Pengantar
Colosseum/Coliseum adalah sebuah gedung amphitheater
berbentuk elips di tengah kota Roma, Itali. Gedung amphitheater terbesar yang
pernah dibangun oleh kekaisaran Romawi ini dibangun dengan pondasi beton dan
batu. Colosseum dianggap sebagai karya arsitektur dan bangunan romawi yang
terbesar. Hingga sekarang, gambar Colosseum tercetak dalam mata uang koin lima
sen euro versi Italia.
Sejarah Perkembangan Pembangunan
Colosseum
Colosseum berada di sebelah timur gedung musyawarah bangsa
romawi kuno. Bangunan ini mulai dibangun sekitar tahun 70-72 M di bawah
pemerintahan Kaisar Vespasian dan selesai pada tahun 80 M di bawah kekaisaran
Titus. Tempat yang dipilih untuk membangun Colosseum ini adalah sebuah dataran
datar di dasar lembah yang rendah di antara Caelian, Esquiline, dan dataran
tinggi Palatine. Sejak 2 SM, daerah ini sudah merupakan daerah pemukiman yang
padat. Namun, areal ini menjadi cukup lengang sejak pembakaran kota, yang
dilakukan oleh Kaisar Nero yang bermaksud untuk menjadikan areal ini sebagai
milik pribadinya. Kaisar Nero membangun Gedung Domus Aurea yang begitu megah di tempat ini, dan di depannya ia
membuat danau buatan yang dikelilingi oleh paviliun-paviliun, taman-taman dan
serambi yang bertiang-tiang. Ia juga membangun sebuah terowongan air, Aqua Claudia, yang diperbesar untuk
menyuplai air di area ini dan sekaligus membangun sebuah patung perunggu Colossus of Nero yang amat besar di
dekatnya dan diletakkan di depan pintu masuk Domus Aurea.
Nama Colosseum dipercaya sejak lama berasal sebuah patung
Kaisar Nero yang amat besar ini (Patung Nero ini diberi nama Colossus dari
Rhodes). Patung ini selanjutnya dimodifikasi oleh penerus Kaisar Nero menjadi
serupa dengan Patung Helios (Matahari) atau Apollo, Dewa Matahari, dengan
menambahkan mahkota yang cocok yakni berbentuk matahari. Kepala Nero pada
patung ini juga diganti beberapa kali dengan kepala dari pengganti-pengganti
kaisar. Meskipun sedikit berbau pagan, patung ini tetap berdiri kokoh hingga
era medieval dan bahkan dianggap memiliki kekuatan magis. Patung ini dianggap
menjadi ikon simbol keabadian Roma.
Pada perkembangan selanjutnya, sebagian besar Domus Aurea dihancurkan, walaupun patung
Colossus masih dipertahankan. Danau buatan ditimbuni tanah kembali dan di
situlah dibangun Flavian Amphitheater.
Nama Amphitheatrum Flavium ini diambil
dari nama keluarga Kaisar Vespasian dan Titus, yakni Flavius. Sekolah gladiator dan bangunan-bangunan pendukung lainnya
dibangun di sekitarnya di tempat dulu Domus
Aurea berada. Ada sebuah tulisan yang ditemukan saat rekonstruksi bangunan
ini menyatakan, “Kaisar Vespasian memerintahkan untuk membangun sebuah gedung
amphitheater yang baru dan akan dibiayai dari hasil pampasan perangnya.”
Tulisan ini sebenarnya merujuk pada harta dalam jumlah yang amat besar yang
berhasil didapatkan oleh bangsa Romawi ketika berhasil memenangkan revolusi
Yahudi pada tahun 70 M. JAdi, Colosseum bisa dianggap sebagai monumen
kemenangan yang dibangun karena ada tradisi romawi yang mendorong untuk membuat
sebuah monumen untuk merayakan kemenangan yang besar. Keputusan Vespasian untuk
membangun Colosseum di tempat danau Nero ini bisa dilihat juga sebagai langkah
yang diambilnya untuk mengambil hati rakyat dengan mengembalikan kembali area
yang telah diambil Nero dari rakyat. Secara geografis, posisi Colosseum ini
sungguh istimewa. Colosseum berada tepat di tengah kota Roma, sedangkan banyak
amphitheater lain dibangun di luar kota. Dengan demikian, secara simbolis
dinyatakan bahwa Colosseum adalah Jantung kota Roma.
