PENGANTAR
Di
ruang-ruang publik[1]
sering kita jumpai ungkapan-ungkapan, “Sudah, yang tabah, ya! Ini sudah suratan
takdir!” atau dengan kata-kata lain yang mirip, “Sudah, kita harus menerimanya.
Ini semua sudah kehendak Allah. Kita tidak boleh protes kepada Allah, karena
Allah sudah memberikan yang terbaik kepada kita.” Dari ungkapan-ungkapan ini
muncul suatu kesan umum bahwa kehendak Allah itu absolut dan mutlak harus
terjadi. Manusia hanya harus menerimanya begitu saja dan percaya bahwa rencana
Allah adalah yang terbaik. Pernyataan semacam ini tentu saja dengan jelas
mengandung unsur fideisme yang radikal.
Di
tempat lain[2],
kegelisahan tentang kehendak Allah diungkapkan dengan mempertentangkannya
dengan sifat-sifat Allah. Dasar dari kegelisahan ini adalah kesadaran bahwa
Tuhan itu Maha Tahu. Dia tahu masa yang lampau, masa sekarang, dan semua di
masa yang akan datang. Kalau benar demikian, maka Tuhan pasti sudah tahu semua
yang manusia mau kerjakan jauh sebelum manusia bertindak. Ini berarti seluruh
hidup manusia sudah ditentukan sebelumnya, dan manusia bertindak bukanlah atas
dasar kebebasan kehendak, tetapi manusia telah ditentukan untuk berbuat apa
yang harus manusia perbuat. Kalau seseorang sebelumnya sudah ditentukan untuk
menjadi orang baik, maka ia akan menjadi baik, dan bila ia sebelumnya
ditentukan untuk menjadi buruk, maka ia akan menjadi orang buruk/jahat. Manusia
tidak akan berbuat atas dasar kebebasan kehendanya, akan tetapi manusia berbuat
atas dasar apa yang telah Tuhan tentukan. Meskipun ada ajaran yang tetap
memaksakan bahwa kebebasan kehendak (Free Will) itu ada, ke-Maha Tahuan
Tuhan justru membuat hal ini mustahil untuk dimengerti. Alkitab pun menyatakan
bahwa orang hanya akan berbuat apa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Jadi
ternyata di dalam ajaran agama, jalan hidup seseorang dan takdir adalah
sepenuhnya ulah Tuhan. Dan manusia tidak punya hak untuk mengeluh tentang apa
yang telah Tuhan putuskan untuk manusia. Ide di mana semuanya telah ditentukan
dengan ide bahwa Tuhan itu Maha Tahu memang tampak sejalan, tetapi ide tersebut
tidak masuk akal ke dalam konsep usaha untuk berbuat kebaikan atau menghindari
kejahatan.
Kekristenan
adalah termasuk agama yang bergulat dengan hal ini. Manakah yang lebih berkuasa
antara kehendak bebas manusia (free will) ataukah kemahakuasaan Tuhan.
Kekristenan berusaha menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial
ini dengan bantuan filsafat. Oleh karena itu, dalam tubuh kekristenan muncul
banyak tokoh filsafat muncul. Dalam dunia kekristenan, Filsafat dimengerti
sebagai Ancilla Thelogiae. Filsafat
menjadi bak bidan yang membantu teologi melahirkan dan merumuskan
ajaran-ajarannya.
Dalam
karya tulis ini, penulis ingin menjabarkan pemikiran Agustinus tentang dua
kehendak (Two Wills) yang dalam masa ini tampak dalam pergulatan iman antara takdir
(kehendak Tuhan) dan kehendak bebas
manusia (free will). Agustinus merupakan seorang Filsuf Kristiani yang
berusaha bergulat dengan filsafat untuk menjelaskan dengan lebih baik, teologi
kekristenan. Namun, tidak bisa disangkal bahwa pemikiran Agustinus pun pada
saat itu masih bersifat apologetis, yakni berusaha menjelaskan dan
mempertahankan iman baru setelah ada ajaran yang mengancam, yakni Manikeisme
dan pelagianisme.
PEMIKIRAN
MANIKEISME YANG DILAWAN AGUSTINUS
Pemikiran
Agustinus tentang kehendak pertama-tama dicetuskan karena ia ingin melawan
argumen-argumen kaum Manikeisme. Manikeisme mempunyai kepercayaan bahwa ada dua
kehendak yaitu kehendak baik dan kehendak jahat. Dua macam kehendak ini muncul
dari konsep adanya dualisme Allah yaitu (Allah) yang baik dan jahat. Sesuatu
dikatakan baik jika sesuai dengan sifat yang baik pada kebaikan Allah sendiri
dan diangggap menyesatkan atau jahat kalau berlawanan dengan sifat Tuhan yang
baik. Segala sesuatu senantiasa harus diarahkan pada kebaikan dengan cara
selalu memperhatikan keinginan roh dan selalu memandang tubuh jelek, jika tidak
mematuhi apa yang diperintahkan oleh Tuhan maka manusia akan dihukum oleh-Nya.
