Wednesday, December 5, 2012

TAKDIR MEMANG KEJAM DAN TAK TERELAKKAN?


PENGANTAR
Di ruang-ruang publik[1] sering kita jumpai ungkapan-ungkapan, “Sudah, yang tabah, ya! Ini sudah suratan takdir!” atau dengan kata-kata lain yang mirip, “Sudah, kita harus menerimanya. Ini semua sudah kehendak Allah. Kita tidak boleh protes kepada Allah, karena Allah sudah memberikan yang terbaik kepada kita.” Dari ungkapan-ungkapan ini muncul suatu kesan umum bahwa kehendak Allah itu absolut dan mutlak harus terjadi. Manusia hanya harus menerimanya begitu saja dan percaya bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Pernyataan semacam ini tentu saja dengan jelas mengandung unsur fideisme yang radikal.
Di tempat lain[2], kegelisahan tentang kehendak Allah diungkapkan dengan mempertentangkannya dengan sifat-sifat Allah. Dasar dari kegelisahan ini adalah kesadaran bahwa Tuhan itu Maha Tahu. Dia tahu masa yang lampau, masa sekarang, dan semua di masa yang akan datang. Kalau benar demikian, maka Tuhan pasti sudah tahu semua yang manusia mau kerjakan jauh sebelum manusia bertindak. Ini berarti seluruh hidup manusia sudah ditentukan sebelumnya, dan manusia bertindak bukanlah atas dasar kebebasan kehendak, tetapi manusia telah ditentukan untuk berbuat apa yang harus manusia perbuat. Kalau seseorang sebelumnya sudah ditentukan untuk menjadi orang baik, maka ia akan menjadi baik, dan bila ia sebelumnya ditentukan untuk menjadi buruk, maka ia akan menjadi orang buruk/jahat. Manusia tidak akan berbuat atas dasar kebebasan kehendanya, akan tetapi manusia berbuat atas dasar apa yang telah Tuhan tentukan. Meskipun ada ajaran yang tetap memaksakan bahwa kebebasan kehendak (Free Will) itu ada, ke-Maha Tahuan Tuhan justru membuat hal ini mustahil untuk dimengerti. Alkitab pun menyatakan bahwa orang hanya akan berbuat apa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Jadi ternyata di dalam ajaran agama, jalan hidup seseorang dan takdir adalah sepenuhnya ulah Tuhan. Dan manusia tidak punya hak untuk mengeluh tentang apa yang telah Tuhan putuskan untuk manusia. Ide di mana semuanya telah ditentukan dengan ide bahwa Tuhan itu Maha Tahu memang tampak sejalan, tetapi ide tersebut tidak masuk akal ke dalam konsep usaha untuk berbuat kebaikan atau menghindari kejahatan.
Kekristenan adalah termasuk agama yang bergulat dengan hal ini. Manakah yang lebih berkuasa antara kehendak bebas manusia (free will) ataukah kemahakuasaan Tuhan. Kekristenan berusaha menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini dengan bantuan filsafat. Oleh karena itu, dalam tubuh kekristenan muncul banyak tokoh filsafat muncul. Dalam dunia kekristenan, Filsafat dimengerti sebagai Ancilla Thelogiae. Filsafat menjadi bak bidan yang membantu teologi melahirkan dan merumuskan ajaran-ajarannya.
Dalam karya tulis ini, penulis ingin menjabarkan pemikiran Agustinus tentang dua kehendak (Two Wills) yang dalam masa ini tampak dalam pergulatan iman antara takdir (kehendak Tuhan) dan kehendak bebas  manusia (free will). Agustinus merupakan seorang Filsuf Kristiani yang berusaha bergulat dengan filsafat untuk menjelaskan dengan lebih baik, teologi kekristenan. Namun, tidak bisa disangkal bahwa pemikiran Agustinus pun pada saat itu masih bersifat apologetis, yakni berusaha menjelaskan dan mempertahankan iman baru setelah ada ajaran yang mengancam, yakni Manikeisme dan pelagianisme.
           
