Yang
terbayang dalam pikiranku tentang tugas membuat komentar atas sebuah ensiklik
adalah menuangkan apa saja pikiran yang muncul dalam benakku ketika membaca
ensiklik tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya tidak akan menulis
ulang ringkasan dari ensiklik tersebut, melainkan beberapa poin yang sempat
menjadi buah perenunganku ketika membaca ensiklik tersebut.
Dari
judulnya saja, Evangelium Vitae
(Injil Kehidupan), Paus Yohanes Paulus II tampaknya mau menunjukkan dorongan spiritual
yang besar. Secara realistis Paus ingin memberikan dorongan kepada Gerejanya
untuk melawan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni ancaman pada
kehidupan manusia dan penyebaran "budaya kematian". Tujuan utama dari
ensiklik ini ialah untuk memberitakan kabar baik tentang nilai dan martabat
setiap kehidupan manusia, keluhuran dan nilainya yang sangat tinggi.
Membaca
Ensiklik ini muncul kesan dalam benak saya bahwa ensiklik ini disajikan dengan
otoritas doktrinal yang besar. Tampak dalam proses perumusannya bahwa paus
mengundang kolegialitas uskup seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam
penyusunan ensiklik yang sangat penting dan mendesak ini. Dimulai dengan sebuah
Konsistori luar biasa para kardinal yang diadakan di Roma pada bulan April 1991
dan selanjutnya dalam konsultasi semua uskup Gereja Katolik, kolegialitas uskup
secara bulat dan tegas setuju dengan pengajaran yang diberikan di dalamnya. Inti
ajaran dalam ensiklik ini secara substansi adalah "penegasan ulang yang seksama dan tegas dari nilai hidup manusia yang
tidak dapat diganggu gugat," dan juga "Suatu seruan yang mendesak yang ditujukan kepada tiap-tiap orang demi
nama Allah: hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap
hidup manusiawi! Hanya dalam arah inilah anda akan menemukan keadilan,
perkembangan, kebebasan yang sejati, damai dan kebahagiaan!” (art. 5).
Membaca
bab awal dalam ensiklik ini, yang berisi tentang ulasan perikop “dosa manusia-manusia
awali”, Paus menunjukkan secara mengharukan betapa banyak ancaman bagi
kehidupan manusia, baik mulai jaman dahulu hingga jaman ini. Kain, yang
seharusnya mempunyai ikatan kodrati dengan Habel adiknya, sampai hati
mengatakan “Apakah aku penjaga adikku?” ketika Tuhan Allah sedang
memperjuangkan keadilan darah adiknya.
Jawaban
Kain di atas menurut saya sungguh menunjukkan secara gamblang apa yang sedang terjadi
di jaman ini. Ada sebuah kebimbangan moral yang berat yang sedang terjadi di
jaman ini. Kecenderungan untuk menolak berpikir tentang dan bertanggung jawab
atas hidup sesamanya semakin marak. Ideologi-ideologi yang berusaha membenarkan
dan menyelubungi kejahatan dan keegoisan semakin berkembang bak jamur di musim
penghujan. Solidaritas terhadap anggota-anggota masyarakat yang paling lemah –
misalnya: orang lanjut usia, mereka yang sakit, kaum emigran, anak-anak –
semakin melemah dan menghilang. Oleh karena itu pantaslah jika
serangan-serangan banyak ditujukan pada “kategori” masyarakat yang demikian
ini.
Serangan-serangan
terhadap kehidupan manusia jaman ini mempunyai ciri khusus dan khas. Semua
serangan ini mengarah pada anggota masyarakat yang paling lemah, pada tahap
kehidupan paling awal (kelahiran) dan paling akhir (kematian). Sebagai
“golongan” yang paling lemah, mereka ini tampaknya tidak punya kekuatan baik
secara fisik maupun “struktural” karena memang kondisi mereka pada umumnya
tidak memungkinkan untuk melawan. Serangan-serangan ini berwujud tindakan
kontrasepsi, sterilisasi, aborsi, prokreasi artifisial, manipulasi dan
penghancuran embrio manusia dan euthanasia. Serangan ini menjadi semakin kuat
ketika negara justru memberikan legalitas untuk melaksanakannya dengan
mengesahkan berbagai produk hukum dan peraturan yang mempermudah serangan pada
hidup manusia.
Pemahaman
saya semakin diperdalam dengan penjelasan ensiklik yang menerangkan bahwa salah
satu penyebab terbesar merebaknya penyebaran “budaya kematian” ini adalah adanya
paham yang salah tentang kebebasan. Kebebasan di jaman ini seringkali diartikan
sebagai suatu hak untuk mengambil keputusan sendiri atas diri dan hidupnya,
tidak peduli dengan orang lain. Bapa Suci menjelaskan bahwa paham kebebasan
jaman ini seringkali dilepaskan begitu saja dari kebenaran dan nilai kebaikan
yang obyektif. Ada sebuah kecenderungan baru orang-orang jaman ini untuk
menjadi seorang materialis praktis yang mempunyai prioritas untuk memiliki
segala sesuatu untuk diri sendiri, mengutamakan kepuasan pribadi di atas
kepentingan mereka yang lemah, dan hanya memberi nilai pada hidup sejauh hidup
itu bisa “menghasilkan sesuatu” dan dapat dinikmati. Materialisme juga membuat
penderitaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna dan pengurbanan
sebagai suatu hal yang bodoh. Salah satu kalimat indah dalam ensiklik yang
menyentuh hati saya dan dapat mengambarkan semua permasalahan ini secara rohani
adalah “ketika kesadaran akan Tuhan menghilang, ada kecenderungan pula untuk
kehilangan kesadaran akan manusia” (Art. 21). Ya! Kesadaran akan Tuhan sedang
menghilang pada beberapa manusia dewasa ini.