Hukuman terjadi karena Tuhan marah kepada manusia. Konsep ini adalah konsep
Manikeisme tentang Allah yang bersifat pemarah atau pendendam.
Kaum
manikeisme percaya bahwa setiap manusia harus berjuang dengan dua kehendak yang
ada dalam dirinya. Sehingga kehendak yang ada tersebut memberikan tawaran atau
pilihan pada manusia untuk memutuskan dan menghendakinya. Argumen inilah yang
akan dilawan oleh Agustinus.
PEMIKIRAN
AGUSTINUS
Agustinus
berargumen untuk melawan argumen kaum manikeisme. Dia berpikir bahwa jika dalam
diri manusia ada dua kehendak maka tidak menutup kemungkinan adanya banyak
kehendak yang ada dalam diri seseorang yang masing-masing menawarkan berbagai
kemudahan manusia untuk bertindak. Sehingga kadang membuat manusia bimbang
karena banyak pilihan yang telah disediakan (kalau dalam buku dijelaskan orang
yang menonton teater dan orang yang pergi ke gereja). Dimana ada tiga kemungkin
orang sadar untuk pergi ke gereja dan mereka menganggap kehendak yang membuat
pergi ke tempat mereka adalah kehendak baik. Namun dalam diri mereka terjadi
perselisihan antara dua kehendak yang membuat mereka bimbang dimana mereka bisa
mengakui bahwa karena kehendak baik orang datang ke gereja, sepertinya mereka
telah diperkenalkan dengan rahasia-rahasianya dan untuk selanjutnya terpaut
padanya. Tetapi mereka tak bersedia untuk mengakuinya. Dalam artian mereka menganut
pendirian bahwa dalam diri satu orang sedang berbenturan dua tabiat jahat dan
dua roh jahat. Tetapi dalam hal ini tidak benar lagi. Apa yang biasanya mereka
katakan, bahwa yang satu baik dan yang lain jahat. Kemungkinan ketiga mereka
akan berpaling ke kebenaran dan tidak lagi akan menyanggah bahwa yang dalam
pertimbangan terombang-ambing di antara berbagai kehendak yang berbeda-beda
ialah satu jiwa yang sama.
Jadi,
jangan lagi mereka berkata bila melihat dalam diri satu orang perjuangan dengan
dua kehendak, bahwa sedang bertengkar dua roh yang berlawanan yang berasal dari
dua zat yang berlawanan dan dari dua asas yang berlawanan, yang satu baik yang
lain jahat. Namun, pendapat mereka salah misalnya ada dua kehendak kedua-duanya
jahat seorang sedang memikirkan apakah ia membunuh orang dengan racun atau
dengan keris. Apakah ia akan menyerobot anak orang lain yang ini atau yang itu
bila ia tidak dapat merampas kedua-duanya. Apakah ia akan boros membelanjakan
uangnya mebeli kenikmatan atau pelit dengan menyimpan uangnya. Apakah ia akan
pergi ke arena atau teater bila kedua tontonan itu berlangsung pada hari yang
sama. Kutambahkan kemungkinan ketiga apakah ia akan pergi mencuri di rumah
orang kalau ada kesempatan. Bahkan, kutambahkan kemungkinan yang keempat
ataukah ia akan berzinah, seandainya dari pihak itupun pada saat yang sama
terbuka kemungkinan. Andaikanlah semua kemungkinan itu timbul pada satu titik
yang sama dalam waktu dan semuanya sama didambakan, tetapi tidak dapat
dilaksanakan semuanya sekaligus. Dalam hal itu roh tercabik-cabik olehnya
karena keempat kehendak itu saling bertentangan. Padahal tidak dianut olehnya
adanya jumlah zat yang bertentangan sebanyak itu.
Sama
halnya kehendak-kehendak yang baik. Apakah baik bila suka lagu hikmat sebuah mazmur;
apakah baik bila mengadakan percakapan mengenai kitab injil. “Baik”, jawab
mereka pada masing-masing pertanyaan. Kemudian, bagaimana jika semua itu
sama-sama disukai pada saat yang sama, bukankah yang dihadapi itu
kehendak-kehendak yang bertentangan, saling menarik kian menarik hati
seseorang, sementara dia memikirkan yang mana yang baik untuk dilakukan memang
pada dasarnya semua kehendak itu baik. Namun, semua saling menentang, sampai
terpilih satu hal yang menjadi sasaran kehendak yang sudah menjadi utuh,
kehendak yang tadinya terpecah-pecah menjadi beberapa kehendak. Demikian pula
jika orang ditarik ke atas oleh hal yang baka dan tertahan di bawah karena
kenikmatan barang fana itu, jiwa tetap sama, yang menghendaki yang ini ataupun
yang itu dengan kehendak yang tidak utuh. Maka jiwa itu tercabik-cabik dan
diberatkan kerepotan sebab kepemilikan membuat dia memilih yang pertama
sedangkan, kebiasaan mencegah mengandalkan yang kedua.
