Sunday, June 2, 2013

ESKATOLOGI ILMIAH DI HADAPAN SEORANG TEOLOG

Kajian tentang hal-hal terakhir (eschatos+logos) merupakan kajian yang menarik bagi berbagai macam disiplin ilmu. Pertama-tama yang harus disebutkan pertama kali memang adalah Teologi yang mau tidak mau harus berurusan secara langsung dengan makna hidup manusia dan kehendak Pencipta di dalamnya. Namun demikian, cabang-cabang ilmu alam yang lain pun ternyata ikut memikirkan kajian ilmu ini dalam perspektif mereka masing-masing. Para fisikawan, kosmolog, dan matematikawan terlibat secara aktif dalam pembicaraan dan perbincangan tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dengan berbekal dari aksioma-aksioma yang telah mereka miliki dari cabang keilmuan masing-masing.
Dalam karya tulis ini, Penulis merasa tertarik melihat keterlibatan ilmu-ilmu lain dalam kajian eskatologi. Penulis ingin melihat secara sekilas bagaimana para ilmuwan berbicara tentang hal-hal terakhir serta melihat kekhasan cara pandang mereka. Untuk maksud itu, penulis akan membandingkannya secara langsung dengan kekhasan eskatologi yang ada dalam teologi kristen secara umum. Dengan cara dibandingkan, penulis bermaksud untuk merefleksikan kekhasan gaya bereskatologi masing-masing cabang keilmuan dan dengan demikian dapat semakin arif menyikapi perbedaan antara keduanya.