Namun demikian, yang kupelajari juga dalam ensiklik ini adalah
bahwa kita tidak boleh putus asa dengan keadaan yang sudah begitu menyedihkan
ini. Harapan untuk perubahan memang kita dasarkan pada kemahakuasaan dan
keadilan Tuhan, Sang Kehidupan. Namun, selain pada Tuhan, kita juga bisa
mendasarkannya pada kepercayaan bahwa sebenarnya dalam hati manusia sudah
terukir hukum kodrat yang sangat menghormati kesucian nilai kehidupan. Saya
pribadi sungguh kagum dengan “keoptimisan” yang hembuskan oleh Injil yang
senantiasa tetap melihat manusia secara positif dan tidak terpengaruh dengan
banyaknya perbuatan jahat yang secara faktual sudah dilakukan juga oleh
manusia. Injil memberikan sebuah paradigma yang konsisten bahwa deep-inside manusia adalah makhluk yang
diciptakan dengan sempurna dan baik.
Satu hal mencerahkan lagi yang saya dapatkan ketika membaca
ensiklik ini adalah sebuah kesadaran bahwa hal yang diperkarakan dalam ensiklik
ini bukan hanya berkutat pada “pembunuhan manusia yang tidak bersalah”, yang
sudah dilakukan sejak jaman dahulu, tetapi justru pada sesuatu yang jauh lebih
buruk, yakni: Legalisasi atas kejahatan ini pada situasi-situasi tertentu, dan
(lebih parahnya!!!) banyak orang yang
mengganggapnya seolah-olah itu adalah “hak” mereka. Hal ini tidak mengherankan
kemudian bahwa kontroversi yang paling serius dan kritis justru muncul
berkaitan dengan hukum (art. 72).
Beberapa
tuntunan paradigma spiritualitas dalam memandang hidup yang diberikan oleh Paus
Yohanes Paus II dalam ensiklik ini kiranya dapat menjadi paradigma yang ampuh
untuk menghentikan propaganda budaya kematian yang sedang merebak di jaman ini.
Adapun beberapa paradima-paradigma tersebut adalah:
-
Hidup sebagai sebuah hadiah : Hidup
adalah sebuah hadiah/pemberian dari Allah. Hidup bukanlah sekedar sesuatu yang
muncul secara otomotis pada regenerasi atau perkembangbiakan biologis. Hidup
merupakan suatu undangan bagi manusia untuk turut mengambil bagian dalam
transendensi Allah. Oleh karena itulah, hidup adalah sesuatu yang baik karena
memang Allah sendirilah yang memberi.
-
Hidup sebagai sebuah tanggung jawab :
Paradigma ini merupakan seruan paus yang ingin menegaskan larangan injil untuk
membunuh. Paradigma ini ingin menegaskan nilai absolut dan permanen dari hidup
manusia yang merupakan inti dari perintah ke-lima. Paradigma ini ingin
menunjukkan bahwa perintah untuk jangan membunuh bukanlah semata-mata perintah
yang membatasi saja, tetapi lebih merupakan suatu undangan untuk saling
menghormati hak hidup, melayani, dan mencintai kehidupan.
-
Hidup sebagai sebuah tugas yang layak
untuk dipromosikan : dalam beberapa ulasannya tentang Evangelium Vitae di
hadapan para imam di kota Roma, Paus Benediktus XVI sempat “titip salam” untuk
para ibu yang dialayani oleh imam-imam tersebut. Lewat para imam tersebut Paus
berpesan untuk mengatakan bahwa Paus ingin menyampaikan salam dan terima kasih
kepada ibu-ibu yang sudah berani mengatakan “Ya” pada kehidupan dengan hamil,
melahirkan dan kemudian membesarkan anak-anak yang sudah dipercayakan kepada
mereka. Pesan ini sungguh menggugahku untuk juga menyadari bahwa kehidupan
adalah sebuah tugas yang memang layak untuk dipromosikan karena nilainya yang
begitu luhur. Banyak orang menolak “tugas kehidupan” ini hanya karena keegoisan
mereka yang tidak ingin direpotkan dengan kehadiran anak, dsb.
Akhir
kata, sebagai kesimpulan, saya ingin mengutip sebuah bagian dalam EV yang
menurut saya menjadi kunci untuk memahami betapa besar desakan Paus untuk
menghormati Nilai hidup manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Bagian ini saya
kutip dari versi yang berbahasa Inggris karena ada rasa bahasa tertentu yang
kurang saya rasakan dalam bahasa Indonesianya,
Man is called to a fullness of life which far exceeds the
dimensions of his earthly existence, because it consists in sharing the very
life of God.... The Gospel of God's love for man, the Gospel
of the dignity of the person and the Gospel of life are a single and
indivisible Gospel" (Evangelium vitae, art. 2).
No comments:
Post a Comment