St
Agustinus menerangkan bahwa meskipun kita dapat menyebut banyak dorongan hati
dan hawa nafsu, sesuai dengan obyek masing masing –seperti misalnya kelaparan
yang obyeknya ialah makanan,dan kehausan yang obyeknya adalah minuman ,
kekikiran yang obyeknya ialah uang atau pada umumnya harta benda, atau
kebirahian yang obyeknya ialah perasaan seksual-namun pada pokoknya ada empat
dorongan hati atau rejana jiwa yang dasariah, yaitu satu pihak atau keinginan
dan ketakutan , di lain pihak sukacita dan duka cita. Dua yang pertama mengenai
obyek –obyek yang belum secara aktual hadir, tetapi masih termasuk masa depan ,
yakni atau obyek yang mau memilki dan diinginkan , atau obyek –obyek yang
secara aktual hadir dan dinikmati karena disukai atau obyek obyek yang secara
aktual hadir tetapi tidak disukai dan menimbulkan penderitaan dan rasa tidak
senang.
Lewat
keempat hal tersebut menunjukkan bahwa kehendak selalu bekerja dan keempat hal
tersebut adalah keaktifan kehendak maka apa bila kita menghendaki sesuatu dan
ingin memiliki dan menikmatinya, maka kehendak kita itu ialah cupiditas
atau keinginan begitu juga dengan semua
hal yang diatas. Maka bukan hanya dorongan hati dan rencana-rencana jiwa itu
dengan demikian hidup aktif kita di kuasai oleh kehendak, melainkan seluruh
hidup kita mengenal kita juga. Dalam pengenalan indrawi kita keaktifan dan pengaruh kehendak di perlukan supaya kesipa siagaan jiwa tetap di aktifkan
dan diarahkan sesuai dengan proses pengamatan yang mau di jalani sedemikian
rupa hingga organ indra yang bersangkutan tetap di pertahankan dalam kontak
yang sesuai dengan obyek yang bersangkutan. Keaktifan dan pengaruh kehendak itu
selanjutnya di perlukan, supaya data indrawi yang diperoleh dimasukkan dan direkam dalam ingatan. Cobalah
saja melihat apa yang terjadi pada waktu seseorang memberitahukan sesuatu
kepadaku ; jikalau pada waktu yang sama itu aku berpikir mengenai sesuatu yang
lain, maka meskipun dapat di akui bahwa–bila boleh memakai peristilahan
modern-proses fisiologis tetap berjalan
dalam indra pendengarku namun aku tidak menginsafi dan tidak mengetahui
apa yang dikatakan orang itu, karena
pada waktu yang sama aku tidak
coba memasukkan dan merekam kata-katanya kedalam ingatanku.
Agustinus
dalam buku yang lain mengatakan bahwa ada kehendak yang mengabungkan dan
memisahkan, malahan dalam dua arti pertama, sejauh apa yag digabungkan satu
dengan atau dipisah kan satu dari yang lain
ialah kempat gambar berikut ini yaitu ketiganya yang sudah disebutkan,
yakni bentuk objek itu dalam organ indra, gambar nya dalam ingatan dan penghayalandan
yang keempat, gambaran atau pengertian yang di pisah dari satu sama lain seperti sudah dikatakan atau secara realistis
atau secara mengirelisir.
Agustinus
menyakini bahwa proses penggabungan dan pemisahan yang dapat amat kompleks itu membuka lebar kemungkinan diadakannya kekeliruan
keliruan. Tetapi sesuai dengan apa yang sudah di katakn seghubungan dengan
pengamatan indrawi dan acara kita yang sudah dikatakan sehubungan dengan
pengamatan indrawi dan cara kita mempertimbangkan dan menyatakn putusan
mengenainya, demikian pula di sini sehubungan denga ningtan dan penghayalan
harus di katakana bahwa kekeliruan muncul , jikalau mengenai gambaran gambaran
dalam ingatan dan penghayalan kit amengadakan pertimbangan dan menyatakan
putusan yang keliru.jadi kit aharus menaikan sampai ke taraf rasio yang –karena
mempertimbangkan dan dapat kesan indrawi– mengatasi tingkat pengamatan indrawi.
