Wednesday, December 5, 2012

KOMENTAR ATAS EVANGELIUM VITAE


Yang terbayang dalam pikiranku tentang tugas membuat komentar atas sebuah ensiklik adalah menuangkan apa saja pikiran yang muncul dalam benakku ketika membaca ensiklik tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya tidak akan menulis ulang ringkasan dari ensiklik tersebut, melainkan beberapa poin yang sempat menjadi buah perenunganku ketika membaca ensiklik tersebut.
Dari judulnya saja, Evangelium Vitae (Injil Kehidupan), Paus Yohanes Paulus II tampaknya mau menunjukkan dorongan spiritual yang besar. Secara realistis Paus ingin memberikan dorongan kepada Gerejanya untuk melawan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni ancaman pada kehidupan manusia dan penyebaran "budaya kematian". Tujuan utama dari ensiklik ini ialah untuk memberitakan kabar baik tentang nilai dan martabat setiap kehidupan manusia, keluhuran dan nilainya yang sangat tinggi.
Membaca Ensiklik ini muncul kesan dalam benak saya bahwa ensiklik ini disajikan dengan otoritas doktrinal yang besar. Tampak dalam proses perumusannya bahwa paus mengundang kolegialitas uskup seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam penyusunan ensiklik yang sangat penting dan mendesak ini. Dimulai dengan sebuah Konsistori luar biasa para kardinal yang diadakan di Roma pada bulan April 1991 dan selanjutnya dalam konsultasi semua uskup Gereja Katolik, kolegialitas uskup secara bulat dan tegas setuju dengan pengajaran yang diberikan di dalamnya. Inti ajaran dalam ensiklik ini secara substansi adalah "penegasan ulang yang seksama dan tegas dari nilai hidup manusia yang tidak dapat diganggu gugat," dan juga "Suatu seruan yang mendesak yang ditujukan kepada tiap-tiap orang demi nama Allah: hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusiawi! Hanya dalam arah inilah anda akan menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan yang sejati, damai dan kebahagiaan!” (art. 5).
Membaca bab awal dalam ensiklik ini, yang berisi tentang ulasan perikop “dosa manusia-manusia awali”, Paus menunjukkan secara mengharukan betapa banyak ancaman bagi kehidupan manusia, baik mulai jaman dahulu hingga jaman ini. Kain, yang seharusnya mempunyai ikatan kodrati dengan Habel adiknya, sampai hati mengatakan “Apakah aku penjaga adikku?” ketika Tuhan Allah sedang memperjuangkan keadilan darah adiknya.
Jawaban Kain di atas menurut saya sungguh menunjukkan secara gamblang apa yang sedang terjadi di jaman ini. Ada sebuah kebimbangan moral yang berat yang sedang terjadi di jaman ini. Kecenderungan untuk menolak berpikir tentang dan bertanggung jawab atas hidup sesamanya semakin marak. Ideologi-ideologi yang berusaha membenarkan dan menyelubungi kejahatan dan keegoisan semakin berkembang bak jamur di musim penghujan. Solidaritas terhadap anggota-anggota masyarakat yang paling lemah – misalnya: orang lanjut usia, mereka yang sakit, kaum emigran, anak-anak – semakin melemah dan menghilang. Oleh karena itu pantaslah jika serangan-serangan banyak ditujukan pada “kategori” masyarakat yang demikian ini.
Serangan-serangan terhadap kehidupan manusia jaman ini mempunyai ciri khusus dan khas. Semua serangan ini mengarah pada anggota masyarakat yang paling lemah, pada tahap kehidupan paling awal (kelahiran) dan paling akhir (kematian). Sebagai “golongan” yang paling lemah, mereka ini tampaknya tidak punya kekuatan baik secara fisik maupun “struktural” karena memang kondisi mereka pada umumnya tidak memungkinkan untuk melawan. Serangan-serangan ini berwujud tindakan  kontrasepsi, sterilisasi, aborsi, prokreasi artifisial, manipulasi dan penghancuran embrio manusia dan euthanasia. Serangan ini menjadi semakin kuat ketika negara justru memberikan legalitas untuk melaksanakannya dengan mengesahkan berbagai produk hukum dan peraturan yang mempermudah serangan pada hidup manusia.
Pemahaman saya semakin diperdalam dengan penjelasan ensiklik yang menerangkan bahwa salah satu penyebab terbesar merebaknya penyebaran “budaya kematian” ini adalah adanya paham yang salah tentang kebebasan. Kebebasan di jaman ini seringkali diartikan sebagai suatu hak untuk mengambil keputusan sendiri atas diri dan hidupnya, tidak peduli dengan orang lain. Bapa Suci menjelaskan bahwa paham kebebasan jaman ini seringkali dilepaskan begitu saja dari kebenaran dan nilai kebaikan yang obyektif. Ada sebuah kecenderungan baru orang-orang jaman ini untuk menjadi seorang materialis praktis yang mempunyai prioritas untuk memiliki segala sesuatu untuk diri sendiri, mengutamakan kepuasan pribadi di atas kepentingan mereka yang lemah, dan hanya memberi nilai pada hidup sejauh hidup itu bisa “menghasilkan sesuatu” dan dapat dinikmati. Materialisme juga membuat penderitaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna dan pengurbanan sebagai suatu hal yang bodoh. Salah satu kalimat indah dalam ensiklik yang menyentuh hati saya dan dapat mengambarkan semua permasalahan ini secara rohani adalah “ketika kesadaran akan Tuhan menghilang, ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan manusia” (Art. 21). Ya! Kesadaran akan Tuhan sedang menghilang pada beberapa manusia dewasa ini.