Pembangunan Colosseum hingga tingkat tiga
diselesaikan oleh Vespasian hingga kematiannya (79 M). Lalu, bagian atas
diselesaikan oleh anaknya, Kaisar Titus pada tahun 80 M. Setelah selesai
bangunan ini pun diresmikan oleh Kaisar Titus. Dio Cassius mengatakan bahwa ada
lebih dari 9000 binatang buas disembelih selama pertandingan-pertandingan yang
diadakan saat peresmian bangunan ini. Selanjutnya, bangunan ini dimodifikasi ulang
oleh Kaisar Domitian ketika memerintah (tahun 81-96 M). Domitian membangun hypogeum, sebuah rangkaian lorong-lorong
bawah tanah yang digunakan untuk tempat binatang buas dan juga budak-budak. Dia
juga menambahkan balkon di atas Colosseum untuk menambah jumlah kapasitas
penontonnya.
Colosseum menjadi
Coliseum
Pada masa selanjutnya ternyata patung Colossus Nero
ini dihancurkan, sebabnya kemungkinan karena perunggu pada patung ini akan di
daur ulang dan dibentuk menjadi sesuatu yang lain. Pada tahun 1000 nama Colosseum
baru dimunculkan untuk menggantikan Flavian Amphitheater. Patung Nero itu
sendiri sudah dilupakan oleh semua orang, dan yang tertinggal hanyalah
pondasinya, yang terletak antara Colosseum, dekat Kuil Venus dan Roma.
Pada abad kedelapan, seorang epigram bernama Bede
Venerabile mempopulerkan makna simbol patung tersebut dengan gaya nubuatan,
yang berbunyi: “Quam stat Coliseus, stat
et Roma; quando cadet colisaeus, cadet et Roma; quando cadet Roma, cadet et
mundus (yang berarti: selama Colossus tetap berdiri kokoh, maka Roma pun
akan tetap berdiri kokoh; jika Colossus hancur, maka roma pun akan hancur; jika
roma hancur, maka dunia pun akan hancur). Kata Colosus seringkali
disalahtafsirkan dengan Colosseum (hal yang sama juga terjadi pada puisi Byron
yang berjudul Childe Harold’s Pilgrimage).
Namun demikian, pada saat itu Bede Venerabile memang memaksudkan menulis kata
Coliseus dengan genus maskulinum karena ingin merujuk pada patung Nero, karena
pada saat itu Colosseum memang masih terkenal dengan nama Flavian Amphitheatre.
Nama ini kemudian berkembang lebih jauh menjadi
Coliseum sejak abad pertengahan. Di Itali, gedung amphiteater masih dikenal
dengan nama il Colosseo, dan juga
dalam bahasa-bahasa rumpun romawi lainnya masih memiliki kedekatan bunyi, misalnya
le Coliseé (Perancis), el Coliseo (Spanyol), o Coliseu (Portugis).
Fungsi Gedung Coliseum
Untuk sebuah ukuran gedung yang dibangun pada masa
itu, Colosseum tergolong sangat besar. Gedung ini bisa menampung 50.000
penonton. Colosseum awalnya digunakan untuk pertunjukkan gladiator dan
pertunjukan rakyat lainnya, seperti: sandiwara pertarungan di lautan, sandiwara
perburuan binatang, eksekusi, pengenangan kembali pertarungan-pertarungan yang
melegenda, dan drama-drama yang bersumber dari mitologi klasik. Gedung ini
beralih fungsi pada masa awal era medieval. Bangunan ini selanjutnya digunakan
sebagai tempat pemukiman, ruang kerja, tempat beribadah agama tertentu,
benteng, tambang galian, dan juga tempat suci bagi umat Kristiani.