Pada
ujungnya kehendak ialah untuk mencari kebenaran
betapa dekatnya diri kita tentunya kita tidak akan mengenali segala
sesuatu jika tanpa ada kehendak untuk mengenalinya. Atau menghendakinya.
Jikalau kita hanya berkeinginan dan berkehendak mengetahuinya. St agustinus
menambahakan bahwa keinginan dan kehendak untuk mengetahui dan mencari
kebenaran itu, jikalau menjadi sangat kuat dan bernyala-nyala, kita sebut
dengan study atau proses pembelajaran.[3]
Kehendak
yang ada dalam diri manusia menguasai
panca indra kita, ingatan dan penghayalan dan malahan rasio sendiri, pun
pula segala dorongan hati dan rencana jiwa berada di bawahnya.[4]
ANALISIS
AGUSTINUS
Tubuh dan jiwa
merupakan satu kesatuan yang saling bekerja sama dimana roh membutuhkan tubuh
untuk bergerak dan ketika tubuh tidak bergerak maka keinginan yang telah di
inginkan tidak akan terwujud. Sama
halnya dengan kehendak yang tidak dikehendaki maka tidak akan terealisasi apa
yang telah menjadi hayalannya.[5]
Maka tidak bisa dikatakan bahwa ada dua kehendak yang saling berlawanan jadi
hal ini dimana setengah menghendaki setengah tidak menghendaki bukanlah keadaan
yang tidak wajar, melainkan penyakit roh . Roh itu tidak seluruhnya bangkit apa
bila diangkat oleh kebenaran , karena terlalu berat di gayuti kebiasaan. Karena
itu ada dua kehendak , sebab satu di antaranya
tidak bulat dan apa yang terdapat dalam yang satu tidak terdapat dalam
yang lain[6]
Semoga binasa di
hadapan-Mu (mzm 68;3) ya Allah- dan sungguh binasa mereka-orang orang yang
omongannya sia sia dan yang meyesatkan pikiran, yang lantaran dalam
pertimbangan melihat dua kehendak, menegaskan bahwa ada dua roh yang mempunyai
dua tabiat yang berlainan, yang satu baik dan yang lain jahat. Merekalah yang
sebenarnya jahat bila mereka melahirkan pikiran-pikiran jahat itu; mereka itu
pula akan baik jika mereka melahirkan pikiran–pikiran jahat itu; mereka itu
pula akan baik jika mereka melahirkan pemikiran-pemikiran baik dan menyetujui kebenaran, sehingga
rasul-Mu dapat berkata kepada mereka “Memang dahulu kamu adalah kegelapan,
tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan.”[7]
Maka muncul yang
namanya dosa dimana dosa menurut kitab suci, manusia diberi kebebasan
supaya dapat mencintai percaya dan mencintai Allah. Tetapi ia dapat pula
menutup diri terhadap Allah dan menolaknya, biarpun perbuatan itu tidak masuk
akal dan berakibat buruk baginya . Perbuatan itu adalah dosa. Tuhan tidak
bertangung jawab atas dosa mahluk-
mahluknya . Tetapi Tuhan mengambil risiko, bahwa dosa-dosa akan terjadi dengan
segala akibatnya yang buruk. Hal ini terjadi Karena hanya dengan demikian ia
dapat menciptakan makhluk yang bebas. Allah adalah Yang baik secara tak
terbatas sehingga tidak dapat berbuat jahat atau berdosa-dosa mengandaikan
kebaikan dan kebebasan yang terbatas, yang memungkinkan tindakkan melawan makna
sebenaranya dari kebaikan serta kebebasan itu dengan demikian melemahkan,
bahkan menghancurkanya. Dosa menyebabkan keadaan buruk yang hanya dapat
dipulihkan oleh Allah saja.
Dengan berdosa orang
menyimpang dari jalan yang benar dan merusak apa yang diciptakan Tuhan dengan
baik. Dosa tidak bisa merugikan Tuhan sendiri, tetapi hubungan kita dengan-Nya
dan dengan sesama manusia. Dosa pun dalam kenyataannya yang sesungguhnya adalah
keputusan bebas untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Illahi.
Keputusan itu menyangkut inti pribadi si Pendosa, yang mendahulukan barang
ciptaan pada kehendak illahi seperti Nampak pola asasi dunia ciptaan yang di
tegaskan dengan Wahyu. Maka dengan berdosa manusia merusak suatu nilai dan
karenanya sebagai mahluk penentang
kehendak penciptanya. Dosa
berlawanan dengan makan kebebasan
manusiawi yaitu mencintai nilai tertinggi yakni Allah. Dan orang berdosa
karena tertarik pada apa yang langsung memenuhi keinginan dan dorongannya dan kurang percaya kepada
Allah yang menatakan apa yang sebenarnya baik bagi manusia.[8]
No comments:
Post a Comment