Mengapa eskatologi
          Mengapa manusia tergerak untuk berdiskusi tentang hal-hal terakhir? Mengapa manusia ingin tahu apa yang akan terjadi pada akhir jaman dan apa yang akan terjadi “setelah” akhir jaman? Mengapa hal-hal ini menarik perhatian manusia?
Secara antropologis, rasa ingin tahu dan ketertarikan akan hal-hal akhir ini muncul secara alami pada manusia karena manusia cenderung ingin keluar dari kekacauan/ketidakteraturan (χάος). Manusia selalu ingin keluar dari keadaan kacau dan tidak teratur karena keadaan yang demikian selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Naluri alamiah ini dalam bahasa fisika disebut sebagai kelembaman yang niscahya dimiliki oleh seluruh makhluk. Untuk membentuk dan menjamin keteraturan itu manusia membuat struktur-strutur.
Manusia adalah “binatang” yang terstruktur (structuring animal[1]). Ia membuat struktur karena sebenarnya manusia sangat membutuhkan struktur. Manusia menstrukturisasi ruang melalui segala macam skala mulai dari nanometer hingga kilometer. Selain itu, Ia juga menstrukturisasi waktu melalui dengan segala macam skala mulai dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan struktur-struktur lain yang menghindarkannya dari kekacauan/ketidakteraturan (χάος), inilah yang disebut Hescel, seorang filsuf Yahudi, sebagai “Arsitektur Waktu”.[2] Struktur-struktur inilah yang bisa menghindarkan kehidupan manusia dari kekacauan. Dengan kata lain, kehidupan tanpa struktur waktu bisa menimbulkan kekacauan dan kebingungan yang luar biasa.
Mau tidak mau harus diakui bahwa manusia menstrukturisasi waktu. Manusia butuh untuk mengetahui “Jam berapa sekarang” agar ia tidak “tersesat” ke dalam kekacauan (state of chaos). Dan melangkah lebih besar lagi, ternyata manusia tidak hanya menstrukturisasi waktu di sekitarnya. Manusia membuat lompatan besar dengan berusaha juga untuk menstrukturisasi awal waktu dunia dan akhir waktu dunia.
Definisi tentang awal dan akhir waktu dunia sangat diperlukan manusia  bagi dirinya. Jika tidak ada definisi tentang awal dan akhir waktu, maka tidak akan ada juga definisi tentang waktu pertengahan di antaranya. Dan jika tidak ada waktu pertengahan maka manusia tidak bisa mengetahui dimana mereka berada; manusia tidak bisa menentukan lokasi keberadaannya dalam waktu. Jika demikian artinya manusia jatuh dalam kekacauan. Manusia tidak suka akan keadaan ini. Untuk tujuan inilah kajian eskatologi menjadi begitu relevan untuk semua manusia, bukan hanya yang religus saja.
          Selain itu, berkaitan dengan waktu, salah satu realitas yang paling absurd bagi manusia ialah realitas kematian. Kematian merupakan ledakan kekacauan yang paling besar dalam hidup manusia. Walaupun kematian selalu merupakan cara yang digunakan oleh alam untuk menyegarkan dirinya dan mengiinkan kelahiran sesuatu yang baru, kematian tetap saja mengandung sebuah teka-teki kekacauan yang menggelisahkan. Kematian bisa mengancam struktur yang telah dibangun oleh manusia dengan susah payah. Oleh sebab itu, kajian khusus tentang hal-hal sesudah kematian juga sangat menarik bagi manusia karena di dalamnya orang berusaha berpikir bagaimana struktur yang telah dibangun tidak dirusak begitu saja oleh kematian. 
Eskatologi Ilmiah
          Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan untuk dapat menggali tentang eskatologi ilmiah adalah “Bagaimana semua yang ada ini akan berakhir?”. Menjawab pertanyaan tersebut ada ribuan versi jawaban yang bisa diberikan oleh para ilmuwan lengkap dengan dasar-dasarnya masing-masing yang semuanya masuk akal. Namun demikian, dalam tulisan ini penulis hanya akan menyinggung satu versi secara mendalam dan yang teori-teori lain yang sangat populer, ilmiah hanya akan dijelaskan secara sekilas.
Akhir dunia versi pertama dimunculkan oleh seorang fisikawan dan kosmolog terkemuka yang sedang naik daun saat ini, Steven William Hawking[3]. Berikut uraian sederhana tentang akhir alam semesta versi Hawking: Hawking percaya bahwa Alam semesta ini dimulai dengan adanya sebuah ledakan besar. Ledakan apa? Ledakan sebuah singularitas energi yang sangat masif/raksasa. Peristiwa ledakan ini lebih dikenal dengan sebutan Big Bang yang terjadi kurang lebih 15 trilyun tahun yang lalu. Dari Big bang ini terbentuk segala sesuatu. Planet-planet terbentuk dari partikel-partikel atom hidrogen yang bereaksi dengan kecepatan yang luar biasa dengan atom-atom lain sehingga membentuk partikel dan protein. Dari protein-protein