Kajian
tentang hal-hal terakhir (eschatos+logos)
merupakan kajian yang menarik bagi berbagai macam disiplin ilmu. Pertama-tama
yang harus disebutkan pertama kali memang adalah Teologi yang mau tidak mau
harus berurusan secara langsung dengan makna hidup manusia dan kehendak
Pencipta di dalamnya. Namun demikian, cabang-cabang ilmu alam yang lain pun
ternyata ikut memikirkan kajian ilmu ini dalam perspektif mereka masing-masing.
Para fisikawan, kosmolog, dan matematikawan terlibat secara aktif dalam
pembicaraan dan perbincangan tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang dengan berbekal dari aksioma-aksioma yang telah mereka miliki dari
cabang keilmuan masing-masing.
Dalam
karya tulis ini, Penulis merasa tertarik melihat keterlibatan ilmu-ilmu lain
dalam kajian eskatologi. Penulis ingin melihat secara sekilas bagaimana para
ilmuwan berbicara tentang hal-hal terakhir serta melihat kekhasan cara pandang
mereka. Untuk maksud itu, penulis akan membandingkannya secara langsung dengan
kekhasan eskatologi yang ada dalam teologi kristen secara umum. Dengan cara
dibandingkan, penulis bermaksud untuk merefleksikan kekhasan gaya bereskatologi
masing-masing cabang keilmuan dan dengan demikian dapat semakin arif menyikapi
perbedaan antara keduanya.
Mengapa
eskatologi
Mengapa manusia tergerak untuk
berdiskusi tentang hal-hal terakhir? Mengapa manusia ingin tahu apa yang akan
terjadi pada akhir jaman dan apa yang akan terjadi “setelah” akhir jaman?
Mengapa hal-hal ini menarik perhatian manusia?
Secara
antropologis, rasa ingin tahu dan ketertarikan akan hal-hal akhir ini muncul secara
alami pada manusia karena manusia cenderung ingin keluar dari
kekacauan/ketidakteraturan (χάος).
Manusia selalu
ingin keluar dari keadaan kacau dan tidak teratur karena keadaan yang demikian
selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Naluri alamiah ini dalam bahasa fisika disebut
sebagai kelembaman yang niscahya dimiliki oleh seluruh makhluk. Untuk membentuk
dan menjamin
keteraturan itu manusia membuat struktur-strutur.
Manusia
adalah “binatang” yang terstruktur (structuring
animal[1]).
Ia membuat struktur
karena sebenarnya manusia sangat membutuhkan struktur.
Manusia menstrukturisasi ruang melalui segala macam skala mulai dari nanometer hingga kilometer. Selain itu, Ia juga
menstrukturisasi waktu melalui dengan segala macam skala mulai dari detik,
menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan struktur-struktur lain yang
menghindarkannya dari kekacauan/ketidakteraturan (χάος),
inilah yang disebut Hescel, seorang filsuf Yahudi, sebagai “Arsitektur Waktu”.[2] Struktur-struktur inilah
yang bisa menghindarkan kehidupan manusia dari kekacauan. Dengan kata lain,
kehidupan tanpa struktur waktu bisa menimbulkan kekacauan dan kebingungan yang
luar biasa.
Mau tidak mau
harus diakui bahwa manusia menstrukturisasi waktu. Manusia butuh untuk
mengetahui “Jam berapa sekarang” agar ia tidak “tersesat” ke dalam kekacauan (state of chaos). Dan melangkah lebih
besar lagi, ternyata manusia tidak hanya menstrukturisasi waktu di sekitarnya.
Manusia membuat lompatan besar dengan berusaha juga untuk menstrukturisasi awal
waktu dunia dan akhir waktu dunia.
Definisi
tentang awal dan akhir waktu dunia sangat diperlukan
manusia bagi dirinya. Jika tidak ada
definisi tentang awal dan akhir waktu, maka tidak akan ada juga definisi
tentang waktu pertengahan di antaranya. Dan jika tidak ada waktu pertengahan
maka manusia tidak bisa mengetahui dimana mereka berada; manusia tidak bisa
menentukan lokasi keberadaannya dalam waktu. Jika demikian artinya manusia jatuh dalam kekacauan. Manusia tidak suka akan keadaan
ini. Untuk tujuan inilah kajian eskatologi
menjadi begitu relevan untuk semua manusia, bukan hanya yang religus saja.