Di abad 21 ini, Colosseum tetap menjadi sebuah icon
yang emblematis dari Kekaisaran Romawi. Walaupun bangunan ini saat ini rusak
sebagian akibat dari gempa bumi dan para pencuri batu. Bangunan ini sampai
sekarang masih menjadi salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan
mancanegara dan masih memiliki hubungan dekat dengan Gereja Katolik Roma.
Coliseum dan Kemartiran
Kristiani
Seorang martir Kristen didefinisikan
sebagai seorang pria atau wanita yang dibunuh karena iman Kristianinya. Banyak
martir Kristen mengalami penderitaan yang hebat dan kematian yang menyiksa
seperti: dirajam dengan batu, disalib, dan dipanggang di Coliseum Roma. Kata ηαρτυρια
(martyr) berasal dari bahasa Yunani
yang diterjemahkan menjadi “saksi”. Kemartiran adalah buah dari penyiksaan
religius. Martir pertama orang Kristen yang terkenal adalah Santo Stefanus yang
kisahnya tercatat dalam Kisah Para Rasul 6:8-8:3.
Ada banyak cara untuk menyiksa orang Kristen di
Coliseum. Para martir yang dieksekusi umumnya diperlakukan seperti penjahat
dengan disalib atau “damnatio ad bestia”
(diumpankan pada hewan buas). Semakin kejam penyiksaan orang Kristen, Raja yang
kejam dan jahat merasa semakin senang. Raja Nero sendiri memperkenalkan cara
baru untuk menyiksa orang Kristen yakni dengan dipaku pada salib kemudian
dibakar hidup-hidup saat hari menjelang sore. Raja Nero menganggap bahwa
martir-martir Kristen itu bisa berguna sebagai obor yang menerangi kegelapan
stadion.
St. Ignatius dari Antiokia merupakan Santo yang
dianggap sebagai martir pertama yang dibunuh di Coliseum. Beliau adalah seorang
uskup dari antiokia. Pada tahun 107 M Kaisar Trajan datang ke Antiokia dan
memaksa orang-orang Kristen untuk memilih antara Dewa pagan orang Romawi atau
Mati. Ignatius menolak dan Kaisar menghukumnya dengan hukuman “damnatio ad bestia”. Ignasius lalu
dibawa ke Roma, dijaga oleh prajurit-prajurit tetapi ia tidak menunjukkan
ketakutan sedikit pun. Sampai akhirnya, di Roma, tubuhnya tidak bersisa lagi
karena dicabik-cabik oleh hewan buas, kecuali beberapa tulangnya. Tulang-tulang
tersebut sembunyikan secara rahasia dan dikembalikan ke Sntiokia.
Coliseum dan Kristianitas
Pada abad pertengahan, Coliseum
tidak dianggap sebagai sebuah tempat suci. Coliseum hanya digunakan sebagai
benteng. Kemudian, pada masa selanjutnya, sebuah penggalian mengindikasikan
bahwa ada juga nilai spiritual yang muncul dari situs ini. Kemungkinan nilai
rohani itu muncul ketika situs Coliseum dihubungkan dengan martir-martir Gereja
yang sangat dimuliakan.
Tampaknya baru dalam abad 16-17 Coliseum diakui
sebagai sebuah situs sejarah Kristiani. Paus Pius V (1566-1572) pernah
menyarankan para peziarah untuk mengumpulkan pasir dari arena Coliseum untuk
digunakan sebagai relikui, karena ia menganggap bahwa di tanah itulah para
martir mencurahkan darahnya. Namun, pandangan paus ini tidak begitu
diperhatikan sampai kemudian pandangan ini dipopulerkan kembali oleh Fioravante
Martinelli, yang memasukkan Coliseum dalam daftar tempat-tempat suci yang
penting untuk mengenang kemartiran di dalam bukunya Roma ex ethinica sacra (1963).