sederhana inilah tercipta makhluk-makhluk ber sel satu dari proses abiogenesis[4] yang terjadi ketika protein mendapat sengatan listrik yang luar biasa. Singkatnya, terbentuklah gugusan-gugusan galaksi yang tersusun atas tata surya-tata surya di dalamnya. Hawking percaya bahwa alam semesta ini sampai hari ini terus meluas karena pengaruh dari ledakan yang besar tersebut. Bintang-bintang merupakan pecahan-pecahan energi yang masih cukup besar sehingga bintang-bintang bisa memancarkan energi dari dirinya sendiri. Namun, suatu saat energi pada bintang tersebut akan habis. Ketika energi dalam bintang habis, ia akan berubah menjadi sebuah titik yang menyerap segala sesuatu ke dalamnya, bahkan cahaya pun tidak akan bisa melewatinya. Inilah yang disebut dengan black hole[5]. Mengapa bintang berubah menjadi black hole? Karena bintang yang kehabisan energi sebenarnya hanya kehabisan energi positif dan di dalam dirinya sekarang penuh dengan energi negatif. Hukum kekekalan energi Black menyatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan dan energi tidak dapat dimusnahkan”, untuk itu bintang yang selama hidupnya memancarkan energi kini ganti menyedot semua energi ketika kematiannya. Hawkin percaya bahwa suatu saat semua bintang akan kehabisan energinya dan menjadi kumpulan black hole yang siap menyedot semuanya ini ke dalam satu singularitas kembali. Tesis inilah kemudian yang disebut secara populer dengan sebutan Big Crunch.[6] Big Bang adalah saat semuanya tercipta dan Big Crunch adalah akhir dari segala sesuatu.
          Versi-versi lain yang berkembang selain teori Hawking adalah Teori Big Freeze[7]. The Big Freeze adalah sebuah skenario di mana ekspansi alam semesta yang asimtotik dan terus menerus mendekati suhu nol mutlak. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya energi gelap. Kondisi ini hanya terjadi di bawah geometri datar atau hiperbolik. Dengan konstanta kosmologi yang positif, bisa juga terjadi di alam semesta tertutup. Skenario ini terkait dengan kematian akibat panas, yang menyatakan bahwa alam semesta pergi ke keadaan entropi maksimum di mana semuanya merata, dan tidak ada gradien - yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Skenario ini mensyaratkan bahwa pada akhirnya alam semesta akan mencapai suhu minimumnya.
Teori ketiga yang juga sangat digandrungi adalah Teori Big Rip[8]. Teori ini berpandangan bahwa energi negatif yang terkumpul di alam semesta semakin besar dan memiliki akselerasi yang tinggi dan akhirnya melebihi konstanta Hubble. Akibatnya, semua benda-benda di alam semesta, dimulai dengan galaksi dan akhirnya (dalam waktu terbatas) semua bentuk, tidak peduli seberapa kecil, akan hancur menjadi partikel elementer dan radiasi, terkoyak oleh kekuatan energi negatif dan berpencar terpisah satu sama lain.
Berbicara tentang apa yang ada sesudah kematian, kebanyakan para ilmuwan hanya mengatakan bahwa tidak ada apapun yang terjadi setelah kematian, kecuali tubuh manusia yang akan dimakan oleh bakteri pengurai sama seperti tumbuhan dan hewan yang lain. Sejauh penulis pelajari, tidak ada saintis yang menyepekulasikan adanya “kehidupan” sesudah kematian dari kajian ilmunya. Kebanyakan ilmuwan mengatakan bahwa pikiran (mind), jiwa (soul), dan pribadi (self) akan mati bersamaan dengan ketika otak (brain) benar-benar mati.[9]
Refleksi atas Eskatologi Ilmiah
Usaha untuk menyelamatkan dunia dari kekacuan merupakan salah satu definisi klasik tentang agama ( a- berarti tidak, dan -gama berarti kacau). Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berusaha untuk menyusun suatu suasana harmonis yang kuat, persuasif dan tahan lama pada manusia dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi tingkatan-tingkatan eksistensi secara umum, yakni: bahwa ada Tuhan yang menduduki posisi teratas sebagai pencipta, dan manusia serta ciptaan lain ada di bawahnya. Dengan definisi ini semua definisi eskatologi menjadi bernuansa religius karena definisi-definisi ini juga memuat tentang stuktur eksistensi yang ada di dunia. Semua definisi eskatologi ini membantu kita untuk menstrukturisasi pengalaman manusiawi kita. Definisi tersebut menyediakan bagi kita kerangka kemungkinan yang paling luas tentang kedudukan kita dalam sejarah dunia. Jika manusia tertarik pada ciptaan, maka manusia harus berbicara tentang eskatologi, sama seperti jika manusia berbicara tentang permulaan waktu maka manusia harus juga berbicara tentang akhir waktu. Jika tidak maka manusia tidak akan tahu dimana mereka berada.