Selain itu, berkaitan
dengan waktu, salah satu realitas yang paling absurd bagi manusia ialah
realitas kematian. Kematian merupakan ledakan kekacauan yang paling besar dalam hidup manusia. Walaupun kematian selalu merupakan cara
yang digunakan oleh alam untuk menyegarkan dirinya dan mengiinkan kelahiran
sesuatu yang baru, kematian tetap saja mengandung sebuah teka-teki kekacauan
yang menggelisahkan. Kematian bisa mengancam struktur yang telah dibangun oleh
manusia dengan susah payah. Oleh sebab itu, kajian khusus tentang hal-hal sesudah kematian
juga sangat menarik bagi manusia karena di dalamnya orang berusaha berpikir
bagaimana struktur yang telah dibangun tidak dirusak begitu saja oleh kematian.
Eskatologi Ilmiah
Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan untuk dapat
menggali tentang eskatologi ilmiah adalah “Bagaimana semua yang ada ini akan
berakhir?”. Menjawab pertanyaan tersebut ada ribuan versi jawaban yang bisa
diberikan oleh para ilmuwan lengkap dengan dasar-dasarnya masing-masing yang
semuanya masuk akal. Namun demikian, dalam tulisan ini penulis hanya akan
menyinggung satu versi secara mendalam dan yang teori-teori lain yang sangat
populer, ilmiah hanya akan dijelaskan secara sekilas.
Akhir dunia versi
pertama dimunculkan oleh seorang fisikawan dan kosmolog terkemuka yang sedang
naik daun saat ini, Steven William Hawking[3]. Berikut uraian sederhana
tentang akhir alam semesta versi Hawking: Hawking percaya bahwa Alam semesta
ini dimulai dengan adanya sebuah ledakan besar. Ledakan apa? Ledakan sebuah
singularitas energi yang sangat masif/raksasa. Peristiwa ledakan ini lebih
dikenal dengan sebutan Big Bang yang
terjadi kurang lebih 15 trilyun tahun yang lalu. Dari Big bang ini terbentuk segala sesuatu. Planet-planet terbentuk dari
partikel-partikel atom hidrogen yang bereaksi dengan kecepatan yang luar biasa
dengan atom-atom lain sehingga membentuk partikel dan protein. Dari
protein-protein sederhana inilah tercipta makhluk-makhluk ber sel satu dari
proses abiogenesis[4] yang terjadi ketika
protein mendapat sengatan listrik yang luar biasa. Singkatnya, terbentuklah
gugusan-gugusan galaksi yang tersusun atas tata surya-tata surya di dalamnya.
Hawking percaya bahwa alam semesta ini sampai hari ini terus meluas karena
pengaruh dari ledakan yang besar tersebut. Bintang-bintang merupakan
pecahan-pecahan energi yang masih cukup besar sehingga bintang-bintang bisa
memancarkan energi dari dirinya sendiri. Namun, suatu saat energi pada bintang
tersebut akan habis. Ketika energi dalam bintang habis, ia akan berubah menjadi
sebuah titik yang menyerap segala sesuatu ke dalamnya, bahkan cahaya pun tidak
akan bisa melewatinya. Inilah yang disebut dengan black hole[5]. Mengapa bintang berubah
menjadi black hole? Karena bintang
yang kehabisan energi sebenarnya hanya kehabisan energi positif dan di dalam
dirinya sekarang penuh dengan energi negatif. Hukum kekekalan energi Black
menyatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan dan energi tidak dapat
dimusnahkan”, untuk itu bintang yang selama hidupnya memancarkan energi kini
ganti menyedot semua energi ketika kematiannya. Hawkin percaya bahwa suatu saat
semua bintang akan kehabisan energinya dan menjadi kumpulan black hole yang siap
menyedot semuanya ini ke dalam satu singularitas kembali. Tesis inilah kemudian
yang disebut secara populer dengan sebutan Big
Crunch.[6] Big Bang adalah saat semuanya tercipta dan Big Crunch adalah akhir dari segala sesuatu.