Buku Martinelli ini ternyata menimbulkan opini
publik. Beberapa tahun kemudian, Cardinal Altieri berencana untuk mengubah
Coliseum menjadi tempat pertandingan matador. Opini publik berkat buku
Martinelli dan Carlo Tomassi akhirnya membuat sebuah pamphlet yang intinya
memprotes tindakan cardinal tersebut dan menganggapnya sebagai
penajisan/pencemaran tempat kudus. Konflik ini cukup memanas dan akhirnya
mendorong Paus Clement X untuk menutup serambi luar Coliseum dan mengumumkan
bahwa Coliseum merupakan situs yang dilindungi. Namun, keputusan ini tetap
memperbolehkan penggalian-penggalian artefak di sekitar Coliseum.
Atas usul St. Leonardus dari Porto
Mauritio, Paus Benediktus XIV (1740-1758) melarang penggalian di sekitar
Coliseum dan mendirikan stasi-stasi Jalan Salib di sekitar arena, yang tetap
ada hingga Februari 1874. St. Benediktus Yosep Labre menghabiskan hidupnya di
dalam tembok Coliseum, hidup dari sedekah, hingga wafatnya pada tahun 1783.
Akhirnya, pada abad 19 atas bantuan dana dari Paus, Coliseum diperbaiki dan
direstorasi, dan Coliseum tetap mempertahankan hubungannya dengan kristianitas.
Salib berdiri di beberapa titik di sekitar arena dan setiap Jumat Agung Paus
memimpin prosesi Jalan Salib menuju Coliseum.
Komentar Pastoral
Yang bisa dikatakan kepada umat
tentang bangunan ini ialah nilai-nilai kemartiran jemaat Kristen perdana yang
luar biasa pada jaman itu. Jemaat jaman sekarang perlu bertanya secara serius
mengapa iman jemaat perdana kala itu benar-benar sangat mendalam dan total,
sehingga mereka benar-benar rela mati demi iman mereka. Mereka tidak gentar
untuk tetap memeluk iman kristiani walaupun mereka sudah sadar akan bahaya maut
yang akan menghadang mereka kalau tetap memeluk iman kristiani. Perlu
direnungkan secara mendalam tentang pendidikan iman macam apa yang dialami oleh
jemaat perdana kala itu sehingga iman kristiani sungguh merasuk seperti itu.
Namun demikian, Jika menengok lebih
jauh, kita dapat mengerti mengapa jemaat perdana saat itu sungguh-sungguh
memilih jalan kemartiran seperti itu. Satu-satunya jalan kekudusan menuju surga
yang dikenal pada saat itu adalah Jalan kemartiran (yakni harus wafat demi
iman). Maka, jemaat perdana memang “berebut kesempatan untuk mati” demi iman,
karena mereka yakin bahwa kematian dengan cara demikian akan langsung membawa
mereka menuju surga. Pandangan ini kemudian sedikit bergeser pada abad monastis
ketika cara untuk mencapai Kekudusan berganti menjadi Fuga Mundi (melarikan
diri dari dunia dan masuk ke dalam biara-biara). Kini, Konsili Vatikan II
menyerukan bahwa Setiap orang beriman dipanggil kepada kekudusan. Jalan
kekudusan bisa ditempuh dengan menjalankan tugas dan tanggung jawab sehari-hari
dengan baik. Sebagai bapak, lakukanlah tugas sebagai bapak sebaik mungkin
dengan mencari nafkah dan menghidupi keluarga. Sebagai ibu, lakukanlah tugas
sebagai ibu dengan sebaik mungkin dengan memasak dan mengasuh anak dengan
setia. Dengan kata lain, jalan kekudusan
tidak lagi harus ditempuh dengan kematian seperti para martir terdahulu di
jaman jemaat perdana.
No comments:
Post a Comment