Sebagai seorang teolog
kawakan, Karl Rahner tentu saja punya segudang pengalaman dalam berteologi.
Merupakan sebuah kerja keras yang patut dibanggakan ketika ia berhasil
meringkasnya pengalaman hidup dan pergulatannya selama berteologi dalam 12
halaman ini. Tugas saya pun dalam hal ini menjadi tidak mudah karena harus
meringkasnya menjadi lebih singkat lagi.
Ada empat pengalaman
utama yang ditawarkan oleh Karl Rahner sebagai hasil kristalisasi pengamalan
hidupnya. Pertama, pengalaman
berkaitan dengan Afirmasi Analogis yang terdapat dalam setiap kajian teologis.
Rahner menyimpulkan bahwa afirmasi analogis merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindari dalam berteologi, bahkan hal inilah yang menjadi kekhasan dalam
teologi kristiani. Apakah afirmasi analogis itu? Secara singkat dapat dikatakan
bahwa afirmasi analogi membantu menjelaskan/mendekati suatu aspek secara
spesifik tentang sesuatu hal sekaligus menegasi komprehensivitasnya. Saya sendiri
masih ingat cara Romo Adrian menjelaskan prinsip analogis ini dengan sebuah
frasa kunci “partly the same, partly
different”.
Karl Rahner menegaskan
bahwa afirmasi teologis memang bersifat analogis. Mengapa teologi mengambil
stand point yang demikian? Apakah teologi tidak yakin dengan afirmasinya
sendiri? Apakah bisa afirmasi yang analogis seperti ini disebut sebagai ilmu
(logos) selama ia masih bersifat melulu analogis? Pertanyaan-pertanyaan ini
sungguh mendesak untuk dijawab oleh seorang teolog. Oleh karena itu Karl Rahner
memang menuliskan point Afirmasi analogis ini pada bagian awal mungkin untuk
menunjukkan tingkat kemendesakkannya. Untuk menjawab hal-hal tersebut Rahner
berpendapat bahwa teologi tidak perlu membela diri untuk mengakui bahwa obyek yang
didekati teologi adalah Allah sendiri. Allah yang tak terbatas ingin didekati
oleh teologi manusia yang terbatas. Teologi sungguh berhadapan dengan kehendak
bebas Allah. Maka, satu-satunya yang dapat dilakukan ialah mendekatinya secara
analogis karena memang tdak ada bahasa ataupun sesuatu pun yang dapat
menggambarkan Allah secara persis. Justru teologi yang terlalu mengabsolutkan
segala sesuatu akan menjadi teologi yang tidak sehat, dan bahkan tersesat.
Hal kedua yang menjadi buah pembicaraan Karl Rahner ialah soal
pewahyuan Allah yang radikal. Inti kekristenan ialah soal pewahyuan diri Allah.
Allah sungguh secara radikal ingin mewahyukan diri-Nya dan untuk itu ia sungguh
terjen ke dalam sejarah manusia. Ia bersentuhan dengan pengalaman manusia.
Repotnya, pengalaman akan Allah itu ditafsirkan oleh masing-masing manusia
dengan berbagai macam tafsiran. Dengan demikian muncullah problem bukan hanya
untuk menamai ataupun mendeskripsikan pengalaman akan Allah tersebut tetapi
juga kesadaran bahwa ada begitu banyak pengalaman subyektif tentang Allah.
Teologi adalah ilmu yang mencoba untuk menguraikan pengalaman akan Allah dan
tanggapan manusia, maka tentu saja teologi dibuat pusing dengan Adanya begitu
banyak pengalaman subyektif ini. Kesulitan ini mau tidak mau akhirnya harus
membawa orang untuk menyadari bahwa seuniversal apapun suatu teologi
kelihatannya, ia tetap memiliki unsur subyektivitas di dalamnya.
Ketiga, Rahner berbicara soal Sekolah
Teologi. Rahner mengawali penjelasannya bahwa di masa lalu tiap-tiap Ordo,
Kongregasi, ataupun Tarekat memiliki metode atau cara berteologi yang khas,
misalnya: yesuit dengan metode ignatiannya, ordo pengkotbah dengan tomistiknya,
dsb. Namun, menurut Rahner cara seperti ini sudah tidak relevan lagi. Distingsi
teologi yang diasosiasikan dengan ordo-ordo religius sudah tidak ada dan tidak
bisa dipertahankan lagi. Lalu bagaimana metode teologi saat ini? Mau tidak mau
harus diakui bahwa tidak ada teologi yang bisa dbebaskan dari eklektisisme.
Kecenderungan dan perilaku ini begitu
kuat dan wajar mengingat bahwa masing-masing teolog mempunyai sumber dan latar
belakang masing-masing. Oleh karena itu, sifat yang harus dikembangkan oleh
seorang teolog ialah terus-menerus dengan rendah hati meminta para pendukung
dan sekaligus oposannya untuk membaca sebuah teologi dengan terbuka dan
kehendak yang baik serta menghargai titik berangkat bangunan teologi, orientasi
dasar dan formulasi pertanyaan-pertanyaan yang digunakan oleh seorang teolog.
Mengapa hal ini perlu dilakukan? Karena jika seseorang hanya melihat hasil
jadi/“teologi yang sudah matang” dari seorang teolog maka ia tidak akan pernah
mendapat kepastian dan kepuasan.
Last but not least, Keempat, Rahner berbicara tentang hubungan antara teologi dan ilmu
pengetahuan yang lain. Pembicaraan ini muncul karena kerendahhatian Karl Rahner
untuk mengakui bahwa betapa ia masih ignorant
(tidak tahu apa-apa) tentang ilmu pengetahuan manusia yang lain. Menurutnya
seorang teolog harus membiarkan diri untuk diajar oleh ilmu pengetahuan yang
lain karena hasil penelitian ilmu-ilmu lain sebenarnya sangat berguna bagi
pendalaman karya teologi. Seorang teolog yang sombong akan berpuas diri dengan
ilmu teologinya semata padahal fakta yang harus disadari ialah bahwa bahkan
teologi pun hanya tahu dan menjelaskan sedikit sekali tentang pengalaman
manusia. Banyak dimensi pengalaman manusia yang sungguh di dalami dan diteliti
dalam ilmu-ilmu yang lain. Hasrat untuk mencari dan menemukan Tuhan seharusnya
mendorong seorang teolog untuk tidak membatasi pencariannya akan Tuhan hanya
dalam Kitab Suci. Apapun yang bisa membantu pengenalan Tuhan harus dipelajari
dan didapat agar pengenalan manusia akan Tuhan semakin bertambah dalam dan komprehensif.
Yoseph Indra Kusuma
No comments:
Post a Comment