PEMIKIRAN MANIKEISME YANG DILAWAN AGUSTINUS
Pemikiran Agustinus tentang kehendak pertama-tama dicetuskan karena ia ingin melawan argumen-argumen kaum Manikeisme. Manikeisme mempunyai kepercayaan bahwa ada dua kehendak yaitu kehendak baik dan kehendak jahat. Dua macam kehendak ini muncul dari konsep adanya dualisme Allah yaitu (Allah) yang baik dan jahat. Sesuatu dikatakan baik jika sesuai dengan sifat yang baik pada kebaikan Allah sendiri dan diangggap menyesatkan atau jahat kalau berlawanan dengan sifat Tuhan yang baik. Segala sesuatu senantiasa harus diarahkan pada kebaikan dengan cara selalu memperhatikan keinginan roh dan selalu memandang tubuh jelek, jika tidak mematuhi apa yang diperintahkan oleh Tuhan maka manusia akan dihukum oleh-Nya. Hukuman terjadi karena Tuhan marah kepada manusia. Konsep ini adalah konsep Manikeisme tentang Allah yang bersifat pemarah atau pendendam.
Kaum manikeisme percaya bahwa setiap manusia harus berjuang dengan dua kehendak yang ada dalam dirinya. Sehingga kehendak yang ada tersebut memberikan tawaran atau pilihan pada manusia untuk memutuskan dan menghendakinya. Argumen inilah yang akan dilawan oleh Agustinus.

