunyai tradisi tapi tidak cukup. Kita harus mampu akrab dengan tradisi lama, dan mampu melihat bagaiaman keadaan sekarang dari agama tersebut.
5. Bukan sekedar kongres filsafat = Agama jauh dari sekedar ajaran-ajaran filosofis
6. Bukan sekedar simposium teologis = Para teolog pada umumnya lebih terlibat dalam menerangkan data yang telah diterima dari pada mengolah tugas lebih lanjut.
7. Bukan sekedar ambisi pemuka agama
8. Perjumpaan agama dalam iman, harapan,dan kasih
Iman ini berarti suatu sikap yang melampaui data-data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda. Harapan berarti sikap mengharapkan yang melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan kemanusiaan kita, tetapi juga kelemahan kita. Kasih yaitu gerak hati yang mendorong kita kepada sesama dan membimbing kita untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dari diri kita.
d. Keberatan Pannikar terhadap beberapa metode dialog (Bab IV dan V)
1. Pemanfaatan dan Penafsiran dalam perjumpaan antaragama
Pannikar melihat bahwa pendekatan dengan cara ini hanya tepat bila hal itu dimaksudkan untuk membela ajaran pihak tertentu. Pemanfaatan dan penafsiran hanya akan mempertemukan agama-agama secara superfisial saja.
2. Epoche Fenomenologis dalam perjumpaan agama
Epoche Fenomenologis berarti seseorang dengan sengaja meletakkan formulasi keyakinannya dan (bahkan) keyakinan fundamentalnya dalam tanda kurung demi terciptanya harmoni dan kondisi yang kondusif untuk berdialog. Padahal, justru dalam sebuah dialog orang harus meletakkan semua kartu kepercayaannya” di atas meja agar tidak ada lagi yang tersembunyi. Ada banyak alasan yang disampaikan oleh Pannikar dalam menolak hal ini, baik secara psikologis, fenomenologis, filosofis, maupun teologis.
e. Penutup (Bab VI)
Suatu dialog yang dialogis (dan bukan yang dialektis) itu penting. Ada dua pemikiran yang pantas untuk dihindari. Pertama, eklektisisme yang merupakan campuran tidak kritis dari tradisi agama-agama dan persetujuan di antara mereka. Caranya dengan memotong semua ketidaksepahaman. Kedua, sinkretisme yang membolehkan asimilasi yang mungkin sehingga dapat menumbuhkan masing-masing tradisi. Akan lebih baik jika kita dapat mengambil hal positif dari masing-masing agama, contohnya:
Buddhisme mau mengingatkan Karistianisme dan humanisme bahwa tak ada pewahyuan yang membenarkan manipulasi dengan kedok “kehendak Allah” yang menyetir tujuan manusia. Tujuan akhir itu tak terlukiskan, sehingga malah tak ada. misteri eksistensi yang terakhir itu tak dapat ditangkap. Di sini misteri itu imanen.
Kristianisme juga mau mengingatkan Buddhisme dan Humanisme bahwa tak ada usaha sendiri yang memadai untuk merekayasa nasib manusia dengan semestinya. Perlulah Penyelenggaraan Ilahi. Di sini misteri bersifat transenden.
Humanisme juga mengingatkan Buddhisme dan Kristianisme bahwa agama tradisional sering melupakan ajaran mereka. sekularisme adalah tanggung jawab penuh manusia terhadap masa yang akan datang. Di sini misteri merupakan titik temu antara yang imanen dan transenden.
Akhirnya, pemanusiaan manusia haruslah dipahami sebagai penceburan ke dalam realitas dan keseluruhan nasib semua yang ada di dalam dan di luar manusia. Ini merupakan suatu proses di mana seseorang sugguh menjadi suatu pribadi.
KOMENTAR
Pannikar telah dengan gemilang menunjukkan jalan bagi orang-orang yang ingin memulai proses dialog. Kami sangat setuju dengan pemberian judul “Dialog Intra Religus” dan bukan “Dialog Antaragama” karena memang proses dialog harus dimulai dengan mengajak orang berefleksi secara pribadi dan melihat pengalaman agamnya sendiri terlebih dahulu (bukan pengalaman agama orang lain).
samping itu, kami berusaha membuat semacam kritik pada pemahaman Pannikar agar argumentasinya dapat lebih valid. Menurut kami tulisan Pannikar ini terlalu banyak mengunakan kosakata khas kristiani yang mungkin kurang dapat diterima dengan baik oleh umat beragama lain atau bahkan justru dianggap sebagai kristenisasi model baru yang menggunakan prinsip “Kristen Anonim” Karl Rahner. Misalnya: Dalam penyampaian uraian Kristologis bahwa “Yesus adalah Kristus” tidak sama dengan “Kristus adalah Yesus” Pannikar tetap menggunakan term Kristus. Term ini akan membuat ide Pannikar sulit diterima oleh kaum budis, hindu, dan islam. Akan lebih baik jika Pannikar menggunakan istilah Mesias yang memiliki makna sama dan ada dalam PL maupun Al-Quran sehingga lebih universal.
No comments:
Post a Comment