Dalam pikiran penulis, sebenarnya kajian eskatologi teologis dan ilmiah tidak perlu dipertentangkan. Memang ada begitu banyak pertentangan yang bertolak belakang antara  kedua kajian eskatologi tersebut dan secara logis kita tidak bisa memilh kedua-duanya karena adanya pertentangan-pertentangan tersebut. Banyak pihak secara naif dan tidak seimbang memihak pada salah satu versi visi eskatologi dan pada saat yang sama menolak dan membenci visi eskatologi yang lain.
Setelah membaca banyak referensi tentang Eskatologi Ilmiah, kesadaran baru yang paling menarik menurut penulis ialah bahwa kebanyakan dan hampir semua eskatologi ilmiah berbicara soal hal-hal akhir atas benda-benda yang tak berjiwa, misalnya: bintang-bintang, planet, dan matahari. Menurut hemat penulis hal ini memang sungguh cocok bagi para fisikawan dan kosmolog karena subyek kajian ilmu mereka memang itu. Lalu dengan demikian manusia dan kemanusiaan memang menjadi tidak relevan bagi eskatologi ilmiah karena keberadaan manusia dari sudut pandang kosmik menjadi sangat sepele.
Ada dua kontras yang sempat penulis tangkap ketika membaca kajian eskatologi ilmiah dan kajian teologi pada umumnya, yakni: pertama, Unsur manusia seringkali diabaikan dalam eskatologi ilmiah, dan sebaliknya dalam teologi pada umumnya unsur/dimensi kemanusiaan menduduki tempat yang cukup sentral. Kajian eskatologi Teologis selalu mengarah pada dunia yang damai, bebas dari penderitaan dan penaklukan maut atas maut. Pada saat yang sama eskatologi teologis tidak tertarik pada apa yang terjadi pada bulan, bintang, proton, neutron, dan semacamnya. Dan jika pun ada kajian soal apa yang akan terjadi dengan alam pada “hari terakhir”, seperti dalam Amos 5 dan Zakaria 14, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa kajian seperti ini sangat sedikit ditemukan dalam sumber-sumber teologi.
Perbedaan utama kedua adalah bahwa dalam eskatologi ilmiah, di tingkat kosmik, kisah kehancuran alam semesta tampaknya benar-benar sudah ditentukan dan pasti terjadi demikian. Hal ini diatur dalam gerak oleh Big Bang dan akan berjalan demikian apapun yang terjadi. Hal ini lain sama sekali dengan eskatologi dalam teologi. Dalam eskatologi teologi akhir zaman ditentukan oleh kehendak Allah. Apakah nanti dunia akan tenggelam ke dalam keadaan kejahatan keji, atau, seperti dalam tradisi yang berbeda, dunia akan diangkat dalam kesucian, itu semua tergantung pada kehendak bebas Allah. Hal ini sesuai dengan penjelasan tentang Prinsip-prinsip penafsiran ajaran gereja tentang eskatologi yang diberikan di ruang perkuliahan, yakni bahwa eskatologi bukanlah laporan apa yang akan terjadi ataupun ramalan masa depan. Eskatologi teologis adalah harapan yang mencari pemahaman dengan terus mengeksplorasi, menganalisis, dan menafsirkan pengalaman manusia dengan latar belakang keselamatan Kristus (Teologi Kristen).
Dengan demikian penulis ingin menyimpulkan bahwa sebenarnya konflik kuno antara Ilmu pengetahuan dan agama/teologi seharusnya sudah harus ditinggalkan. Kedua disiplin ilmu sekarang sudah menyadari bahwa mereka menghadapi realitas yang melampaui segala kemungkinan dari setiap bentuk pengalaman manusia. Dan, keduanya kini melakukan hal yang sama yakni mencoba untuk menjelaskan dunia yang kita lihat dengan mengacu pada dunia yang tidak bisa kita lihat. Keduanya menemukan penjelasan masing-masing  untuk menjelaskan tentang hal-hal yang kelihatan dengan mengacu pada dunia yang tidak terlihat dan memaknai keberadaan setiap ada sebagaimana adanya. Inilah yang sebenarnya dilakukan baik oleh ilmuwan dan teolog, mereka berurusan dengan hal-hal yang tak terlihat untuk menjelaskan hal-hal yang terlihat.



[1] Neil Gillman, How Will it all end?, http://www.cross-currents.com/ , diakses tanggal 1 Maret 2013
[2] Abraham Joshua Heschel, Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite,  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010
[3] “Into a black hole”, http://www.hawking.org.uk/into-a-black-hole.html,  diakses 1 Maret 2013
[5] Into a Black Hole, loc. cit.
[8] Ibid.

[9] http://www.huffingtonpost.com/2011/06/23/what-happen-when-we die_n_882738.html#s296717&title=There_ Is_An; http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=what-happens-to-consciousness-when-we-die; Can Science Discover What Happens When We Die?, http:// www.horizonresearch.org/main_page.php?cat_id=58, diakses tanggal 1 Maret 2013

No comments:

Post a Comment