Versi-versi lain yang berkembang selain teori Hawking
adalah Teori Big Freeze[7]. The Big Freeze adalah
sebuah skenario di mana ekspansi alam semesta yang asimtotik dan terus menerus mendekati
suhu nol mutlak. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya energi gelap. Kondisi
ini hanya terjadi di bawah geometri datar atau hiperbolik. Dengan konstanta
kosmologi yang positif, bisa juga terjadi di alam semesta tertutup. Skenario ini
terkait dengan kematian akibat panas, yang menyatakan bahwa alam semesta pergi
ke keadaan entropi maksimum di mana semuanya merata, dan tidak ada gradien -
yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Skenario ini mensyaratkan bahwa
pada akhirnya alam semesta akan mencapai suhu minimumnya.
Teori ketiga
yang juga sangat digandrungi adalah Teori Big
Rip[8]. Teori ini berpandangan
bahwa energi negatif yang terkumpul di alam semesta semakin besar dan memiliki
akselerasi yang tinggi dan akhirnya melebihi konstanta Hubble. Akibatnya, semua
benda-benda di alam semesta, dimulai dengan galaksi dan akhirnya (dalam waktu
terbatas) semua bentuk, tidak peduli seberapa kecil, akan hancur menjadi
partikel elementer dan radiasi, terkoyak oleh kekuatan energi negatif dan berpencar
terpisah satu sama lain.
Berbicara
tentang apa yang ada sesudah kematian, kebanyakan para ilmuwan hanya mengatakan
bahwa tidak ada apapun yang terjadi setelah kematian, kecuali tubuh manusia
yang akan dimakan oleh bakteri pengurai sama seperti tumbuhan dan hewan yang
lain. Sejauh penulis pelajari, tidak ada saintis yang menyepekulasikan adanya
“kehidupan” sesudah kematian dari kajian ilmunya. Kebanyakan ilmuwan mengatakan
bahwa pikiran (mind), jiwa (soul), dan pribadi (self) akan mati bersamaan dengan ketika otak (brain) benar-benar mati.[9]
Refleksi atas Eskatologi
Ilmiah
Usaha untuk
menyelamatkan dunia dari kekacuan merupakan salah satu definisi klasik tentang
agama ( a- berarti tidak, dan -gama berarti kacau). Clifford Geertz
mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berusaha untuk
menyusun suatu suasana harmonis yang kuat, persuasif dan tahan lama pada
manusia dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi tingkatan-tingkatan
eksistensi secara umum, yakni: bahwa ada Tuhan yang menduduki posisi teratas
sebagai pencipta, dan manusia serta ciptaan lain ada di bawahnya. Dengan
definisi ini semua definisi eskatologi menjadi bernuansa religius karena
definisi-definisi ini juga memuat tentang stuktur eksistensi yang ada di dunia.
Semua definisi eskatologi ini membantu kita untuk menstrukturisasi pengalaman
manusiawi kita. Definisi tersebut menyediakan bagi kita kerangka kemungkinan
yang paling luas tentang kedudukan kita dalam sejarah dunia. Jika manusia
tertarik pada ciptaan, maka manusia harus berbicara tentang eskatologi, sama
seperti jika manusia berbicara tentang permulaan waktu maka manusia harus juga
berbicara tentang akhir waktu. Jika tidak maka manusia tidak akan tahu dimana
mereka berada.
Dalam pikiran
penulis, sebenarnya kajian eskatologi teologis dan ilmiah tidak perlu
dipertentangkan. Memang ada begitu banyak pertentangan yang bertolak belakang
antara kedua kajian eskatologi tersebut dan
secara logis kita tidak bisa memilh kedua-duanya karena adanya
pertentangan-pertentangan tersebut. Banyak pihak secara naif dan tidak seimbang
memihak pada salah satu versi visi eskatologi dan pada saat yang sama menolak
dan membenci visi eskatologi yang lain.