PEMIKIRAN AGUSTINUS
Agustinus berargumen untuk melawan argumen kaum manikeisme. Dia berpikir bahwa jika dalam diri manusia ada dua kehendak maka tidak menutup kemungkinan adanya banyak kehendak yang ada dalam diri seseorang yang masing-masing menawarkan berbagai kemudahan manusia untuk bertindak. Sehingga kadang membuat manusia bimbang karena banyak pilihan yang telah disediakan (kalau dalam buku dijelaskan orang yang menonton teater dan orang yang pergi ke gereja). Dimana ada tiga kemungkin orang sadar untuk pergi ke gereja dan mereka menganggap kehendak yang membuat pergi ke tempat mereka adalah kehendak baik. Namun dalam diri mereka terjadi perselisihan antara dua kehendak yang membuat mereka bimbang dimana mereka bisa mengakui bahwa karena kehendak baik orang datang ke gereja, sepertinya mereka telah diperkenalkan dengan rahasia-rahasianya dan untuk selanjutnya terpaut padanya. Tetapi mereka tak bersedia untuk mengakuinya. Dalam artian mereka menganut pendirian bahwa dalam diri satu orang sedang berbenturan dua tabiat jahat dan dua roh jahat. Tetapi dalam hal ini tidak benar lagi. Apa yang biasanya mereka katakan, bahwa yang satu baik dan yang lain jahat. Kemungkinan ketiga mereka akan berpaling ke kebenaran dan tidak lagi akan menyanggah bahwa yang dalam pertimbangan terombang-ambing di antara berbagai kehendak yang berbeda-beda ialah satu jiwa yang sama.
Jadi, jangan lagi mereka berkata bila melihat dalam diri satu orang perjuangan dengan dua kehendak, bahwa sedang bertengkar dua roh yang berlawanan yang berasal dari dua zat yang berlawanan dan dari dua asas yang berlawanan, yang satu baik yang lain jahat. Namun, pendapat mereka salah misalnya ada dua kehendak kedua-duanya jahat seorang sedang memikirkan apakah ia membunuh orang dengan racun atau dengan keris. Apakah ia akan menyerobot anak orang lain yang ini atau yang itu bila ia tidak dapat merampas kedua-duanya. Apakah ia akan boros membelanjakan uangnya mebeli kenikmatan atau pelit dengan menyimpan uangnya. Apakah ia akan pergi ke arena atau teater bila kedua tontonan itu berlangsung pada hari yang sama. Kutambahkan kemungkinan ketiga apakah ia akan pergi mencuri di rumah orang kalau ada kesempatan. Bahkan, kutambahkan kemungkinan yang keempat ataukah ia akan berzinah, seandainya dari pihak itupun pada saat yang sama terbuka kemungkinan. Andaikanlah semua kemungkinan itu timbul pada satu titik yang sama dalam waktu dan semuanya sama didambakan, tetapi tidak dapat dilaksanakan semuanya sekaligus. Dalam hal itu roh tercabik-cabik olehnya karena keempat kehendak itu saling bertentangan. Padahal tidak dianut olehnya adanya jumlah zat yang bertentangan sebanyak itu.
Sama halnya kehendak-kehendak yang baik. Apakah baik bila suka lagu hikmat sebuah mazmur; apakah baik bila mengadakan percakapan mengenai kitab injil. “Baik”, jawab mereka pada masing-masing pertanyaan. Kemudian, bagaimana jika semua itu sama-sama disukai pada saat yang sama, bukankah yang dihadapi itu kehendak-kehendak yang bertentangan, saling menarik kian menarik hati seseorang, sementara dia memikirkan yang mana yang baik untuk dilakukan memang pada dasarnya semua kehendak itu baik. Namun, semua saling menentang, sampai terpilih satu hal yang menjadi sasaran kehendak yang sudah menjadi utuh, kehendak yang tadinya terpecah-pecah menjadi beberapa kehendak. Demikian pula jika orang ditarik ke atas oleh hal yang baka dan tertahan di bawah karena kenikmatan barang fana itu, jiwa tetap sama, yang menghendaki yang ini ataupun yang itu dengan kehendak yang tidak utuh. Maka jiwa itu tercabik-cabik dan diberatkan kerepotan sebab kepemilikan membuat dia memilih yang pertama sedangkan, kebiasaan mencegah mengandalkan yang kedua.   
St Agustinus menerangkan bahwa meskipun kita dapat menyebut banyak dorongan hati dan hawa nafsu, sesuai dengan obyek masing masing –seperti misalnya kelaparan yang obyeknya ialah makanan,dan kehausan yang obyeknya adalah minuman , kekikiran yang obyeknya ialah uang atau pada umumnya harta benda, atau kebirahian yang obyeknya ialah perasaan seksual-namun pada pokoknya ada empat dorongan hati atau rejana jiwa yang dasariah, yaitu satu pihak atau keinginan dan ketakutan , di lain pihak sukacita dan duka cita. Dua yang pertama mengenai obyek –obyek yang belum secara aktual hadir, tetapi masih termasuk masa depan , yakni atau obyek yang mau memilki dan diinginkan , atau obyek –obyek yang secara aktual  hadir dan dinikmati  karena disukai atau obyek obyek yang secara aktual hadir tetapi tidak disukai dan menimbulkan penderitaan dan rasa tidak senang.
Lewat keempat hal tersebut menunjukkan bahwa kehendak selalu bekerja dan keempat hal tersebut adalah keaktifan kehendak maka apa bila kita menghendaki sesuatu dan ingin memiliki dan menikmatinya, maka kehendak kita itu ialah cupiditas atau  keinginan begitu juga dengan semua hal yang diatas. Maka bukan hanya dorongan hati dan rencana-rencana jiwa itu dengan demikian hidup aktif kita di kuasai oleh kehendak, melainkan seluruh hidup kita mengenal kita juga. Dalam pengenalan indrawi kita keaktifan  dan pengaruh kehendak di perlukan  supaya kesipa siagaan jiwa tetap di aktifkan dan diarahkan sesuai dengan proses pengamatan yang mau di jalani sedemikian rupa hingga organ indra yang bersangkutan tetap di pertahankan dalam kontak yang sesuai dengan obyek yang bersangkutan. Keaktifan dan pengaruh kehendak itu selanjutnya di perlukan, supaya data indrawi yang diperoleh  dimasukkan dan direkam dalam ingatan. Cobalah saja melihat apa yang terjadi pada waktu seseorang memberitahukan sesuatu kepadaku ; jikalau pada waktu yang sama itu aku berpikir mengenai sesuatu yang lain, maka meskipun dapat di akui bahwa–bila boleh memakai peristilahan modern-proses fisiologis tetap berjalan  dalam indra pendengarku namun aku tidak menginsafi dan tidak mengetahui apa yang dikatakan orang itu, karena  pada waktu  yang sama aku tidak coba memasukkan dan merekam kata-katanya kedalam ingatanku.