Namun demikian, yang kupelajari juga dalam ensiklik ini adalah bahwa kita tidak boleh putus asa dengan keadaan yang sudah begitu menyedihkan ini. Harapan untuk perubahan memang kita dasarkan pada kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, Sang Kehidupan. Namun, selain pada Tuhan, kita juga bisa mendasarkannya pada kepercayaan bahwa sebenarnya dalam hati manusia sudah terukir hukum kodrat yang sangat menghormati kesucian nilai kehidupan. Saya pribadi sungguh kagum dengan “keoptimisan” yang hembuskan oleh Injil yang senantiasa tetap melihat manusia secara positif dan tidak terpengaruh dengan banyaknya perbuatan jahat yang secara faktual sudah dilakukan juga oleh manusia. Injil memberikan sebuah paradigma yang konsisten bahwa deep-inside manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan sempurna dan baik.
Satu hal mencerahkan lagi yang saya dapatkan ketika membaca ensiklik ini adalah sebuah kesadaran bahwa hal yang diperkarakan dalam ensiklik ini bukan hanya berkutat pada “pembunuhan manusia yang tidak bersalah”, yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu, tetapi justru pada sesuatu yang jauh lebih buruk, yakni: Legalisasi atas kejahatan ini pada situasi-situasi tertentu, dan (lebih parahnya!!!) banyak orang yang mengganggapnya seolah-olah itu adalah “hak” mereka. Hal ini tidak mengherankan kemudian bahwa kontroversi yang paling serius dan kritis justru muncul berkaitan dengan hukum (art. 72).
Beberapa tuntunan paradigma spiritualitas dalam memandang hidup yang diberikan oleh Paus Yohanes Paus II dalam ensiklik ini kiranya dapat menjadi paradigma yang ampuh untuk menghentikan propaganda budaya kematian yang sedang merebak di jaman ini. Adapun beberapa paradima-paradigma tersebut adalah:
-         Hidup sebagai sebuah hadiah : Hidup adalah sebuah hadiah/pemberian dari Allah. Hidup bukanlah sekedar sesuatu yang muncul secara otomotis pada regenerasi atau perkembangbiakan biologis. Hidup merupakan suatu undangan bagi manusia untuk turut mengambil bagian dalam transendensi Allah. Oleh karena itulah, hidup adalah sesuatu yang baik karena memang Allah sendirilah yang memberi.
-         Hidup sebagai sebuah tanggung jawab : Paradigma ini merupakan seruan paus yang ingin menegaskan larangan injil untuk membunuh. Paradigma ini ingin menegaskan nilai absolut dan permanen dari hidup manusia yang merupakan inti dari perintah ke-lima. Paradigma ini ingin menunjukkan bahwa perintah untuk jangan membunuh bukanlah semata-mata perintah yang membatasi saja, tetapi lebih merupakan suatu undangan untuk saling menghormati hak hidup, melayani, dan mencintai kehidupan.
-            Hidup sebagai sebuah tugas yang layak untuk dipromosikan : dalam beberapa ulasannya tentang Evangelium Vitae di hadapan para imam di kota Roma, Paus Benediktus XVI sempat “titip salam” untuk para ibu yang dialayani oleh imam-imam tersebut. Lewat para imam tersebut Paus berpesan untuk mengatakan bahwa Paus ingin menyampaikan salam dan terima kasih kepada ibu-ibu yang sudah berani mengatakan “Ya” pada kehidupan dengan hamil, melahirkan dan kemudian membesarkan anak-anak yang sudah dipercayakan kepada mereka. Pesan ini sungguh menggugahku untuk juga menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah tugas yang memang layak untuk dipromosikan karena nilainya yang begitu luhur. Banyak orang menolak “tugas kehidupan” ini hanya karena keegoisan mereka yang tidak ingin direpotkan dengan kehadiran anak, dsb.
Akhir kata, sebagai kesimpulan, saya ingin mengutip sebuah bagian dalam EV yang menurut saya menjadi kunci untuk memahami betapa besar desakan Paus untuk menghormati Nilai hidup manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Bagian ini saya kutip dari versi yang berbahasa Inggris karena ada rasa bahasa tertentu yang kurang saya rasakan dalam bahasa Indonesianya,
Man is called to a fullness of life which far exceeds the dimensions of his earthly existence, because it consists in sharing the very life of God.... The Gospel of God's love for man, the Gospel of the dignity of the person and the Gospel of life are a single and indivisible Gospel" (Evangelium vitae, art. 2). 

No comments:

Post a Comment