Setelah
membaca banyak referensi tentang Eskatologi Ilmiah, kesadaran baru yang paling menarik
menurut penulis ialah bahwa kebanyakan dan hampir semua eskatologi ilmiah
berbicara soal hal-hal akhir atas benda-benda yang tak berjiwa, misalnya:
bintang-bintang, planet, dan matahari. Menurut hemat penulis hal ini memang
sungguh cocok bagi para fisikawan dan kosmolog karena subyek kajian ilmu mereka
memang itu. Lalu dengan demikian manusia dan kemanusiaan memang menjadi tidak
relevan bagi eskatologi ilmiah karena keberadaan manusia dari sudut pandang
kosmik menjadi sangat sepele.
Ada dua
kontras yang sempat penulis tangkap ketika membaca kajian eskatologi ilmiah dan
kajian teologi pada umumnya, yakni: pertama,
Unsur manusia seringkali diabaikan dalam eskatologi ilmiah, dan sebaliknya
dalam teologi pada umumnya unsur/dimensi kemanusiaan menduduki tempat yang
cukup sentral. Kajian eskatologi Teologis selalu mengarah pada dunia yang
damai, bebas dari penderitaan dan penaklukan maut atas maut. Pada saat yang
sama eskatologi teologis tidak tertarik pada apa yang terjadi pada bulan,
bintang, proton, neutron, dan semacamnya. Dan jika pun ada kajian soal apa yang
akan terjadi dengan alam pada “hari terakhir”, seperti dalam Amos 5 dan Zakaria
14, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa kajian seperti ini sangat sedikit
ditemukan dalam sumber-sumber teologi.
Perbedaan
utama kedua adalah bahwa dalam eskatologi ilmiah, di tingkat kosmik, kisah
kehancuran alam semesta tampaknya benar-benar sudah ditentukan dan pasti
terjadi demikian. Hal ini diatur dalam gerak oleh Big Bang dan akan berjalan
demikian apapun yang terjadi. Hal ini lain sama sekali dengan eskatologi dalam
teologi. Dalam eskatologi teologi akhir zaman ditentukan oleh kehendak Allah.
Apakah nanti dunia akan tenggelam ke dalam keadaan kejahatan keji, atau, seperti
dalam tradisi yang berbeda, dunia akan diangkat dalam kesucian, itu semua
tergantung pada kehendak bebas Allah. Hal ini sesuai dengan penjelasan tentang
Prinsip-prinsip penafsiran ajaran gereja tentang eskatologi yang diberikan di
ruang perkuliahan, yakni bahwa eskatologi bukanlah laporan apa yang akan
terjadi ataupun ramalan masa depan. Eskatologi teologis adalah harapan yang
mencari pemahaman dengan terus mengeksplorasi, menganalisis, dan menafsirkan
pengalaman manusia dengan latar belakang keselamatan Kristus (Teologi Kristen).
Dengan
demikian penulis ingin menyimpulkan bahwa sebenarnya konflik kuno antara Ilmu
pengetahuan dan agama/teologi seharusnya sudah harus ditinggalkan. Kedua
disiplin ilmu sekarang sudah menyadari bahwa mereka menghadapi realitas yang
melampaui segala kemungkinan dari setiap bentuk pengalaman manusia. Dan,
keduanya kini melakukan hal yang sama yakni mencoba untuk menjelaskan dunia
yang kita lihat dengan mengacu pada dunia yang tidak bisa kita lihat. Keduanya
menemukan penjelasan masing-masing untuk
menjelaskan tentang hal-hal yang kelihatan dengan mengacu pada dunia yang tidak
terlihat dan memaknai keberadaan setiap ada sebagaimana adanya. Inilah yang
sebenarnya dilakukan baik oleh ilmuwan dan teolog, mereka berurusan dengan hal-hal
yang tak terlihat untuk menjelaskan hal-hal yang terlihat.
[1] Neil Gillman, How Will it all
end?, http://www.cross-currents.com/
, diakses tanggal 1 Maret 2013
[2] Abraham Joshua Heschel,
Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite,
Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010
[5] Into a
Black Hole, loc. cit.
[8] Ibid.