Agustinus dalam buku yang lain mengatakan bahwa ada kehendak yang mengabungkan dan memisahkan, malahan dalam dua arti pertama, sejauh apa yag digabungkan satu dengan atau dipisah kan satu dari yang lain  ialah kempat gambar berikut ini yaitu ketiganya yang sudah disebutkan, yakni bentuk objek itu dalam organ indra, gambar nya dalam ingatan dan penghayalandan yang keempat, gambaran atau pengertian yang di pisah dari satu sama lain  seperti sudah dikatakan atau secara realistis atau secara mengirelisir.
Agustinus menyakini bahwa proses penggabungan dan pemisahan yang dapat amat kompleks  itu membuka lebar kemungkinan diadakannya kekeliruan keliruan. Tetapi sesuai dengan apa yang sudah di katakn seghubungan dengan pengamatan indrawi dan acara kita yang sudah dikatakan sehubungan dengan pengamatan indrawi dan cara kita mempertimbangkan dan menyatakn putusan mengenainya, demikian pula di sini sehubungan denga ningtan dan penghayalan harus di katakana bahwa kekeliruan muncul , jikalau mengenai gambaran gambaran dalam ingatan dan penghayalan kit amengadakan pertimbangan dan menyatakan putusan yang keliru.jadi kit aharus menaikan sampai ke taraf rasio yang –karena mempertimbangkan dan dapat kesan indrawi– mengatasi tingkat pengamatan indrawi.
Pada ujungnya kehendak ialah untuk mencari kebenaran  betapa dekatnya diri kita tentunya kita tidak akan mengenali segala sesuatu jika tanpa ada kehendak untuk mengenalinya. Atau menghendakinya. Jikalau kita hanya berkeinginan dan berkehendak mengetahuinya. St agustinus menambahakan bahwa keinginan dan kehendak untuk mengetahui dan mencari kebenaran itu, jikalau menjadi sangat kuat dan bernyala-nyala, kita sebut dengan study atau proses pembelajaran.[3]
Kehendak yang ada dalam diri manusia menguasai  panca indra kita, ingatan dan penghayalan dan malahan rasio sendiri, pun pula segala dorongan hati dan rencana jiwa berada di bawahnya.[4]
ANALISIS AGUSTINUS
Tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan yang saling bekerja sama dimana roh membutuhkan tubuh untuk bergerak dan ketika tubuh tidak bergerak maka keinginan yang telah di inginkan tidak akan terwujud.  Sama halnya dengan kehendak yang tidak dikehendaki maka tidak akan terealisasi apa yang telah menjadi hayalannya.[5] Maka tidak bisa dikatakan bahwa ada dua kehendak yang saling berlawanan jadi hal ini dimana setengah menghendaki setengah tidak menghendaki bukanlah keadaan yang tidak wajar, melainkan penyakit roh . Roh itu tidak seluruhnya bangkit apa bila diangkat oleh kebenaran , karena terlalu berat di gayuti kebiasaan. Karena itu ada dua kehendak , sebab satu di antaranya  tidak bulat dan apa yang terdapat dalam yang satu tidak terdapat dalam yang lain[6]
Semoga binasa di hadapan-Mu (mzm 68;3) ya Allah- dan sungguh binasa mereka-orang orang yang omongannya sia sia dan yang meyesatkan pikiran, yang lantaran dalam pertimbangan melihat dua kehendak, menegaskan bahwa ada dua roh yang mempunyai dua tabiat yang berlainan, yang satu baik dan yang lain jahat. Merekalah yang sebenarnya jahat bila mereka melahirkan pikiran-pikiran jahat itu; mereka itu pula akan baik jika mereka melahirkan pikiran–pikiran jahat itu; mereka itu pula akan baik jika mereka melahirkan pemikiran-pemikiran  baik dan menyetujui kebenaran, sehingga rasul-Mu dapat berkata kepada mereka “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan.”[7]
Maka muncul yang namanya dosa  dimana dosa  menurut kitab suci, manusia diberi kebebasan supaya dapat mencintai percaya dan mencintai Allah. Tetapi ia dapat pula menutup diri terhadap Allah dan menolaknya, biarpun perbuatan itu tidak masuk akal dan berakibat buruk baginya . Perbuatan itu adalah dosa. Tuhan tidak bertangung jawab  atas dosa mahluk- mahluknya . Tetapi Tuhan mengambil risiko, bahwa dosa-dosa akan terjadi dengan segala akibatnya yang buruk. Hal ini terjadi Karena hanya dengan demikian ia dapat menciptakan makhluk yang bebas. Allah adalah Yang baik secara tak terbatas sehingga tidak dapat berbuat jahat atau berdosa-dosa mengandaikan kebaikan dan kebebasan yang terbatas, yang memungkinkan tindakkan melawan makna sebenaranya dari kebaikan serta kebebasan itu dengan demikian melemahkan, bahkan menghancurkanya. Dosa menyebabkan keadaan buruk yang hanya dapat dipulihkan oleh Allah saja.
Dengan berdosa orang menyimpang dari jalan yang benar dan merusak apa yang diciptakan Tuhan dengan baik. Dosa tidak bisa merugikan Tuhan sendiri, tetapi hubungan kita dengan-Nya dan dengan sesama manusia. Dosa pun dalam kenyataannya yang sesungguhnya adalah keputusan bebas untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Illahi. Keputusan itu menyangkut inti pribadi si Pendosa, yang mendahulukan barang ciptaan pada kehendak illahi seperti Nampak pola asasi dunia ciptaan yang di tegaskan dengan Wahyu. Maka dengan berdosa manusia merusak suatu nilai dan karenanya sebagai mahluk penentang  kehendak penciptanya.  Dosa berlawanan dengan makan kebebasan  manusiawi yaitu mencintai nilai tertinggi yakni Allah. Dan orang berdosa karena tertarik pada apa yang langsung memenuhi keinginan  dan dorongannya dan kurang percaya kepada Allah yang menatakan apa yang sebenarnya baik bagi manusia.[8]


[3] Tubuh dan jiwa 56
[4] Ibid hal 56
[5] "Confessions., VIII, ix, 21
[6] Confessions, VIII, ix, 21.
[7] Confessiones, VIII, x, 22
[8] Hauken .A sj ensiklo[edi gereja a-g , cipta loka  Jakarta 1991. Hal 262.

No comments:

Post a Comment